ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTI INFLAMASI DARI KAYU BATANG TUMBUHAN Rhizophora apiculata

(1)

ABSTRAK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTI INFLAMASI DARI KAYU BATANG TUMBUHAN Rhizophora apiculata

Oleh Devy Cendekia

Pada penelitian ini telah dilakukan isolasi, identifikasi, dan uji anti inflamasi senyawa steroid dari kayu batang Bakau Minyak (Rhizophora apiculata). Proses isolasi meliputi tahapan maserasi dengan metanol, pemisahan kromatografi cair vakum (KCV) dan pemurnian dengan kromatotron menggunakan eluen DCM/n-heksana. Identifikasi senyawa menggunakan KLT dengan tiga sistem eluen berbeda yaitu eluen diklorometan/kloroform (2:3), n-heksana/etil asetat (4:1), dan diklorometan/etil asetat (9:1) dihasilkan satu noda dengan nilai Rf berturut-turut 0,19; 0,37; dan 0,68, dan titik lelehnya 1610C-1620C menandakan senyawa ini telah murni. Senyawa hasil isolasi merupakan kristal bening berbentuk jarum sebanyak 54,8 mg. Penentuan struktur senyawa dilakukan dengan spektrofotometri ultraungu-tampak, inframerah, NMR, dan GC-MS. Hasil analisis senyawa berdasarkan spektroskopi dan GC-MS menunjukkan senyawa hasil isolasi adalah stigmast-5en-3β-ol (β-sitosterol) dengan m/z 414. Pada uji anti inflamasi, senyawa ini memiliki aktivitas anti inflamasi lebih efektif pada konsentrasi 0,6 mg/mL dibandingkan konsentrasi 1,4 mg/mL.


(2)

ABSTRACT

ISOLATION AND IDENTIFICATION ANTI INFLAMMATORY COMPOUND FROM HEARTWOOD Rhizophora apiculata

Oleh Devy Cendekia

This study has been carried out the isolation, identification, and anti inflammatory compound of the heartwood oil Bakau (Rhizophora apiculata) has been conducted. Isolation process include stages macarated with methanol, vacuum liquid chromatography separation (VLC) and purification by chromatotron using eluent dichloromethane/n-hexane. Identification of isolated compound by TLC with three different eluent systems of which the eluent dichloromethane/chloroform (2:3), n-hexane/ethyl acetate (4:1), and dichloromethane/ethyl acetate (9:1) produced a stain with Rf value 0.19; 0.37;

and 0.68, and the determination of the melting point of 1610C-1620C indicates these compound has been pure. Isolated compound was needle-shaped crystal clear as much as 54.8 mg. Determination of the structure of compounds was done with ultra violet spectrometry, infrared spectrometry, NMR, and GC-MS. Results of analysis of compound by spectroscopy and GC-MS showed isolated compound is stigmast-5en-3β-ol (β-sitosterol) with m/z 414. In the anti inflammatory tests the has anti-inflammatory is more effective at a concentration of 0.6 mg/mL compared to the concentration of 1.4 mg/mL.


(3)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIINFLAMASI DARI KAYU BATANG TUMBUHAN Rhizophora apiculata

Oleh

Devy Cendekia

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER SAINS

Pada Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

PROGRAM PASCASARJANA JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Bandar Lampung pada tanggal 14

September 1988, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan bapak Ahmad Fuadi Mukti dan Ibu Sri Mulya Rahmawati.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Al Azhar 3 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1994. Pendidikan formal dimulai dengan memasuki jenjang

pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Al Azhar Bandar Lampung, yang

diselesaikan pada tahun 2000. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 25 Bandar Lampung pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 9 Bandar Lampung, pada tahun 2006.

Tahun 2006, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kimia, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung, melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Penulis

mendapatkan gelar sarjana di tahun 2010 dan melanjutkan bekerja di PT. Bank Muamalat Indonesia sebagai Relationship Manager Financing selama dua tahun.


(8)

Persembahan

Karya ini kupersembahkan untuk :

Ibu Tati Suhartati yang senantiasa membimbingku

Ayah dan ibuku yang senantiasa menyayangi,

mencintai dan mendoakanku

Suami ku, Dedi Nuryanto, ananda Ibad Hafiz Nuryanto,

kakak dan adikku atas doa dan dukungannya

Teman-temanku

Almamater tercinta


(9)

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemuudahan,

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemuudahan.

Maka apabila kamu telah selesai (dari

sesuatu urusan), kerjakanlah dengan

sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya

kamu berharap”.

(QS. Al-Insyirah : 5-8)


(10)

SANWACANA

Segala puja dan puji syukur hanyalah milik Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah, dan kehendak-Nya penulis bisa menyelesaikan tesis dengan judul :

“Isolasi dan Identifikasi Senyawa Anti Inflamasi dari Kayu Batang Tumbuhan Rhizophora apiculata”

Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman nanti.

Bersamaan dengan selesainya tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Tati Suhartati, M.S., selaku Pembimbing Utama sekaligus

Pembimbing Akademik atas kesediaanya untuk memberikan ilmu, bimbingan, kritik dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini serta bimbingan dalam penyelesaian studi.

2. Ibu Dr. Noviany, S. Si., M. Si., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, masukan dan kritikan dalam proses penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M. T., selaku pembahas dan


(11)

telah banyak memberi kritikan, masukan, dan saran dalam proses penyelesaian tesis ini.

4. Bapak Prof. Sutopo Hadi, Ph.D.,selaku Ketua Program Pascasarjana Kimia, yang selalu memberikan motivasi dan semangat dalam proses penyelesaian tesis ini.

5. Bapak Prof. Suharso, Ph. D., selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas Lampung.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

7. Seluruh staf dosen dan karyawan di Jurusan Kimia Fakultas MIPA Univertas Lampung.

8. Suamiku tercinta, Dedi Nuryanto, atas curahan kasih sayang, do’a, serta penyemangat hidupku.

9. Bapak dan ibuku yang tersayang, atas curahan kasih sayang, do’a, dan bimbingan yang tak ternilai harganya.

10. Kakak dan adikku tercinta, kalian adalah inspirasi dan semangat hidupku. 11. Seluruh keluarga besarku, keluarga Mukti dan Keluarga Sulaiman.

12. Sahabatku Motiq. Terima kasih atas kebersamaan, keceriaan dan motivasi. 13. Teman-teman satu grup organik : ibu Ning, ibu Tati, pak Irwan, mbak Diah,

Reni dan Viqqi yang selalu menjadi penyemangat kuliahku. Terima kasih atas bantuannya.

14. Teman-teman kerja di Laboratorium Kimia Organik : Rahmat, Mirfat, dan Jun. Terima kasih atas kebersamaan, kerja sama, keceriaan dan bantuannya. 15. Teman-teman magister kimia angkatan 2013 dan 2014.


(12)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga tesis yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 3

1.3. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Rhizoporaceae ... 4

2.2. Rhizophora apiculata ... 5

2.3. Senyawa Antibakteri ... 7

2.3.1. Flavonoid ... 8

2.3.2. Alkaloid ... 10

2.3.3. Steroid... 11

2.4. Pemisahan Senyawa Secara Kromatografi... 13


(14)

2.4.2. Kromatotron ... 15

2.4.3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 16

2.5. Identifikasi Senyawa Organik Secara Spektroskopi ... 18

2.5.1. Spektroskopi Inframerah ... 18

2.5.2. Spektroskopi Ultraungu-tampak ... 20

2.5.3. Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir ... 22

2.5.4. Spektroskopi Massa ... 24

2.6. Uji Bioaktivitas ... 25

2.7. Inflamasi ... 27

III. METODE PENELITIAN……….………. ... 29

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian……….………. .. 29

3.2. Alat dan Bahan………..……… . 29

3.2.1. Alat-alat yang digunakan ... 29

3.2.2. Bahan-bahan yang digunakan... 30

3.3. Prosedur Penelitian………..………... 30

3.3.1. Pengumpulan dan persiapan sampel……..……… . 30

3.3.2. Persiapan nutrien agar (NA)...…………..………... 30

3.3.3. Pembuatan senyawa uji…...………..… ... 31

3.3.3.1 Persiapan Na-CMC 5%…...………..… ... 31

3.3.3.2 Larutan asam mefemanat…...………..… .... 31

3.3.3.3 Persiapan senyawa uji…...………..… ... 31

3.3.4. Ekstraksi dengan metanol…...…………..……… .. 31

3.3.5. Kromatografi cair vakum (KCV)…...………..… ... 32


(15)

3.3.7. Kromatotron ... 33

3.3.8. Uji kemurnian... 34

3.3.9. Spektrofotometer Ultraungu-tampak…..………... ... 34

3.4.0. Spektrofotometer Inframerah ... .... 35

3.4.1. Spektrofotometer Resonansi Magnetik Inti... .. 35

3.4.2. Spektrofotometer Massa... ... 35

3.4.3. Uji bioaktivitas ... 36

3.4.4. Uji anti inflamasi ... 36

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

4.1. Isolasi Senyawa………..……….. ... 38

4.2. Analisis Spektroskopi……….. ... 43

4.2.1. Analisis Spektroskopi Ultraungu-Tampak ... 43

4.2.2. Analisis Spektroskopi Inframerah ... 44

4.2.3. Analisis Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti ... 46

4.2.3.1. Spektrum 13C-NMR ... 46

4.2.3.2. Spektrum 1H-NMR ... 48

4.2.3.3. Spektrum DEPT ... 48

4.2.4. Analisis Spektroskopi Massa ... 51

4.3. Uji Bioaktivitas ... 53

4.4. Uji Anti Inflamasi ... 55

V. KESIMPULAN ... 59

5.1. Simpulan ... 59


(16)

DAFTAR PUSTAKA………...……… .... 60 LAMPIRAN ... 65


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Penggolongan kromatografi berdasarkan fasa diam dan fasa gerak ... 14

2. Daerah serapan gugus fungsi senyawa organik ... 20

3. Pergeseran kimia untuk proton dalam molekul organik ... 24

4. Hasil fraksinasi kayu batang R.apiculata dengan metoda KCV ... 38

5. Data geseran kimia dari kristal Dc ... 46

6. Data hubungan perkiraan urutan nomor karbon, 13C-NMR, 1H-NMR, dan DEPT (Distortionless Enhancement by Polarization Tranfer) ... 49

7. Perbandingan data 13C-NMR, 1H-NMR, dan DEPT hasil penelitian dengan data literatur ... 50


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Diagram alir penelitian ... 14 2. Perhitungan dosis asam mefemanat ... 20 3. Hasil uji anti inflamasi ... 24


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tumbuhan Rhizophora apiculata ... 6

2. Tiga jenis flavonoid... 8

3. Kerangka dasar flavon... 8

4. Tingkat oksidasi senyawa flavonoid ... 9

5. Klasifikasi alkaloid berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen ... 11

6. Kerangka dasar steroid ... 12

7. Sistem penomoran steroid ... 12

8. Struktur senyawa β-Sitosterol ... 13

9

. Kromatogram KLT ekstrak kasar metanol dengan eluen metanol/etil asetat 3:2 ... 37

10. Kromatogram hasil analisis KLT fraksi gabungan hasil fraksinasi I-III menggunakan eluen etil asetat/heksana (4:1)... 39

11. Kromatogram hasil analisis KLT fraksi H menggunakan eluen (a) etil asetat/heksana (8:2), (b) etil asetat/heksana (5:5) dengan pelarut visualisasi CeSO4 ... 40

12. Kromatogram kristal yang diperoleh dari fraksi H12 menggunakan eluen etil asetat/heksana (3:7) dengan pelarut visualisasi CeSO4 ... 41

13. Kromatogram kristal Dc dan kristal yang diperoleh dari fraksinasi H13 dengan menggunakan eluen etil asetat/heksana (1:4) ... 41


(20)

14. Kromatogram hasil analisis KLT kristal Dc dengan menggunakan eluen a) diklorometan/kloroform (2:3), b) etil asetat/heksana (1:4), c) etil

asetat/diklorometan (1:9) ... 42

15. Spektrum UV-Vis kristal Dc ... 43

16. Perbandingan spektrum IR.A) senyawa stigmasterol, B)kristal Dc ... 45

17. Spektrum 13C-NMR (125 MHz, Kloroform) dari kristal Dc ... 46

18. Spektrum 1H-NMR dari kristal Dc ... 47

19. Spektrum DEPT dari kristal Dc ... 48

20. Penomoran senyawa stigmasterol ... 51

21. Hasil uji bioaktivitas terhadap E. coli ... 52

22. Hasil uji bioaktivitas terhadap B. subtilis ... 52

23. Bentuk kaki hewan uji yang sudah mengalami inflamasi ... 54


(21)

`

I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumbuh-tumbuhan merupakan sumber alam yang banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Jumlah spesies tumbuhan atau flora di Indonesia amatlah banyak. Sebagai negara megadiversiti, kekayaan jumlah spesies flora (tumbuhan) Indonesia tidak perlu diragukan. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat 2 jutaan spesies tumbuhan yang telah dikenali dan 60 % dari jumlah tersebut terdapat di Indonesia (Endah, 2011).

Beberapa senyawa kimia yang ada dalam berbagai tumbuhan telah banyak diidentifikasi oleh para peneliti dan beberapa di antaranya memiliki uji bioaktivitas yang positif. Senyawa-senyawa kimia yang diteliti umumnya merupakan golongan alkaloid, flavonoid, tanin, terpenoid dan steroid. Singariya dkk. (2012) menemukan senyawa stigmasterol pada tumbuhan Cenchrus setigerus memiliki aktivitas anti-bakteri terhadap bakteri Bacillus subtilis. Gabai dkk. (2010) meneliti bahwa senyawa stigmasterol memiliki aktivitas anti inflamasi.

Potensi alam ini memungkinkan ditemukan senyawa-senyawa kimia baru yang memiliki manfaat sebagai obat ataupun sebagai antijamur/anti bakteri. Tumbuhan di Indonesia hidup di darat dan ada pula yang di lautan. Beberapa tumbuhan yang mampu bertahan di daerah perairan menjadi hal menarik untuk diteliti lebih lanjut


(22)

2

terkait beberapa senyawa metabolit sekunder dan sifat antibiotiknya. Salah satu famili tumbuhan yang hidup di laut adalah Rhizophoraceae

Famili Rhizophoraceae merupakan salah satu famili tumbuhan perairan yang sebagian besar tumbuh di daerah pesisir pulau-pulau di Indonesia. Famili Rhizophoraceae terdiri dari 11 spesies meliputi, Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B. sexangula, ceriops decandra, C. tagal, Kandelia candel, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa (Kartawinata dkk., 1978).

Beberapa genus Rhizophora telah banyak di teliti dan menunjukkan aktivitas biologi yang menarik. Ekstrak kasar etil asetat dari R. mucronata menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik (Lycias dkk., 2010). Zulkarnaen dkk. (2012) telah melakukan isolasi dan karakterisasi senyawa fenolik dari ekstrak kloroform batang tumbuhan bakau merah (Rhizophora stylosa) sebagai biolarvasida. Pada fraksinasi kulit batang dari Rhizhophora mucronata juga telah diisolasi suatu senyawa alkaloid dan memiliki aktivitas anti mikroba (Ningsih dkk., 2006). Beberapa senyawa flavonoid juga terdapat pada akar tumbuhan R. apiculata (Asha dkk., 2013). Diperkirakan masih banyak terdapat senyawa metabolit sekunder lainnya yang terdapat pada tumbuhan dari spesies R. apiculata.

Famili Rhizophoraceae termasuk dalam jenis mangrove sejati (true mangrove) yang mendominasi dalam komunitas mangrove. Spesies yang paling dekat dengan laut adalah R. mucronata sedangkan pada sebelah dalamnya sebagian besar ditumbuhi oleh R. apiculata (Perdana, 2006). R. apiculata diketahui merupakan spesies yang mampu bertahan pada keadaan tanah berlumpur dan daerah pinggir


(23)

3

pantai (Basahona, 2010). Dengan karakteristik tumbuhan R. apiculata yang mampu hidup dalam lingkungan yang ekstrem tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait senyawa kimia bahan alam yang terkandung dalam tumbuhan ini.

Pada penelitian ini akan diisolasi dan diidentifikasi senyawa kimia bahan alam dari tumbuhan R. apiculata terutama pada bagian kayu batang tumbuhan. Isolasi senyawa dilakukan dengan metode maserasi dengan menggunakan pelarut metanol. Metanol dipilih sebagai pelarut karena bersifat polar, sehingga cocok sebagai pelarut senyawa-senyawa metabolit sekunder yang juga bersifat polar.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa anti inflamasi dari kayu batang tumbuhan Rhizopora apiculata yang tumbuh di desa Desa Hanura, Kec. Padang Cermin, Kab. Pesawaran.

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai senyawa anti inflamai pada tumbuhan Rhizopora pada umumnya, khususnya pada tumbuhan Rhizopra apiculata. Informasi tersebut diharapkan dapat memperkaya


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rhizoporaceae

Famili Rhizophoraceae atau yang sering dikenal dengan suku bakau-bakauan terdiri dari 3 genus dan 11 spesies. Sebagian besar famili Rhizophoraceae hidup di daerah pesisir pantai ataupun tanah berlumpur. Semua anggotanya terdiri dari atas pohon meliputi, Bruguiera cylindrica, B. Exaristata, B. gymnorrhiza, B.

sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Kandelia candel, R. apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa (Kartawinata dkk., 1978).

Rhizophoraceae memiliki ciri khas yaitu adanya akar tunjang. Akar tunjang terdapat pada semua famili Rhizoporaceae kecuali pada Ceriops decandra. Akar tunjang pada Ceriops decandra sangat kecil sehingga dikatakan juga tidak memiliki akar tunjang. Akar tunjang pada Rhizoporaceae memiliki bintik-bintik hitam yang disinyalir merupakan lentisel untuk membantu penyerapan udara oleh akar (Basahona, 2010).

Ciri umum lainnya adalah merupakan pohon atau perdu, dengan daun tunggal yang kaku, berada tersebar atau berhadapan pada buku-buku yang membengkak, mempunyai daun penumpu yang letaknya antar tangkai daun, mudah runtuh. Kelopak terdiri atas 4 – 8 daun kelopak, kadang-kadang 3-16. Spesies yang paling


(25)

5

banyak tumbuh atau bertahan pada keadaan tanah berlumpur dan daerah pinggir pantai adalah R. apiculata (Basahona, 2010).

2.2. Rhizophora apiculata

Rhizophora apiculata Bl. atau R. conjugata L. (Nama lokal : bakau minyak, bakau tandok, bakau akik, atau bakau kacang). Memiliki tangkai daun dan sisi bawah daun berwarna kemerahan. Bunga biasanya berkelompok dua-dua, dengan daun mahkota gundul dan kekuningan. Buah kecil, coklat, panjangnya 2 – 3,5 cm. Hipokotil kemerahan atau jingga, dan merah pada leher kotiledon bila sudah matang. Panjang hipokotil sekitar 18 – 38 cm. R. apiculata memiliki ciri khas ketinggian pohon dapat mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm, memiliki perakaran yang khas hingga dapat mencapai 5 m, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Menyukai tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena pengaruh air tawar yang tetap dan kuat. Menyebar

dari SriLanka, Indonesia, Australia dan pulau-pulau di Samudera Pasifik (Kadarsyah, 2012).

Dalam taksonomi, tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai berikut : Superregnum : Eukaryota

Regnum : Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Rhizophorales Famili : Rhizophoraceae


(26)

6

Genus : Rhizophora

Spesies : Rhizophora apiculata Sumber : Midori, 2013.

Gambar 1. Tumbuhan Rhizophora apiculata

Tumbuhan ini sering ditemui disepanjang tepi pantai dan merupakan tumbuhan yang paling dominan. Dengan kata lain tumbuhan ini yang memiliki kemampuan bertahan dalam situasi lingkungan yang ekstrem. Suatu senyawa diterpen baru 15(S)-isopimar-7-en-1-oxo-15,16-diol ditemukan pada ekstrak tumbuhan R. apiculata (Gau et al., 2011). Peneliti lain mengemukakan ekstrak kasar R.apiculata menunjukan zona inhibisi sebesar 15-21 mm lebih besar

dibandingkan ekstrak R.mucronata menunjukkan zona inhibisi 10-19 mm pada sebuah test mikroorganisme sebesar 0,5 mg/ml dengan menggunakan


(27)

7

2.3. Senyawa antibakteri

Senyawa antibakteri merupakan senyawa atau zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan. Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya karena kemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Antibakteri adalah antimikroba yang digunakan untuk

menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Brooks dkk.,1996).

Ekstrak kasar metanol dari kulit kayu R. apiculata memiliki senyawa aktif sebagai inhibitor tirosinase dan antioksidan yang diketahui merupakan senyawa isoflavon (Abdullah, 2011). Peneliti lain mengemukakan ekstrak kloroform kulit batang tumbuhan R. apiculata memiliki aktivitas biolarvasida terhadap larva Aedes aegypti. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh nilai LC50 ekstrak untuk waktu 24; 48; dan 72 jam yaitu sebesar 906,345 mg/L; 441,022 mg/L; dan 338,364 mg/L (Ariyanti, 2012). Ekstrak kasar etanol dari tanaman bakau memiliki aktivitas anti bakteri patogen, Escherichia coli, P. aeruginosa, K. pneumonia, Enterobacter sp dan Streptococcus aureus dengan menggunakan metode disk diffusion (Ravikumar et al., 2010).

Senyawa antibakteri mulai dimanfaatkan dalam industri dan obat-obatan. Senyawa antibakteri bekerja dengan proses penghambatan sintesis dinding sel


(28)

8

bakteri dan penghambatan keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri. Berikut adalah beberapa senyawa antibakteri yang sudah diketahui manfaatnya adalah :

2.3.1.Flavonoid

Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon. Atom karbon ini membentuk dua cincin benzena dan satu rantai propana dengan susunan C6-C3-C6 . Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu

flavonoid (1,3-diaril propana), isoflavonoid (1,2-diaril propana), neoflavonoid (1,1-diaril propana) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Flavonoid Isoflavonoid Neoflavonoid

Gambar 2. Tiga jenis flavonoid (Achmad, 1986)

Istilah flavonoid yang diberikan untuk senyawa fenolik ini berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan yang paling umum ditemukan. Flavon mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap sebagai senyawa induk dalam tata nama senyawa-senyawa turunan flavon seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

O

2 3 4 5 6 7

8 9

10

2' 3'

4'

5' 6'


(29)

9

Senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis, tergantung pada tingkat oksidasi rantai propana dari sistem 1,3-diaril propana. Beberapa jenis struktur flavonoid alami beserta tingkat oksidasinya ditunjukkan pada Gambar 4.

Flavonoid terdistribusi secara luas dalam tanaman dan memiliki berbagai fungsi. Flavonoid merupakan pigmen yang paling penting untuk menghasilkan warna bunga kuning, merah atau biru dalam pigmentasi kelopak bunga. Senyawa ini juga melindungi tanaman dari serangan mikroba dan serangga. Flavonoid telah disebut sebagai "respon biologis pengubah alami" karena bukti eksperimental kuat melekat pada kemampuan untuk memodifikasi reaksi tubuh terhadap alergen, virus, karsinogen, serta menunjukkan anti-alergi, anti inflamasi, anti-mikroba dan anti-kanker (Filippos, 2007). Beberapa turunan flavonoid dari isoflavon, misalnya rotenone, merupakan insektisida alam yang kuat (Harborne, 1984).

O O O OH O O O O OH OH O + O O CH O O O OH O O OH O Flavan 1 2

Dihidrocalkon Flavan-3-OL (Katekin)

3

Calkon Flavanon Flavan-3,4-Diol

(Leukoantosianidin) Garam Flavilium 4 Auron Flavon Flavanonol (Dihidroflavanonol) Antosianidin 5 Flavonol O + OH


(30)

10

Tumbuhan segar merupakan bahan awal yang ideal untuk menganalisis flavonoid, tetapi pada tumbuhan yang telah lama dikeringkan, ada kecenderungan flavonoid glikosida diubah menjadi aglikon karena pengaruh jamur. Sedangkan aglikon yang peka akan teroksidasi. Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenolik yaitu bersifat asam. Sifat asam ini

disebabkan oleh stabilisasi muatan negatif pada atom oksigen oleh resonansi. Sifat yang agak asam ini menyebabkan flavonoid dapat larut dalam basa, akan tetapi bila dibiarkan dalam larutan basa, banyak yang akan terurai dan teroksidasi. Selanjutnya, tumbuhan yang telah dikeringkan digiling menjadi serbuk halus untuk diekstraksi dengan pelarut. Ekstraksi harus dilakukan beberapa kali dan ekstrak kemudian disatukan lalu diuapkan dengan menggunakan penguap-putar vakum (Markham, 1988).

2.3.2. Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa nitrogen heterosiklik yang memiliki karakteristik antimikroba yang berbeda. Sebagai hasil metabolit sekunder, senyawa alkaloid berguna sebagai cadangan bagi biosintesis protein, pelindung, penguat dan pengatur kerja hormon. Struktur senyawa alkaloid terdiri dari satu atau dua atom nitrogen, dan sering berbentuk struktur cincin (Harborne, 1984; Bhakuni and Rawat, 2005).

Alkaloid biasanya tidak berwarna, bersifat aktif optik dan kebanyakan berbentuk kristal pada suhu kamar. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan senyawa yang heterogen. Banyak senyawa alkaloid yang bersifat terpenoid dan beberapa diantaranya dari segi biosintesis merupakan terpenoid termodifikasi


(31)

11

alkaloid lain, terutama berupa senyawa aromatik dengan gugus basa sebagai rantai samping (Harborne, 1984).

Senyawa alkaloid dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis cincin heterosiklik nitrogen. Berdasarkan klasifikasi ini, alkaloid dapat dibedakan menjadi alkaloid pirolidin, alkaloid piperidin, alkaloid isokuinolin, alkaloid indol, dan alkaloid kuinolin. Alkaloid juga dapat diklasifikasikan berdasar asal usul biosintesanya, yaitu alkaloid alisiklik yang berasal dari asam amino ornitin dan lisin; alkaloid aromatik jenis fenilalanin yang berasal dari fenilalanin, tirosin dan

3,4-dihidroksifenilalanin; dan alkaloid aromatik jenis indol yang berasal dari triptofan (Ahmad,1986).

Gambar 5. Klasifikasi alkaloid berdasarkan cincin heterosiklik nitrogen

2.3.3. Steroid

Asal-usul biogenetik steroid mengikuti reaksi pokok yang sama dengan terpenoid, sehingga mempunyai kerangka dasar karbon yang sama pula. Inti steroid dasar sama dengan inti lanosterol dan triterpenoid tetrasiklik lain, tetapi hanya pada dua gugus metil yang terikat pada sistem cincin, pada posisi 10 dan 13. Rantai

samping delapan karbon yang terdapat dalam lanosterol juga terdapat dalam banyak steroid, terutama dari sumber hewan, tetapi kebanyakan steroid tumbuhan mempunyai satu atau dua atom karbon tambahan (Robinson, 1995).


(32)

12

Steroid terdapat dalam hampir semua tipe sistem kehidupan. Dalam binatang banyak steroid bertindak sebagai hormon. Steroid ini secara luas digunakan sebagai obat (Fessenden dan Fessenden, 1982). Steroid yang berasal dari jaringan hewan berasal dari triterpena lanosterol, sedangkan yang terdapat dalam jaringan tumbuhan berasal dari triterpena sikloartenol (Achmad, 1986). Dalam tumbuhan, senyawa ini dapat berperan sebagai pelindung. Beberapa senyawa golongan steroid ini ada yang bekerja tidak hanya sebagai penolak serangga tetapi juga menarik beberapa serangga lain (Robinson, 1995).

R3 R2 10 13 17 R1

Gambar 6. Kerangka dasar steroid (Achmad, 1986)

1 2 3

4 5 6

7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27

Gambar 7. Sistem penomoran steroid (Robinson, 1995)

Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan ini

didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing kelompok. Kelompok itu adalah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon


(33)

13

di isolasi (senyawa stigmast-5-en-3β-ol) yang memiliki bioaktivitas terhadap bakteri E. coli (Kurniawan, 2014).

Gambar 8. Struktur senyawa β-Sitosterol

2.4. Pemisahan Senyawa secara Kromatografi

Kromatografi merupakan pemisahan suatu senyawa yang didasarkan atas perbedaan laju perpindahan dari komponen-komponen dalam campuran. Pemisahan dengan metode kromatografi dilakukan dengan cara memanfaatkan sifat-sifat fisik dari sampel, seperti kelarutan, adsorbsi, keatsirian dan kepolaran. Kelarutan merupakan kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan. Adsorpsi penjerapan adalah kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus. Keatsirian adalah kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (Johnson dan Stevenson, 1991).

Pada penelitian ini digunakan metode kromatografi cair vakum (KCV),

kromatografi kolom gravitasi (KKG), dan kromatografi lapis tipis (KLT) dalam memisahkan senyawa bahan alam yang terdapat pada tumbuhan R. apiculata.

Berdasarkan jenis fasa diam dan fasa gerak yang dipartisi, kromatografi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan (Tabel 1).


(34)

14

Tabel 1. Penggolongan kromatografi berdasarkan fasa diam dan fasa gerak

Fasa diam Fasa gerak Sistem kromatografi

Padat Padat Cair Cair Cair Gas Cair Gas

Cair – adsorpsi Gas – adsorpsi Cair – partisi Gas – partisi Sumber: Johnson dan Stevenson (1991).

Berikut ini merupakan urutan eluen pada kromatografi berdasarkan tingkat kepolarannya: Air Metanol Asetonitril Etanol n-propanol Aseton Etil asetat

Kloroform kepolaran meningkat

Metilen klorida Benzena

Karbon tetraklorida Sikloheksana

n- heksana

Sumber: Gritter dkk. (1991).

2.4.1. Kromatografi Cair Vakum (KCV)

Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi yaitu dengan memisahkan ekstrak kasar menjadi fraksi-fraksinya yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum. Fasa diam yang digunakan dapat berupa


(35)

15

silika gel atau alumunium oksida. Urutan eluen yang digunakan dalam

kromatografi cair diawali dari eluen yang mempunyai tingkat kepolaran rendah kemudian kepolarannya ditingkatkan secara perlahan-lahan.

