Pendidikan humanis religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan di Surabaya.

(1)

PENDIDIKAN HUMANIS RELIGIUS DALAM KEGIATAN

MAIYAH BANGBANG WETAN DI SURABAYA

SKRIPSI

oleh:

Ainul Yaqin

(D01213005)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JULI 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi ABSTRAK

Yaqin, Ainul. D01213005 (2017). Pendidikan Humanis Religius Dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan di Surabaya. A thesis. Islamic Teacher Education Department, Faculty of Education and Teacher Training, State Islamic University Sunan Ampel Surabaya. Dr, Rubaidi, M.Ag and Drs. Sutikno, M.Pd.I.

Keyword: Education, Religion of humanist, Maiyah

The title of the research is “Pendidikan Humanis Religius Dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan di Surabaya”

In this research, there are three objectives discussed, namely 1) What are the values of religious humanist of education in the activity of Maiyah Bangbang Wetan ? 2) What are the way to deliver values of religious humanist of education in the activity of Maiyah Bangbang Wetan ? 3) What are the relevance between humanist religious of education and modern era education in the activity of Maiyah Bangbang Wetan?

This study is qualitative research. In order to achieve the purpose of this study, researcher conducted the research through field research. This research investigated some aspects; they are place, subject and activity. The techniques used in collecting the data are observations, interview and documentation and the techniques used to analyze the data are reduction, presents focused the data and interpret the result.

Based on the problem that explained above, the result of the study can be conclude that 1) There are values of religious humanist of education in the activity of Maiyah Bangbang Wetan, namely egalitarian, creative, faith and morals and nationalist values. 2) The way to deliver values of religious humanist of education in the activity of Maiyah Bangbang Wetan through dialogist and holistic approach. 3) The relevance between humanist religious of education and modern era education in the activity of Maiyah Bangbang Wetan is complete each other in three context, namely true, precious and good.


(7)

Ainul Yaqin, D01213005, 2017. Pendidikan Humanis Religius dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan di Surabaya, Skripsi, Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan keguruan. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Dr. Rubaidi, M.Ag dan Drs. Sutikno, M.Pd.I.

Kata kunci: pendidikan, humanis religius, maiyah

Penelitian ini dengan judul “Pendidikan Humanis Religius dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan di Surabaya”.

Dalam skripsi ini ada tiga hal yang dibahas yaitu: (1) Apasajakah nilai-nilai pendidikan humanis religius yang terdapat dalam kegiatan maiyah Bangbang Wetan? (2) Bagaimana penanaman nilai-nilai pendidikan humanis religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan? (3) Apasajakah relevansi pendidikan humanis religius dalam kegiatan Maiyah BangbangWetan dengan pendidikan era modern?.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sedangkan jenis dalam penelitian ini adalah Field Research. Peneliti meneliti aspek tempat, pelaku, aktifitas. Adapun teknik pengumpulan datanya melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data melalui reduksi, menyajikan data terfokus, dan memaknai temuan.

Berdasarkan masalah yang dipaparkan diatas, setelah dianalisi dan disimpulkan bahwa: (1) Terdapat nilai-nilai pendidikan humanis religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan yakni Nilai Egaliter, Nilai Kreatifitas, Nilai Aqidah dan Akhlaq, dan Nilai Nasionalisme. (2) penanaman pendidikan humanis religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan dilakukan dengan cara


(8)

viii

pendekatan dialogis dan holistik. (3) Relevansi Maiyah Bangbang Wetan dengan praktik pendidikan era modern adalah saling mekengkapi tiga konteks yakni benar, indah dan baik.


(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI...ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI...iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...iv

MOTTO...v

ABSTRAK...vi

PERSEMBAHAN...ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian... 7

D.Manfaat Penelitian ...7

E. Kajian Pustaka ...8

F. Definisi Operasional ...8

G.Metode Penelitian ...12


(10)

xv

2. Sasaran Penelitian ...13

3. Metode Pengumpulan Data ...13

H.Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II: PENDIDIKAN HUMANIS RELIGIUS SEBAGAI SEBUAH PARADIGMA A.Hakikat Manusia Dalam Perspektif Islam ... 16

1. Dimensi Fitrah Dalam Diri Manusia ... 20

2. Manusia Sebagai Abdullah ... 32

3. Manusia Sebagai Khalifatullah ... 35

B.Hakikat Pendidikan Humanis ... 39

1. Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi ... 40

2. Pendidikan Sebagai Aksi Budaya dan Pembebasan ... 43

3. Praksis Pendidikan yang Dialogis ... 51

C.Pendidikan Humanis Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam ... 55

1. Konsep Humanis Religius dalam Pendidikan Islam ... 62

2. Pendidikan Kontekstual Sebagai Orientasi Pendidikan Islam ...67

BAB III: METODE PENELITIAN A.Pendekatan dan Jenis Penelitian ...73

B.Sasaran Penelitian ...73

C.Tahap-tahap Penelitian ...74


(11)

E. Metode Pengumpulan Data ...75

F. Metode Analisis Data ...78

BAB IV: SEJARAH KEGIATAN MAIYAH BANGBANG WETAN A.Maiyah ...81

B.Sejarah Maiyah Bangbang Wetan ...82

C.Gambaran Umum Maiyah Bangbang Wetan ...86

D.Biografi Emha Ainun Nadjib Sebagai Pendiri Maiyah Bangbang Wetan ...89

BAB V: NILAI-NILAI DAN PENANAMAN PENDIDIKAN HUMANIS RELIGIUS DALAM KEGIATAN BANGBANG WETAN A.Nilai-nilai Pendidikan Humanis Religius Dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan ...97

1. Nilai Egaliter ...97

2. Nilai Aqidah dan Akhlaq ...98

3. Nilai Nasionalisme ...103

4. Nilai Kreatifitas ...107

B.Penanaman Nilai-nilai PendidikanHumanis Religius Dalam Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan ...113

1. Pendekatan Dialogis dan Holistik ...113

C.Relevansi Pendidikan Humanis Religius Dalam Kegiatan Bangbang Wetan dengan Pendidikan Era Modern ...116

BAB IV: PENUTUP A. Kesimpulan ...128


(12)

xvii

B. Saran ...129 DAFTAR PUSTAKA


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak hanya sebagai makhluk yang berbadan dan berjiwa. Maka dari itu, dalam ranah pendidikan kita perlu mengusahakan agar peserta didik dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan emosional: cipta, rasa, dan karsa; sadar, mengerti, merasa, dan menghendaki, tetapi juga menjadi mampu mencintai sesama dan berbakti kepada Allah. Bermodal kecakapan-kecakapan seperti ini, manusia mampu melakukan karya atau kegiatan-kegiatan yang mengatasi makhluk-makhluk lainnya, seperti kegiatan berbahasa baik lisan maupun tertulis, berhitung, berkesenian, berilmu, bekerja, beriman, dan bertakwa kepada Allah.

Kemampuan-kemampuan tersebut mesti diperhatikan dan

ditumbuhkembangkan dalam pendidikan1

Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, pengangkatan manusia ke taraf insani. Didalamnya pembelajaran merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan, dan disempurnakan. Artinya, pendidikan adalah usaha membawa manusia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir actual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).2

Hakikat pendidikan sebagai proses pemanusiaan manusia (humanisasi) sering tidak terwujud karena terjebak pada penghancuran nilai kemanusiaan (dehumanisasi).3 Karena dehumanisasi adalah pembengkokan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh, cepat

1Abdul Khobir, Hakikat Manusia Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan (Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam) , Forum Tarbiyah Vol. 8, no. 1, Juni 2010, hal. 11.

2Arbayah, Model Pembelajaran Humanistik ,Dinamika Ilmu, Vol. 13. No. 2 Desember 2013, hal.

206

3Paulo Freire,Pedagogy of the Oppressed, terj. Myra Bergman ramos (New York: Penguin Books,


(14)

2

atau lambat kaum tertindas akan bangkit berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya.4 Agar perjuangan ini bermakna, kaum tertindas jangan sampai, dalam mengusahakan memperoleh kembali kemanusiaan mereka, berubah menjadi penindas kaum tertindas, melainkan musti memanusiakan kembali keduanya.

System pendidikan yang dianut suatu bangsa akan mencerminkan mentalitas dan perilaku para pengambil kebijakannya. Dunia pendidikan di Indonesia sedang mengalami krisis yang serius. Krisis ini tidak hanya disebabkan oleh kurangnya anggaran pemerintah, tetapi juga lemahnya para ahli, visi serta politik nasional yang kurang jelas. Sekarang pendidikan sudah tereduksi menjadi pengajaran, dimana para guru hanya mengajar didalam kelas, para murid hanya berkutat didalam kelas, tanpa pernah menemukan bakat mereka. Kegiatan guru mengajar muridnya dengan target kurikulum dan mengejar nilai ujian akhir dan guru kurang memberikan tekanan pada pendidikan karakter. Kegiatan dikelas hanya proses transfer of knowledge dan tempat indoktrinalisasi Akibatnya para murid mental akademik dan kemandirian belum terbentuk.

Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetap lebih daripada mentransfer nilai, pembentukan kesadaran dan kepribadisan anak didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu yang dimiliki. Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dari dehumanisasi pendidikan.5 Selain itu pendidikan merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya.6

4Paulo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat Pendidikan ,(Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 1999), hal. 435.

5Paulo Freire, Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaandan Pembebasan , terj. Agung

Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar & READ, 2002) hal. 190.

6Muh. Idris, Konsep Pendidikan Humanis Dalam Pengembangan Pendidikan Islam , Miqot Vol.


(15)

3

Orientasi pendidikan tradisional memberikan status siswa harus siap digembleng, dibina, seterusnya. Lewat kegiatan yang telah disusunnya oleh pendidik atau guru, siswa tidak perlu ikut campur tangan dalam proses pendidikan itu. Akibatnya, tidak jarang kegiatan pendidikan tersebut menyebabkan siswa sudah dibudayakan sebagai objek, maka hasil pendidikan dengan orientasi seperti itu akan menciptakan lulusan yang bersifat pasif dan memiliki sifat ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain.7

System pendidikan yang seperti ini menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut dari realitas dunianya sendiri dan realitas sekitarnya, karena guru mendidik mereka menjadi orang lain dan bukan dirinya sendiri. Akhirnya pendidikan bukan menjadi sarana untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi anak didik tetapi menjadikan mereka sebagai manusia-manusia yang siap dicetak untuk kepentingan tertentu. Lebh ironis, ketika pendidikan dijadikan sebagai sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan politik status quo,

bukan sebagai kekuatan penggugah.8

Salah satu kritik paling tajam mengenai pendidikan datang dari Paulo Freire. Menurut Freire, pendidikan semacam aktivitas menabung dimana peserta didik duduk sebagai tabungan dan pendidik sebagai penabung. Pendidik memberikan pengajaran seperti tabungan yang kemudian diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh peserta didiknya. Kendati memiliki kemampuan menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan, peserta didik sendiri yang akan disimpan, karena miskin kreativitas dan daya transformasi realitas yang dihadapinya.9Inilah yang disebut Freire sebagai kebudayaan bisu (the culture of silence)

7Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan menuju Civil Society , (Yogyakarta: Bigraf

Publishing, 2001), hal. Viii.

8Mansour Fakih dkk, Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis , (Yogyakarta, Insist:

2001), hal. 42.

9Paulo Freire, Pendidikan Alat Perlawanan : Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire , (Magelang:


(16)

4

Keberadaan manusia di dunia ini bukan kemauan sendiri, atau hasil proses evolusi alami, melainkan kehendak Yang Maha Kuasa Allah Swt. Dengan demikian manusia tidak bisa lepas dari ketentuan-Nya. Dan sebagai makhluk, manusia berada pada posisi lemah (terbatas) dalam arti tidak bisa menolak, menentang, atau merekayasa yang sudah dipastikan-Nya.10

Islam sebagai ajaran suci sangat memperhatikan kearifan kemanusiaan sepanjang zaman. Ajaran Islam memberikan perlindungan dan jaminan nilai-nilai kemanusiaan kepada semua umat. Setiap muslim dituntut mengakui, memelihara, menetapkan kehormatan diri orang lain. Tuntutan ini merupakan cara mewujudkan sisi kemanusiaan manusia yang menjadi tugas pokok dalam membentuk dan melangsunhgkan hidup umat manusia.11

Konsep manusia dalam pendidikan Islam mengacu pada pembentukan karakter manusia yang memiliki kesempurnaan akhlaq al-karimah, karena Nabi sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Konsep manusia dalam pendidikan Islam cenderung dominan nuansa normatifnya dan kurang memberikan perhatian terhadap dimensi kesadaran historisitas dan critical consciousness peserta didik yang mampu memahami struktur terdalam dari realitas yang terkontruksi lewat pertarungan antar pelbagai macam kepentingan. Disinilah perlunya menginporasi pendidikan kritis agar konsep manusia dalam pendidikan Islam tidak hanya menekankan aspek religious-normatif, tapi juga aspek kesadaran kritis mereka sehingga mampu mengenali, memahami, dan mentransformasi realitas eksistensial mereka dan mampu mengatasi situasi-batas (limit-situation) dan aksi-batas (limit-action) mereka. Situasi batas adalah situasi sosial yang menghambat atau kurang memberikan ruang bagi peserta didik untuk berkembang dan memaksimalkan potensi

10Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam , (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2012), hal. 65.


(17)

5

kemanusiaan mereka. Aksi batas adalah keterbatasan peserta didik untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka melampaui situasi-batas mereka. Proses edukasi dan pedagogi adalah proses untuk membantu peserta didik mentransendensi situasi-batas dan aksi-batas mereka.12

Dengan demikian,pendidikan Islam yang baik, tidak saja memberi manfaat bagi yang bersangkutan, akan tetapi membawa keuntungan dan manfaat terhadap masyarakat lingkungannya bahkan masyarakat ramai dan umat manusia. Pendidikan Islam tidak hanya terfokus pada aspek normative saja, tetapi pendidikan Islam juga terkait dengan keadaan kontekstual yang terjadi di masyarakat.

Walaupun didalam realitas pendidikan yang ada, masih ada beberapa lembaga pendidikan yang belum menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia seperti telah dijelaskan diatas, ternyata peneliti menjumpai sebuah kegiatan yang bernama Maiyah Bangbang Wetan, yang menurut peneliti didalamnya terdapat aspek-aspek humanis religious. Acara tersebut dipelopori oleh Emha Ainun Nadjib atau dipanggil Cak Nun yang dikenal sebagai tokoh budayawan Indonesia.

Berbicara mengenai Maiyah Bangbang Wetan memang tidak lepas dari sosok Emha Ainun Nadjib sebagai pendiri kegiatan Maiyah Bangbang Wetan. Bangbang Wetan sendiri adalah bentuk dialogis persuasive Emha Ainun Nadjib dengan masyarakat umum sebagai sarana dalam penyampaian gagasan dan refleksi spriritual dan soaial. Maiyah masih dinilai mampu memberi pedoman bertingkah laku secara religious. Memberikan pegangan hidup dalam pengendalian sosial, serta mampu menjaga keutuhan masyarakat.

Maiyah Bangbang Wetan ini rutin digelas sehari sesudah Maiyah Padhang Bulan di Jombang yang bertepatan pada waktu bulan purnama setiap bulannya. Banyak yang hadir dalam acara tersebut, mulai dari pelajar sekolah, mahasiswa, pedagang, pengusaha, pejabat, mulai dari 12M. Agus Nuryano, Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan


(18)

6

yang beragama islam maupun agama yang lainnya. Narasumber yang didatangkan dalam acara ini beragam dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh agama, organisasi masyarakat, LSM, pejabat, mahasiswa, bahkan sampai pengamen, kalangan marjinal dari jalanan dan sebagainya. Jamaah yang datang tidak dikhususkan dari golongan tertentu, tetapi dari semua golongan. Kegiatan Maiyah Bangbang Wetan sendiri diadakan di komplek halaman gedung Cak Durasim, terkadang di Balai Pemuda Surabaya ini tidak pernah sepi dari jamaah yang hadir. Kegiatan ini mungkin bisa dibilang sebagai pengajian, tetapi standar pengajian tidak benar-benar dominan. Sebab didalamnya lebih banyak mengajarkan semangat hidup, dialog yang mengundang sikap kritis, ke-Indonesia-an, sikap hidup toleran dan hidup bersama dalam kebaikan. Jamaah Maiyah tidak identic dengan sekumpulan orang Islam saja dan bukan hanya orang Jawa saja, tetapi dari berbagai ras, agama, suku dan budaya, dari dalam maupun luar negeri dan lain-lain. Nuansanya sangat berbudaya dan tidak menjadi sinkretisme.

Berbagai ilmu pengetahuan sering dibahas dengan suasana harmonis, karena sering melakukan dialog antara narasumber yang didatangkan dengan jamaah Maiyah Bangbang Wetan. Selain itu, pembahasan yang ada membicarakan kenyataan yang terjadi disekeliling masyarakat dan kehidupan sehari-hari, membuat jamaah yang hadir lebih bisa memahami kenyataan yang ada. Cak Nun dan narasumber lain sering menghadirkan pertanyaan-pertanyaan kepada jamaah Maiyah tentang pembahasan yang dilakukan dengan cara memancing sikap kritis para jamaah Maiyah yang hadir. Dengan demikian jamaah mempunyai sikap kritis didalam kehidupan sehari-hari. Terkadang acara Bangbang Wetan diselingi dengan alunan music dari grup Kiai Kanjeng ataupun grup yang lainnya, membuat acara Bangbang Wetan menjadi cair.

Berdasarkan latar belakang di atas dan juga permasalahan yang ada dalam dunia pendidikan, peneliti ingin meneliti tentang pentingnya pendidikan humanis religius yang ada pada kegiatan Maiyah Bangbang Wetan.


(19)

7

Dengan adanya kegiatan Maiyah Bangbang Wetan yang didalamnya terdapat nilai sosial-budaya dan kultural-religius dalam kegiatan yang mencerahkan, yang membuat orang dari berbagai kalangan antusias untuk datang dalam acara Bangbang Wetan. Membuat peneliti tertarik meneliti mengenai nilai-nilai Pendidikan Humanis Religius yang terdapat pada kegiatan Maiyah Bangbang Wetan dan juga cara penanaman nilai-nilai humanis-religius dalam kegiatan tersebut.

Maka dari itu, penulis memilih judul “Pendidikan Humanis -Religius dalam Kegiatan Bangbang Wetan di Surabaya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapatlah dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apasajakah nilai-nilai pendidikan humanis-religius yang terdapat dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan?

2. Bagaimana penanaman nilai-nilai pendidikan humanis-religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan?

3. Apasajakah relevansi pendidikan humanis-religius kegiatan Bangbang Wetan dengan pendidikan era modern?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan humanis-religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan.

2. Untuk menjelaskan penanaman nilai-nilai pendidikan humanis-religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan.

3. Untuk mengetahui relevansi pendidikan humanis-religius dalam kegiatan Bangbang Wetan dengan pendidikan era modern.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam pembahasan ini adalah :

a. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang membangun bagi pendidikan agama Islam di Indonesia dalam menghadapi arus globalisasi di era modern.


(20)

8

b. Secara Praktis, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang berguna, baik para pendidik maupun orang yang mempunyai perhatian terhadap pendidikan betapa pentingnya humanisasi (memanusiakan manusia)

c. Memberikan gambaran mengenai penerapan nilai pendidikan humanis-religius sebagai upaya pembentukan karakter bangsa.

d. Menambah khazanah keilmuan tentang Pendidikan Islam yang mengacu pada realita sebenarnya.

E. Kajian Pustaka

Dari hasil penelusuran literature, penulis menemukan karya tulis dan hasil penelitian yang terkait dengan topic yang penulis bahas dalam skripsi ini, yaitu:

Penelitian Skripsi saudara Abdul Rasyid prodi Pendidikan Agama Islam, UIN Sunan Ampel, Tahun 2011. Yang berjudul “Aktualisasi Humanisme Dalam Pendidikan Islam” (Studi Komparatif Pemikiran Ali Syari’ati dengan Abdurrahman Mas’ud. Skripsi tersebut berisi tentang aktualisasi pemikiran dua tokoh, yaitu Ali Syari’ati dan Abdurrahman Mas’ud.

F. Definisi Operasional 1. Pendidikan Humanis

Secara etimologis istilah humanism berasal dari kata Latin klasik, yakni humus yang berarti tanah atau bumi. Istilah itu muncul kata homo yang berarti manusia (mankhluk bumi) dan humanus yang lebih menujukan sifat “membumi” dan “manusiawi”. Istilah senada dengan kata itu humilis yang berarti “kesederhanaan” dan “kerendahan hati”.13

Perspektif etimologis dan historis makna humanisme diatas menunjukan inti persoalannya adalah (humanus) itu menjadi manusiawi (humanismus) melalui pihak-pihak yang bertanggung 13Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora Relevansinya Bagi Pendidikan , (Yogyakarta:


(21)

9

jawab dalam proses pembentukannya (humanista). Ada tiga istilah yang saling kait mengait,yaknihumanus, humanismus, dan humanista. Pandangan ini maknanya manusia membentuk kemanusiaanya yang lebih manusiawi agar menjadi manusia. Maksudnya kepada kodrat manusia itu sendiri yang memiliki kebebasan yang bertanggung jawab.

