PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYANGRAIAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG TULANG

(1)

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF TEMPERATURE AND LONG OF DURATION ROASTING ON BONE MEAL CHARACTERISTICS

By

Dianita Puspa Sari

Roasting is a method that uses high-temperature drying. High temperature capable of changing the chemical components and the physical structure of a material. Roasting aims to britling bone for easily powdered. The aim of this research is to know characteristics of bone meal produced from roasting process. This research was design using completely randomized factorial design consisting of two treatment factor with each of three levels. The first factor was temperature which consist of 160, 180 and 200 °C; and the second factor was duration which consist of 90, 120 and 150 minutes. Both of treatment factors has combined with each other in order to get nine combinations of treatment and repeated on three times so have obtained 27 experimental units. Parameters observation were moisture content, yield, fineness modulus, color, calcium levels and phosphor levels. The result showed that moisture content is obtained under 8%, so it has fullfilled the Indonesia National Standard (SNI). Fineness modulus is 2,91 – 3,21 on a scale of 0 - 4 with the color of bone meal was dark brown, average calcium levels of 39,9 % and phospor levels of 11,7 %. Levels of variance test with α 0,05 showed that temperature and duration has no effect on moisture content, yield and fineness modulus of bone meal.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH SUHU DAN WAKTU PENYANGRAIAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG TULANG

Oleh Dianita Puspa Sari

Penyangraian merupakan suatu cara pengeringan yang menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi mampu mengubah komponen kimia dan struktur fisik suatu bahan. Penyangraian tulang bertujuan untuk merapuhkan tulang supaya mudah ditepungkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik tepung tulang yang dihasilkan dari proses penyangraian. Penelitian dirancang meggunakan Rancang Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari dua faktor perlakuan dengan masing-masing tiga taraf. Faktor pertama adalah suhu yang terdiri dari 160, 180 dan 200 °C dan faktor kedua adalah waktu 90, 120 dan 150 menit yang semuanya saling dikombinasikan sehingga didapat sembilan kombinasi perlakuan dan diulang tiga kali sehingga didapat 27 unit percobaan. Parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen, derajat kehalusan warna dan kadar kalsium serta posfor. hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air yang didapat telah memenuhi SNI yakni dibawah 8%. Derajat kehalusan sebesar 2,91 - 3,21 dalam skala 0 - 4 dengan warna coklat tua, kadar kalsium 39,9 % dan posfor 11,7 %. Uji sidik ragam dengan taraf α 0,05 menunjukkan bahwa suhu dan waktu tidak berpengaruh terhadap kadar air, rendemen dan derajat kehalusan tepung tulang.


(3)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYANGRAIAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG TULANG

Oleh

DIANITA PUSPA SARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknik Pertanian

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(4)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYANGRAIAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG TULANG

(Skripsi)

Oleh :

DIANITA PUSPA SARI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 4

1.3. Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Tulang ... 5

2.2. Tepung Tulang ... 5

2.3. Pakan Ternak & Komposisi Nutrisi ... 7

2.4. Penyangraian... 11

2.5. Pengecilan Ukuran ... 11

2.6. Hammer Mill ... 13

2.7. Pengayakan ... 14

III. METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Waktu dan Tempat ... 17

3.2. Bahan dan Alat ... 17


(6)

3.4. Prosedur Penelitian ... 18

3.4.1. Proses Pembuatan ... 18

3.4.2. Diagram Alir ... 20

3.5. Pengamatan Penelitian ... 21

3.5.1. Kadar Air ... 21

3.5.2. Keseragaman Ukuran (Modulus Kehalusan) ... 21

3.5.3. Warna Tepung ... 22

3.5.4. Rendemen ... 22

3.5.5. Kadar Kalsium dan Posfor ... 23

3.6. Analisis Data ... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Kadar Air ... 24

4.2. Rendemen ... 26

4.3. Modulus kehalusan ... 28

4.4. Warna Tepung ... 33

4.5. Kandungan Kalsium dan Posfor ... 35

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1. Kesimpulan ... 38

5.2. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(7)

DAFTAR TABEL

Teks

Tabel Halaman

1. SNI tepung tulang ... 6

2. Ukuran baku saringan tyler ... 15

3. Kombinasi perlakuan ... 18

4. Rata-rata persentase per kategori kasar, sedang, halus. ... 30

5. Hasil uji kalsium dan posfor tepung tulang. ... 36

6. SNI tepung tulang ………...…………... 36

Lampiran 7. Hasil uji sidik ragam kadar air ... 44

8. Uji sidik ragam rendemen ... 45

9. Uji sidik ragam modulus kehalusan ... 46

10. Uji sidik ragam kriteria kasar ... 47

11. Ujis sidik ragam kriteria sedang ... 48

12. Uji sidik ragam kriteria halus ... 49

13. Data modulus kehalusan ulangan pertama. ... 50

14. Data modulus kehalusan ulangan kedua. ... 51

15. Data modulus kehalusan ulangan ketiga. ... 52

16. Rata-rata derajat kehalusan tepung tulang. ... 53


(8)

18. Data rendemen tepung tulang... 55 19. Data penggolongan tepung dalam kategori kasar, sedang dan halus. ……… 57


(9)

v

DAFTAR GAMBAR

Teks

Gambar Halaman

1. Diagram alir ... 20

2. Kadar air rata-rata tepung tulang... 25

3. Rendemen rata-rata tepung tulang yang dihasilkan. ... 27

4. Rata-rata modulus kehalusan tepung tulang. ... 29

5. Sebaran rata-rata fraksi kasar, sedang dan halus per kombinasi perlakuan ... 31

6. Tepung tulang kasar. ... 32

7. Tepung tulang sedang. ... 32

8. Tepung tulang halus. ... 33

9. Warna tepung tulang dari setiap kombinasi perlakuan. ... 34

Lampiran 10. Pengukuran suhu saat penyangraian. ... 58

11. Ayakan tyler. ... 58

12. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T1t1). ... 58

13. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T1t2). ... 59

14. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T1t3). ... 59

15. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T2t1). ... 59

16. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T2t2). ... 60


(10)

vi

18. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T3t1). ... 60

19. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T3t2). ... 61

20. Tulang yang telah disangrai (perlakuan T3t3). ... 61

21. Butiran tulang yang tertampung pada saringan 8. ... 61

22. Butiran tulang yang tertampung pada saringan 12. ... 62

23. Butiran tulang yang tertampung pada saringan 20. ... 62

24. Butiran tulang yang tertampung pada saringan 40. ... 62

25. Butiran tulang yang tertampung pada saringan 60. ... 63

26. Oven. ... 63

27. Timbangan digital. ... 64


(11)

(12)

(13)

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Juli 1992 di Gedung Wani sebagai anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan Bapak Hadi Nugroho dan Ibu Purwaningsih.