Preparasi sampel saat akan dielusi dengan KCV memiliki berbagai metode seperti preparasi fasa diam. Metode tersebut yaitu cara basah dan cara kering. Preparasi sampel cara basah dilakukan dengan melarutkan sampel dalam pelarut yang akan digunakan sebagai fasa gerak dalam KCV. Larutan dimasukkan dalam kolom kromatografi yang telah terisi fasa diam. Bagian atas dari sampel ditutupi kembali dengan fasa diam yang sama. Sedangkan cara kering dilakukan dengan

mencampurkan sampel dengan sebagian kecil fase diam yang akan digunakan hingga terbentuk serbuk. Campuran tersebut diletakkan dalam kolom yang telah terisi dengan fasa diam dan ditutup kembali dengan fase diam yang sama (Heftmann, 1983)

2.4.2. Kromatotron

Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan aliran fase gerak yang dipercepat oleh gaya sentrifugal. Kromatografi jenis ini menggunakan rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat kaca kuarsa, sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh silika gel. Plat tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan 800 rpm. Pelarut pengelusi dimasukkan ke bagian tengah pelarut melalui pompa torak sehingga dapat mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya sentrifugal. Untuk mengetahui jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV. Pemasukan sampel itu diikuti dengan pengelusian menghasilkan pita-pita komponen berupa


(36)

16

lingkaran sepusat.Pada tepi plat, pita-pitaakan terputar keluar dengan gaya centrifugal dan ditampung dalam botol fraksi kemudian diamati menggunakan KLT (Hostettman, 1995).

Pemisahan menggunakan kromatotron dipengaruhi oleh laju elusi dan laju rotasi. Seiring dengan resolusi waktu pemisahan tergantung pada tingkat fase gerak yang mengalir. Tingkat aliran tinggi mempercepat proses pemisahan tetapi

membutuhkan volume pelarut yang lebih banyak. Laju elusi serta faktor pemisahan tergantung pada tingkat rotasi dari sistem kromatografi. Pemisahan maksimum dicapai pada tingkat rotasi yang rendah. Resolusi tertinggi dicapai pada laju alir menengah dan kecepatan putaran

Pemisahan menggunakan kromatotron memiliki berbagai keuntungan, yaitu memiliki cara kerja sederhana, pemisahan yang cepat biasanya selesai dalam 30 menit, tidak perlu mengerok pita, pencemar yang terekstraksi dari penjerap lebih sedikit daripada yang terekstraksi pada KLT preparatif , pemakaian pelarut yang relatif sedikit, rotor yang sudah dilapisi dapat diregenerasi, penotolan sampel mudah, dan dapat dilakukan pengembangan landaian bertahap (Kulkarni, 2011).

2.4.3 Kromotografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode yang melibatkan pendistribusian campuran dua atau lebih senyawa antara fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam dapat berupa lapisan tipis dari penyerapan pada plat, dan pada fasa gerak adalah cairan pengembang yang bergerak naik pada fasa diam membawa komponen-komponen sampel (Gritter dkk., 1991)


(37)

17

Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh. Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumus faktor retensi adalah:

Rf= jarak yang ditempuh senyawa jarak yang ditempuh pelarut

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi

kepolaran eluen, dan sebaliknya(Sastrohamidjojo, 2002)

KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk

kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi dan isolasi senyawa murni skala kecil.


(38)

18

Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis (Sherma, 1992).

2.5. Identifikasi Senyawa Organik Secara Spektroskopi

Spektroskopi merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara menganalisis spektrum suatu senyawa dan interaksi antara energi cahaya dan materi. Teknik spektroskopi adalah berdasarkan absorpsi dari suatu senyawa organik dapat digunakan untuk menentukan struktur dari senyawa organik tersebut (Fessenden dan Fessenden, 1999). Metode spektroskopi yang dipakai pada penelitian ini antara lain, spektroskopi ultraungu-tampak dan spektroskopi inframerah.

2.5.1. Spektoskopi inframerah

Pada spektroskopi inframerah, senyawa organik akan menyerap berbagai frekuensi radiasi elektromagnetik infra merah. Hasil analisa biasanya berupa signal kromatogram hubungan intensitas inframerah terhadap panjang gelombang. Untuk identifikasi, signal sampel akan dibandingkan dengan signal standar. Sampel untuk metode ini harus dalam bentuk murni agar tidak terganggu dari gugus fungsi kontaminan yang akan mengganggu signal kurva yang diperoleh (Riyadi, 2009).

Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi teknik serapan (absorption), teknik emisi (emission), teknik fluoresensi (fluorescence). Komponen medan listrik yang banyak berperan dalam spektroskopi umumnya hanya komponen medan listrik seperti dalam fenomena transmisi, pemantulan,


(39)

19

pembiasan, dan penyerapan. Penyerapan gelombang elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya eksitasi tingkat-tingkat energi dalam molekul. Dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi, atau rotasi.

Daerah panjang gelombang yang digunakan pada alat spektroskopi inframerah adalah pada daerah inframerah pertengahan, yaitu pada panjang gelombang 2,5 – 50 µm atau pada bilangan gelombang 4.000 – 200 cm-1 . Daerah tersebut adalah cocok untuk perubahan energi vibrasi dalam molekul. Daerah inframerah yang jauh (400-10 cm-1), berguna untuk molekul yang mengandung atom berat, seperti senyawa anorganik tetapi lebih memerlukan teknik khusus percobaan (Lau, 1991).

Penggunaan spektrum inframerah dalam menentukan struktur senyawa organik berada antara 650-4000 cm-1. Daerah di bawah frekuensi 650 cm -1 dinamakan daerah infra merah jauh dan daerah di atas frekuensi 4000 cm -1 dinamakan infra merah dekat (Sudjadi, 1983). Daerah antara 1400-4000 cm -1 merupakan daerah khusus yang berguna untuk identifikasi gugus fungsional. Daerah ini

menunjukkan absorpsi yang disebabkan oleh vibrasi uluran. Daerah antara 1400-700 cm -1 (daerah sidik jari) seringkali sangat rumit karena menunjukkan absorpsi yang disebabkan oleh vibrasi uluran dan tekukan (Fessenden dan Fessenden, 1999).


(40)

20

Tabel 2. Daerah serapan gugus fungsi senyawa organik.

Jenis ikatan Daerah serapan v (cm-1) Regang OH, NH

Regang CH (C≡CH, C=CH, Ar–H) Regang CH (CH3, CH2, -CH)

Regang C≡C, C≡N

Regang C=O Regang C=C

Lentur ≡CH

Lentur C=CH, Ar-H (luar bidang)

3750-3000 3300-2900 3000-2700 2400-2100 1900-1650 1675-1500 1475-1300 1000-65 Sumber : (Creswell dkk., 1982)

2.5.2. Spektroskopi ultraungu-tampak

Dalam spektoskopi ultraungu-tampak penyerapan sinar tampak dan ultraviolet oleh suatu molekul akan menghasilkan transisi diantara tingkat energi elektronik molekul tersebut. Transisi tersebut pada umumnya antara orbital ikatan, orbital non-ikatan atau orbital anti-ikatan. Panjang gelaombang serapan yang muncul merupakan ukuran perbedaan tingkat-tingkat energi dari orbital suatu molekul (Sudjadi, 1983).

Panjang gelombang cahaya UV dan tampak jauh lebih pendek daripada panjang gelombang radiasi inframerah. Spektrum UV terentang dari 100 sampai 400 nm. Sedangkan spektrum tampak terentang dari sekitar 400 nm (ungu) sampai 750 nm (merah). Kuantitas energi yang diserap oleh suatu senyawa berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi:

E =

c h.


(41)

21

Dengan E : energi yang diabsorpsi, dalam erg h : tetapan planck, 6,6 x 10-27 erg-det. λ : panjang gelombang, dalam cm c : kecepatan cahaya, 3 x 1010 cm/det

Panjang gelombang cahaya UV atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi-elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak (yakni senyawa yang berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV yang lebih pendek. Keadaan dasar suatu molekul organik mengandung elektron-elektron valensi dalam tiga tipe utama orbital molekul: orbital sigma, orbital pi, dan orbital terisi tapi tak terikat (n). Daerah yang paling berguna dari spektrum UV adalah daerah dengan panjang gelombang di atas 200 nm. Transisi berikut menimbulkan absorpsi dalam daerah 100-200 nm yang tak berguna: π→π* untuk

ikatan rangkap menyendiri dan σ→σ* untuk ikatan karbon-karbon biasa. Transisi yang berguna (200-400 nm) adalah π→π * untuk senyawa dengan ikatan rangkap

berkonjugasi serta beberapa transisi n→σ* dan n→π * (Fessenden dan Fessenden, 1982).

Noerdin (1985) memberikan aturan panjang gelombang maksimum untuk mengidentifikasi jenis kromofor dan memperkirakan adanya konjugasi dalam molekul yang tidak diketahui sebagai berikut:


(42)

22

a) Jika spektrum senyawa yang diberikan memperlihatkan satu pita serapan

dengan intensitas sangat rendah (є= 10-100) di daerah 270-350 nm dan tidak ada pita serapan lain di atas 200 nm, maka senyawa ini diharapkan

mengandung kromofor tak terkonjugasi sederhana yang mempunyai elektron-elektron-n. Pita lemah terjadi oleh transisi n→π *.

b) Jika spektrum memperlihatkan beberapa pita serapan diantaranya terdapat di daerah tampak, maka senyawa itu diharapkan mengandung rantai panjang terkonjugasi dan kemungkinan mempunyai paling tidak 4-5 kromofor terkonjugasi dan gugus-gugus auksokrom (pengecualian beberapa senyawa yang mengandung nitrogen, seperti nitro, azo, senyawa nitroso, alfa-diketon, glioksal dan iodoform).

Sifat pelarut, pH larutan, temperatur, konsentrasi elektrolit yang tinggi, dan adanya campur zat dapat mempengaruhi penyerapan spektrum. Variasi

eksperimental seperti lebar celah (bandwidth efektif) dari spektrofotometer juga akan mengubah spektrum. Dalam menggunakan spektroskopi ultraungu-tampak untuk analisis, variabel tersebut harus dikontrol atau diperhitungkan dalam mengidentifikasi suatu zat (Skoog, 2007).

2.5.3. Spektroskopi Resonansi Magnetik Nuklir

Spektroskopi resonansi magnetik nuklir adalah teknik yang memanfaatkan sifat magnetik dari inti tertentu. Instrumen yang paling umum adalah Spektroskopi Proton NMR dan Carbon-13 NMR. Pada prinsipnya, spektroskopi resonansi magnetik nuklir dapat diaplikasikan pada setiap inti yang mempunyai spin.


