Latar Belakang Konflk Aceh

20

B. Latar Belakang Konflk Aceh

Sejak berlangsungnya konflik Aceh melalui pemberontakan yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1957 Kawilarang, 2010:159, beragam dampak yang ditimbulkan amatlah parah pada masyarakat sipil Aceh. Ribuan rakyat sipil tak berdosa telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim. Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi. Kekecewaan masyarakat Aceh diawali ketika Teungku Daud Beureuh masuk dalam “Daftar Hitam” yang ingin disingkirkan oleh Pemerintah Pusat. Seperti kita ketahui Teungku Daud merupakan salah satu tokoh rakyat Aceh dalam mengusir penjajah dengan ikut sertanya Teungku Daud bersama Republik dengan cara mengumpulkan dana untuk melawan penjajah. Janji dari Presiden Soekarno untuk memberikan kebebasan rakyat Aceh menerapkan syariat Islam tidak ditepati, semakin membuat pedih rakyat Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh yang tidak terbendung akhirnya menimbulkan pemberontakan Darul IslamTentara Islam Indonesia DITII. Pada tahun 1953. pemberontakan ini dapat ditumpas pada tanggal 26 Mei 1959 ketika Aceh diberikan otonomi luas, terutama dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Konflik yang terjadi di Aceh khususnya Gerakan Separatisme Aceh berlatar belakang tentang perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 dan Perjanjian Anglo Dutch yang menyatakan bahwa Aceh merupakan Negara yang 21 merdeka, hal inilah yang membuat GAM berusaha mengembalikan kedaulatan tersebut kepada Kesultanan Aceh. Aceh yang kita ketahui merupakan provinsi yang mempunyai ciri khas yakni rakyat Aceh mempunyai identitas social-kultural dan religi yang kuat. Salah satu alasan terjadinya pemberontakan Teungku Daud adalah keinginan Teungku Daud untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, yang pada saat itu disetujui oleh pemerintah pada saat penumpasan pemberontakan DITII. Namun rezim Orde Baru membuat sebuah keputusan yang lagi-lagi membuat kekecewaan di hati rakyat Aceh Reid: 2006, 23. Keputusan yang diambil oleh Rezim Orde Baru dengan model politik sentralisme adalah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, Orde membuat penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal Tim Peneliti LIPI, 2007, 54-55. Akibat kedua UU tersebut, secara otomatis keistemewaan Aceh akan tereliminasi. Syariat Islam yang sudah menjadi ciri khas dari rakyat Aceh menjadi hilang karena lembaga-lembaga adapt yang ada sejak lama di Aceh harus digantikan oleh struktur pemerintahan modern yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal inilah yang membuat kekcewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat semakin besar. Faktor ekonomi juga turut serta menjadi penyebab terjadinya konflik yang dilakukan oleh gerakan separatisme di Aceh GAM. Pada masa Orde Baru kebijakan 22 Pemerintah ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks pembangunan ini. Pabrik LNG dan pupuk Iskandar Muda yang dibangun di Aceh maju pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG terbesar dan 90 dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor. Namun, berdasarkan kebijakan yang diambil pada masa rezim Orde Baru yang sentralisasi, ekonomi Aceh terkonsentrasi oleh power dan otoritas yang berpusat di Jakarta, maka pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan bila dibandingkan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah Aceh. Akibat dari pembangunan yang terlalu banyak di Jakarta adalah rakyat Aceh mengalami kesengsaraan dan kesusahan dimana di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur tercatat 2.275 desa miskin pada tahun 1993 Hadi 2007:50-51. Hal itu semua membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati hasil dari sumber daya alam adalah masyarakat Aceh sendiri bukan pusat. Hal inilah yang membuat rakyat Aceh semakin kecewa dengan pemerintah pusat. Kesadaran rakyat Aceh tentang ketidakadilan pusat terhadap Aceh dimanfaatkan oleh GAM, dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara berdiri pada tahun 1970.

C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh