Biografi Emha Ainun Nadjib Sebagai Pendiri Maiyah Bangbang Wetan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi- solusi masalah masyarakat. Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya: 1 Geger Wong Ngoyak Macan 1989, tentang pemerintahan Raja Soeharto, 2 Patung Kekasih 1989, tentang pengkultusan, 3 Keajaiban Lik Par 1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern, 4 Mas Dukun 1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern. 5 Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir 1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun, 6 Lautan Jilbab 1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar, 7 Kiai Sableng dan Baginda Faruq 1993. 8 Juga mementaskan Perahu Retak 1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka, di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan. 9 Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti 10 Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya 2012 11 “M” Frustasi 1976, 12 Sajak-Sajak Sepanjang Jalan 1978, 13 Sajak-Sajak Cinta 1978, 14 Nyanyian Gelandangan 1982, 15 99 Untuk Tuhanku 1983, 16 Suluk Pesisiran 1989, 17 Lautan Jilbab 1989, 18 Seribu Masjid Satu Jumlahnya 1990, 19 Cahaya Maha Cahaya 1991, 20 Sesobek Buku Harian Indonesia 1993, 21 Abacadabra 1994, 22 Syair-syair Asmaul Husna 1994 EssaiBuku 1 Dari Pojok Sejarah 1985, 2 Sastra yang Membebaskan 1985 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 3 Secangkir Kopi Jon Pakir 1990, 4 Markesot Bertutur 1993, 5 Markesot Bertutur Lagi 1994, 6 Opini Plesetan 1996, 7 Gerakan Punakawan 1994, 8 Surat Kepada Kanjeng Nabi 1996, 9 Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya 1994, 10 Slilit Sang Kiai 1991, 11 Sudrun Gugat 1994, 12 Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai 1995, 13 Bola- Bola Kultural 1996, 14 Budaya Tanding 1995, 15 Titik Nadir Demokrasi 1995, 16 Tuhanpun Berpuasa 1996, 17 Demokrasi Tolol Versi Saridin 1997, 18 Kita Pilih Barokah atau Azab Allah 1997, 19 Iblis Nusantara Dajjal Dunia 1997, 20 2,5 Jam Bersama Soeharto 1998, 21 Mati Ketawa Cara Refotnasi 1998, 22 Kiai Kocar Kacir 1998, 23 Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan Penerbit Zaituna, 1998, 24 Keranjang Sampah 1998 Ikrar Husnul Khatimah 1999, digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 25 Jogja Indonesia Pulang Pergi 2000, 26 Ibu Tamparlah Mulut Anakmu 2000, 27 Menelusuri Titik Keimanan 2001, 28 Hikmah Puasa 1 2 2001, 29 Segitiga Cinta 2001, 30 Kitab Ketentraman 2001, 31 Trilogi Kumpulan Puisi 2001, 32 Tahajjud Cinta 2003, 33 Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun 2003, 34 Folklore Madura Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress, 35 Puasa Itu Puasa Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress, 36 Syair-Syair Asmaul Husna Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress 37 Kafir Liberal Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress, 38 Kerajaan Indonesia Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress, 39 Jalan Sunyi EMHA Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas, 40 Istriku Seribu Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress, 41 Orang Maiyah Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,, 42 Tidak. Jibril Tidak Pensiun Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress, 43 Kagum Pada Orang Indonesia Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress, digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 44 Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress 45 DEMOKRASI La Raiba Fihcet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[2] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ➏ ➐