(43)

Inti-23

inti atom unsur-unsur dikelompokkan menjadi 2, yaitu mempunyai spin atau tidak mempunyai spin.

Metode spektroskopi jenis ini didasarkan pada penyerapan energi oleh partikel yang sedang berputar di dalam medan magnet yang kuat. Energi yang dipakai dalam pengukuran dengan metode ini berada pada daerah gelombang radio 75-0,5 m atau pada frekuensi 4-600 MHz, yang bergantung pada jenis inti yang diukur (Silverstein et al., 2005)

Banyak informasi yang dapat diperoleh dari spektroskopi resonansi magnetik nuklir. Pada umumnya metode ini berguna untuk mengidentifikasi struktur senyawa atau rumus bangun molekul senyawa organik. Meskipun Spektroskopi Infra Merah juga dapat digunakan untuk tujuan tersebut, analisis spektra resonansi magnetik nuklir mampu memberikan informasi yang lebih lengkap.

Dampak spektroskopi resonansi magnetik nuklir pada senyawa bahan alam sangat penting. Ini dapat digunakan untuk mempelajari campuran analisis, untuk

memahami efek dinamis seperti perubahan pada suhu dan mekanisme reaksi. Teknik ini dapat digunakan untuk berbagai variasi sampel, dalam bentuk padat atau pun larutan. Berikut adalah beberapa pergeseran kimia senyawa organik :


(44)

24

Tabel 3. Pergeseran kimia untuk proton dalam molekul organik. Jenis Senyawa Jenis Proton 1H (δ) ppm

Alkana Alkuna Eter Alkena Fenol Alkohol Aromatik Aldehid Karboksilat

C CH3

C C H H3C O

H2C C

Ar OH R OH

Ar H O

C H O

C OH

0,5 – 2 2,5 - 3,5 3,5 - 3,8 4,5 - 7,5

4 - 8 5 - 5,5

6 - 9

9,8 - 10,5

11,5 - 12,5 (Sudjadi, 1983)

2.5.4. Spektroskopi Massa

Dalam sebuah spektrometer massa, suatu contoh dalam keadaan gas dibombardir dengan elektron yang berenergi cukup untuk mengalahkan potensial ionisasi pertama senyawa itu. Tabrakan antara sebuah molekul organik dan salah satu elektron berenergi tinggi menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari molekul itu dan terbentuknya suatu ion organik. Ion organik yang dihasilkan oleh

pemborbardiran elektron berenergi tinggi ini tidak stabil, dan pecah menjadi fragmen kecil, baik berbentuk radikal bebas maupun ion-ion lain. Spektrum massa adalah alur kelimpahan muatan (m/e atau m/z) dari fragmen-fragmen itu. Puncak tertinggi dalam suatu spektrum, disebut puncak dasar (base peak), dan diberi nilai intensitas sebesar 100% (Fessenden dan Fessenden, 1982).


(45)

25

Jika puncak ion molekul terlihat pada spektrum maka letaknya pada bagian paling kanan. Dalam penentuan rumus molekul suatu senyawa, aturan nitrogen dapat dimanfaatkan. Aturan nitrogen menyatakan bahwa suatu senyawa yang memiliki berat molekul genap, maka senyawa tersebut tidak mengandung atom nitrogen atau mengandung sejumlah nitrogen dalam jumlah genap. Sedangkan senyawa organik dengan berat molekul ganjil akan mengandung atom nitrogen dalam jumlah ganjil (Sudjadi, 1983)

2.6. Uji Bioaktivitas

Penggunaan antibiotik dalam mengatasi berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri mulai menimbulkan masalah baru, karena sebagian besar bahan antibakteri yang digunakan merupakan zat kimia berbahaya dan sifatnya tidak aman bagi kesehatan (Nimah dkk., 2012). Saat ini penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri masih mengandalkan antibiotik sintesis. Hal ini menimbulkan

kekuatiran akan munculnya strain Bakteri baru yang resisten terhadap antibiotik (Tirtodiharjo, 2011).

Metode pengujian aktivitas antibakteri secara bio-assay menurut Lorian (1980) ada 2 cara yaitu :

1. Teknik dilusi (pengenceran)

Prinsip teknik dilusi ini adalah penghambatan pertumbuhan bakteri dalam medium cair oleh suatu obat yang dicampurkan ke dalam medium

pertumbuhan. Pada pengenceran zat yang akan diuji aktivitasnya, diencerkan secara serial dalam medium cair kemudian diinokulasi dalam jumlah tertentu,


(46)

26

selanjutnya diinkubasi pada temperatur 370C selama 24 jam. Teknik ini digunakan untuk mengetahui Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) suatu antibakteri terhadap bakteri.

2. Teknik difusi

Teknik difusi merupakan teknik dengan menggunakan pembenihan padat, menggunakan kertas cakram yang mengandung antibakteri tertentu untuk menguji kepekaan bakteri terhadap antibakteri tersebut. Pada teknik ini, permukaan medium ditempelkan cakram yang mengandung antibakteri, lalu diinkubasi pada suhu 370C. teknik ini berdasarkan pengamatan terbentuk zona hambat pertumbuhan di sekeliling cakram. Lebarnya zona hambatan yang terbentuk menunjukkan derajat kepekaan bakteri terhadap zat antibakteri atau antibiotik yang diuji (Lorian, 1980).

Pengujian antibakteri dengan metode difusi cakram harus mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi lebarnya zona yang terbentuk. Faktor-faktor yang berpengaruh menurut Bonang (1982) antara lain :

1. Kerapatan inokulum

Jumlah inokulum merupakan faktor yang mempengaruhi lebar zona hambat. Jumlah inokulum yang lebih sedikit menyebabkan zat antibakteri dapat berdifusi lebih jauh, namun membutuhkan waktu yang lebih lama, sedangkan jika jumlahnya lebih besar maka dihasilkan zona hambat yang lebih kecil.

2. Pengukuran diameter zona


(47)

27

3. Kedalaman media agar

Untuk memperoleh sensitivitas optimal, cawan petri diisi lapisan tipis agar dengan tebal 2-3 mm untuk menjamin datarnya bagian dasar sebagai tempat pengujian, sehingga difusi bahan yang diuji merata.

4. Temperatur inkubasi

Untuk kebanyakan bakteri patogen, temperatur optimal bagi pertumbuhannya adalah 37oC. Pada suhu yang lebih rendah laju pertumbuhannya akan lebih lama untuk berdifusi.

2.7. Inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal rusaknya sel dengan melepas zat- zat terlarut, sel-sel dan jaringan nekrotik dari sirkulasi darah pada daerah cidera (Katzung, 2001). Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen.

Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan (Corwin, 2008).

Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:


(48)

28

1. Kemerahan (rubor)

Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).

2. Rasa panas (kalor)

Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).

3. Rasa sakit (dolor)

Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal yaitu adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007). 4. Pembengkakan (tumor)

Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).


(49)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Desember 2014, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lampung. Analisis yang digunakan adalah spektroskopi inframerah dan GC-MS dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Gajah Mada, spektroskopi ultraungu-tampak di Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung, spektroskopi resonansi magnetik inti di Laboratorium NMR-LIPI Serpong. Pengujian antiinflamsi dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar Jurusan Farmasi Fakultas MIPAUniversitas Tulang Bawang.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas, penguap putar vakum, satu set alat kromatografi cair vakum (KCV), satu set alat

kromatografi kolom gravitasi (KKG), pengukur titik leleh, lampu UV, pipet kapiler, Pletismometer, spektrofotometer inframerah, spektrofotometer ultraungu-tampak, dan spektrofotometer resonansi magnetik inti.


(50)

30

3.2.2. Bahan-bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan adalah kayu batang Rhizophora apiculata yang telah dikeringkan dan dihaluskan, diperoleh dari di desa Desa Hanura, Kec. Padang Cermin, Kab. Pesawaran, Provinsi Lampung. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan kromatografi berkualitas teknis yang telah didestilasi sedangkan untuk analisis spektrofotometer berkualitas pro-analisis (p.a). Bahan kimia yang dipakai meliputi etil asetat, metanol, n-heksana, aseton, akuades, serium sulfat 1,5% dalam asam sulfat2N, Na-CMC 5%, Karagen 1%, silika gel Merck G 60 untuk KCV, silika gel Merck 60 PF254 Gipshaltig untuk Kromatotron, untuk KLT

digunakan plat KLT silika gel Merck kiesegal 60 F254 0,25 mm. Pereaksi geser

untuk analisis spektrofotometer ultraungu-tampak adalah aluminium klorida, asam klorida pekat, natrium asetat, dan natrium hidroksida.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Pengumpulan dan persiapan sampel

Sampel berupa kayu batang tumbuhan R. apiculata yang diambil dari batang R. apiculata yang dipisahkan antara kulit batang dan kayunya. Kemudian kayu batang dibersihkan lalu dikering-anginkan dan dihaluskan hingga menjadi serbuk halus.

3.3.2. Persiapan Nutrien Agar (NA)

Sebanyak 2,8 gram Nutrien Agar (NA) ditambahkan 100 mL aquades kemudian dipanaskan hingga NA larut, lalu disterilkan menggunakan autoclave selama 30 menit. Media yang disterilkan dimasukkan ke dalam laminar air flow selama 15


(51)

31

menit, kemudian di sinari lampu UV dan didinginkan selama 10 menit. Setelah suhu media sekitar 60-700C, dituangkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilkan secukupnya (10 mL). Setelah media memadat, dituangkan suspensi bakteri sebanyak 1 ose yang dimasukkan ke dalam akuades steril dan

dihomogenkan ke dalam 5 mL media agar. Setelah media siap dimasukkan cakram yang berisi senyawa antibakteri.

3.3.3. Pembuatan senyawa uji 3.3.3.1 Persiapan Na-CMC 5%

Sebanyak 5 gram serbuk Na-CMC dilarutkan dalam 100 mL aquades yang telah dipanaskan. Larutan diaduk hingga membentuk suspensi yang homogen.

3.3.3.2. Larutan asam mefemanat

Sebanyak 19,5 mg asam mefemanat dilarutkan dalam 5 mL larutan Na-CMC dan diaduk hingga homogen.

3.3.3.3. Persiapan senyawa uji

Pada penelitian ini menggunakan ekstrak senyawa uji sebanyak 3 mg dan 7 mg. Senyawa uji yang digunakan dilarutkan dalam 5 mL larutan Na-CMC dan diaduk hingga homogen.