Penulis memulai pendidikan formal di TK PGRI Sukaraja Tiga, Lampung Timur pada tahun 1997-1998. Pendidikan Sekolah Dasar di SDN 01 Gedung Wani, Lampung Timur pada tahun 1998-2004. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Marga Tiga, Lampung Timur pada tahun 2004-2007. Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 1

Sekampung, Lampung Timur pada tahun 2007-2010.

Pada tahun 2010 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain sebagai pengurus Persekutuan Oikumene Mahasiswa Kristen Pertanian (Pomperta) selama dua periode kepengurusan, 2011/2012 – 2012/2013 serta sebagai pengurus Departemen Dana dan Usaha di Perhimpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (PERMATEP) tahun 2012/2013. Selain aktif menjadi pengurus, penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan, mulai dari lingkup jurusan sampai universitas. Penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Sweet Indolampung (Sugar Group Companies) dengan judul Mempelajari


(15)

Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Padat Hasil Endapan Nira (Blotong) pada

PT. SIL selama 30 hari pada tahun bulan Juni – Juli tahun 2013. Penulis

melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Way Beghak, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan selama 40 hari pada bulan Januari – Maret tahun 2014.


(16)

Skripsi ini ku persembahkan kepada :

- Mama, wanita terkuat dan terhebat dalam hidupku yang tak kenal

lelah berjuang demi kebahagiaan anak-anaknya.

- Papa, yang tidak terlihat hadir dalam hidupku namun terasa kasih

sayangnya.

- Tato, yang menyayangiku dengan kasih saying seorang ibu sampai

akhir hayatnya.

- Keluarga besar Hadi Nugroho.


(17)

SANWACANA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kasih penulis ucapkan atas kasih karunia dan akal budi yang diberikanNya sehingga skripsi ini dapat

diselesaikan.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian terhadap

Karakteristik Tepung Tulang” merupakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Tamrin, M.S., selaku pembimbing akademik sekaligus

pembimbing pertama skripsi. Terimakasih atas waktu, saran serta selama masa kuliah sampai proses penyelesaian skripsi.

2. Ibu Dwi Dian Novita, S.TP., M.Si., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan waktu, saran serta membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Bapak Dr. Diding Suhandy, S.TP., M. Agr., selaku pembahas yang telah memberi masukan selama proses penyelesaian skripsi.

4. Bapak Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P., selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian.


(18)

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

7. Seluruh dosen dan staf Jurusan Teknik Pertanian yang telah mendidik dan membantu selama masa perkuliahan.

8. Keluargaku, Mama dan kakak-kakak yang selalu mendukung dalam doa dan memberi semangat sampai proses penyelesaian skripsi.

9. Sahabat-sahabatku yang telah banyak membantu, memberi saran dan menghibur Dea, Chelvia, Eliya, Cynthia, Astri, Tita, Opi, Cionk, Ayub, Vanessa, Buti, Indah, Tari, Wawan, Anwar, Heidy, Eni, Rita. Seluruh teman-teman TETA 2010 yang telah membantu dan memberi semangat serta kepada kakak-kakak tingkat 2008 dan 2009 dan adik-adik tingkat 2011 dan 2012.

10.Abang, kakak, teman-teman dan dan adik-adik Pomperta yang telah mengajarkan banyak hal dan mewarnai masa-masa kuliahku.

Bandar Lampung, Januari 2015


(19)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daging, susu, dan telur saat ini telah menjadi bagian dari pola konsumsi masyarakat sehari-hari yang tidak dapat ditinggalkan. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dan kesadaran gizi masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk mengubah pola makan dari dominan karbohidrat menjadi dominan protein. Fenomena ini menjadi faktor pendorong meningkatnya permintaan produk peternakan di pasaran Indonesia. Sayangnya fenomena ini tidak diimbangi dengan ketersedian produk yang mampu mencukupi permintaan pasar, akibatnya sering terjadi kelangkaan pasokan produk peternakan, terutama di kota-kota besar dan menjelang hari raya.

Peluang dari bisnis peternakan sekarang telah ditangkap oleh beberapa pihak, baik kelompok maupun perorangan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya

pertumbuhan populasi ternak berdasarkan data milik Departemen Pertanian selama lima tahun terakhir (2009 – 20013). Data sensus pertanian subsektor peternakan milik BPS juga menyatakan terjadi pertumbuhan perusahaan dibidang peternakan sebesar 33,89 % pada tahun 2013 (BPS, 2013). Meningkatnya jumlah perusahaan peternakan seperti ini tentunya berpengaruh terhadap meningkatnya permintaan pakan ternak.


(20)

2

Tulang terdiri dari sel-sel serta bahan pengisi. Bahan pengisi tulang terdiri dari protein 30,6 % dan garam-garam mineral (kalsium fosfat 58,3 %, kalsium karbonat 1,0 %, magnesium fosfat 2,1 %, dan kalsium florida 1,9 %). Selain protein dan garam-garam mineral, tulang juga mengandung 50 % air dan 15 % sumsum. Sumsum tersebut mengandung lemak sebesar 96 % (Saleh, E., 2004).

Kalsium dan posfor merupakan unsur mineral makro yang sangat berpengaruh bagi pertumbuhan ternak karena memiliki peranan utama dalam pembentukan rangka tubuh dan gigi. Manfaat lain dari kalsium yaitu membantu pembekuan darah bersama dengan vitamin K, mengaktifkan beberapa jenis enzim dan membantu kontraksi otot. Sedangkan fungsi posfor yaitu berperan dalam proses bioenergi, transduksi energi untuk aktivitas sel, dan mengatur keseimbangan asam-basa (Tillman dkk, 1991). Menurut Wahju (1992) dalam satu kilogram pakan unggas idealnya terkandung 2,75 % kalsium dan 0,6 % posfor. Menurut Tillman dkk (1991) sapi muda membutuhkan kalsium 0,18 % – 0,97 % dan posfor sebanyak 0,18 % – 0,7 % per 2,1 kg pakan.

Tepung tulang merupakan bahan makanan yang dibuat dari tulang hewan, umumnya dibuat dari tulang sapi dan tulang kambing. Tulang dijadikan bahan baku karena mudah ditemukan dan dapat dibeli dengan harga yang murah, bahkan seringkali dibuang begitu saja karena tidak semua konsumen berminat untuk membelinya. Tulang dapat ditemukan di pasar maupun di rumah-rumah pemotongan hewan. Kekontinuan persediaan dan harga yang murah membuat tulang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi kekurangan sumber mineral makro, selain itu tulang juga dapat dijadikan alternatif diversifikasi (penganekaragaman)


(21)

3

sumber mineral bagi ternak karena kandungan mineral dan proteinnya yang dapat memenuhi kebutuhan gizi, sekaligus mampu menekan biaya impor pakan dari luar negeri. Oleh sebab itu, maka akan sangat baik bila tulang-tulang yang dianggap tidak berguna tersebut dimanfaatkan kembali menjadi produk yang memiliki nilai gizi dan nilai jual.

Proses pengolahan tepung menjadi tulang selama ini diakukan dengan cara yang berbeda-beda, ada yang dibakar, direbus dan direndam dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) maupun kalium hidroksida (KOH). Waktu pemrosesannya pun bervariasi, bahkan ada yang sampai memakan waktu berbulan-bulan. Biasanya yang memerlukan waktu lama adalah proses perendaman tulang baik dalam air maupun dalam larutan natrium hidroksida (NaOH) dan dalam larutan kalium hidroksida (KOH). Perendaman ini biasanya bertujuan untuk melepas komponen protein dan lemak. Komponen protein dan lemak sesungguhnya dapat dihilangkan dengan cara lain yang lebih cepat, yakni dengan cara dipanaskan. Menurut Sloane (2004) protein akan mengalami denaturasi, yaitu keadaan dimana protein mengalami perubahan fisik dan terurai karena perubahan lingkungan fisik dan kimia pada suhu diatas 60 °C, sedangkan menurut Ratu (2009) lemak akan mengalami kerusakan pada suhu 100 °C. Selain perendaman, pembuatan tepung tulang umumnya dilakukan dengan cara dibakar dan dikukus.

Penyangraian merupakan cara lain yang dapat digunakan dalam proses pembuatan tepung tulang. Proses penyangraian merupakan proses pemanasan yang

melibatkan suhu tinggi, biasanya dilakukan pada suhu di atas 100 °C, sehingga merapuhkan bahan sekaligus dapat mendenaturasi lemak dan protein. Menurut


(22)

4

Soeharto dalam Nitti (2004) penyangraian (roasting) merupakan proses

pengeringan yang melibatkan suhu tinggi sehingga terjadi perubahan-perubahan komponen kimia dalam bahan dan secara fisik struktur bahan akan berubah Kandungan kalsium yang terdapat pada tepung tulang yang beredar dipasaran umumnya adalah 19 % – 26 % dan posfor 8 % – 12 %. Tepung tulang yang dibuat dengan cara diuap dan telah dikeringkan mengandung 29 % kalsium dan 13,6 % posfor, sedangkan tepung tulang yang dibakar mengandung 22 % kalsium dan 13 % posfor (Tillman dkk, 1991).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, penyangraian diharapkan dapat menjadi alternatif proses pembuatan tepung tulang yang tidak lebih lama dibanding cara yang lain dan tetap dapat menghasilkan produk yang memiliki kandungan lebih baik atau pun tidak jauh berbeda dengan produk yang telah beredar dipasaran.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu penyangraian dan lama penyangraian terhadap kadar air, rendemen, tingkat kehalusan, warna tepung, kandungan kalsium dan kandungan posfor tepung tulang.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi referensi bagi semua pihak yang ingin memanfaatkan tulang untuk dijadikan tepung, terutama dalam


(23)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tulang

Tulang merupakan jaringan peyokong utama tubuh yang struktur pembentuknya terdiri dari unsur organik dan anorganik. Unsur organik terdiri dari protein, mukopolisakarida (rantai protein dengan polisakarida berulang) dan kondroitin sulfat, sedangkan unsur anorganik dalam tulang didominasi oleh ion kalsium dan posfor. Selain kalsium dan posfor, didalam tulang juga terkandung ion

magnesium, karbonat, hidroksil, klorida, fluorida dan sitrat dalam jumlah yang lebih sedikit. Sebanyak 65 % berat tulang kering terbentuk dari garam-garam anorganik, sedangkan 35 % lainnya terbentuk dari substansi dasar organik dan serat kolagen. Sebesar 85 % dari seluruh garam yang terdapat pada tulang merupakan kalsium fosfat, dan 10 % dalam bentuk kalsium karbonat. Lebih kurang 97 % kalsium dan 46 % natrium yang ada dalam tubuh terdapat pada tulang (Singh, 1991).

2.2.Tepung Tulang

Tepung tulang merupakan salah satu bahan baku pembuatan pakan ternak yang terbuat dari tulang hewan. Tulang yang akan dijadikan tepung haruslah tulang yang berasal dari hewan ternak dewasa dan biasanya berasal dari tulang hewan


(24)

6

berkaki empat seperti tulang sapi, kerbau, babi, domba, kambing, dan kuda. Tepung tulang dijadikan sebagai salah satu bahan dasar pembuatan pakan karena mengandung mineral makro yakni kalsium dan posfor serta mineral mikro

lainnya. Menurut Murtidjo (2001) tepung tulang selain dijadikan sebagai sumber mineral juga mengandung asam amino dan protein. Kalsium dan posfor sangat diperlukan oleh hewan karena memiliki peranan dalam pembentukan tulang dan kegiatan metabolisme tubuh. Fungsi mineral bagi hewan ternak antara lain : (1) menjaga keseimbangan asam basa dalam cairan tubuh, (2) sebagai khelat, (3) sebagai zat pembentuk kerangka tubuh, (4) sebagai bagian aktif dalam struktur protein, (5) sebagai bagian dari asam amino, (6) sebagai bagian penting dalam tekanan osmotik sel, (7) pendukung aktivitas enzim dan (8) membantu mekanisme transportasi dalam tubuh.

Tabel 1. SNI tepung tulang.

Karakteristik Syarat

Mutu I (%) Mutu II (%)

Kadar air (maks) 8 8

Kadar lemak 3 6

Kadar kalsium (min) 20 30

Kadar pospat (sebagai P2O5) (min) 20 20

Kadar posfor (P) (min) 8 8

Kehalusan saringan 25 (min) 90 90

Kadar pasir/silika( maks) 1 1

Sumber : Dewan Standardisasi Nasional, 1992.

Tepung tulang yang baik memiliki ciri-ciri tidak berbau, kadar air maksimal 5 %, berwarna keputih-putihan, tingkat kehalusan 80 saringan, bebas bakteri serta


(25)

7

penyakit, dan kadar tepungnya mencapai 94 % (Rasidi, 1999). Kandungan kalsium yang terdapat pada tepung tulang dipasaran umumnya adalah 19 % – 26 % dan posfor 8 % – 12 %.

Kalsium dan posfor merupakan unsur yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang sedikit. Walau tubuh hanya memerlukan sedikit kalsium dan posfor, namun pada kenyataanya mahluk hidup tidak mampu memenuhi kedua unsur tersebut hanya dari asupan makanan sehingga sering terjadi kekurangan. Bahkan Rasidi (1999) menyatakan bahwa unggas tidak dapat memproduksi mineral dalam tubuhnya, sehingga harus disediakan dalam pakan. Kekurangan kalsium dan posfor sangat berpengaruh bagi kegiatan metabolisme dan mampu menimbulkan dampak buruk karena kedua unsur tersebut bersifat esensial. Pakan ternak biasa tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan kalsium dan posfor, sehingga ternak perlu diberikan tambahan suplemen atau pakan tambahan yang merupakan sumber kalsium dan posfor. Pakan tambahan yang dapat dijadikan sumber kalsium dan posfor salah satunya adalah tepung tulang.