Secara historis, humanisme merupakan gerakan para kaum umanisti (para penerjemah literature klasik dan guru-guru/profesor professor) untuk kembali bersandar pada visi humanisme Yunani klasik yakni paideia. Jadi kata lain, akar sejarah humanism adalah paideia. Paideia merupakan usaha membingkai segala maksud dan usaha manusia dalam rangka merengkuh cita-cita manusia ideal sebagai makhluk individual dan sosial.14

Freire mengembangkan konsep pendidikannya bertolak dari pandangannya tentang manusia dan dunia. Kodrat manusia, menurut Freire, tidak saja berada dalam dunia, namun berada dengan dunia. Manusia tidak hanya hidup di dunia tetapi hidup dan berinteraksi dengan dunia. Situasi ini mengandaikan bahwa manusia perlu sikap orientatif. Orientasi merupakan usaha pengembangan bahasa pikiran (thought-language). Artinya manusia tidak hanya sanggup, namun juga mengerti dan untuk kemudian merubah realitas.15 Teori pendidikannya didasarkan pada keyakinan yang tinggi terhadap manusia. Freire menolak bahwa manusia itu bagaikan bejana kosong. Baginya setiap individu mempunyai pengetahuan dan pendapat yang bernilai.16

Terdapat tujuh hal penting dalam humanism menurut Ali Syari’ati adalah sebagai berikut:

1) Manusia adalah makhluk yang asli

14 Mumpurniati, Perspektif Humanis Religius dalam Pendidikan Inklusif , Jurnal Pendidikan

Khusus Vol. 7 No.2. Nopember 2010, hal. 23.

15Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire ,

(Magelang: CV. Langit Aksara, 2006), hal. 7.


(22)

10

2) Manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, dan ini merupakan kekuatan paling besar luar biasa

3) Manusia adalah makhluk sadar (berfikir), dan ini merupakan karakteristik menonjolnya

4) Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya 5) Manusia adalah makhluk yang kreatif

6) Manusia adalah makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal

7) Manusia adalah makhluk bermoral.17

Aplikasi dari teori humanistik belajar adalah menekankan pentingnya isi dari proses belajar bersifat eklektik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistic dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkann pengalaman, serta menumbuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan dalam proses diskusi, membahasa materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatnya masing-masing di depan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan.18

Dengan demikian pendidikan humanis memandang manusia sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanis diharapkan bisa berfikir, merasa, berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistic, egoistic, egosentrik, dengan sifat kasih sayang sesame manusia, sifat ingin

17Ali Syari ati, Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat , (Bandung: Pustaka Hidayah,

1996),hal. 47-48.


(23)

11

memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, dan lain sebagainya.19

2. Pendidikan Humanis Religius

Paradigma humanis religius dalam praktik endidikan Islam mempunyai maksud bahwa pendidikan adalah proses pemekaran potensi-potensi bawaan dari manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi terhadap lingkungan dan manusia sebagai hamba yang mengabdi kepada Allah yang diberi mandat untuk menjadi rahmatan lil alamin. Abdurahman Mas’ud menjelaskan bahwa humanism religius merupakan sebuah konsep keagamaan yang menempatkan manusia sebagai manusia, serta upaya humanism ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab atas hablun minallah dan hablun minan-nas.20

Humanism dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal ini mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an memandang manusia sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan ke-khalifah-annya Allah telah melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia memiliki kapasitas kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasan merupakan pemberian Allah yang paling penting dalam upaya mewujudkan fungsi kekhalifahannya.21

Sementara itu pendidikan humanis religius yang dilakukan Emha Ainun Nadjib mempunyai corak berbeda, yakni melalui gerakan kultural. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Emha yang ada di Surabaya,

19Muh. Idris, Konsep Pendidikan Humanis Dalam Pengembangan Pendidikan Islam , hal. 432. 20Abdurrahman Mas ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam , (Yogyakarta: Gama Media, 2007), hal. 114.

21Hassan Hanafi dkk, Islam dan Humanisme:Aktualisasi Humanisme di Tengah Krisis Humanisme Universal , (Semarang: IAIN Walisongo, 2007), IX.


(24)

12

yakni Maiyah Bangbang Wetan merupakan kegiatan keliling yang diadakan oleh Emha sehari setelah kegiatan Maiyah Padhang Bulan di Jombang yang dilaksanakan pada malam bulan purnama. Seperti kegiatan Maiyah yang lainnya, Bangbang Wetan Sendiri banyak dihadiri para jamaah. Jamaah yang hadir berasal dari etnik berbeda. Kegiatan Maiyah meliputi keagamaan, sosial, multicultural, politik, dan sebagainya.

Dengan demikian rumusan pendidikan humanis religius adalah prinsip dari pendidikan Islam mempunyai makna yang sesungguhnya. Artinya, pendidikan Islam memperhatikan manusia seutuhnya, baik jasmani maupun rohani. Tidak ada perbedaan antara kompenen satu dengan yang lainnya, karena semua adalah sama.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yang bersifat kualitatif. Yakni, untuk mengamati jalannya kegiatan Maiyah Bangbang Wetan yang dilaksanakan di halaman Gedung Cak Durasim, Surabaya. Sesuai pandangan Lexy J. Moleong bahwa metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang memahami fenomena sosial melalui gambaran holistic dan memperbanyak pemahaman mendalam.22 Sedangkan Haris Herdiansyah memandang bahwa metode kualitatif penelitian ilmiah yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.23 Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi untuk memahami dan menafsirkan nilai-nilai dan penerapan pendidikan humanis-religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan.

22Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009),

hal. 31.

23Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial , (Jakarta Selatan:


(25)

13

2. Sasaran Penelitian

Dalam penelitian ini yang dijadikan sasaran penelitian adalah: a. Emha Ainun Nadjib sebagai pendiri kegiatan Maiyah

Bangbang Wetan.

b. Pengurus Manajemen Maiyah Bangbang Wetan

c. Keluarga Maiyah Bangbang Wetan, sebagai organisasi dari jamaah Maiyah yang membantu pelaksanaan kegiatan Maiyah Bangbang Wetan.

d. Jamaah Maiyah, sebagai pelaku kegiatan Maiyah Bangbang Wetan

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan tema penelitian digunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Metode Observasi

Observasi atau pengamatan, secara singkat dapat diartikan sebagai “pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala pada obyek penelitian”.24

Dalam pelaksanaannya peneliti terlibat dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan untuk memperoleh data yang lengkap mengenai pendidikan humanis religius

b. Metode Wawancara

Wawancara adalah mekanisme pengumpulan data yang dilakukan memalui kontak atau hubungan pribadi (individual) dalam bentuk tatap muka (face to face relationship) antara pengumpul data dengan responden.25

24Hadari Nawawi dan Martinihadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial ,(Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1995), hal. 77.


(26)

14

Dalam pelaksanaannya menggunakan wawancara

terstruktur untuk memperoleh datanya dan hanya menanyakan garis besar dari pendidikan humanis religius yang ada di dalam Maiyah Bangbang Wetan.

Wawancara dilakukan dengan Emha Ainun Nadjib selaku pendiri dan pelaksana kegiatan Maiyah Bangbang Wetan. Opsi kedua adalah wawancara dengan Progres Management sebagai sumber yang mengetahui Maiyah Bangbang Wetan, karena kesibukan dari Emha yang sangat padat dan sulit ditemui. c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi yaitu studi dokumen berupa data tertulis mengandung keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang masih actual.26

Dalam pelaksaannya, dokumentasi yang digunakan adalah arsip dokumen acara, mulai dari foto, tulisan yang berhubungan dengan Maiyah Bangbang Wetan, buku Emha Ainun Nadjib, bulletin, surat kabar, internet.

d. Metode Analisis Data

Analisis kualitatif merupakan analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan sematik antar masalah penelitian. Analisis kualitatif dilaksanakan dengan tujuan agar peneliti mendapatkan makna data untuk menjawab penelitian. Oleh karena itu, dalam analisis kualitatif data-data yang terkumpul perlu disistematisasikan, distrukturkan, disemantikan, dan disintesiskan agar memiliki makna yang utuh.27

Berdasarkan teori tersebut, maka langkah-langkah analisis datanya adalah sebagai berikut:

1) Mengorganisasikan data. 2) Membuat kategori.

26Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah ,(Jakarta: Logos, 1997), hal. 77. 27Kusaeri, Metodologi Penelitian , (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hal. 208.


(27)

15

3) Mereduksi data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting. Dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.

4) Menyajikan data terfokus. 5) Menganalisis data.

6) Memaknai temuan penelitian.28

H. Sistematika Pembahasan

Dalam setiap pembahasan suatau masalah, sistematika pembahasan merupakan suatu aspek yang sangat penting, karena sistematika pembahasan ini dimaksudkan untuk mempermudah bagi pembaca dalam mengetahui pembahasan yang terkandung di dalam skripsi.

Bab pertama pendahuluan, dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan secara umum dan menyeluruh tentang skripsi ini, yang dimulai dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, batasan massalah, kajian terdahulu, metode penelitian, sitematika pembahasan.

Bab kedua kajian teoritik. Dalam bab ini dibahasa tentang teori pendidikan humanis religius. Adapun kajian pada bab ini mencakup: teori manusia dalam perspektif Islam, teori pendidikan humanis, teori pendidikan humanis religius.

Bab ketiga, berisi tentang, gambaran umum kegiatan Maiyah Bangbang Wetan, biografi singkat Emha Ainun Nadjib sebagai pendiri Maiyah Bangbang Wetan

Bab keempat, berisi tentang nilai-nilai pendidikan humanis religius dalam kegiatan Maiyah Bangbang Wetan dan relevansinya dengan pendidikan era modern.