3.3.4. Ekstraksi dengan metanol

Sebanyak 2 kg kulit batang R. apiculata yang telah dihaluskan, dimaserasi selama 24 jam maserasi dilakukan sebanyak tiga kali dengan sekali maserasi sebanyak


(52)

32

500 gram. Ekstrak metanol yang diperoleh disaring kemudian dipekatkan dengan

menggunakan penguap putar vakum pada suhu 50˚C dengan laju putaran 120-150 rpm.

3.3.5. Kromatografi cair vakum (KCV)

Ekstrak kasar kemudian difraksinasi dengan teknik KCV. Terlebih dahulu fasa diam silika gel Merck G 60 sebanyak 10 kali berat sampel dimasukkan ke dalam kolom. Kemudian kolom dikemas kering dalam keadaan vakum menggunakan alat vakum. Eluen yang kepolarannya rendah, dimasukkan ke permukaan silika gel terlebih dahulu kemudian divakum kembali. Kolom dihisap sampai kering dengan alat vakum dan siap digunakan.

Ekstrak kasar yang telah dilarutkan dalam aseton dan diimpregnasikan kepada silika gel, kemudian dimasukkan pada bagian atas kolom yang telah berisi fasa diam dan kemudian dihisap secara perlahan-lahan ke dalam kemasan dengan cara memvakumkannya. Setelah itu kolom dielusi dengan metanol-etil asetat 0% sampai dengan etil asetat 100%. Kolom dihisap sampai kering pada setiap penambahan eluen (tiap kali elusi dilakukan). Kemudian fraksi-fraksi yang terbentuk dikumpulkan berdasarkan pola fraksinasinya. Fraksinasi sampel dengan teknik KCV dilakukan berulang kali dengan perlakuan yang sama seperti tahapan KCV awal.

3.3.6. Kromatografi lapis tipis (KLT)

Sebelum difraksinasi, terlebih dahulu dilakukan uji KLT untuk melihat pola pemisahan komponen-komponen senyawa yang terdapat dalam ekstrak kasar. Uji


(53)

33

KLT juga dilakukan terhadap fraksi yang akan difraksinasi dan juga fraksi-fraksi yang didapat setelah perlakuan fraksi-fraksinasi. Uji KLT dilakukan menggunakan sistem campuran eluen menggunakan pelarut n-heksana, etilasetat, diklorometana, dan metanol. Hasil kromatogram tersebut kemudian disemprot menggunakan larutan serium sulfat untuk menampakkan bercak/noda dari komponen senyawa tersebut. Ketika diperoleh fraksi yang lebih sedikit bercak/noda dilihat dibawah lampu UV setelah dilakukan elusi terhadap plat KLT. Setiap fraksi yang menghasilkan pola pemisahan dengan Rf (Retention factor) yang sama pada kromatogram, digabung dan dipekatkan sehingga diperoleh beberapa fraksi gabungan yang akan difraksinasi lebih lanjut.

3.3.7. Kromatotron

Setelah dihasilkan fraksi-fraksi dengan jumlah yang lebih sedikit, tahapan fraksinasi selanjutnya dilakukan menggunakan teknik kromatotron. Sampel yang diidentifikasi dengan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), kemudian difraksinasi menggunakan kromatotron dengan menggunakan plat silika 2 mm dan menggunakan eluen diklorometana/n-heksana. Sebelum digunakan plat silika diaktifkan terlebih dahulu dengan pemanasan lampu pijar selama 20 jam. Plat silika yang sudah aktif kemudian dipasang pada kromatotron dan dialirkan pelarut n-heksana sampai menetes, kemudian sampel diteteskanan ke dalam plat silika selagi basah. Setelah sampel diteteskan pada plat silika, kemudian sampel dibiarkan mengering ±10 menit. Setelah sampel kering, kemudian dialirkan 100 mL n-heksana dilanjutkan dengan mengalirkan eluen diklorometana/n-heksana 20%, 40% dan 50% masing-masing sebanyak ±100 mL. Hasil fraksinasi


(54)

34

fraksinasi, plat silika kemudian dicuci dengan mengalirkan metanol sebanyak 100 mL dilanjutkan dengan mengalirkan air-metanol 5% sebanyak 100 mL.

3.3.8. Uji kemurnian

Uji kemurnian dilakukan dengan metode KLT dan uji titik leleh. Uji kemurnian secara KLT menggunakan beberapa campuran eluen. Kemurnian suatu senyawa ditunjukkan dengan timbulnya satu noda dengan berbagai campuran eluen yang digunakan, kemudian disemprot menggunakan larutan serium sulfat untuk menampakkan bercak/noda dari komponen senyawa tersebut.

Untuk uji titik leleh, sebelum dilakukan pengukuran, alat pengukur titik leleh tersebut dibersihkan terlebih dahulu dari pengotor yang ada. Selanjutnya, untuk kristal yang berukuran besar, kristal terlebih dahulu digerus hingga berbentuk serbuk. Kemudian kristal yang akan ditentukan titik lelehnya diletakkan pada lempeng kaca, diambil sedikit dengan menggunakan pipet kapiler, alat dihidupkan dan titik leleh diamati dengan bantuan kaca pembesar. Suhu pada saat kristal pertama kali meleleh, itulah titik leleh dari senyawa tersebut. Pengukuran titik leleh dilakukan sebanyak tiga kali. Apabila menunjukan titik leleh yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa senyawa yang diperoleh sudah murni.

3.3.9. Spektrofotometer ultraungu–tampak

Sampel berupa kristal murni sebanyak 0,0001 gr dilarutkan dalam 10 mL metanol. Larutan ini digunakan sebagai persediaan untuk beberapa kali pengukuran.

Pertama, sampel diukur serapan maksimumnya dalam metanol. Selanjutnya larutan persediaan dibagi menjadi beberapa bagian. Kemudian masing-masing


(55)

35

larutan persediaan ditambah dengan pereaksi-pereaksi geser seperti natrium asetat (NaOAc), natrium hidroksida (NaOH), aluminium klorida (AlCl3, AlCl3/HCl).

Kemudian masing-masing larutan diukur serapan maksimumnya.

3.4.0. Spektrofotometer inframerah

Sampel kristal hasil isolasi yang telah murni dianalisis menggunakan spektrofotometer inframerah. Kristal yang telah murni dibebaskan dari air kemudian digerus bersama-sama dengan halida anorganik, KBr. Gerusan kristal murni dengan KBr dibentuk menjadi lempeng tipis atau pelet dengan bantuan alat penekan berkekuatan 8-10 ton per satuan luas. Kemudian pelet tersebut diukur puncak serapannya.

3.4.1. Spektrofotometer resonansi magnetik inti

Sampel berupa kristal murni yang akan diidentifikasi dengan melarutkan ke dalam pelarut inert yang tidak mengandung proton seperti CCl4 dan CDCl4, kemudian

ditambahkan sedikit senyawa acuan. Larutan ini ditempatkan dalam tabung gelas tipis dengan tebal 5 mm di tengah-tengah kumparan frekuensi radio (rf) di antara dua kutub magnet yang sangat kuat. Kemudian energi dari kumparan rf ditambah secara terus-menerus. Energi pada frekuensi terpasang dari kumparan rf yang diserap cuplikan direkam dan memberikan spektrum resonansi magnetik inti (Silverstein et al.,1986).

3.4.2. Spektrofotometer massa

Senyawa dilarutkan ke dalam pelarut diklorometana, kemudian dilakukan pengukuran dengan Spektrofotometer Varian GC-MS/Saturn2200-CP3800


(56)

36

dengan menggunakan kolom kapiler DB5-MS. Temperatur diprogram 230oC sampai 300oC dengan kenaikan suhu konstan 4oC per menit. Dari spektrum massa didapat berat molekul dan pola fragmentasi yang terjadi pada senyawa.

3.4.3. Uji Bioaktivitas

Sebanyak 2 mg ekstrak senyawa uji, kloramfenikol dan metanol dimasukkan ke dalam cakram yang berbeda. Kemudian media NA uji diinkubasi selama ± 24 jam dan diamati diameter zona hambat yang dihasilkan dari senyawa ekstrak,

kloramfenikol dan metanol. Kloramfenikol digunakan sebagai kontrol positif antibakteri dan metanol sebagai kontrol negatifnya. Bakteri uji yang digunakan yaitu Bacillus substilis dan Eschericia coli.

Cakram yang digunakan untuk pengujian bioaktivitas memilki diameter 0,5 cm ditimbang terlebih dahulu. Sebelum dimasukkan ke dalam media uji yang sudah siap, cakram direndam dengan sampel yang dilarutkan dalam aseton. Kemudian cakram dikering-anginkan hingga terbebas dari pelarut yang digunakan dan ditimbang kembali.

3.4.4. Uji Anti Inflamasi

Pada uji anti inflamasi digunakan hewan mencit (Mus musculus) yang memiliki berat badan 20-25 gram. Sebelum penelitian, hewan uji diadaptasikan selama satu minggu dan diamati kesehatannya. Hewan dinyatakan sehat apabila tidak

mengalami penurunan berat badan melebihi 10% berat awal, tidak ada perubahan tingkah laku, tidak luka dan tidak cacat.


(57)

37

Hewan percobaan yang memenuhi kriteria dibagi menjadi lima kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga mencit yang sudah dipuasakan selama 18 jam namun tetap diberikan air minum. Sebelum disuntikkan penginduksi inflamasi (karagen 1%), kaki kanan belakang mencit di ukur dengan pletismometer (Gambar 9). Karagen 1% disuntikkan pada kaki mencit sebanyak 0,1 mL, dan didiamkan selama satu jam. Kaki kanan belakang mencit yang mengalami inflamasi di ukur kembali, dan diberikan senyawa uji secara oral. Penurunan inflamasi pada tiap kelompok diamati setiap satu jam selama enam jam.

Gambar 9. Pletismometer (Marlinda, 2006) Keterangan :

A = cairan raksa

B = permukaan cairan dalam pipa kapiler sebelum benda dicelupkan ke dalam cairan A

C = permukaan cairan dalam pipa kapiler setelah benda dicelupkan ke dalam cairan A


(58)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:

1.Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi senyawa Sterol yang dikenal dengan stigmast-5en-3β-ol (β-sitosterol). dari kayu batang bakau minyak (Rhizophora apiculata).

