EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) TERHADAP SAKSI PELAPOR (WHISTLEBLOWER) PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRACT
EXISTENCE AND VICTIM WITNESS PROTECTION AGENCY (Agency)
WITNESS FOR REPORTING (Whistleblower) CORRUPTION CASE
by
MEIRIA NURPHI
Based on of the the Agency Whistleblower, Act 13 of 2006 give fortunately. Although currently
there are no Witness and Victim Protection Agency (Agency) whom perform tasks provide
protection for witnesses and victims. But unfortunately not yet reached the scope of the Agency
Whistleblower, Act 13 of 2006 does not specify that the whistleblower is given protection.
The research was conducted by using normative juridical research. Data obtained from
secondary data sources consisting of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary,
legal materials.
Based on the research results of the Agency should be given greater autonomy in coordination
even if it may be given the right to be assisted by law enforcement officers who carry out
security measures and security protection. Other authority required by the agency in conjunction
with other law enforcement agencies are right to give advice about the condition of a witness or
victim, including when witnesses will give testimony in the trials. Therefore witness protection
law must include an obligation other agencies in supporting the work of the Witness Protection
Agency. Besides, the Agency needs to be given the right to collaborate with the community in
order to provide protection. To synergize the protection of the witness protection law this
cooperation should also be open to the public, besides that it is useful for the Agency as this will

help the Agency both logistical and support resource protection.
Furthermore, advised against the Witness and Victim Protection Agency regarding the existence
of the reporting witness corruption cases should be more active in providing protection to the
reporting witness. This is done so that the position of a witness, corruption can be more secure
and capacity as a witness can be accountable under applicable law.

Keywords : Existences, Witness Protection and Victim Agency, The Witness Reporter

ABSTRAK
EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
(LPSK) TERHADAP SAKSI PELAPOR (WHISTLEBLOWER) PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
MEIRIA NURPHI
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, lembaga yang
memiliki kewenangan untuk melindungi whistleblower adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan
korban (LPSK). Dalam undang-undang ini tidak menyebutkan secara jelas mengenai pengertian
dan perlindungan terhadap whistle blower. Permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah
bagaimanakah eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan
perlindungan terhadap whistleblower pada perkara tindak pi dana korupsi.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif. Data
diperoleh dari sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, bahan hukum tersier. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan
kesimpul;an yang sesuai dengan permasalahn yang dibahas.
Berdasarkan hasil penelitian, Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
memerlukan kewenangan yang lebih luas dalam memberikan perlindungan terhadap
whistleblower. Kordinasi bahkan jika mungkin di berikan hak agar dibantu oleh aparat penegak
hukum yang melakukan tindakan pengamanan dan proteksi keamanan. Oleh karena itu UU
perlindungan saksi dapat mencantumkan kewajiban lembaga-Iembaga lainnya dalam mendukung
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena hal ini akan membantu kinerja
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Selanjutnya disarankan periindungan hukum terhadap whistleblower periu perundang-undangan
khusus yang mengatur secara tegas mengenai perlindungan terhadap whistle blower. Peraturan
perundang-undangan tersebut terintegrasi mengikat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan didukung para aparat penegak hukum
lainnya mulai dari polisi, jaksa, hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga
Pemasyarakatan, Kementrian Hukum dan Ham, dan advokat. Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) harus lebih aktif dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower
supaya kedudukannya pada perkara tindak pidana korupsi dapat lebih terjamin keamanan dan
kapasitasnya sebagai whistleblower dapat lebih dipertanggung jawabkan menurut ketentuan

.
hukum yang berlaku.
Kata kunci : Eksistensi, Perlindungan Saksi dan Korban, Saksi Pelapor

EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN (LPSK) TERHADAP SAKSI PELAPOR
(WHISTLEBLOWER) PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI

Oleh

MEIRIA NURPHI
!

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat

MAGISTER HTIKTIM
Pada


Program Pascasarjana Magister Hukum
Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN (LPSK) TERHADAP SAKSI PELAPOR
(WHITSTLEBLOWER) PERKARA TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Tesis)

Oleh
MEIRIA NURPHI

PROGRAMPASCASARJANA MAGISTER HUKUM
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG

2014

PE

RI\rYATAAN.....:...

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

I

Lingkup.....
C- Tujuan dan Kegunaan Penelitian
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ..........

B. Permasalahan dan Ruang

II.

:......-...-.-..-..-.....--...-..


l0

-------------------. 11
--.---.--12

TIN.IAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Lembaga Perlindungan saksi dan Korban (LPSK) --...18

Korupsi.....
C. Pengertianwhistleblower.........