Bab kelima, berisi tentang kesimpulan dan saran


(28)

16

BAB II

PENDIDIKAN HUMANIS RELIGIUS SEBAGAI SEBUAH PARADIGMA

A. Hakikat Manusia Dalam Perspektif Islam

Konsep manusia selalu menjadi titik perhatian yang rumit, baik dalam penelahan filsafat maupun ilmu pada umumnya. Intinya, ada dua sudut pandang yang berbeda ketika melihat manusia: pertama, memandang manusia dari sudut esensinya. Kedua, memandang manusia dari sudut eksistensinya. Melepaskan salah satu dari pandangan itu – dalam Ilmu Pendidikan Islam – kurang memberikan nuansa utuh dan kreatif.

Pandangan esensial mengkaji hakikat manusia dari sudut pandang yang amat dalam, yakni dari sudut –pra- ada. Sedangkan pandangan eksistensial, mengkaji hakikat manusia dalam kaitannya dengan kemampuan hidup yang dialami di tengah-tengah lingkungan yang kompleks.29

Allah menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, manusia dikaruniai akal, pikiran, cipta, rasa, karsa. Dari berbagai kelebihan yang dimiliki oleh manusia inilah, maka manusia menjadi raja di raja di muka bumi ini. Alam ini diciptakan untuk manusia, maka segala sesuatu yang ada disekitar manusia menjadi

29J

✁ ✂✄☎ ✆✝ ✞✟✄ ✠ ✡ ☛☞✌☛✍ ✎ ✏✑ ✎✒ ✎ ✓✔ ☛✕✍ ✖ ✍✖ ✗ ✎✕✘ ✙✒ ✎☞ ✠✚C✄ ✝ ✛✜ ✞✢✠☎✣AIN C✄ ✝ ✛✜ ✞✢✤✝ ✛✥✥✠ 2005✦✠ ✆ ✂✧★ ✩6


(29)

17

obyek kajian manusia mulai dari lingkungan alam, hewan dan sebagainya.30

Pembahasan tentang hakikat manusia merupakan tema sentral kajian yang belum terjawab secara tuntas. Seluruh kandungan Al-Qur’an, baik yang berrbicara masalah alam nyata maupun gaib, semuanya mengarah kepada pembicaraan manusia. Oleh karena itu ia dikategorikan sebagai kitab manusia, karena seluruh kandungannya berbicara tetang dan dengan sesuatu yang berkolerasi dengan manusia. Dengan demikian manusia akan menjadi sumber sejarah yang bergerak menuju suatu tujuan, dan tujuan tersebut berada dihadapannya. Tujuan dan masa depan manusia harus tergambar dalam benaknya, dan benak inilah yang dikategorikan sebagai ideology, dan ideology adalah

weltanschauungyang dapat menjelaskan realitas dan cara pandang dalam perspektif tertentu, yang salah satu dari inti kodratnya adalah amanah. Oleh karena itu manusia dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu homo laquens (berkomunikasi), homo sosialis

(bermasyarakat), homo economicus (memenuhi kebutuhan), homo

delegens (tidak sendirian), homo legatus (berbudaya), homo

religious (percaya kekuatan gaib), homo educandum (didik-mendidik) serta homosapiens(berpikir), disamping itu ada sisi lain yang juga tidak dapat dipisahkan antara lain, manusia sering

30A


(30)

18

melakukan konflik, ego, anarkis dan bertindak tanpa pertimbangan.31

Keunikan tersebut menjadikan bahan perdebatan yang tidak kunjung usai, bahkan sejak pra-kejadiannya, yaitu ketika Allah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah, para malaikat memprotes dengan nada pesimis, mereka khawatir keberadaanya akan berbuat desdruktif di bumi, bersikap skeptic atas kemampuannya dan akan menunjukkan egonya sebagai makhluk yang disakralkan Allah.32

Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan itegritas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadari bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi manusia sebagai subyek yang sadar mengembangkan diri sendiri.33

Untuk dapat memahami tentang hakikat manusia dalam al-Quran, kita dapat menelusuri dahulu beberapa istilah yang digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk manusia.

31M

❈❉ ❊❋❊●❍ ■ ❏ ❑▲▼ ◆▼ ◆ ❖ P ▲◗ P❘ P❙❏❑❚❯❱❑❖ ❲◆ ❳❨❘-Qur an Integrasi Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani ■❩M❍ ❬❭❪❫: ❴❵❛ ❋❪❬❪❭ ❜❪■ 2005❝■❞❪ ❡❈31❢32❈

32Op. cit.,

33Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila , (Surabaya: Usaha Nasional, 1986) hal. 153.


(31)

19

Ada tiga istilah kunci yang digunakan al-Qur’an untuk

menunjuk manusia, yaitu al-insan, al-basyar, dan an-nas. Kata insan berasal dari kata al-ins atau annisa, yang dalam bentuk jamaknya adalahanasiy, nas, unasi insiyyu, yang berarti jinak atau lunak. Akan tetapi, dalam al-Qur’an kata-kata tersebut selalu disebut dengan kata al-jin –kata yang merupakan lawan- yang berarti buas.34

Dari pengertian tersebut diatas dapat diperoleh pengertian, bahwa manusia pada dasarnya adalah jinak, dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia memiliki kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan social maupun perubahan alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makluk yang berbudaya. Manusia tidak liar, baik secara social maupun alamiah.35

Dalam pada itu dari kalangan pemikiran di abad modern, pembahasan manusia juga dijumpai. Alexis Carrel seorang peletak dasar-dasar humaniora di Barat, misalnya, ,mengatakan bahwasannya manusia adalah makhluk misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya. Pendapat ini menunjukksn tentang betapa sulitnya 34A

❣❤✐❥❦ N❧♠❧♥ ♦ ♣ qrs ts ✉✈✇① ② ♣②♣③s ①④r qs ⑤ ♥⑥J❧⑦ ❧⑧ ♠❧: L⑨⑩ ⑨❶❷ ❧❸ ❧ I❹ ❺ ❤♥ 1997❻ ♥❼ ❧❹ ❽30❽

35I


(32)

20

memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh. Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari suatu aspek yang lainnya yang belum ia bahas.36

Dengan demikian manusia merupakan makhluk ciptaan Allah paling sempurna dan dijadikan oleh Allah sebagai khalifah dimuka bumi. Manusia diberi akal oleh Allah untuk mengembangkan diri sendiri melalui proses pendidikan. Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada dalam kehidupannya, baik secara social maupun secara alamiah.

1. Dimensi Fitrah Dalam Diri Manusia

Pembahasan tentang manusia dalam proses pendidikan secara otomatis membahas fitrah-nya yang menjadi landasan proses pendidikan dan acuan dalam perencanaan, karena pendidikan harus selaras dengannya sehingga tidak terjadi pelanggaran hak yang merefleksikan kontradiksi denganfitrahmanusia.37

Kata fitrah berasal dari bahasa Arab fithrah (jamak berupa

fitharun) yang berarti ciptaan dan buatan yang tidak pernah ada sebelumnya, atau berarti sifat pembawaan yang ada sejak lahir, atau berarti sifat alami manusia (human nature), atau berarti

36I

❾❿ ➀➁➂➃29

37M


(33)

21

agama, dan juga berarti sunnah. Perlu ditambahkan disini bahwa kata fithrah tersebut adalah kata benda abstrak (isim masdar) dari kata kerja fathara yang berarti telah menjadikan. Hasan Langgulung berpendapat bahwa yang dimaksud fitrah adalah potensi yang baik.38

Kata fathara disebut dalam Al-Qur’an dan hadis sebagai

berikut:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama

(Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi

kebanyakan manusia tidak mengerti.” (QS. Al-Rum (30): 30)

“tidaklah anak dilahirkan itu kecuali telah membawafitah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak

tersebut beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Muslim)

Dari terjemahan ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut diatas

jelaslah bahwa manusia lahir sudah membawa fitrah. Menurut Al-Ghazali fitrah adalah sifat dasar manusia yang dibawa sejak lahir dan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:

38H


(34)

22

1. Beriman kepada Allah.

2. Berkemampuan dan bersedia untuk menerima kebaikan dan keturunan atas dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran.

3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya berpikir.

4. Dorongan biologis yang berupa syahwat (sensual pleasure),

ghadhab (rasa marah), dan tabiat (insting).

5. Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangankan dan dapat disempurnakan.39

Pengaruh dari luar diri manusia terhadap fitrah yang memiliki kecenderungan untuk berubah sejalan dengan pengaruh tersebut dapat disimpulkan dari interpretasi atas kata fitrah yang disebutkan dalam sabda nabi Muhammad SAW diatas.40Atas dasar sabda nabi Muhammad diatas, fitrah sebagai factor pembawaan sejak lahir manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar dirinya, bahkan ia tak akan dapat berkembang sama sekali bila tanpa ada adanya pengaruh lingkungan. Sedangkan lingkungan itu sendiri juga dapat diubah bila tidak menyenangkan karena tidak sesuai dengan cita-cita manusia

39A

➪➶➹H➘➴➷ ➬➶➘➮ K➷➱ ➘✃ A✃➘❐ ❒❮➴➘❰ Ï ÐÑ ÒÓ ÔÓ ÕÖ ×Ø Ù Ð Ù ÐÚÓ ØÛÒÑ Ó Ü ❰ÝJ➘Þ ➘➴ ❮➘: AMßAH❰ 2012à ❰✃➘á ➹â ã ä52➹

40M


(35)

23

Hakikat fitrah manusia adalah sebagian sifat-sifat ketuhanan (potensi/fitrah) yang harus ditumbuhkembangkan secara terpadu oleh manusia dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam kegiatan individu maupun sosialnya, karena kemuliaan seseorang di sisi Allah lebih ditentukan oleh sejauh mana kualitas yang ada dalam diri manusia dikembangkan sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan tersebut, bukan dari segi materi, fisik, atau jasadnya.41

Dalam konteks pendidikan, kata fitrah yang ada dalam hadis Nabi, sering diidentikan dengan teori tabula rasa. Dalam pandangan teori kenetralan modal dasar diarahkan proses atau upaya pembelajaran dan subyek didiknya. Kenetralan tersebut dikategorikan fitrah, dengan arti ia telah terisi dan terwarnai potensi kesucian, bukan berarti tidak berwarna sehingga tergantung pewarnanya. Pewarna dalam pandangan Islam dikategorikan sebagai factor eksternal. Ia mempunyai pengaruh sekunder terhadap potensi dasarnya. Tetapi ia bukan pembawaan (fitrah).42

Manusia adalah makhluk alternative dan makhluk eksploratif. Sebagai makhluk alternative, manusia memiliki kemampuan memilih, dan mempunyai kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Namun, kemampuan itu tergantung pada kondisi seperti

41A

èéêëKìíèî ïð Hñò î òñó Mñôêõî ñðìñëö12

42M


(36)

