38
Perubahan pendekatan dalam resolusi konflik Aceh menemukan momentum baru ketika Susilo Bambang Yudhoyono SBY dan Jusuf Kalla JK memenangi
Pemilu Presiden pada 2004. Secara umum dapat dikatakan bahwa selama era SBY- JK, resolusi konflik Aceh dilakukan dengan soft power atau dengan cara damai.
Setidanya ada dua faktor yang mendorong digunakannya soft power selama era SBY- JK.
Pertama, faktor politik. Pemilu Presiden 2004 adalah pemilu presiden pertama dalam sejarah politik Indonesia yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Naiknya
SBY-JK ke tampuk kekuasaan melalui pemilu langsung menandai mulainya era baru dalam politik nasional Indonesia, yaitu sistem politik yang lebih demokratis. Sistem
politik yang demokratis ini memberi pengaruh yang signifikan dalam cara Pemerintahan SBY-JK menyikapi konflik Aceh. SBY-JK yang terpilih melalui proses
demokrasi langsung menunjukkan sikap politik yang lebih mengedepankan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik.
Kedua, faktor personal, yaitu terkait dengan sikap politik SBY-JK secara pribadi dalam melihat konflik Aceh. Dimulainya pendekatan soft power dalam
resolusi konflik Aceh didorong oleh kenyataan yang diyakini SBY-JK yang percaya bahwa konflik Aceh hanya bisa diselesaikan melalui dialog dan perundingan
Aspinal, 2005:66.
E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative
Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati seperrti yang dinyatakan di atas, sekitar satu tahun lebih setelah itu, lebih tepatnya 25
39
Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang menggemparkan dunia internasional yang menyebabkan sekitar 230.000 jiwa meninggal dunia,
36.786 jiwa hilang, dan 174.000 jiwa tinggal di tenda pengungsian. Sekitar 120.000 rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur
serta 2.224 sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasi-organisasi international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada korban
Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju kepada bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan dialihkan kepada bantuan secara
politik, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan GAM yang berkonflik selama kurang lebih 30 tahun Kawilarang, 2010:177.
Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap
proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Dalam kurun beberapa jam setelah terjadinya Tsunami, Uni Eropa segera merespon dengan
memberikan bantuan darurat, disusul beberapa hari kemudian dengan bantuan tambahan untuk kesehatan dasar, sistem peringatan dini epidemik dan bantuan
psikososial bagi para korban. Sampai Januari tahun 2006, Komisi Eropa telah menyediakan dana sebesar 60 juta Euro untuk bantuan kemanusiaan Aceh Pardo,
2012. Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi
Eropa dan negara anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
40
Komisi Eropa dan negara-negara anggota Uni Eropa masing-masing telah menjanjikan sebesar 285 juta Euro dan 670 juta Euro untuk digunakan sebagai
bantuan kemanusiaan, rekonstruksi dan proses perdamaian di Aceh Pardo, 2012. Dana tersebut antara lain diberikan kepada CMI Crisis Management Initiative untuk
membiayai perundingan damai di Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM. CMI adalah sebuah lembaga independen yang mempunyai misi meningkatkan
kapasitas manajemen komunitas internasional untuk pencegahan krisis dan melakukan rehabilitasi pasca konflik. Dalam mediasi konflik Aceh ini dalam catatan
yang diterbitkan oleh CSIS oleh Hamid Awaluddin 2008, baik GAM maupun Pemerintah RI yang yang sedang bersengketa bersama-sama sepakat untuk menunjuk
CMI sebagai mediator dalam proses perdamaian. Negosiasi yang menjadi pusat perhatian internasional ini dilakukan dalam lima putaran yang terpisah selama
delapan bulan. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus
ditandatanganilah Nota Kesepahaman Memorandum of UnderstandingMoU di Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a Penyelenggaraan
Pemerintahan Khusus di Aceh, b Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d Pengaturan
Keamanan, e Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f Penyelesaian Perselisihan. Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya
MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission AMM atau Misi Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen
41
para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5 ayat 1 disebutkan
“Misi Pemantau Aceh AMM akan dibentuk oleh Uni Eropa dan Negara- negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan
komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.” Sebagai wujud kegembiraan terhadap perundingan damai, warga Aceh
melakukan pawai keliling sambil memukul rapa-i-pase sebagai simbol perang telah dihentikan, sementara mantan anggota GAM melaukan konvoi keliling Aceh dengan
menggunakan kendaraan roda dua. Dari pihak pemerintah, meski penarikan pasukan atau aparat keamanan non-organik dilakukan satu bulan setelah Nota Kesepahaman
ditandatangani, penarikan pasukan dilakukan lebih cepat bahkan sebagian telah dipulangkan sebelum Nota Kesepahaman ditandatangani. Demikian juga dengan
pihak GAM. Puluhan anggota GAM memutuskan untuk turun gunung terlebih dahulu begitu mendengar kesepakatan Nota Kesepahaman ditandatangani meskipun perintah
demobilisasi dilaksanakan tanggal 15 September 2005.
42
BAB III Aceh Monitoring Mission
A. Profil Aceh Monitoring Mission
Aceh Monitoring Mission AMM merupakan misi sipil yang terdiri dari para pemantau dari Negara-negara Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN serta Norwegia
dan Swiss. Sesuai dengan MoU Helsinski Pasal 5 butir 8, Anggota-anggotanya tidak dipersenjatai dan terdiri dari orang-orang yang dianggap memiliki keahlian dan
kompetensi beragam yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas dalam misi ini. Kendati misi sipil, bukan berarti AMM menolak keanggotaan militer. Anggota
yang memiliki keterkaitan dengan teknis kemiliteran. AMM memiliki perbedaan dengan lembaga monitoring yang dibentuk Henry
Dunant Centre HDC, untuk memantau implementasi damai, HDC membentuk Joint Security Commitee JSC yang memiliki tugas : a memformulasikan proses
implementasi kesepakatan. b memonitor situasi keamanan di Aceh. c melakukan investigasi secara penuh terhadap kekerasan keamanan. d memperbaiki situasi
keamanan dan memberikan sanksi. e meyakinkan tidak adanya kekuatan paramiliter baru. f mendesain dan mengimplementasikan proses demiliterisasi. Struktur dari JSC
adalah pejabat-pejabat senior yang ditunjuk sebagai wakil Pemertintah dan GAM dan seorang pihak ketiga HDC yang disetujui kedua belah pihak. Kemudian untuk
memutuskan perselisihan yang muncul di lapangan, dibentuk Joint Council JC yang terdiri atas wakil-wakil senior Pemerintah dan GAM dan juga pihak ketiga HDC.