2.3.Pakan Ternak & Komposisi Nutrisi

Pengujian pemberian pakan pada unggas dan ternak besar dengan berbagai macam pakan telah dilakukan untuk menentukan nilai makanan giling. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemberian pakan yang digiling dengan kasar lebih baik dibanding memberi makan dengan pakan yang halus. Pakan yang sudah digiling halus tidak dianjurkan untuk diberikan pada ternak dalam kondisi apapun, kecuali pada anak ayam. Pakan yang halus akan melewati saluran pencernaan terlalu cepat sehingga makanan tersebut belum sempat mengalami proses


(26)

8

pencernaan namun sudah dibuang. Pakan yang halus dapat menurunkan kemampuan ternak untuk mencerna makanan, selain itu pakan yang halus mutunya akan lebih cepat turun karena mudah mengalami oksidasi (Henderson dan Perry, 1982).

Makanan ternak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak pada bahan keringnya. Hijauan dibagi menjadi dua golongan, yakni hijauan segar dan hijauan kering, dimana kadar air pada hijauan segar jauh lebih tinggi dibanding hijauan kering. Konsentrat merupakan makanan yang

kandungan serat kasarnya lebih sedikit dibandingkan dengan hijauan dan mengandung karbohidrat, protein, lemak, serta mineral yang jumlahnya relatif banyak namun bervariasi, serta air yang lebih sedikit dibanding hijauan. Konsentrat dapat dimanfaatkan oleh ternak yang memamahbiak maupun yang tidak memamahbiak.

Makanan yang dikonsumsi oleh ternak harus memiliki unsur-unsur yang dapat membantu proses pertumbuhannya. Proporsi unsur-unsur tersebut berbeda pada tiap jenis ternak. Secara garis besar unsur-unsur tersebut dibagi menjadi dua, yakni bahan makanan yang mengandung bahan organik (protein, karbohidrat, vitamin, dan lemak/minyak) dan nonorganik (mineral), (Williamson dan Payne, 1993). Kalsium dan posfor merupakan dua mineral yang sangat dibutuhkan oleh hewan ternak, karena dibutuhkan dalam proses pembentukan tulang, dimana tulang merupakan organ penyokong tubuh hewan tersebut. Rasidi (1999)


(27)

9

menyatakan bahwa unggas tidak dapat memproduksi mineral dalam tubuhnya, sehingga harus disediakan dalam pakan.

Parakkasi (1999) mengatakan bahwa pengelolaan dan nutrisi dalam program produksi hendaknya ditangani dengan sebaik mungkin sehingga anakan dapat tumbuh dengan cepat dan menjadi produk yang dapat memuaskan selera konsumen. Terpenuhinya nutrisi ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah tingkat konsumsi dari hewan tersebut. Tingkat konsumsi hewan ternak dipengaruhi oleh hewan itu sendiri, makanan yang diberikan, serta kondisi lingkungan dimana hewan tersebut dipelihara. Faktor hewan bergantung pada kondisi fisiologis dari hewan tersebut. Kondisi fisiologis ini meliputi : bobot badan / ukuran tubuh, jenis kelamin, umur, faktor genetik, dan tipe bangsa hewan tersebut. Faktor makanan dipengaruhi oleh kualitas bahan makanan, sifat mengisi bahan makanan, serta pH. Faktor lingkungan yang berpengaruh langsung

terhadap tingkat konsumsi hewan ternak adalah temperatur, kelembaban, dan sinar matahari.

Bahan-bahan yang sering dijadikan pakan antara lain adalah bungkil kelapa, jagung, ubi kayu, tepung ikan, tepung tulang, tepung udang, dan bekatul. Tepung tulang merupakan salah satu sumber mineral makro (terutama kalsium dan posfor) yang terbuat dari tulang hewan dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar campuran pakan.

Bagi ikan kalsium memiliki peranan penting dalam pembentukan sisik yang mengkilap dan kuat, memelihara ketegaran kerangka tubuh, membantu regulasi aktifitas otot, mengatur keseimbangan asam-basa, aktivator enzim, membantu


(28)

10

penyerapan vitamin B12 serta menjaga keseimbangan osmotik. Sedangkan posfor berfungsi dalam pembentukan kerangka tubuh, mengaktifkan kegiatan

metabolisme, menjaga keseimbangan asam basa, menjaga tingkat keasaman lambung, serta mengaktifkan pergerakan otot. Kekurangan kalsium dan posfor pada ikan dapat menghambat laju pertumbuhan, nafsu makan menurun, cacat kepala dan cacat tulang belakang (Eddy dan Evi 2005).

Bagi ayam dan unggas lainnya, kalsium dan posfor sangat berperan penting dalam pembentukan cangkang telur dan menjaga kekuatan rangka selama masa produksi telur. Apabila kebutuhan mineral tidak terpenuhi dari pemberian pakan selama masa produksi telur, ayam dapat mengalami kelumpuhan karena kalsium yang terdapat dalam tulang terpakai selama proses pembentukan cangkang telur, oleh sebab ayam petelur membutuhkan kaslium yang tinggi dalam ransum pakannya. Sementara itu pada ayam yang baru menetas dan sedang bertumbuh, kekurangan mineral akan mengakibatkan kaki ayam bengkok/cacat. Efek lain dari kekurangan kalsium dan posfor bagi unggas yaitu menurunnya keinginan mengkonsumsi makanan, volume urine meningkat, aktifitas dan kepekaan menurun, jangka waktu hidup (usia) menurun, transportasi energi terhambat, metabolisme

karbohidrat, asam amino, dan lemak terhambat, serta memicu terjadinya tetanus. Ayam petelur membutuhkan kalsium sebesar 2,6 % pada masa awal pertumbuhan dan akan meningkat sampai 3,7 % sedangkan posfor yang dibutuhkan yakni 0,35 % (Wahju, 1992).


(29)

11

2.4.Penyangraian

Penyangraian (roasting) merupakan proses pengeringan yang melibatkan suhu tinggi sehingga terjadi perubahan-perubahan komponen kimia dalam bahan dan secara fisik struktur bahan akan berubah (Soeharto, 1991 dalam Nitti, 2004). Suhu dan kelembaban udara, kecepatan aliran udara penyangrai, dan kapasitas penyangraian sangat berpengaruh terhadap proses penyangraian. Bahan dapat rusak apabila proses penyangraian berlangsung terlalu singkat, hal tersebut disebabkan oleh permukaan bahan yang terlalu cepat kering namun tidak diimbangi dengan kecepatan gerakan air bahan menuju permukaan, sehingga terjadi pengerasan pada permukaan bahan (Nitti, 2004). Penurunan kadar air pada bahan yang telah disangrai disebabkan oleh suhu yang meningkat dan semakin lamanya waktu dalam proses penyangraian. Kedua hal tersebut menyebabkan kandungan air pada bahan menguap sehingga kadar air bahan menurun (Wahyu dkk, 2013).