24

usia, pengalaman, keturunan, pendidikan, dan lain-lainnya. Sedangkan sebagai makhluk eksploratif, manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan.43

Manusia juga memiliki potensi mental yang memberi peluang baginya unutk meningkatkan kualitas sumber daya insaninya. Lebih dari itu, manusia memiliki pula kemampuan untuk menghayati berbagai masalah yang bersifat abstrak seperti simbol-simbol, ucapan dan ungkapan hingga kepada pengenalan terhadap penciptanya. Potensi tersebut seluruhnya dinilai sebagai pengarahan penciptanya agar manusia mampu menjalani perannya sebagai pengabdi Allah, dalam pola dan perilaku yang benar.44

Secara garis besarnya potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu:

1. Potensi Naluriah

Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Diantara dorongan tersebut adalah berupa insting untuk memelihara diri, seperti makan, minum, penyesuaian tubuh terhadap lingkungan dan sebagainya. Dorongan ini berguna bagi manusia agar eksistensinya terjaga supaya tetap hidup. 43J

ÿÿ✁✂✄☎✂ÿ☎✆✝✞ÿ☎✟ÿ ✄ ✂✠ ✡ ☛ ☞ ✌✍✎ ✍✏✑ ✒✓✔ ☛✔ ☛ ✕ ✍ ✓✖ ✌☞✍ ✗, ✘ ✙ ✓ ✌✒✚✔✍ ✓✑ ✒✛✕ ✒✗✜✍✓✢✍✓ ✑ ✒✗☛ ✕☛ ✛ ✍ ✓ ✓y✍ ✠✣Jÿ✤ÿ✥✦ÿ: G✥ÿ✧✄☎ ✂★✩ ✪ ✥✝ÿ ✂ÿ✠ 1994✫✠✬ÿ✭109✮110✭

44J


(37)

25

Kemudian dorongan yang kedua, yaitu dorongan untuk mempertahankan diri. Dorongan mempertahankan diri berfungsi untuk memelihara manusia dari ancaman dari luar dirinya.

Kemudian dorongan yang ketiga, berupa dorongan untuk mengembangkan jenis. Dengan adanya dorongan ini manusia dapat mengembangkan jenisnya dari satu generasi ke generasi lainnya.

2. Potensi Inderawi

Potensi inderawi erat kaitannya dengan dengan peluang manusia untuk mengenal sesuatu dari luar dirinya. Potensi inderawi yang umum dikenal terdiri atas indera penglihat, pencium, peraba, pendengar, perasa. Potensi tersebut difungsikan melalui pemanfaatan alat indera yang sudah siap pakai seperti mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan otak maupun fungsi syaraf.

3. Potensi Akal

Jika potensi naluriah dan potensi inderawi dimilik setiap makhluk hidup baik manusia maupun hewan, maka potensi akal hanya dianugerahkan Allah kepada manusia. Adanya potensi ini menyebabkan manusia dapat meningkatkan dirinya melebihi makhluk ciptaan Allah. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,


(38)

26

mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman, dan nyaman.

4. Potensi Keagamaan

Pada diri manusia sudah ada potensi keagamaan, yaitu berupa dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan lebih tinggi.45

Keempat potensi ini terangkum pada potensi dasar manusia, yakni: jasmani, akal nafs, dah rohani. Naluri dan inderawi terdapat dalam diri manusia sebagai makhluk biologis. Sedangkan akal dan keagamaan termuat dalam rohani. Potensi yang bersifat fitrah ini menandai karakteristik kehidupan manusia.

Ibnu Taimiyyah membagi fitrah manusia menjadi dua macam, yaitufithrah al-Munazzalahdanfithrah al-Gharizah: 1. Fithrah al-Munazzalah

Fithrah al-Munazaalah adalah fitah dari luar yang masuk kedalam diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk Al-Qur’an

dan sunnah, yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing

fithrah al-Gharizah.

2. Fithrah al-Gharizah

45I


(39)

27

Fithrah al-Gharizah adalah fitrah yang berasal dari dalam diri manusia, yang berupa daya akal, yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.46

Dalam kaitannya dengan pengembangan diri, manusia memerlukan ikhtiar untuk mengaktualisasikan potensi sebagai bekal untuk menjalankan misi kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, pendidikan merupakan factor eksternal yang dipilih manusia untuk mengembangkan potensinya dalam rangka guna mencapai tingkat kehidupan yang lebih sempurna. Dalam hal ini manusia disebuthomo educable(manusia yang dapat mendidik dan dididik).

Manusia dan pendidikan mempunyai sifat interdependensi.

Manusia membutuhkan pendidikan untuk membantu

mengaktualisasikan dirinya, sebaliknya keberadaan pendidikan tergantung pada keberadaan manusia sendiri.47

Modal dasar fitrah adalah iman yang akan digunakan untuk mengembangkan kepribadiannya menjadi islam, selanjutnya setelah kepribadiannya islami akan dikembangkan dalam muamalahnya menjadi ihsan. Dengan demikian tujuan pendidikan

46A

✹✺✻H✼✽✾ ✿✺✼❀ K✾❁ ✼❂ A❂✼❃ ❄❅✽✼❆ ❇ ❈❉ ❊❋ ●❋ ❍■ ❏❑ ▲ ❈ ▲ ❈▼❋ ❑◆❊❉ ❋ ❖ ❆❂✼P ✻◗❘ ❙52✻

47M

✻H✼✿✹✾ ❆ ❚❋ ❑❯❊ ❈❋❱❋ ❑■❲❍❏❑❊ ❈■ ❏❑ ▲ ❈ ▲ ❈▼❋ ❑❑❋y; Perspektif Filsafat Pendidikan Islam ❆❳✼❨✺✾ ✹ ❩ ❬ P✻❭❩III❆ N❬ ✻01❆ J❄❀ ✾2013❆❂✼P ✻92✻


(40)

28

Islam yang utama adalah memelihara, keimanan, membina keislaman dan membekali akhlaqul karimah.48

Selain itu, fitrah manusia juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, seks dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmani ini harus diarahkan dalam rangka mengaktualisasikan fitrah manusia.49

Selain itu, dari segi social psikologis manusia dalam proses pendidikan sebagai makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang dalam proses komunikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya dan proses ini dapat membawanya ke arah pengembangan sosisal dan kemampuan moralitasnya.50

Dalam proses tersebut terjadi suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dialektis atau interaksional antara individu dan sosialita serta lingkungan sekitarnya. Sehingga terbentuklah proses biologis, psikologis dan sosiologis sekaligus dalam waktu bersamaan dalam rangka pengembangan terhadap kemampuan dasar atau bakat manusia.51

48A

❪❫❴❵❛ N❜❝❜❞ F❵ ❡❢ ❜❣ ❜❝❤ ✐❛ ❴❵❴❵ ❥ ❜❛ I❢ ❡❜❦ ❞❧ ❜❡♠45♠

49M

❫❧ ❜❵ ❦❵❛❴❜❛ A❪❴❫❡M❫♥❵ ❪❞ ♦ ♣qr sr t✉ ✈♦♣✈ ✇r ✇ rs ✉ ✈①②③✉q④✉ ⑤r✉ ✈⑥r ③⑦ ②⑦⑧r ②✇✉ ✈④♣t✉ ✈ ⑨ s✉⑩✉②✉ t ❶ ❷♣t✉②r ⑦✈ ✉③✈✉y ❞❸J❜❥❜❹❝❜: G❜❺❜ M✐❴❵ ❜❤❹❜❝❜❦ ❜❞ 1993❻❞❧ ❜❡♠ 28❼29♠

50A

❪❴❫❡K❧ ❽❪❵❹❞ H❜❥ ❵❥ ❜❝M❜❛ ❫❢ ❵ ❜❞❧ ❜❡♠12


(41)

29

Dengan demikian fitrah merupakan suatu kekuatan atau daya yang terdapat dalam diri manusia sejak lahir. Ia merupakan potensi yang baik dengan berbagai keistimewaan yang harus ditumbuhkembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari baik individu maupun social. Dalam pendidikan, fitrah diidentikan dengan teori kenetralan, dimana manusia terwarnai potensi kesucian, tetapi ada factor eksternal yang mempengaruhi perubahan potensi dasarnya. Potensi yang terkandung didalamnya secara dinamis mengadakan reaksi atau response terhadap pengaruh tersebut. Manusia mempunyai potensi yang tidak dimiliki makhluk lain, yakni potensi akal dan keagaaman. Dalam potensi akal manusia bisa meningkatkan kualitas hidupnya dengan cara belajar melalui pendidikan dan mengaktualisasikan potensinya untuk bekal kehidupannya.

Fitrah manusia juga mempunyai kebutuhan yang bersifat jasmani untuk mendukung kelangsungan hidup manusia dan mengembangkan potensi-potensi yang lainnya. Kedua fitrah tersebut, yakni fitrah jasmani dan rohani berkaitan satu sama lain yang tidak bisa dipisahkan.

Selanjutnya, bagaimanakah potret potensi yang dimiliki manusia. Untuk ini Al-Qur’an memperkenalkan dua kata kunci

dalam memahami manusia secara komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah kata al-insan dan al-basyar. Kata insan yang


(42)

30

bentuk jamaknya al-nas dari segi semantic atau ilmu tentang akar kata, dapat dilihat dari asal kata anasa yang mempunyai arti melihat, mengetahui, dan minta izin. Atas dasar ini kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran. Yakni dengan penalarannya itu manusia dapat mengambil pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin menggunakan sesuatau yang bukan miliknya. Pengertian ini menunjukan dengan jelas adanya potensi untuk dapat dididik pada diri manusia. 52 Dengan informasi ini dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang dapat diberi pelajaran atau pendidikan.

Informasi Al-Qur’an tentang kata insan tersebut dengan mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi intelektual dan kejiwaan yang pada perkembangan selanjutnya potensi-potensi ini menjadi alat utama dalam memperoleh pengajaran dan pendidikan.53 Dengan demikian manusia adalah makhluk yang dapat dididik atau diberi pelajaran.