2.Senyawa β-sitosterol yang didapatkan sebanyak 54,8 mg memiliki sifat fisik berupa kristal bening menjarum dengan titik leleh 161-162oC.

3. β-sitosterol memiliki aktivitas anti inflamasi lebih efektif pada konsentrasi 0,6 mg/mL dibandingkan dengan konsentrasi 1,4 mg/mL.

5.2. Saran

1. Penelitian terhadap bagian lain tumbuhan bakau minyak serta penggunaan pelarut yang berbeda pada saat maserasi atau partisi diharapkan memperoleh senyawa lain yang memiliki potensi anti bakteri maupun anti inflamasi. 2. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi minimal


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2011. Potensi Bakau Rhizophora apiculata sebagai Inhibitor Tirosinase dan Antioksidan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Hlm 38.

Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam, Materi 4: Ilmu Kimia Flavonoid. Penerbit Karunia Universitas Terbuka. Jakarta. 39 hlm. Ariyanti danTukiran. 2012. Biolarvasida dari tumbuhan bakau minyak

(Rhizophora apiculata) (Rhizophoraceae). UNESA Journal of Chemistry. 1 (1). Hlm 10-13.

Asha, K.K., Mathew, S., Lakshamanan, P. T. 2013. Flavonoid and Phenolic Coumpound in Two Mangrove Species and Their Antioxidant Properti. Indian Journal of Geo Marine Sciences. 41 (3). Hlm 259-264.

Basahona, S. 2010. Deskripsi Tumbuhan Berdasarkan Family (suku). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Bhakuni, D.S. and D.S. Rawat. 2005. Bioactive Marine Natural Products.

Anamaya Publishers. New Delhi. India.

Bonang, G. 1996. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan. EGC. Jakarta.

Brooks, G.F., Butel J.S. and Ornston L.N. 1996. Jawetz Melnick Adelberg Medical Microbiology. Edisi ke-20. Alih bahasa oleh Nugroho E dan Maulany RF. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta

Corwin, E.J., 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadelphia: Lippincort Williams & Wilkins.

Creswell, J. R. Clifford, O. A. Runquist, M. M. Campbell. 1982. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Bandung. ITB.

Endah, A. 2011. Jumlah Species Tumbuhan (Flora) di Indonesia.

http://alamendah.org/2011/12/01/jumlah-spesies-tumbuhan-flora-di-indonesia/. Diakses tanggal 28 Februari 2014 pukul 10.08 WIB


(60)

61

Fessenden, R.J. dan J. S. Fessenden. 1999. Kimia Organik Jilid I. Alih Bahasa Hadyana Pujaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta. 525 hlm. Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Alih

bahasa Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Filippos, V. 2007. Flavonoid. Http://www.wikipedia.com/flavonoid/ translate_p.htm /2010/Februari/21/12:32 WIB.

Gabay, O., C. Sanchez., C. Salvat., F. Chevy F., M. Breton., G. Nourissat., C.Wolf., C. Jacques., dan F. Berenbaum. 2010. Stigmasterol: a phytosterol with potential anti-osteoarthritic properties.

Oarsijournal. 18(1). Hlm 106-116.

Gau, M.Z., Yuan, X.Y., Cheng, M.C., Xiao, H.B., Bao, S.X. 2011. A New Diterpenoid From Rhizophora apiculata. Journal of Asian Natural Product Research. 13 (8). Hlm 776-779.

Gritter, R.J. J.M. Bobbitt. dan A.E. Schwarting. 1991. Pengantar

Kromatografi. Alih Bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 266 hlm.

Harborne, J.B. 1984. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern

Menganalisis Tumbuhan. Alih bahasa Kosasih Padmawinata. ITB Bandung. 151 hlm.

Heftmann, E. 1983. Chromatography : fundamental and application of cromatographic and electrophoretic metods. Elsevier scientific publishing company. New York. 363 hlm

Hostettman, K., M. Hostettman dan Maston, A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan pada Senyawa Bahan Alam. Alih bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Hlm 27-34. Johnson, L.E. dan R. Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Alih

bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 365 hlm. Kadarsyah, A. 2012. Jenis Vegetasi Mangrove dari Famili.

http://anangkadarsah.blogspot.com/2012/08/jenis-vegetasi-mangrove-dari-famili.html. Diakses tanggal 28 Februari 2014 pukul 08.07 WIB.

Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.K.Tantra. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau Di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. MAB Indonesia dan Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. Hlm 21-39.


(61)

62

Katzung, G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Kulkarni, N., M, Mandhanya., D. K. Jain. 2011. Centrifugal Thin Layer Chromatography. Asian Journal of Pharmacy and Life Science. 1 (3). Hlm 294-300.

Kurniawan, R. 2014. Isolasi, identifikasi dan uji bioaktivitas senyawa stigmast-5-en-3β-ol (β-sitosterol) dari kulit akar bakau minyak (Rhizophora apiculata). Skripsi. Universitas Lampung. Hlm 50.

Lau, W.S. 1991. Spektroskopi inframerah. Http://www.wikipedia.com/ spektroskopi_ inframerah.htm. Diakses tanggal 7 April 2010 pukul 14.31 WIB.

Lorian, V. 1980. Antibiotic in Laboratory Medicine. Wiliams and Wilkins. Hlm 1-234.

Lycias, E., Joel., Bhimba, V. 2010. Isolation and characterization of secondary metabolites from the mangrove plant Rhizophora mucronata. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. Hlm 602-604.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Alih Bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 117 hlm.

Marlinda, Y. 2006. Skrining Fitokimia dan Uji Efek Antiinflamasi Infusa Daun Senggani (Melastoma poiyanthum Blume) pada Mencit. Skripsi. Universitas Tulang Bawang. Lampung

Midori. 2013. Bakau. http://id.wikipedia.org/wiki/Bakau. Diakses tanggal 10 Mei 2014 pukul 9.54 WIB.

Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Alih Bahasa Koensoemardiyah. IKIP Semarang Press. Semarang. 235 hlm.

Nimah, S., W. F. Maruf and A. Trianto. 2012. Uji aktivitas ekstrak

Holothuria scaba terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Bacilluscereus. Jurnal Perikanan. 1. Hlm 1-9.

Ningsih, D. R., Warsinah., Suwandri. 2006. Fraksinasi Ekstrak Metanol Kulit Batang Rhizophora mucronata dan Uji Daya Hambatnya terhadap Bakteri Escherichia coli. Molekul. 1 (1). Hlm 30-35.


(62)

63

Noerdin, D. 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik Dengan Cara Spektroskopi Ultra Lembayung dan Inframerah. Penerbit Angkasa. Bandung.

Patra, A., S. Jha., P. N. Murthy., Manik, and A. Sharone. 2010. Isolation and Characterization of Stigmast-5en-3β-ol from the leaves of

Hygrophila spinosa. International Journal of Pharma Science and Research. I. Hlm 95-100.

Patrick, G.L. 1995. An Introduction to Medicinal Chemistry. Oxford University Press. New York. Hlm 115.

Pimpliskar, M. R., Jadhav, R.N., Jadhav, B.L. 2011. Study on Antimicrobial Principles of Rhizophora Species Along Mumbai Coast. J.Aqua. Biol. 26 (1). Hlm 6–11.

Perdana, A. S. 2006. Pengenalan Tipe-Tipe Hutan. http://adhisuryaperdana. wordpress.com/ pengenalan-hutan/. Diakses tanggal 28 Februari 2014 pukul 10.48 WIB.

Ravikumar, S., M. Gnanadesigan., P. Suganthi, and A. Ramalaksmi. 2010. Antibacterial potential of chosen mangrove plants againts isolated urinary tract infectious bacterial pathogens. International Journal of Medicine and Medical Sciences. 2 (3). Hlm 94-99.

Riyadi, W. 2009. Macam Spektrofotometri dan Perbedaannya (Vis, UV, dan IR).

Http://www.wahyu.blog.com/macam-spektroskopi-dan-perbedaannya.htm. Diakses tanggal 7 April 2014 pukul 14.27 WIB. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Alih bahasa

Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.

Sastrohamidjojo, H. 2002. Kromatografi. Liberty. Yogyakarta. Hlm 35-36. Savoia, D. 2012. Plant-Derived Antimicrobial Compounds. Http://www.

Plant-Derived Antimicrobial Compounds Antibacterial Activity.htm. Diakses tanggal 10 Mei 2014 pukul 10.54 WIB. Sharma, R. 2012. Enzyme Inhibition and Bioapplications. Intech China.

China. Hlm 30.

Sherma, J., dan B. Fried. 1992. Thin Layer Cromatography Techniques and Application. Marcel Dekker, Inc. New York. Hlm 23-24.

Silverstein, R.M., F. X. Webster., dan D. J. Kiemle. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. John Wiley & Son, Inc. New York. Hlm 316-340.


(63)

64

Singariyan, P., P. Kumar., dan K. K. Mourya. 2012. Identification of steroid compound using preparative Thin Layer Chromatography, GC-MS and antimicrobial and antioxidant properties of Cenchrus setigerus (Poaceae). International journal of pharmacy & life sciences. 3 (8). Hlm 1909-1916.

Skoog. 2007. Spektroskopi Ultraviolet-Tampak. Http://www.wikipedia.com/ spektroskopi-ultraviolet-visible/translate_p.htm. Diakses tanggal 7 April 2014 pukul 13.35 WIB.

Sudjadi. 1983. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Ghalia Indonesia. Jakarta. 283 hlm.

Tirtodiharjo, M. K. 2011. Strategi mengatasi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wilmana, F.P., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Yuhendri, Jasril, Yuharmen. 2014. Isolasi Dan Uji Toksisitas Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksana Kulit Batang Tumbuhan Polyalthia pulchra var. angustifolia King (Annonaceae). Jom Unri. 1(1). Hlm 1-8.

Zulkarnaen, M., Tukiran., Syarief, S. H. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Kloroform Batang Tumbuhan Bakau Merah (Rhizophora stylosa.Griff) dan Uji Aktivitas Biolarvasida terhadap Larva Aedes aegypti. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. Surabaya. Hlm 978-979.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut:

1. Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi senyawa Sterol yang dikenal dengan stigmast-5en-3β-ol (β-sitosterol). dari kayu batang bakau minyak (Rhizophora apiculata).

2. Senyawa β-sitosterol yang didapatkan sebanyak 54,8 mg memiliki sifat fisik berupa kristal bening menjarum dengan titik leleh 161-162oC.