2.5.Pengecilan Ukuran

Pengecilan ukuran mencakup proses pemotongan, pemecahan, penggilingan, pengguntingan dan penggilasan. Pengecilan ukuran dilakukan dengan cara-cara mekanis tanpa mengubah sifat kimia bahan. Menurut Henderson dan Perry (1982) peremukan adalah salah satu cara pengecilan ukuran dengan menggunakan gaya yang melebihi kekuatan bahan yang akan diremukkan. Partikel yang

dihasilkan jarang sekali memiliki bentuk dan ukuran yang seragam. Gaya yang dipakai dalam proses peremukan dapat berupa gaya statis dan dinamis. Gaya


(30)

12

statis contohnya seperti pada alat pemecah kenari dengan menggunakan capit, sedangkan gaya dinamis contohnya adalah seperti penggunaan palu.

Penggilingan merupakan salah satu metode mengecilkan ukuran bahan padat supaya menjadi bubuk. Istilah penggilingan digunakan untuk semua jenis

pekerjaan memecahkan atau membubukkan suatu benda padat menjadi potongan-potongan, pecahan-pecahan kecil, atau bubuk ( Djatmiko, 1978 dalam Tira, 2006). Menurut Pratomo (1982) dalam Tira (2006) pengecilan ukuran secara tradisional dilakukan dengan cara menumbuk bahan yang diletakkan dalam lumpang

menggunakan lesung yang terbuat dari batu maupun kayu. Penggilingan secara mekanis dilakukan dengan menggunakan alat maupun mesin yang digerakkan oleh motor bakar, motor listrik, maupun tenaga manusia. Mesin penggiling yang sering dimanfaatkan dalam pengolahan hasil pertanian antara lain : hammermill, burr mill, roller mill, dan edge mill.

Penggilingan bertujuan untuk menggerus atau menghancurkan bahan hasil pertanian supaya ukurannya menjadi lebih kecil dibanding ukuran semula, sehingga memudahkan penggunaan dan pengolahan sesuai dengan yang diinginkan. Selain itu, penggilingan juga bertujuan menghaluskan dan

mengecilkan bentuk hasil yag berguna untuk memperbaiki daya cerna, kelezatan, daya campur, daya simpan, dan dapat menghilangkan benda asing yag terdapat dalam bahan, serta kemungkinan bahan yang terbuang menjadi lebih kecil (Pratomo, 1982 dalam Tira, 2006).

Terdapat dua cara yang dapat digunakan dalam proses penggilingan yakni cara basah dan cara kering. Penggilingan cara basah merupakan penggilingan yang


(31)

13

melibatkan perlakuan fisiko-kimia dan mekanik untuk memisahkan fraksi-fraksi yang diinginkan, sedangkan penggilingan kering merupakan proses yang

melibatkan perlakuan fisik dan mekanik untuk membebaskan komponen-komponen dari sifat aslinya (Departemen Pertanian, 2011).

Bahan-bahan yang diperkecil digolongkan kedalam tiga kelas berdasarkan ukurannya

1. Kisaran dimensi, butir dapat diukur dengan teliti dan mudah dilihat. Ukuran yang terkecil ± 3,175 mm. Contohnya adalah buah atau sayur yang dipotong kotak.

2. Kisaran saringan, ukurannya berkisar 0,0737 - 3,175 mm. Contohnya adalah bahan berbentuk butir seperti pupuk dan pakan ternak giling. 3. Kisaran mikroskopis, ukuran terkecilnya kurang dari 0,0737 mm.

Contohnya adalah debu, serbuk bahan kimia dan semen.

2.6.Hammer Mill

Hammer mill merupakan mesin yang digunakan untuk menggiling. Hammer mill

meggunakan palu-palu pemukul untuk menghancurkan umpan yang masuk. Palu-palu tersebut berputar pada kecepatan 1.500 sampai 4.000 rpm. Palu akan

memukul umpan sampai halus, sampai memungkinkan umpan untuk melewati saringan yang ada dibawahnya. Lubang saringan menentukan kehalusan hasil gilingan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kehalusan adalah kecepatan putaran per menit dan laju pengumpanan.

Keuntungan menggunakan hammer mill yaitu (1) sederhana, (2) serbaguna, (3) bebas dari kerusakan yang berarti yang disebabkan oleh adanya benda asing yang


(32)

14

terumpan, (4) bebas dari kerusakan bila dijalankan dalam keadaan kosong dan (5) keausan palu tidak mengurangi efisiensi alat. Kerugian menggunakan hammer mill adalah hasil gilingan tidak seragam dan memerlukan tenaga besar.

Kemungkinan lain yang mempengaruhi kehalusan adalah gaya pukulan. Tingginya kecepatan putaran pemukul akan menghasilkan energi kinetis yang diberikan pada bahan sehingga menyebabkan bahan menjadi mudah pecah. Benturan antara saringan atau bagian alat lainnya dengan partikel juga dipercaya mempengaruhi ukuran partikel yang dihasilkan.

2.7.Pengayakan

Pengayakan merupakan suatu proses pemisahan bahan berdasarkan ukuran kawat ayakan atau saringan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan keseragaman butiran-butiran hasil penggilingan adalah dengan menggunakan ayakan Tyler. Ayakan tyler digunakan untuk mengukur kelembutan dengan dimensi terkecil 0,0029 inchi - 0,125 inchi. Kelembutan butiran-butiran tepung dinyatakan dengan modulus kehalusan (fineness modulus) yang diberi batasan sebagai jumlah berat bagian yang tertahan pada tiap saringan yang digunakan. Bahan yang ukurannya lebih kecil dari diameter ayakan akan lolos, sedangkan bahan yang ukurannya lebih besar dari diameter ayakan akan tinggal. Analisis ayakan Tyler penting dilakukan untuk menentukan pengaruh penggilingan terhadap perubahan distribusi ( % berat), selain itu analisis ayakan Tyler juga berfungsi untuk menentukan pengaruh penggilingan terhadap ukuran partikel. Indeks keseragaman modulus kehalusan menunjukkan keseragaman hasil giling fraksi kasar, sedang, dan halus dalam bahan hasil penggilingan.


(33)

15

Tabel 2. Ukuran baku saringan Tyler.

Mesh (Σ lubang/in)

Diameter kawat (in) Ukuran lubang

Inchi mm Inchi mm

… 0,148 3,76 1,020 28,67

… 0,135 3,43 0,742 18,85

… 0,105 2,67 0,525 13,34

… 0,092 2,34 0,371 9,42

3 0,070 1,78 0,263 6,68

4 0,065 1,65 0,185 4,70

6 0,036 0,91 0,131 3,33

8 0,032 0,81 0,093 2,36

10 0,035 0,89 0,065 1,65

14 0,025 0,64 0,046 1,17

20 0,0172 0,44 0,0328 0,83

28 0,0125 0,32 0,0232 0,59

35 0,0122 0,31 0,0164 0,42

48 0,0092 0,23 0,0116 0,29

65 0,0072 0,18 0,0082 0,21

100 0,0042 0,11 0,0058 0,15

150 0,0026 0,066 0,0041 0,1

200 0,0021 0,0053 0,0029 0,074

Sumber : Henderson dan Perry, 1982.