Adapun kata basyar yang disebut Al-Qur’an sebanyak 36 ayat,

dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyahnya. Pengertian basyar tidak lain adalah manusia dalam kehidupan

52A

❾❿➀➁➂ N➃➄➃➅ F➁ ➆➇ ➃➈ ➃➄➉ ➊➂ ➀➁➀➁ ➋ ➃➂ I➇ ➆➃➌ ➅➍ ➃➆➎29

53I


(43)

31

sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriyahnya,yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya, seperti makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya.54

Dengan demikian penggunaan katainsandanbasyardalam Al-Qur’an jelas menunjukkan konteks dan makna berbeda, meskipun sama-sama menunjuk pada pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang terlihat pada aktivitas fisiknya.55

Dari uraian diatas jelas bahwa manusia memiliki kelengkapan jasmani maupun rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya, ia dapat melakukan aktivitas sehari-hari yang memerlukan tenaga dari fisiknya, dan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan aktivitasnya menggunakan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut berfungsi dengan semestinya maka manusia perlu belajar dan diberi bimbingan. Dalam hal ini pendidikan memegang peran yang sangat penting.

54I

➏➐ ➑➒➓➔→➣34

55I


(44)

32

2. Manusia Sebagai Abdullah

Konsep ‘abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian ritual kepada Allah (Q.S. Adz Dzaariyaat/51;56) dengan penuh keikhlasan. Pemenuhan fungsi ini memerlukan penghayatan agar seorang hamba sampai tingkat religiusitas dimana tercapainya kedekatan diri dengan Allah. Bila tingkat ini berhasil diraih, maka seorang hamba akan bersikap tawadlu’, tidak

arogan dan akan senantiasa pasrah pada semua titah perintah Allah.56

Al-Qur’an juga menamakan manusia dengan ‘abd Allah yang berarti abdi atau hamba Allah. Menurut Quraish Shihab, seluruh makhluk memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah abd Allah dalam arti milik Allah. Kepemilikan Allah terhadap makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna. Dengan demikian abd Allah tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan itu.57

Secara luas, konsep‘abd sebenarnya meliputi seluruh aktivitas kehidupan manusia. Islam menggariskan bahwa seluruh aktivitas seorang hamba selama ia hidup di alam semesta ini dapat nilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-56A

↔↕ ➙➛➜➝➞ ➟➞➟ ➛➠➡ ➛➢ ➜➤↔➥ ➦ ➧ ➨➩➫ ➭➫ ➯➲ ➳➵➸➧➸➧➺➫➵➻➩ ➨➫➼➲ ➳➵➸ ➳➺ ➫ ➯➫➵➽➧➩➯ ➾➚ ➧➩, ➪ ➳➾➚ ➧➯ ➧➩, ➲➚➫➺ ➯ ➧➩ , ➶J➛➹➛➘➴➛: C➞➷➤➴➛➴➬➘➮➜➜➥ 2005➱➥✃➛↔❐19

57J


(45)

33

mata hanya untuk mencari ridhah Allah. Belajar adalah ibdah manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridhah Allah. Bekerja juga ibadah manakala itu dilakukan untuk mencari ridhah Allah. Semua aktivitas seorang hamba dalam seluruh dimensi kehidupan adalah ibadah manakala itu benar-benar dilakukan untuk mencari ridhah Allah semata. Pada dasarnya konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah manakala difahami, dihayati dan diamalkan, maka seorang muslim akan menemukan jati dirinya sebagai insan paripurna.58

Dalam pandangan Ja’far al-Shadiq, ibadah sebagai pengabdian kepada Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal. Pertama, menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dimilikinya termasuk dirinya sendiri adalah milik Allah dan berada dibawah kekuasaan Allah, kepada Dzat tempat seorang mengabdi.

Kedua,menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitasnya senantiasa mengarah pada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang dicegah atau dilarangNya.

Ketiga, dalam mengambil suatu keputusan senantiasa mengaitkannya dengan restu dan izin Allah, tempat ia menghamba diri.59

58A

ÏÐ ÑÒÓÔÕ ÖÕÖ Ò×Ø ÒÙ ÓÚÏÛ FÕ Ï ÓÒÜ ÒÝÞß ×ÖÕ ÖÕ à Ò× IÓÏ ÒÙÛáÒÏâ19Ð20

59J


(46)

34

Esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan yang semuanya itu hanya layak diberikan pada Allah. Ketaatan dan ketundukan pada kodrat alamiah yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Allah yang menjadi kodrat pada setiap ciptaanNya, manusia menjadi bagian dari ciptaanNya, ia bergantung dengan sesamanya, hidup dan mati menjadi bagiannya yang pasti. Akan tetapi manusia tidak terikat sepenuhnya oleh hukum-hukum alamiah saja, karena sebagai makhluk yang dilebihkan daripada alam ciptaan Allah lainnya, manusia diberikan kemampuan akalnya, sehingga mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya, manusia pun terikat oleh hukum-hukum berfikir dalam upaya mengembangkan dan mewujudkan pemikirannya.60

Dalam konteks ‘abd, peran yang dimainkan oleh manusia terikat dengan ridhah Allah. Manusia telah kehilangan wewenang untuk menentukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat karena aktivitas dan seluruh usahanya harus dilaksanakan dalam rangkan ibadah kepada Allah. Tetapi Allah memberikan manusia akal supaya mereka berpikir ketika akan melakukan tindakannya, apakah itu tindakan yang baik atau buruk.

60A


(47)

35

3. Manusia Sebagai Khalifatullah

Al-Qur’an menegakkan bahwa manusia diciptakan Allah untuk pengemban amanat (QS. Ar Ruum/33:72). Diantara amanat yang dibebankan kepada manusia memakmurkan kehidupan di bumi di bumi (QS. Huud/11:61). Karena amat mulianya manusia sebagai penengemban amanat Allah, maka manusia diberi kedudukan sebagai khalifah-Nya di muka bumi (QS. Al-Baqarah/2:30).61

Maksud makna khalifahini adalah tentunya Adam dan seluruh anak keturunannya yaitu seluruh umat manusia. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan perintah Allah untuk bertaqwa yang ditujukan kepada seluruh umat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.62

Allah berkehendak untuk menciptakan khalifah di bumi dengan tugas memakmurkan alam dan mengembangkan amanat risalah serta menegakkan segala amal yang mengandung kemaslahatan, kebaikan dan kebenaran. Pemberian tugas khalifah ini disertai bekal potensi yang diciptakan oleh Allah, ciptaan yang diperuntukkan Allah baginya dan ilmu yang dibekalkan Allah kepadanya. Demikianlah khalifah itu ditugaskan untuk senantiasa menjalankan syariat Allah dan mengemban tanggunggan yang

61A

ñò óôõö÷ ø÷ø ôùú ôû õüñý F÷ ñ õôþ ôÿ ✁ ùø÷ ø÷ ✂ ôùIõñ ôûý✄ ôñ☎18☎

62A

✄ û ôø Lüø✆÷ ÿ✝ý ✞✟✠ ✡☛☞ ✌ ✍✎ ✏✑✒✑ ✍✏✎ ✠✎ ✓✔✟ ✕ ✖✑ ✖✑ ✗✎✕✘✏ ✍✎☞ ý✙ ✚✝ ✛ö ô✂ ô✜ÿô: üõÿô✂ô ✁ ñ ô✆ô✜ý


(48)

36

dipikulkan kepadanya, jika ia tidak melakukannya, berarti ia telah mengikuti syahwatnya dan menjadi perusak di muka bumi.63

Adapun yang menjadi poros khalifah manusia ialah penggunaan akal, pengembanan tugas-tugas samawi serta pelaksanaan amanah melalui jalur ilmu yang dipelajarinya, realisasi pemahaman serta pembedaan antara yang baik dengan yang buruk. Dalam hal inilah nampak jelas kelebihan manusia dibanding dengan seluruh makhluk lainnya, bahkan para malaikat. Karena mereka ini berbuat hanya sekedar menjalankan perintah tanpa memikirkan atau mempertimbangkannya. Sedangkan manusia adalah makhluk yang dipersiapkan untuk berpikir dan memikul tanggung jawab serta amanat. Oleh karena itu, ia berhak menjadi khalifah dimuka bumi, bahkan berhak Allah meniupkan ruh-Nya kepadanya

Di antara potensi manusia yang diberikan oleh Allah kepadanya adalah kemampuan memimpin untuk menjaga kelestarian alam yang diberikan Allah kepadanya dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya.64

Sebagai khlaifah manusia dituntut untuk memiliki rasa kasih sayang, yang sekaligus menjadi identitasnya. Dalam hubungan ini, Al-Qur’an menunjukkan cara untuk membina kasih sayang secara

63A

✣✤✥✦F✧★★✧✩ J✧✦ ✧✦✪ ✫✬✭ ✮-z✭✮✯✰✱ ✲ ✳✲✳✴✭ ✱✵✮✶✭ ✷ ✪✸B✧✹✤✥✹✺ ✻ C✼ ✽D✾ ✿❀✹❁✺ ❀❂❀✪ 1988❃✪✩✧✦✽ 42❄43✽

64M


(49)

37

bertahap. Pertama dengan cara memperkecil jurang pemisah yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan.65 Langkah kedua adalah dengan cara membina rasa kasih sayang.66

Khalifah pada prinsipnya menetapkan kedudukan dan peranan manusia sebagai makhluk yang menerima amanat setelah ditolak oleh makhluk-makhluk lainnya. Manusia bertanggung jawab untuk memelihara, mengayomi dan menggunakannya dengan baik. Sebagai khalifah yang diserahkan amanat untuk mengatur kehidupan di bumi, manusia tak lepas dari keterikatannya dengan Sang Pencipta. Dalam hal ini, manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur. Manusia wajib bersyukur terhadap keberadaan dirinya, maupun lingkungan hidupnya.67

Kesadaran diri terhadap status sebagai hamba dan khalifah Allah ini, bagaimanapu akan menambahkan rasa tanggung jawab yang besar. Selain itu juga akan berpengaruh dalam membentuk sikap dan perilaku. Selaku hamba Allah, seseorang merasa dituntut untuk meningkatkan pengabdiannya kepada Allah. Oleh karena itu, segala yang dilakukannya diarahkan pada pengabdiannya kepada Sang Pencipta. Selanjutnya, sebagai khalifah ia merasa diberi tanggung jawab untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi.

65J

●❍●❍ ■❏❑▲▼◆❖ P❍ P◗ ❑▼❘●❍ ❙221❙

66I

❚❑ ❏▼❙❘●❍223❙

67I


(50)

38

kedua sifat ini hanya mungkin dimiliki oleh mereka yang berimandan bertaqwa kepada Allah.68

Sebagai khalifah Allah, keberadaan manusia di bumi berhubungan dengan aktivitas pembangunan. Amanat yang dibebankan kepada manusia untuk memakmurkan bumi (QS. 11:61), mengandung makna bahwa manusia dijadikan penghuni dunia untuk menguasai dan memakmurkannya.69Dengan demikian manusia ditempatkan oleh Allah sebagai makhluk pembangunan. Untuk itu manusia harus mampu memerankan diri sebagai makhluk pembangunan dalam kehidupannya di bumi.