BAB V NILAI-NILAI DAN PENANAMAN PENDIDIKAN HUMANIS RELIGIUS

DALAM KEGIATAN MAIYAH BANGBANG WETAN

A. Nilai-nilai Pendidikan Humanis Religius Dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan

1. Nilai Egaliter

Di dalam maiyah sendiri tidak di batasi oleh gender semua dipandang sama yakni Abdullah. Di sisi lain tidak adanya jarak antara pembicara ataupun narasumber dengan para jamaah. Semua yang datang dalam forum Bangbang Wetan adalah para pencari ilmu, termasuk narasumber. Tidak ada yang paling benar, karena dalam Maiyah yang dicari adalah kebenaran bukan pembenaran. Konsep awal tempat duduk para Jamaah Maiyah dan narasumber selaras tanpa adanya panggung. Tetapi, bagi Jamaah Maiyah yang duduk di belakang tidak kelihatan narasumber. Maka dari itu, tempat duduk narasumber menggunakan panggung yang tidak terlalu tinggi, sekitar setengah meter agar para Jamaah Maiyah yang ada di belakang dapat melihat narasumber. Tempat duduk antara Jamaah Maiyah laki-laki maupun perempuan tidak ada sekat, semua membaur menjadi satu. Cak Nun menekankan bahwa format dalam Maiyah Bangbang Wetan harus egaliter, siapapun bebas dan merasa nyaman untuk menghadirinya, tidak digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ➑ sebatas pada yang beragama Islam saja, melainkan semua pemeluk agama apapun boleh hadir, bahkan pemeluk atheis pun dipersilahkan, karena forum ini forum Maiyah, forum kebersamaan bagi semua makhluk Allah. Cak Nun ataupun narasumber yang lain memposisikan dirinya sebagai bagian dari jamaah dan tidak ada sekat antara narasumber dan jamaah. Dalam proses pendidikan didalam maiyah Bangbang Wetan, Cak Nun dan Narasumber yang lainnya memposisikan dirinya dalam posisi yang sama, yaitu belajar bersama yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi. Narasumber dan jamaah berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horizontal tanpa adanya perendahan martabat salah satunya. Jadi nilai egaliter dalam Maiyah Bangbang Wetan adalah merakyat. Semua yang hadir tak ada kasta yang membatasi. Jamaah yang hadir bisa menjadi narasumber, karena dalam implikasinya, semua boleh berbicara diatas panggung untuk memberikan gagasan dan pikirannya mengenai tema yang dibicarakan setiap acara Maiyahan.