Teknik untuk memisahkan sampel telah dibakukan dan harus diikuti bila kita menginginkan hasil yang baik. Waktu dan cara penggoyangan adalah dua hal yang penting untuk diperhatikan. Mesin penggoyang (ro-tap) memiliki pengatur waktu yang dapat disesuaikan dengan keperluan. Butiran yang melekat pada saringan seringkali diseabkan oleh listrik statis, hal tersebut dapat membuat bahan yang halus tertahan pada lubang sehingga menyebabkan ukuran lubang menjadi lebih kecil dari ukuran yang sebenarnya dan menyebabkan hasil yang salah. Ukuran butiran yang lebih kecil akan lebih menyulitkan proses penyangraian,


(34)

16

bahkan seringkali lubang menjadi benar-benar tersumbat (Henderson dan Perry, 1982).


(35)

17

III.METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni – Agustus 2014 di Laboratorium Rekayasa Biopress Pasca Panen, Laboratorium Daya, Alat Mesin Pertanian Jurusan Teknik Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tulang sapi dan pasir. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu kompor, wajan besi tebal, pengaduk,

thermometer dengan jangkauan suhu 200 °C, stopwatch, baskom, pisau, timbangan digital, timbangan analog, oven, desikator, cawan, tang penjepit, ayakan tyler, sendok, kertas label, mesin penepung tipe hammer mill, plastik PE, sikat cuci, kuas dan kamera digital.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan pola 3x3 yang terdiri dari dua faktor yaitu suhu (T) dan waktu (t). Setiap faktor menggunakan tiga taraf (T1, T2 dan T3) dan (t1, t2 dan t3) yang saling dikombinasikan sehingga didapat sembilan kombinasi dari dua perlakuan


(36)

18

perlakuan (T1t1, T1t2, T1t3, T2t1, T2t2, T2t3, T3t1, T3t2, dan T3t3). Sembilan kombinasi dari dua perlakuan yang didapat selanjutnya diulang sebanyak tiga kali, sehingga didapat 27 unit percobaan. Bobot tulang yang digunakan untuk setiap unit percobaan adalah 500 gram.

Tabel 1. Kombinasi dari dua perlakuan

Suhu (°C) Waktu (menit)

t1 t2 t3

T1 T1t1 T1t2 T1t3

T2 T2t1 T2t2 T1t3

T3 T3t1 T3t2 T3t3

T1 = 160 °C t1 = 90 menit T2 = 180 °C t2 = 120 menit T3 = 200 °C t3 = 150 menit

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Proses Pembuatan

Tulang dipotong dengan panjang kira-kira 5 cm, kemudian dibersihkan dari daging yang masih menempel lalu dicuci dengan air sampai bersih. Tulang yang telah dibersihkan kemudian ditimbang sebanyak 500 gram. Wajan yang telah berisi pasir dipanaskan sampai pada suhu yang akan digunakan untuk menyangrai, masukkan tulang kedalam wajan yang telah dipanaskan pada suhu yang telah ditentukan (T1 = 160 °C T2 = 180 °C dan T3 = 200 °C). Tulang disangrai selama waktu yang telah ditentukan (t1 = 90 menit, t2 = 120 menit dan t3 = 150 menit) sesuai kombinasi dari dua perlakuan sambil diaduk-aduk. Selama proses


(37)

19

penyangraian berlangsung, suhu bahan harus selalu dipantau dengan meletakkan termometer dan diamati dengan interval waktu 10 menit.

Tulang yang telah selesai disangrai didinginkan dan dibersihkan dari pasir yang menempel dengan menggunakan sikat cuci, kemudian ditimbang kembali dan dihancurkan menjadi ukuran yang lebih kecil dengan menggunakan hammer mill. Tulang yang telah dihancurkan selanjutnya ditimbang, kemudian diayak

menggunakan ayakan tyler dengan nomor saringan yang digunakan adalah 8, 12, 20 dan 40 selama sepuluh menit. Tepung yang tertahan dari setiap saringan dituang kedalam sebuah wadah dan sisanya yang masih menempel dibersihkan dengan kuas lalu ditimbang.

Hasil ayakan dibagi menjadi 3 kategori, yakni kasar, sedang dan halus. Bagian yang kasar merupakan tepung yang tertinggal pada saringan dengan ukuran 8 dan 12, bagian yang termasuk kategori sedang yakni tepung yang tertinggal pada saringan dengan ukuran 20, dan bagian yang termasuk kategori halus merupakan tepung yang tertinggal pada saringan 40 dan panci penampung. Tepung yang telah diayak ditimbang kembali kemudian diambil sampelnya untuk dihitung kadar air, rendemen, modulus kehalusan, keseragaman warna, kandungan kalsium dan kandungan posfor.


(38)

20

3.4.2 Diagram Alir


(39)

21

3.5 Pengamatan Penelitian

3.5.1 Kadar Air

Perhitungan kadar air pada penelitian ini dilakukan dengan metode oven. Metode oven menggunakan prinsip menguapkan air yang ada dalam bahan dengan

pemanasan. Perhitungannya yaitu dengan menghitung selisih bobot awal dan bobot akhir sampel yang dioven dengan suhu 105 °C selama 24 jam. Selisih bobot yang didapat kemudian dibagi dengan berat awal dan dikali 100 % maka akan didapat kadar air bahan.

Sampel diambil dari tepung yang sudah diayak. Sebelum digunakan, cawan dibersihkan dan dikeringkan dengan oven terlebih dahulu dengan suhu 105 °C selama 15 menit kemudian dinginkan dalam desikator selama 10 menit dan

ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang telah diketahui beratnya dengan menggunakan timbangan digital. Keringkan sampel dalam oven dengan suhu 105 °C selama 24 jam lalu dinginkan dalam desikator selama 10 menit dan timbang. Kadar air dihitung dengan rumus (Sudarmadji dkk, 1997) :

Kadar air ( %bb) = x 100 % ... (1)

Keterangan :

3.5.2 Keseragaman Ukuran (Modulus Kehalusan)

Modulus kehalusan dinilai berdasarkan hasil ayakan. Tepung diayak selama sepuluh menit kemudian tepung yang tertinggal pada tiap saringan ditimbang. Untuk menentukan modulus kehalusan, terlebih dahulu dihitung fraksi % bahan


(40)

22

tertinggalnya. Fraksi bahan tertinggal dihitung dengan rumus (Henderson dan Perry, 1989) :

……….... (2) Keterangan :

Xi = fraksi bahan tertinggal pada saringan ke-n ( %) Wi = berat bahan pada saringan ke-n (g)

Wtot =total berat bahan (g)

Setelah fraksi bahan diketahui nilainya, dilakukan peghitungan modulus (FM) kehalusan dengan rumus :

... (3)

3.5.3 Warna Tepung

Pada penelitian ini pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan tabel warna Cemani Toka. Tepung tulang diambil sampelnya kemudian dicocokkan warnanya dengan warna yang ada pada tabel. Hasil dari pengukuran selanjutnya dijelaskan secara deskriptif.