Dalam statusnya sebagai khalifah Allah dimuka bumi dan kaitannya dengan tugas memakmurkan bumi, dalam pandangan islam manusia menjadi titik sentral dari perubahan itu. Lebih dari itu, islam menilai aktivitas pembangunan merupakan bagian dari pengabdian kepada Allah.70

Dengan demikian kedudukan manusia di muka bumi sebagai

khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengelola, memakmurkan serta mengembangkan amanat dan membangun di muka bumi dengan segenap potensinya. Manusia diciptakan Allah dengan segala kelebihan, dengan menggunakan akalnya bukan

68I

❯❱ ❲❳❨❩❬❭228❨

69I

❯❱ ❲❳❨❩❬❭229

70I


(51)

39

sekedar menjalankan perintah tetapi juga berpikir untuk memikul amanat yang telah diberikan Allah padanya.

B. Hakikat Pendidikan Humanis

Pendidikan Humanis, pada hakikatnya kata humanis adalah kata sifat yang merupakan sebuah pendekatan dalam pendidikan. Pendidikan humanis sebagai sebuah teori pendidikan dimaksudkan sebagai pendidikan yang menjadikan humanis sebagai pendekatan. Pendekatan humanis yaitu pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan tersebut. Dalam paradigma humanis, manusia dipandang sebagai makhluk Tuhan yang memiliki fitrah-fitrah tertentu yang harus dikembangkan secara optimal. Fitrah manusia ini bisa dikembangkan melalui pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia (pendidikan humanis).71

Makna kemanusiaan harus selalu dirumuskan secara baru dalam setiap perjumpaan dengan realitas dan konteks yang baru. Kemanusiaan perlu dilihat bukan sebagai esensi tetap atau situasi akhir. Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam interaksi antar manusia dengan konteks dan tantangan yang terus berkembang.

71

❪❫❴ ❵❛❜ ❝❞ A❡ ❵❴ ❢ ❣❤✐ ❥ ❦ ❥ ❦❧♠ ✐♥♦ ♣♠ ✐ ❦ qr ♠ s♠ ♣❣❤t q✉ ❤ ❧✈❦✇① qs♠ ♣ (②③ ✐ q❤✉r ♠✐①♣✉s❤♣❤✐✈♠q❦✐♠y r ♠ s♠ ♣❣t③q❤ q④❤ s♠⑤♠ t⑥❤✐⑦♠⑤♠ t) ❢⑧❵❡⑨❝❛ ❢⑩ ❶❜3 N❶❷1 F❸⑨❛❫ ❵❛❝2015❢❹❵❜❷133❷


(52)

40

Pendidikan humanis memandang bahwa peserta didik adalah manusia yang mempunyai potensi dan karakteristik yang berbeda-beda. Karena itu dalam pandangan ini peserta didik ditempatkan sebagai subyek sekaligus obyek pembelajaran, sementara guru diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog peserta didik.72

1. Pendidikan Sebagai Proses Humanisasi

Pendidikan merupakan salah satu kunci yang sangat esensial dalam kehidupan manusia. Dalam konteks dan ruang lingkup kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjamin kelangsungan dan perkembangan kehidupan bangsa tersebut. Karena dari dan dengan pendidikan lah seluruh aspek manusia dapat tercerahkan. Pendidikan harus dapat menyiapkan warga Negara untuk menghadapi masa depannya. Yang kemudian tertanam beribu-ribu harapan kemajuan dan kesejahteraan hidup bagi anak manusia.73 Dengan demikian tidak salah apabila orang berpendapat bahwa cerah tidaknya masa depan suatu negara sangat ditentukan oleh pendidikannya saat ini.

Pendidikan bukanlah merupakan suatu kegiatan an sich

ataupun hanya terpaku pada tujuan yang telah ditentukan semula, akan tetapi pendidikan harus melepas manusia dari kungkungan

72Op. cit


(53)

41

alamiah maupun kungkungan biologis. Habitus anak manusia merupakan habitus yang terbuka yang berkembang sesuai dengan perkembangan akal-budinya dan kemerdekaannya. Sebagai makhluk yang bebas, tujuan pendidikan ditentukan dan dipilih oleh manusia yang bebas namun terikat kepada ikatan-ikatan kehidupan yang dipilihnya sendiri dari kehidupan manusiawi.

Ada pandangan agak klasik dan menjadi pandangan wacana public dikalangan ahli pendidikan, yaitu pandangan mengenai pendidikan sebagai proses humanisasi atau disebut dengan proses pemanusiaan manusia. Pemahaman terhadap konsep ini memerlukan renungan yang sangat mendalam sebab apa yang dimaksud dengan proses pemanusiaan manusia tidak sekedar yang bersifat fisik, akan tetapi menyangkut seluruh dimensi dan potensi yang ada pada diri dan realitas yang mengitarinya.74 Sebagaimana yang dikatakan H.A.R. Tilaar, bahwa hakikat pendidikan adalah proses memanusikan anak manusia, yaitu menyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya.75

Pendidikan humanis menempatkan perserta didik sebagai subyek utama dalam proses pendidikan, yaitu pengakuan terhadap

74M

❺❻❼❽ ❾❿ ➀➁ ➀❾➂➃➄➄❾ ➂➅ ➆ ➇ ➈➉➊➋➌➊ ➈➍ ➎➍ ➎ ➏ ➐ ➈➑➒➓ ➐ ➈➎ ➉➔ ➐→ ➐➓➌➊ ➣➉➋ ➊➏ ↔➎ ↕➙➉→ ➐➓ ➅ E➄➃➛ ➀➜❾➅➝ ❺➞❼03➅

N❺❼02➅ N❺➟ ➠➡➢ ➠➤2015➅❻ ➀➞ ❼846❼

75H

❼ ➥❼ ❽❼➦ ❾➞ ➀➀➤➅ ➧ ➐ ➈➎↕ ➊➉ ↔➇➌➊ ➈➍➎ ➍ ➎➏➐ ➈➨ ➐➉➎ ➇➈ ➐→ ➩➫➎ ➈➭➐ ➒ ➐ ➈➍➐➣➎➌➊ ➣➉➋ ➊➏ ↔➎ ↕➌➇ ➉ ↔➓➇ ➍ ➊ ➣➈➎ ➉➓ ➊➍➐ ➈ ➯↔➒➍ ➎➆ ➒→ ↔➒➣➐→ ➅➲J➀➛➀➤➳➀: B➃➛ ➃ K❺➡➵➀➜➅ 2005➸➅❻ ➀➞ ❼119❼


(54)

42

hak dasar, keberagaman dan potensi yang dimilik serta didasarkan atas keterlibatan peserta didik secara aktif dalam pendidikan guna mewujudkan nilai-nilai postif dalam dirinya sebagai hasil interaksi social dan budaya. Pendidikan yang baik tidak sekedar mengasah kecerdasan intelektual semata, tetapi juga menyelaraskan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual sehingga aspek individualitas kepada aspek sosialita atau kepekaan dalam kehidupan bersama sebagai suatu sistem masyarakat.76

Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia. Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia dengan sendirinya akanmengalami perkembangan, pertumbuhan, dan

“penuaan”. Sedangkan aspek ruhaniah-psikologis manusia melalui

pendidikan dicoba “didewasakan”, disaddarkan, dan “di-insan kamil-kan” melalui pensisikan sebagai elemen yang berpretensi

positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban. Dari pemikiran ini maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan

76

➺➻➼➻ ➽➺➾➚ ➪➶➶➻➹ ➘➴➼ ➷ ➬ ➮ ➱✃❐ ❒❮ ❐ ❰ÏÐ❰ Ñ ÒÑÒÓ❐ ❰ÔÕ❒❐ ❰Ò➱❮ ❐✃❐ ❒ÖÐ ➱× ✃ Õ➱ ÒØ ×❰Ù✃ ÒÓÚ ×➱Ò❐✃ÛÜ❐ Ó Ý❐ Þ❐✃❐ ÏÐ❰ÑÒÑÒÓ ❐ ❰ ➬ Jß➴ ➷2013➬àá➾â â âãI➬ N➘➾2➬á➻➹➾177➾


(55)

43

tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya.77

Pemahaman terhadap konsep pendidikan sebagai proses humanisasi adalah melakukan penyadatran terhadap manusia sebagai peserta didik mengenal kedudukannya dan perannya dalam kehidupan ini. Kata penyadaran jelas mengandung makna implikasi yang mendasar karena akan bersentuhan dengan aspek yang paling dalam dari kehidupan manusia, yakni dinamika kejiwaan dan kerohanian. Dua aspek inilah yang menjadi pendorong manusia dalam membangun kehidupan yang berkebudayaan dan peradaban.78

2. Pendidikan Sebagai Aksi Budaya dan Pembebasan

Pendidikan berlangsung dalam pergaulan antara pendidik dengan peserta didik. Dapatnya peserta didik bergaul karena memang baik pendidik maupun peserta didik adalah merupakan makhluk social, yaitu makhluk yang selalu saling berintegrasi, saling tolong-menolong, ingin maju, ingin berkumpul, ingin menyesuaikan diri, hidup dalam kebersamaan dan lain sebagainya.79

77I

äå æçèéêë è425è

78Op,. cit.

79Burhanuddin Salam,

ì íî ïð îñð òìíóð ï ô ïõ ö (÷ ð øð ò-óðøð òùú û üý íîóõ óõ ö) , (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hal. 111.