3. β-sitosterol memiliki aktivitas anti inflamasi lebih efektif pada konsentrasi 0,6 mg/mL dibandingkan dengan konsentrasi 1,4 mg/mL.

5.2. Saran

1. Penelitian terhadap bagian lain tumbuhan bakau minyak serta penggunaan pelarut yang berbeda pada saat maserasi atau partisi diharapkan memperoleh senyawa lain yang memiliki potensi anti bakteri maupun anti inflamasi. 2. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi minimal


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2011. Potensi Bakau Rhizophora apiculata sebagai Inhibitor Tirosinase dan Antioksidan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Hlm 38.

Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam, Materi 4: Ilmu Kimia Flavonoid. Penerbit Karunia Universitas Terbuka. Jakarta. 39 hlm. Ariyanti danTukiran. 2012. Biolarvasida dari tumbuhan bakau minyak

(Rhizophora apiculata) (Rhizophoraceae). UNESA Journal of Chemistry. 1 (1). Hlm 10-13.

Asha, K.K., Mathew, S., Lakshamanan, P. T. 2013. Flavonoid and Phenolic Coumpound in Two Mangrove Species and Their Antioxidant Properti. Indian Journal of Geo Marine Sciences. 41 (3). Hlm 259-264.

Basahona, S. 2010. Deskripsi Tumbuhan Berdasarkan Family (suku). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Bhakuni, D.S. and D.S. Rawat. 2005. Bioactive Marine Natural Products.

Anamaya Publishers. New Delhi. India.

Bonang, G. 1996. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan. EGC. Jakarta.

Brooks, G.F., Butel J.S. and Ornston L.N. 1996. Jawetz Melnick Adelberg Medical Microbiology. Edisi ke-20. Alih bahasa oleh Nugroho E dan Maulany RF. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta

Corwin, E.J., 2008. Handbook of Pathophysiology 3th edition. Philadelphia: Lippincort Williams & Wilkins.

Creswell, J. R. Clifford, O. A. Runquist, M. M. Campbell. 1982. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Bandung. ITB.

Endah, A. 2011. Jumlah Species Tumbuhan (Flora) di Indonesia.

http://alamendah.org/2011/12/01/jumlah-spesies-tumbuhan-flora-di-indonesia/. Diakses tanggal 28 Februari 2014 pukul 10.08 WIB


(3)

61

Fessenden, R.J. dan J. S. Fessenden. 1999. Kimia Organik Jilid I. Alih Bahasa Hadyana Pujaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta. 525 hlm. Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1982. Kimia Organik Jilid 2. Alih

bahasa Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Filippos, V. 2007. Flavonoid. Http://www.wikipedia.com/flavonoid/ translate_p.htm /2010/Februari/21/12:32 WIB.

Gabay, O., C. Sanchez., C. Salvat., F. Chevy F., M. Breton., G. Nourissat., C.Wolf., C. Jacques., dan F. Berenbaum. 2010. Stigmasterol: a phytosterol with potential anti-osteoarthritic properties.

Oarsijournal. 18(1). Hlm 106-116.

Gau, M.Z., Yuan, X.Y., Cheng, M.C., Xiao, H.B., Bao, S.X. 2011. A New Diterpenoid From Rhizophora apiculata. Journal of Asian Natural Product Research. 13 (8). Hlm 776-779.

Gritter, R.J. J.M. Bobbitt. dan A.E. Schwarting. 1991. Pengantar

Kromatografi. Alih Bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 266 hlm.

Harborne, J.B. 1984. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern

Menganalisis Tumbuhan. Alih bahasa Kosasih Padmawinata. ITB Bandung. 151 hlm.

Heftmann, E. 1983. Chromatography : fundamental and application of cromatographic and electrophoretic metods. Elsevier scientific publishing company. New York. 363 hlm

Hostettman, K., M. Hostettman dan Maston, A. 1995. Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan pada Senyawa Bahan Alam. Alih bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. Hlm 27-34. Johnson, L.E. dan R. Stevenson. 1991. Dasar Kromatografi Cair. Alih

bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 365 hlm. Kadarsyah, A. 2012. Jenis Vegetasi Mangrove dari Famili.

http://anangkadarsah.blogspot.com/2012/08/jenis-vegetasi-mangrove-dari-famili.html. Diakses tanggal 28 Februari 2014 pukul 08.07 WIB.

Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo, dan I.G.K.Tantra. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau Di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. MAB Indonesia dan Lembaga Oseanologi Nasional. Jakarta. Hlm 21-39.


(4)

Katzung, G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit Salemba Medika. Jakarta.

Kulkarni, N., M, Mandhanya., D. K. Jain. 2011. Centrifugal Thin Layer Chromatography. Asian Journal of Pharmacy and Life Science. 1 (3). Hlm 294-300.

Kurniawan, R. 2014. Isolasi, identifikasi dan uji bioaktivitas senyawa stigmast-5-en-3β-ol (β-sitosterol) dari kulit akar bakau minyak (Rhizophora apiculata). Skripsi. Universitas Lampung. Hlm 50.

Lau, W.S. 1991. Spektroskopi inframerah. Http://www.wikipedia.com/ spektroskopi_ inframerah.htm. Diakses tanggal 7 April 2010 pukul 14.31 WIB.

Lorian, V. 1980. Antibiotic in Laboratory Medicine. Wiliams and Wilkins. Hlm 1-234.

Lycias, E., Joel., Bhimba, V. 2010. Isolation and characterization of secondary metabolites from the mangrove plant Rhizophora mucronata. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. Hlm 602-604.

Markham, K.R. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Alih Bahasa Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung. 117 hlm.

Marlinda, Y. 2006. Skrining Fitokimia dan Uji Efek Antiinflamasi Infusa Daun Senggani (Melastoma poiyanthum Blume) pada Mencit. Skripsi. Universitas Tulang Bawang. Lampung

Midori. 2013. Bakau. http://id.wikipedia.org/wiki/Bakau. Diakses tanggal 10 Mei 2014 pukul 9.54 WIB.

Manitto, P. 1992. Biosintesis Produk Alami. Alih Bahasa Koensoemardiyah. IKIP Semarang Press. Semarang. 235 hlm.

Nimah, S., W. F. Maruf and A. Trianto. 2012. Uji aktivitas ekstrak

Holothuria scaba terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Bacilluscereus. Jurnal Perikanan. 1. Hlm 1-9.

Ningsih, D. R., Warsinah., Suwandri. 2006. Fraksinasi Ekstrak Metanol Kulit Batang Rhizophora mucronata dan Uji Daya Hambatnya terhadap Bakteri Escherichia coli. Molekul. 1 (1). Hlm 30-35.


(5)

63

Noerdin, D. 1985. Elusidasi Struktur Senyawa Organik Dengan Cara Spektroskopi Ultra Lembayung dan Inframerah. Penerbit Angkasa. Bandung.

Patra, A., S. Jha., P. N. Murthy., Manik, and A. Sharone. 2010. Isolation and Characterization of Stigmast-5en-3β-ol from the leaves of

Hygrophila spinosa. International Journal of Pharma Science and Research. I. Hlm 95-100.

Patrick, G.L. 1995. An Introduction to Medicinal Chemistry. Oxford University Press. New York. Hlm 115.

Pimpliskar, M. R., Jadhav, R.N., Jadhav, B.L. 2011. Study on Antimicrobial Principles of Rhizophora Species Along Mumbai Coast. J.Aqua. Biol. 26 (1). Hlm 6–11.

Perdana, A. S. 2006. Pengenalan Tipe-Tipe Hutan. http://adhisuryaperdana. wordpress.com/ pengenalan-hutan/. Diakses tanggal 28 Februari 2014 pukul 10.48 WIB.

Ravikumar, S., M. Gnanadesigan., P. Suganthi, and A. Ramalaksmi. 2010. Antibacterial potential of chosen mangrove plants againts isolated urinary tract infectious bacterial pathogens. International Journal of Medicine and Medical Sciences. 2 (3). Hlm 94-99.

Riyadi, W. 2009. Macam Spektrofotometri dan Perbedaannya (Vis, UV, dan IR).

Http://www.wahyu.blog.com/macam-spektroskopi-dan-perbedaannya.htm. Diakses tanggal 7 April 2014 pukul 14.27 WIB. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Alih bahasa

Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.

Sastrohamidjojo, H. 2002. Kromatografi. Liberty. Yogyakarta. Hlm 35-36. Savoia, D. 2012. Plant-Derived Antimicrobial Compounds. Http://www.

Plant-Derived Antimicrobial Compounds Antibacterial Activity.htm. Diakses tanggal 10 Mei 2014 pukul 10.54 WIB. Sharma, R. 2012. Enzyme Inhibition and Bioapplications. Intech China.

China. Hlm 30.

Sherma, J., dan B. Fried. 1992. Thin Layer Cromatography Techniques and Application. Marcel Dekker, Inc. New York. Hlm 23-24.

Silverstein, R.M., F. X. Webster., dan D. J. Kiemle. 2005. Spectrometric Identification of Organic Compounds. John Wiley & Son, Inc. New York. Hlm 316-340.


(6)

Singariyan, P., P. Kumar., dan K. K. Mourya. 2012. Identification of steroid compound using preparative Thin Layer Chromatography, GC-MS and antimicrobial and antioxidant properties of Cenchrus setigerus (Poaceae). International journal of pharmacy & life sciences. 3 (8). Hlm 1909-1916.

Skoog. 2007. Spektroskopi Ultraviolet-Tampak. Http://www.wikipedia.com/ spektroskopi-ultraviolet-visible/translate_p.htm. Diakses tanggal 7 April 2014 pukul 13.35 WIB.

Sudjadi. 1983. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Ghalia Indonesia. Jakarta. 283 hlm.

Tirtodiharjo, M. K. 2011. Strategi mengatasi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wilmana, F.P., 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5. Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Yuhendri, Jasril, Yuharmen. 2014. Isolasi Dan Uji Toksisitas Metabolit Sekunder Ekstrak n-Heksana Kulit Batang Tumbuhan Polyalthia pulchra var. angustifolia King (Annonaceae). Jom Unri. 1(1). Hlm 1-8.

Zulkarnaen, M., Tukiran., Syarief, S. H. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Kloroform Batang Tumbuhan Bakau Merah (Rhizophora stylosa.Griff) dan Uji Aktivitas Biolarvasida terhadap Larva Aedes aegypti. Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa. Surabaya. Hlm 978-979.