3.5.4 Rendemen

Rendemen diukur dengan membandingkan berat tepung yang dihasilkan dengan berat bahan sebelum disangrai. Rendemen dihitung dengan rumus (Lubis, 2008) :


(41)

23

3.5.5 Kadar Kalsium dan Posfor

Kadar kalsium dianalisis dengan menggunakan metode AAS-Flame dan posfor dianalisis dengan menggunakan metode spektofotometri dari tiga sampel yang diambil secara acak. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam sampel

dihilangkan terlebih dahulu dengan pengabuan kering dengan cara menimbang 10 grama sampel dalam cawan platina/silika. Masukkan sampel kedalam tanur dengan suhu 250 °C, perlahan-lahan naikkan menjadi 350 °C kemudian naikkan lagi sampai 500 °C dan diabukan selama 15 jam atau semalaman. Setelah itu keluarkan cawan dari dalam tanur dan biarkan dingin. Sampel yang telah dingin kemudian diuji. Sampel yang akan diuji kalsiumnya dimasukkan dalam nyala api yang ada didalam AAS (atomic absorbtion spectrophotometer) sehingga absorbsi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang 422,7 nm. Sedangkan ekstrak yang akan diuji posfornya dimasukkan dalam spektofometer dengan panjang gelombang 650 nm.

3.6 Analisis Data

Data hasil pengukuran kadar air, rendemen, dan tingkat kehalusan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam taraf 0,05, apabila berpengaruh (nilai F < 0,05) akan dilakukan uji lanjut dengan Duncan grouping kemudian disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar. Analisis statistik menggunakan program SAS versi 9.0.


(42)

38

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah

1. Berdasarkan uji sidik ragam yang dilakukan dengan taraf α 0,05 didapat kesimpulan bahwa suhu dan lama penyangraian tidak berpengaruh terhadap kadar air, rendemen dan modulus kehalusan. Akan tetapi tulang yang disangrai dengan suhu yang lebih tinggi, tingkat kekerasannya cenderung lebih kecil.

2. Kadar air yang didapat sudah memenuhi SNI, yakni berkisar 2,70 – 4,71 %. Rendemen yang dihasilkan mencapai 70 %. Modulus kehalusan berkisar 2,73 -3,06 dalam skala 0-4 namun ukuran partikelnya belum sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan ketentuan SNI. Warna tepung yang dihasilkan adalah coklat tua. Kadar kalsium dan posfor yang

diperoleh rata-rata sebesar 39,9 % dan 11,7 %.

3. Warna tepung yang dihasilkan dari perlakuan yang diberikan tidak terlihat perberbedaannya secara signifikan.


(43)

39

5.2 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah

1. Perlu dilakukan uji kimia seperti uji protein, kadar abu dan kadar lemak terhadap tepung tulang untuk membandingkan dengan SNI.

2. Perlu dilakukan penelitian seberapa besar tekanan yang harus diberikan untuk mendapatkan rendemen dengan ukuran yang sesuai dengan SNI. 3. Perlu dilakukan uji awal kandungan bahan supaya dapat dibandingkan


(44)

40

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Usaha Pertanian Subsektor Peternakan. http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/index. Diakses tanggal 16 Maret 2014.

Departemen Pertanian. 2011. Inovasi Mekanisasi Mendukung Nilai Tambah

Produk Pertanian.

http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/109/file/Alsin-Pengolah-Buru-Hotong.pdf. diakses tanggal 26 Maret 2014.

Departemen Pertanian. 2013. Produksi, Konsumsi, dan Populasi Ternak Menurut

Provinsi. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/isi_dt5thn_nak.php.

Diakses tanggal 27 Februari 2014.

Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI Tepung untuk Bahan Makanan Ternak. Standar Nasional Indonesia 01-3158-1992.

Djatmiko, B. 1979 dalam Widarta, T.L. 2005. Pengaruh Tebal Irisan Terhadap

Tingkat Kehalusan Tepung Salak Pondoh Sumatera Selatan. (Skripsi).

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Eddy, A dan L. Evi. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 146 hlm

Henderson, S.M, dan R.L. Perry. 1982. Agricultural Process Engineering. The Avi Publishng Company. Connecticut. 422 hlm.

Lubis, I.H. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung

Pandan. (Skripsi). USU. Medan.

Martunis. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian

Indonesia. Vol 4. No 3:26-30.

Muchtadi. 1997 dalam Martunis. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan


(45)

41

Murtidjo, B.A. 2001. Pedoman Meramu Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 128 hlm.

Nitti, N. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian Biji Melinjo terhadap

kualitas Produksi Emping Melinjo. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Nugroho J. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian terhadap Sifat Fisik Mekanis Kopi Robusta. Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian. ISSN

2081-715. Mataram. 9 hlm.

Palupi, N.S., F.R Zakaria, dan E. Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan

terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-learning ENBP. Fateta IPB. Bogor. 14

hlm.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia. Jakarta. 852 hlm.

Pratomo, M. 1982 dalam Widarta, T.L. 2005. Pengaruh Tebal Irisan Terhadap

Tingkat Kehalusan Tepung Salak Pondoh Sumatera Selatan. (Skripsi).

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rasidi. 1999. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta. 122 hlm.

Ratu, A.D.S. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Jurnal Makara Sains. Vol 13 No 1 : 23-28.

Salamah, E., S. Purwaningsih, dan R. Kurnia. 2012. Kandungan Mineral Remis

(Corbicula javanica) Akibat Proses Pengolahan. Jurnal Akuatika. Vol 3 No 1 :

74-83.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Universitas Sumatera Utara. Medan. 24 hlm.

Singh, I. 1991. Histologi Manusia. Binarupa Aksara. Jakarta. 266 hlm.

Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC. Jakarta. 389 hlm. Soeharto. 1991 dalam Nitti, N. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian

Biji Melinjo terhadap kualitas Produksi Emping Melinjo. (Skripsi).

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan


(46)

42

Syarifa, R.N., dan E. Teti. 2013. Pemanfaatan Talas Berdaging Umbi Kuning (Colocasia esculenta (L) Schott) dalam Pembuatan Cookies. Jurnal Pangan

dan Agroindustri. Vol 1. No 1 : 46-55.

Tillman, D.A., H. Hari, R. Soedomo, P. Soeharto dan L. Soekanto. 1991. Ilmu

Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 422

hlm.