(56)

44

Para ahli antropoli pendidikan seperti Theodore Brameld melihat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat, dan kebudayaan. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat suatu hubngan yang sangat erat dalam arti keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama ialah nilai-nilai. Apabila kebudayaan mempunyai tiga unsur penting yaitu kebudayaan sebagai suatu tata kehidupan (order), kebudayaan sebagai proses, dan kebudayaan yang mempunyai suatu visi tertentu, maka pendidikan dalam rumusan tersebut adalah sebenarnya proses pembudayaan.80

Dengan demikian tidak ada suatu proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, dan sebaliknya tidak ada suatu kebudayaan dalam pengertian suatu proses tanpa pendidikan. Proses kebudayaan dan pendidikan hanya dapat terjadi di dalam hubungan antar manusia didalam suatu masyarakat tertentu.81

Hubungan pendidikan dengan sistem sosial berkaitan erat, pendidikan terlibat dalam semua jenis dan jenjang proses perkembangan social, baik dalam mobilitas sosial, mobilitas geografis, penduduk, partisipasi politik, dan sistem social yang lainnya.82

80H

þÿþ ✁✂ ✄ ☎☎✆✝ ✞✟✠ ✡ ☛✡☛☞ ✌✠, ✍✟ ✎✏ ✡ ✌y✌ ✌✠, ✡✌✠✑ ✌✒y✌ ✓✌☞ ✌✔✑ ✌ ✡✌✠ ☛✕✠ ✡ ✖✠ ✟ ✒☛ ✌, ✗✔ ✓✌✔✟ ✘ ☛✙✟ ✚✖✓✛ ✌ ✒☛ ✞✟✠✡☛✡☛☞✌✠✜✌✒☛✖ ✠ ✌✢✣✝✤B☎✥✦✧✥★ ✩✪✁ þ ✫ ✬☎✭☎ ✮✯ ✦☎✰☎✆✱☎✝ 1999✲✝✳☎✄ þ7þ

81I

✴✂✦✝þ✳☎✄ þ8þ

82B


(57)

45

Salah satu teori pendidikan Freire adalah pandangannya tentang pengalaman dan produksi budaya. Konsep Freire tentang kebudayaan terletak diantara konsep yang konservatif dan progresif. Menurut freire, kebudayaan menyembunyikan ideology yang melegitimasikan bentuk-bentuk kebudayaan tertentu dan mensosialisasikannya, sehingga seolah-olah ideology tersebut tidak terkait dengan kepentingan kelompok-kelompok yang berpengaruh dan konstelasi kekuasaan yang ada. Freire juga mengansumsikan bahwasannya kaum tertindas yang berada di bawah dominasi berhak memiliki kebudayaan yang progresif dan revolusioner yang harus membebaskan mereka dari kekangan kelas-kelas yang mendominasi.

Bagi Freire, kebudayaan merepresentasikan pengalaman hidup. Hasil karya manusia dan bentuk kehidupan yang ditempa dalam hubungan sosial yang tidak adil dan dialektis, yakni kelompok-kelompok yang berbeda sudah dengan sendirinya terbentuk selama kurun waktu tertentu.

Freire mengusulkan konsep kekuasaan yang berbudaya yang

starting point-nya kekhususan social dan sejarah, masalah-masalahnya, penderitaan, visi, bentuk tindakan resistensi yang membentuk budaya dari kelompok subordinatif. Konsep kekuasaan ini mempunyai fokus ganda sebagai bagian dari strategi untuk menciptakan sistem politik yang lebih mendidik. Pertama,


(58)

46

Freire berpendapat bahwa pendidik harus bekerja dengan bekal pengalaman bagaimana siswa dewasa, anak-anak maupun peserta didik lainnya bersekolah atau masuk intuisi pendidikan lainnya. Dia juga mengemukakan bahwa pengalaman tersebut bertentangan bukan hanya dengan dampak dominasi tetapi juga dominasi yang telah “membantu”. Kekuasaan yang berbudaya menjadi kekuatan

dan untuk memenuhi kebutuhan pengalaman yang meningkatkan taraf hidup kaum tertindas. Ini berarti bahwa pengalaman pengalaman mereka dalam berbagai bentuk kebudayaan harus diungkap secara kritis agar dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya.

Pendidikan dan aksi-aksi budaya yang membebaskan bukanlah

proses transformasi yang “mengasingkan” ilmu pengetahuan,

namun merupakan proses yang otentik untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat keinginan peserta didik dan guru dengan kesadaran untuk menciptakan ilmu pengetahuan yang baru. Guru yang humanis harus tepat dalam memahami hubungan antara kesadaran manusia dan dunia, dan antra manusia dan dunia. Bentuk pendidikan yang membebaskan melalui definisi ini

menawarkan suatu “arkeologi kesadaran”.83 Oleh karena itu kesadaran timbul sebagai hasrat, bukan sebagai wadah kosong yang harus diisi.

83B


(1)

Haris, A., & Putra, K. A. (2012).“Filsafat Pendidikan Islam”.Jakarta: AMZAH.

Hasbi, M. (2013). “Manusia Dan Potensi Pendidikannya; Perspektif Filsafat

Pendidikan Islam”.Ta’dib Vol. XVIII, No. 01, Juni, 92.

Herdiansyah, H. (2010). “Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial”.

Jakarta Selatan: Salemba Humanika.

Idris, M. ( 2014). “Konsep Pendidikan Humanis Dalam Pengembangan Pendidikan

Islam”.Miqot Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember, 418.

Idrus, M. (2009). “Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif”.Jakarta: Erlangga.

Indriyani, E. (2016, Desember 24).Proses Pendidikan Paulo Freire. Retrieved Maret

28 pukul 14.53 WIB, 2017, from nengindriyani.blogspot.co.id:

http://nengindriyani.blogspot.co.id/2016/12/proses-pendidikan-paulo-freire.html

Iskandar, & Najmuddin. (2014). “Pendidikan Humanistik Dalam Al-Qur’an Kata

Insan, Basyar Dan Bani Adam”.Lentera, Vol. 14, No. 2 Maret, 86.

Jalal, A. F. (1988).“Azas-azas Pendidikan Islam”.Bandung: CV. Diponegoro.


(2)

Jalaludin, & Said, U. (1994).“Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya”.Jakarta: Grafindo Persada.

Khobir, A. (2010). “Hakikat Manusia Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan

(Tinjauan Filsafat Pendidikan Islam)”.Forum Tarbiyah Vol. 8, no .1 Juni, 11.

Kusaeri. (2014).“Metodologi Penelitian”.Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Langgulung, H. (1985).“Pendidikan dan Peradaban Islam”.Jakarta: Bulan Bintang.

Ludjito, A. (1996). “Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ma’arif, A. S. (1991). “Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita Dan Fakta”.

Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Ma’arif, S. (2007).“Revitalisasi Pendidikan Islam”.Yogyakarta: GRAHA ILMU.

Majid, A., & Andayani, D. (2012). “Pendidikan Karakter Perspektif Islam”.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Maksum, A., & Ruhendi, L. Y. (2004 ). “Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern”.Yogayakarta: IRCiSoD.

Mas’ud, A. (2007). “Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik: Humanisme

Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam”.Yogyakarta: Gama Media.


(3)

Moleong, L. J. (2009). “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhaimin. (2013).“Rekonstruksi Pendidikan Islam”.Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Muhaimin, & Mujib, A. (1993). “Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan KerangkaDasar Operasionalnya”.Jakarta: Gaya Media Pratama.

Mumpurniati. (2010). “Perspektif Humanis Religius dalam Pendidikan Inklusif”. Jurnal Pendidikan Khusus Vol. 7 No.2. Nopember, 23.

Murtiningsih, S. (2006). ”Pendidikan Alat Perlawanan Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire”.Magelang: CV. Langit Aksara.

Mustofa, H. (2012, Desember 24). Pendidikan Karakter atau Pendidikan Moral?

Retrieved Juni 15, 2017, from caknun.com:

https://www.caknun.com/2012/pendidikan-karakter-atau-pendidikan-moral/

Nasution, S. (2001). ”Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar”.

Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Nata, A. (1997).“Filsafat Pendidikan Islam”.Jakarta: Logos Waca Ilmu.

Nawawi, H., & Martinihadari. (1995). “Instrumen Penelitian Bidang Sosial”.


(4)

Nuryano, M. A. (2008). “Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan”.Yogyakarta: Resist Book.

Pettalongi, S. S. (2013). “Islam Dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik

Sosial, Cakrawala Pendidikan”.Th. XXXII, No. 2. Juni, 177.

Progress Manajemen. (2015, September 28). Maiyah Pendidikan Anak di Madrasah IMAAM. Retrieved Juni 14, 2017, from caknun.com: https://www.caknun.com/tour/usa/maiyah-pendidikan-anak-di-madrasah-imaam/

Sahrodi, J. (2005). “Membedah Nalar Pendidikan Islam”. Cirebon: STAIN Cirebon Press.

Salam, B. (1997). “Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik)”. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sanjaya, W. (2006). “Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan”.Jakarta: Kencana Prenada Media.

Shor, I., & Freire, P. (2001). “Menjadi Guru Merdeka”, terj A. Nashir Budiman.

Yogyakarta: LKIS.

SUBKHAN, E. (2015, Januari 5). Sekolah Biasa Saja yang Luar Biasa. Retrieved Juni 14, 2017, from caknun.com: https://www.caknun.com/2015/sekolah-biasa-saja-yang-luar-biasa/


(5)

Sugiharto, B. (2008). “Humanisme dan Humaniora Relevansinya Bagi Pendidikan”.

Yogyakarta: Jalasutra.

Suyudi, M. (2005). “Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani”.Yogyakarta: Mikraj.

Syahid, A. S. (2017, Maret 14). Anak-anak Bersekolah Buat Menjawab Tantangan Zamannya. Dipetik Juni 11 pukul 15.21 WIB, 2017, dari caknun.com:

https://www.caknun.com/2017/anak-anak-bersekolah-buat-menjawab-tantangan-zamannya/

Syahid, A. S. (2017, Juni 11).Memotret Fakta Pendidikan: Seimbang antara Pikiran dan Perasaan. Retrieved juni 12 pukul 19.38 WIB, 2017, from caknun.com: https://www.caknun.com/2017/memotret-fakta-pendidikan-seimbang-antara-pikiran-dan-perasaan/

Syam, M. N. (1986). “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”.Surabaya: Usaha Nasional.

Syari’ati, A. (1996). “Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat”. Bandung: Pustaka Hidayah.

Tarpin, L. (2008). “Humanisme Dan Reformulasi Praksis Pendidikan”. Dalam B.

Sugiharto, “Humanisme Dan Humaniora Relevansinya Bagi Pendidikan”


(6)

Tilaar, H. (1999). “Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Tilaar, H. (2005). “Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural”.Jakarta: Buku Kompas.

Usa, M. (1991).“Pendidikan Islam di Indonesia”.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Wilonoyudho, S. (2014, Maret 28). Maiyah, Edy, dan Pendidikan Kita. Retrieved

Juni 13 pukul 01.46 WIB, 2017, from caknun.com:

https://www.caknun.com/2014/maiyah-edy-dan-pendidikan-kita/

Zainuddin, M. R. (2015). “Konsep Pendidikan Humanis Dalam Perspektif Islam”. Edukasi, Vol. 03, No. 02, November, 846.

Zamroni. (2001). “Pendidikan Untuk Demokrasi Tantangan menuju Civil Society”.