B. Pengertian Tindak Pidana

....-------.---- 23
---------27

D.PerlindunganHukumterhadapwhistleblower.--.-.-.-.....
F. Fungsi Hukum


Pidana......

-..--..31

-------------.---42

tII. METODE PENELITIAN

Masalah
B. Sumber Data..........

--..-43

A. Pendekatan

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan
D. Analisis

Data..........


-.---..43

Data.........-

---.------44

-.---.45

ry.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Eksistensi LPSK terhadap Perlindunganwhistleblower .....46
B. Faktor Penghambat Eksistensi LPSK terhadap whistleblower .-..-.....65

V.

PENUTUP

S[MPULAN..........
B. SARAN


A.

DAFTAR PUSTAKA

........83
.......84

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena atas rahmat

dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Eksistensi Lemtraga
Perlindungan Saksi dan Korban fl,PSK) Terharlap Saksi Pelapor (Whistlehlower) Perkara

Tindak Pidana Korupsi", sebagai syarat akhir studi

Pascasarjana

Bidang IImu Hukum di


l)niversitas Lampung. Penulis menvadari tesis ini masih banyak kekurangannya dan masih jauh
dari sempurna. Penulis juga menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai dengan penyusunan tesis ini. sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan
kepada
1.

ini penulis mengucapkan terima

kasih

:

Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rekor Universitas Lampung

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi.S.H.-

M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum lJniversitas Lampung


3. Bapak Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Program pada Program Pascasarjana
{

lniversitas Lamnuns.

4. Bapak O.. UOO, *ifai, S.H., M.H. selaku Sekretaris Program pada Program
I-lnivers itas L,ampu ng sekali gtr s Pemhimbing l-ltama

Pascasarjana

.

5. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Pembimbing Pendamping.
6. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Erna, Dewt, S.H., M.H', selaktr Pengtr.;i

7. Kedua orang tuaku Bapak Ishak Razak dan lbu Zahwirulyati atas semua doa, usaha dan
pengorbanannya.
8. Suamiku Mamak Hazazi, anak-anakku Sofua Zaujiyyah Balya dan Sahira Rakha Yumna yang
selalu memberik-an doa dan motivasinya,

9- Bapak, lbu f)osen dan Staf Program Pascasaqlana Fakultas Hukum Universitas Iampung

l0- Rekan-rekan angkatan2Ol2 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah memberikan bantuan baik dalam doa maunun nerhuatan selama oenulis mensikuti
pendidikan Program Pascasarjana Fakultas Hukum di Universitas Lampung

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang
telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagipengembangan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Desember 201 4
Penulis

MENGESAHKAN

L Tim Penguji
Ketua Tim Penguji

Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H.

Sekretaris

Dr. Maroni, S.H., M.H.

Pengu.li Utama

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Anggota

Dr. Erna Dewi, S.H., M.H.

Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H.

ryanrLlS.E, M.S.
109 198703 I 003
gram Pascasarjana

\=*ffl#,3titiili;ii?;,
4. Tanggal lulus U.iian :

1

1 Desemb er 2014

JudulTesis

EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN (LPSK) TERHADAP SAKSI
PELAPOR (WHTSTLEBLOWER) PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Mahasiswa

MEIRIA NURPHI

No. Pokok Mahasiswa

1222011070

Program Kekhususan

Hukum Pidana

Program Studi

Program Pascasarjana Magister Hukum

Fakultas

Hukum

MENYETUJUI
Dosen Pembimbing

Pembimbing Utama

Pembimbing Pendamping

Dr

Dr. Maroni, S.H., M.H.
NtP. rq600310 198703 I 00 2

N

y Rifai, S.H., M.H.
19610912 198603 r 003

.
MENGETAHUI
Ketua Program Pascasarjan a
Program studi Magister Ffrkum Fakultas Hukum

Universit

ffiitxsry
S-,f'^#glr'

ffi-ffip-Tnw?r;

S.H,, M.Hum.
50314 r98603 1 001

'.:

I,EMRAR PERNYATAAN

f)ensan ini saya menyatakan dengan sebenarnya hahwa

l.

:

Tesis dengan judul "Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
Terhadap Saksi Pelapor (Whistlehlower.) Perkara Tindak Pidana Koruosi": adalah karya
saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis

lain dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang herlaku

dalam

masyarakat akademik atau yang disebut pligiarism

2. Hak intelektual

atas karya ilmiah

ini

diserahkan seoenuhnva kepada [Jniversita-s

Lampung

Bandar Lampung, Desemher 201-4
Pembuat Pemyataan,

$EffiW
.
,r,rrf,ftuen4iEil .XM..,
...:::;:.

Meina-fltrrphi

NPM 1222011070

PERSEMBAHAN

Tesis ini dipersemhahkan kepada:

Kedua orang tuaku Bapak Ishak Razak dan lbu Zahwirulyati

Suamiku Mamak Hazazi dan anak-anakku Sofva Zauiivvah Balya dan Sahira Rakha Yumna

Adik-adikku [,ian, Efrida. Danti, Feby, serta saudara saudara dari suami

A lmamater I Jn

iversitas Lamouns

MOTO

..orang yang berat menanggung siksa
Rasulallah bersabda :

di hari kiamat ialah

orang yang berilmu namun tidak mendapat manfaat dari ilmunya itu"

VI

RIWAYAT HIDlIP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang, Randar Lampung pada tanggal 24 Mei 1977, merupakan
anak pertama dari enam bersaudara Bapak Ishak Razak dan lbu Zahwirulyati.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah l)asar Negeri 2 Tanjung Karang, Randar l,ampung lulus

tahun 1989. Melanjutkan ke Sekolah Menerfah Pertama Negeri 5 Tanjung Karang, Bandar
Lampung lulus tahun 1992. Kemudian melanjutkan

di Sekolah Menengah

Atas Negeri

I

Pahoman, Bandar Lampung lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan ke Universitas

Lampung lulus tahun 1999. Kemudian tahun 2012 melanjutkan pendidikan ke Pascasarjan
Universitas Lampung

I.

A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak
hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi di
golongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary-crimes) melainkan telah menjadi
kejahatan

luar

biasa

(extra-ordinary

crimes).

Sehingga

dalam

upaya

pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan secara biasa, tetapi di butuhkan caracara yang luar biasa (extra-ordinary enforcement).Tindak pidana korupsi di
Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik di pusat maupun di daerah,
lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat.1Oleh karena itu
pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu namun
membutuhkan pelaksanaan secara komprehensif dan bersama-sama oleh lembaga
penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat.

Terkait tindak pidana korupsi, upaya perlindungan terhadap saksi diperlukan demi
tercapainya proses penegakan hukum. Peranan tersebut tercermin daridimulainya
proses penegakan hukum karena adanya permohonan dari saksi ataukorban.2

1

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, (Bandung: Mandar
Maju, 2001), hlm 2.
2
Darmono, Komitmen Kejaksaan RI Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban TindakPidana, Jakarta:
Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban 2011, hlm 118.

2

Hukum AcaraPidana sebagai prosedur penegakan hukum di Indonesia belum
mengatur secara tegas perlindungan saksi.Pentingnya kedudukan saksi pelapor
dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana.
Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya
di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi pertimbangan
hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi
mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan
keadilan.3

Hal lain mengenai perlindungan saksi pelapor dalam perkara tindak korupsi
adalah rumusan UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban yang tidak memberikan batasan atau pengertian istilah “pelapor”,
implementasi dakwaan dan putusan terhadap Whistleblower.Pengertian saksi
dalam UU ini hanya sedikit lebih maju, karena berupaya mencoba memasukkan
atau (memperluas) perlindungan terhadap orang-orang yang membantu dalam
upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus pelapor atau pengadu.

Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih
terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang ada dalam
KUHAP.Rumusan ini masih mencampuradukkan antara definisi saksi dalam
KUHAP yang menitikberatkan pada “nilai pembuktian” dengan orang-orang yang
dapat dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi.

3

Surastini Fitriasih“Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana)
yang Jujur dan Adil,http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53, diakses 13 April 2014.

3

Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban (UU
PSK) menjadi dasar bagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
menjalankan kewenangannya terhadap perlindungan saksi dan korban merupakan
langkah pemerintah untuk menjawab harapan semua pihak agar terdapat kepastian
perlindungan hukum kepada saksi dan korban. Namun demikian, ternyata
keberadaan Undang-undang dan LPSK tersebut belum dapat memberikan
kepastian perlindungan hukum kepada pelapor atau whistleblower yang sesuai
dengan harapan, masih banyak terjadi perdebatan dan pertentangan tentang
pengertian whistleblower itu sendiri dan perlindungan hukumnya, terutama yang
terlibat dalam tindak pidana korupsi. Akan tetapi undang-undang ini tetap
mendapat respon positip dari masyarakat pemerhati hukum dan lembaga lembaga
penegak hukum terutama LPSK.