Wahju, J.1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 418 hlm.

Wahyu, Y., Mursalim dan I.S. Tulliza. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama

Penyangraian terhadap Tingkat Kadar Air dan Keasaman Kopi Robusta. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3670/jurnal.pdf?se quence=3. 12 hlm.

Widarta, T.L. 2005. Pengaruh Tebal Irisan Terhadap Tingkat Kehalusan Tepung

Salak Pondoh Sumatera Selatan. (Skripsi).Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Williamson, G dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah

Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 967 hlm.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253 hlm.


(1)

dianalisis dengan menggunakan metode spektofotometri dari tiga sampel yang diambil secara acak. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam sampel

dihilangkan terlebih dahulu dengan pengabuan kering dengan cara menimbang 10 grama sampel dalam cawan platina/silika. Masukkan sampel kedalam tanur dengan suhu 250 °C, perlahan-lahan naikkan menjadi 350 °C kemudian naikkan lagi sampai 500 °C dan diabukan selama 15 jam atau semalaman. Setelah itu keluarkan cawan dari dalam tanur dan biarkan dingin. Sampel yang telah dingin kemudian diuji. Sampel yang akan diuji kalsiumnya dimasukkan dalam nyala api yang ada didalam AAS (atomic absorbtion spectrophotometer) sehingga absorbsi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang 422,7 nm. Sedangkan ekstrak yang akan diuji posfornya dimasukkan dalam spektofometer dengan panjang gelombang 650 nm.

3.6 Analisis Data

Data hasil pengukuran kadar air, rendemen, dan tingkat kehalusan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam taraf 0,05, apabila berpengaruh (nilai F < 0,05) akan dilakukan uji lanjut dengan Duncan grouping kemudian disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan gambar. Analisis statistik menggunakan program SAS versi 9.0.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah

1. Berdasarkan uji sidik ragam yang dilakukan dengan taraf α 0,05 didapat kesimpulan bahwa suhu dan lama penyangraian tidak berpengaruh terhadap kadar air, rendemen dan modulus kehalusan. Akan tetapi tulang yang disangrai dengan suhu yang lebih tinggi, tingkat kekerasannya cenderung lebih kecil.

2. Kadar air yang didapat sudah memenuhi SNI, yakni berkisar 2,70 – 4,71 %. Rendemen yang dihasilkan mencapai 70 %. Modulus kehalusan berkisar 2,73 -3,06 dalam skala 0-4 namun ukuran partikelnya belum sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan ketentuan SNI. Warna tepung yang dihasilkan adalah coklat tua. Kadar kalsium dan posfor yang

diperoleh rata-rata sebesar 39,9 % dan 11,7 %.

3. Warna tepung yang dihasilkan dari perlakuan yang diberikan tidak terlihat perberbedaannya secara signifikan.


(3)

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah

1. Perlu dilakukan uji kimia seperti uji protein, kadar abu dan kadar lemak terhadap tepung tulang untuk membandingkan dengan SNI.

2. Perlu dilakukan penelitian seberapa besar tekanan yang harus diberikan untuk mendapatkan rendemen dengan ukuran yang sesuai dengan SNI. 3. Perlu dilakukan uji awal kandungan bahan supaya dapat dibandingkan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Usaha Pertanian Subsektor Peternakan. http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site/index. Diakses tanggal 16 Maret 2014.

Departemen Pertanian. 2011. Inovasi Mekanisasi Mendukung Nilai Tambah Produk Pertanian.

http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/109/file/Alsin-Pengolah-Buru-Hotong.pdf. diakses tanggal 26 Maret 2014.

Departemen Pertanian. 2013. Produksi, Konsumsi, dan Populasi Ternak Menurut Provinsi. http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/isi_dt5thn_nak.php. Diakses tanggal 27 Februari 2014.

Dewan Standardisasi Nasional. 1992. SNI Tepung untuk Bahan Makanan Ternak. Standar Nasional Indonesia 01-3158-1992.

Djatmiko, B. 1979 dalam Widarta, T.L. 2005. Pengaruh Tebal Irisan Terhadap Tingkat Kehalusan Tepung Salak Pondoh Sumatera Selatan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Eddy, A dan L. Evi. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Yogyakarta. 146 hlm

Henderson, S.M, dan R.L. Perry. 1982. Agricultural Process Engineering. The Avi Publishng Company. Connecticut. 422 hlm.

Lubis, I.H. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung Pandan. (Skripsi). USU. Medan.

Martunis. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Vol 4. No 3:26-30.

Muchtadi. 1997 dalam Martunis. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kualitas Pati Kentang Varietas Granola. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Vol 4 No 3:26-30.


(5)

Lampung.

Nugroho J. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian terhadap Sifat Fisik Mekanis Kopi Robusta. Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian. ISSN 2081-715. Mataram. 9 hlm.

Palupi, N.S., F.R Zakaria, dan E. Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-learning ENBP. Fateta IPB. Bogor. 14 hlm.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia. Jakarta. 852 hlm.

Pratomo, M. 1982 dalam Widarta, T.L. 2005. Pengaruh Tebal Irisan Terhadap Tingkat Kehalusan Tepung Salak Pondoh Sumatera Selatan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rasidi. 1999. 302 Formulasi Pakan Lokal Alternatif untuk Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta. 122 hlm.

Ratu, A.D.S. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Jurnal Makara Sains. Vol 13 No 1 : 23-28.

Salamah, E., S. Purwaningsih, dan R. Kurnia. 2012. Kandungan Mineral Remis (Corbicula javanica) Akibat Proses Pengolahan. Jurnal Akuatika. Vol 3 No 1 : 74-83.

Saleh, E. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Universitas Sumatera Utara. Medan. 24 hlm.

Singh, I. 1991. Histologi Manusia. Binarupa Aksara. Jakarta. 266 hlm.

Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC. Jakarta. 389 hlm. Soeharto. 1991 dalam Nitti, N. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian

Biji Melinjo terhadap kualitas Produksi Emping Melinjo. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.160 hlm.


(6)

Syarifa, R.N., dan E. Teti. 2013. Pemanfaatan Talas Berdaging Umbi Kuning (Colocasia esculenta (L) Schott) dalam Pembuatan Cookies. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Vol 1. No 1 : 46-55.

Tillman, D.A., H. Hari, R. Soedomo, P. Soeharto dan L. Soekanto. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 422 hlm.

Wahju, J.1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 418 hlm.

Wahyu, Y., Mursalim dan I.S. Tulliza. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama

Penyangraian terhadap Tingkat Kadar Air dan Keasaman Kopi Robusta. http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3670/jurnal.pdf?se quence=3. 12 hlm.

Widarta, T.L. 2005. Pengaruh Tebal Irisan Terhadap Tingkat Kehalusan Tepung Salak Pondoh Sumatera Selatan. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Williamson, G dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 967 hlm.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253 hlm.