2. Nilai Aqidah dan Akhlaq

Secara prinsip setiap awal dimulainya acara ada sesi refleksi membicarakan adanya perbuhan perilaku. Jamaah mengungkapkan refleksinya di tiap pertemuan. Jamaah yang menghadiri maiyahan semakin jernih berpikir lantas adanya perubahan perilaku serta meninggalkan hal-hal yang tidak baik dalam kehidupannya, seperti contohnya ada jamaah yang mengaku suka digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ➒ ➒ minum-minuman keras, pada saat refleksi dia mengungkapkan bahwa dia sudah meninggalkan kebiasaan tersebut meskipun tidak langsung meninggalkan tetapi sedikit-sedikit sampai pada akhirnya dia meninggalkan kebiasaan tersebut. Hal yang sangat mendasar dari kekeliruan masyarakat selama ini adalah mengartikan Taat sebagai Patuh. Ketaatan disamakan sebagai kepatuhan. Untuk mencapai ketaatan, seseorang seolah-olah harus mau tidak mau, suka tidak suka melakukan segala pekerjaan yang diperintahkan oleh orang lain yang berwenang. Salah kaprah ini kemudian membuat manusia membutuhkan banyak alasan untuk melaksanakan segala hal yang berhubungan dengan ketaatan. Padahal kodrat pertama sebagai makhluk adalah taat kepada Sang Pencipta. Kerap kali manusia melaksanakan salat lima waktu karena takut dosa dan akhirnya masuk ke dalam pintu neraka. Di samping itu, manusia mengharapkan kebahagiaan surga. Kepatuhan yang sudah mainstream di kalangan masyarakat membuat manusia berhenti pada capaian rutinitas ibadah semata. Hasilnya adalah melakukan ibadah tanpa kenikmatan rohani. Tingkatan ketaatan manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu 1 manusia yang melakukan sesuatu secara sukarela namun masih mengeluhkan beratnya; 2 manusia yang secara sukarela dan gembira setelah melakukan ketaatan; dan 3 manusia yang sudah tidak butuh konsep apapun untuk melaksanakan ketaatan. Tingkatan ketiga adalah golongan digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ➓ ➔ ➔ ikhlas, inilah yang telah menyatu dalam gelombang fitrah sebagai Makhluk Allah. Tanpa mengingat sebab-sebab pelaksanaan ketaatan, mereka adalah manusia yang tidak lagi memerlukan alasan untuk taat kepada Allah. 135 Ada tiga hal yang menjadi titik berat Maiyah, yakni: Ziro’ah menanam, Shoum puasa dan Sedekah. Manusia secara fitrahnya dianugerahi syahwat dalam dirinya, Islam memberikan pagar berupa Shoum puasa agar manusia terbiasa untuk mengatur dan mengontrol syahwat dalam dirinya. Syahwat dalam diri manusia bukanlah hal yang buruk secara hakikatnya, namun kemudian syhawat difahami dengan konotasi yang negative. Ppuasa mengajarkan manusia untuk mampu mengelola syahwat dalam dirinya. Maiyah adalah ajal. Dalam masyarakat modern ajal dimaknai sebagai saat ketika seseorang menemui kematian. Namun pada hakikatnya kata ajal berarti waktu yang tepat atau dalam bahasa ilmiah biasa disebut sebagai momentum. Momentum inilah yang menjadi pencarian dalam melakukan setiap tindakan. Cak Nun pernah mengatakan bahwa “Kekuatan kalah dengan kepandaian, kepandaian kalah dengan kecepatan, kecepatan kalah dengan momentum”. Tidak dipungkiri bahwa ketika kita memiliki momentum, hal yang kita lakukan akan berhasil maksimal. Dalam mengambil foto misalnya sangat dibutuhkan untuk menganalisisi momentum yang tepat untuk mendapatkan hasil jepretan yang bagus. → ➣ ↔ ↕ ➙➛ ➜➙➝ ➞➙ n ➟ ➠➙ n ➟ ➡➢ t ➙ n ➤➥➛ ➦ ➛ O ➧ ➨➩ ➠➢ ➫ ➥➢ ➭ ➟ ➙ ➭ ➨ ➢ ➯➙ T ➙➙ ➨ digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ➲ ➳➲ Jamaah maiyah pasti akan merasakan perubahan sikap ataupun hirarki berpikir setelah mengikuti maiyahan. Selepas bermandi cahaya dalam lingkaran maiyah pun biasanya Jamaah Maiyah mendapatkan penyelesaian masalah yang tepat terkait masalah pribadi yang dihadapi. Inilah yang dalam maiyah disebut sebagai ajal. Momentum untuk berhijarah secara personal. Momentum untuk mendapatkan satu kunci dalam kehidupan. Maiyah bagaikan pusaran cinta bagi setiap jamaah. Dalam ilmu kelautan, adanya pusaran menimbulkan semua benda yang berada di sekitar pusaran tertarik ke dalamnya. Lain halnya jika pusaran itu berbentuk cinta. Cinta adalah keindahan. Segala yang tertarik akan merasakan keindahan yang luar biasa sehingga mengalami keterbukaan hati dan pikiran. Efek yang terjadi adalah semakin tertatanya hati dan jernihnya pikiran. Perjalanan setiap individu yang terseret dalam pusaran cinta bukannya tidak berlandaskan apapun. Keterseratan itu oleh Allah dibukakan sedikit pintu hidayah. Yang terjadi kemudian adalah terbukanya ruang kesadaran dalam hati dan pikiran setiap individu. Inilah yang Cak Nun disebut dengan istilah “diperjalankan”. Diperjalankan berarti segala apa yang dilakukan berarti segala apa yang dilakukan berdasarkan kehendak Allah dan berasaskan kesadaran “wa ilaa rabbika farghob”. Seseorang yang berada dalam situasi diperjalankan tidak ada lagi kata mengeluh dalam hidupnya. Segala yang dilakukan memiliki landasan segitiga cinta. Allah, Rasulullah, dan Hamba. Selalu menyertakan Allah dan