Whistleblower (peniup peluit) adalah istilahlain bagi saksi yang mengetahui
sendiri, melihat sendiri ketika suatuperbuatan pidana yang akan, sedang atau telah
terjadi danmengungkapkannya kepada publik. Whistleblower dalam UU Nomor
13 Tahun 2006 tentang Pelindungan Saksi dan Korban tidak memberikan
pengertian tentang “pengungkap fakta”, dan berkaitan dengan itu hanya
memberikan pengertian tentang saksi yaitu orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilantentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan / atau ia alami sendiri.4

4

Pengertian saksi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah sama dengan
pengertian saksi yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau Kitab Undang-Undang Hukum Acar Pidana (KUHAP)

4

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang PerlindunganSaksi dan Korban,
tidak menyebutkan secara tegas perlindungan hukumbagi “whistleblower (peniup
peluit)”, Secara yuridis formal yangdilindungi oleh undang-undang hanyalah
Saksi dan Korban, sedangkanpengertian saksi menurut ketentuan Pasal 1 UndangUndang Nomor 13Tahun 2006 adalah “orang yang dapat memberikan keterangan
gunakepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ialihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri”, Sehingga whistleblower (peniuppeluit) yang berhak
mendapat perlindungan hukum harus memenuhiklasifikasi sebagai saksi
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Penggunaan

dalam

rumusan

inilah

yang

kemudian

membatasi

perlindunganterhadap saksi yang mendengar, melihat dan /atau mengalami sebuah
tindak pidana. Karenadalam banyak kasus ada orang yang berstatus pelapor ini
kadangkala bukanlah orang yangmendengar, melihat atau mengalami sendiri
perkara pidana tersebut5, tapi orang yanginformasinya merupakan hal yang
penting dalam mengungkap sebuah kasus. Contohnya adalahmengetahui dimana
informasi mengenai alat bukti di temukan, atau tempat dimana sebuahdokumendokumen pembuktian berada.

Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No 04 Tahun 2011 tentang
Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku
5

Dalam banyak kasus, orang-orang yang membantu penyelidikan pidana yakni parapelapor dan pengadu
merupakan orang yang paling rentan memperoleh intimidasi, walupun belum ada data resmi yang bisa di
jadikan acuan namun dalam catatan monitoring baik yang dilakukan oleh Koalisi perlindungan saksi dalam
Tahun 2004-2005 lebih dari 20 kasus intimidasi terhadap para pelapor dan pengadu tindak pidana, lihat
tabulasi yang dikumpulkan ICW maupun studi kasus intimidasi saksi, saksi dalam ancaman, ELSAM, 2005 .

5

Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana
Tertentu (“SEMA 04/2011”) yang meminta kepada para hakim agar jika
menemukan adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor
Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, dapat diberikan perlakuan
khusus antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan
lainnya.Pada

dasarnya

seorang

whistleblower

merupakan

kunci

untuk

pengungkapan skandal kejahatan yang kerap melibatkan atasan maupun
koleganya sendiri. Namun tidak banyak orang yang mengetahui dengan persis dan
detail mengenai siapa sesungguhnya yang dapat dikategorikan sebagai seorang
whistleblower dan laporan yang dapat disampaikan. Pengaturannya secara implisit
termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011
tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi
Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).

Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut diterbitkan berdasarkan pengaturan Pasal
10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam SEMA
ini disebutkanWhistleblower adalah sebagai seorangpelapor pelaku tindak pidana
tertentu artinya whistleblower merupakan bagian dari pelaku, tetapi bukan pelaku
utama yang mengakui perbuatannya dan bersediamenjadi saksi dalam proses
peradilan.

Berbeda dengan Justice Collborator, yang terlebih dahulu dijadikan tersangka
korupsi tetapi mau bekerjasama untuk memberikan informasi kepada penyidik

6

tentang pelaku-pelakulain yang terlibat bahkan mengungkapkan pelaku utamanya
dengan harapan mendapat kompensasi keringanan hukuman. Tawaran untuk
menjadi justice collaborator tersebut dapat saja dilakukan oleh penyidik atau
tersangka.

Sementara

whistleblower

dengan

kesadaran

sendiri

untuk

membocorkan informasi kepada penyidik baik dia terlibat dalam kasus tersebut
atau tidak terlibat dan statusnyabukan sebagai tersangka.

Surat edaran tersebut menegaskan bahwa Mahkamah Agung meminta kepada para
Hakim agar jika menemukan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai
Whistleblower dan Justice Collaborators dapat memberikan perlakukan khusus
antara lain dengan memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan
lainnya. Dengan adanya SEMA tersebut, maka langkah LPSK terbantu dalam
mewujudkan harapan baru bagi masyarakat, khususnya mereka yang menjadi
whistleblower. LPSK dapat memperhatikan kepentingan whistlebloweruntuk
mendapatkan perlindungan, keadilan dan pemulihan hak-haknya. Selain itu LPSK
juga dapat rmeningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak
pidana dengan menciptakan suasana yang kondusif agar setiap orang yang
mengetahui terjadinya tindak pidana atau menjadi korban tindak pidana memiliki
kemauan dan keberanian untuk melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum6.

Undang-undang memposisikan LPSK sebagai lembaga yang pasif artinya hanya
bisa bertindak apabila pihak yang menjadi korban atau saksi mengajukan
permohonan mtuk mendapat perlindungan ke LPSK. Namun hal tersebut tidak

6

Bagian menimbang huruf c dan Pasal 2 UU No. 13 tahun 2006

7

membuat LPSK diam saja menunggu laporan atau pengaduan, LPSK berusaha
pula pro-aktif yaitu menghimbau kepada mereka untuk memanfaatkan LPSK
sebagai lembaga yang mandiri sehingga permasalahan mereka dapat ditangani
oleh LPSK.

Kewenangan LPSK terhadap whistleblower dapat membantu mengungkap fakta
dan kebenaran sehingga upayaproses penegakan hukum dapat tercapai karena
whistleblowermemperoleh perlindungan sesuai dengan yang diamanatkan oleh
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006. Whistleblower sebagai pihak yang
mengetahui dan melaporkan tindak pidana korupsi dan bukan merupakan bagian
dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya dapat diberikan perlindungan oleh
LPSK.

Bentuk perlindungannya yang dapat dilakukan oleh LPSK antara lain: jika
Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara
atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding
laporan dari terlapor. Kewenangan LPSK yang diatur dalam Undang- undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban tersebut dalam
penerapannyakurang efektif, dan secara normatif belum memenuhi aspek
perlindungan hukum terhadap saksi pelapor ( whistleblower).

Ruang lingkup LPSK belum menjangkau whistleblowerkarena UU No.13 tahun
2006 tidak mencantumkan bahwa whistlebloweradalah pihak yang diberikan
perlindungan, hanya saksi dan korban yang diatur dalam UU ini. Perkembangan

8

berikutnya putusan MK yang memutuskan bahwa Pasal 1 angka 26 dan angka 27;
Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan
dengan UUD 1945 memberikan “angin segar” bagi pemberantasan tindak pidana
korupsi karena memberikan peluang peran yang lebih luas bagi selain saksi yang
dibatasi pengertiannya menurut Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP, juga
saksi alibi (yang tidak berada di tempat kejadian perkara).

Putusan MK tersebut dapat membuat atau berpeluang seorang saksi alibi juga
bertindak sebagai pelapor dalam dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Dengan begitu, pelapor menjadi terlindungi dalam konteks penerapan UU No.13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.Peranan dari LPSK ini
memberikan suatu keyakinan bahwa kejahatan korupsi yang terorganisir dapat
diselesaikan berkat whistleblower.

Lembaga

Perlindungan

Saksi

dan

Korban

(LPSK)

diharapkan

dapat

memberikanperlindungan terhadap saksi pelapor (whistleblower)pada perkara
korupsi agar berani memberikan keterangan yang sebenarnyadalam proses
pemeriksaan

perkara

pidana

tanpa

mengalami

ancamanatau

tuntutan

hukum.Ketersediaanmekanismesangat penting guna mendukung kewenangan
LPSK dalam menjamindiperolehnya kebenaran materiil sekaligus untuk
memenuhi rasa keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait.
Penegakan hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang memadai demi
menjamin proses penegakan hukum bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat,
tidak larinya tersangka koruptor, hingga terselamatkannya aset negara yang

9

dikorupsinya. Beberapa perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam
kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam
menegakkan hukum demi mencapai keadilan.7

Meskipun peran LPSK terhadap whistleblower sangat dibutuhkan dalam
penegakan hukum, namun sistem dan kondisi hukum di Indonesia ternyata belum
memberikan jaminan perlindungan yang semestinya terhadap keamanan dan
keselamatan mereka, sebab UU No. 13 Tahun 2006 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban belum memberikan pelindungan hukum yang
ideal dan proporsional bagi keberadaan whistleblower. Jika pelindungan atas
keamanan dan keselamatan para whistleblower dapat dijalankan, maka potensi
untuk mengungkapkan berbagai kasus korupsi akan berjalan lancar.Undangundang hanya mengatur mengenai tanggung jawab LPSK, keanggotaan dan
proses seleksi LPSK, pengambilan keputusan dan pendanaan namun tidak
mengatur secara jelas mengenai organisasi dan dukungan kelembagaan,
administrasi, serta tranparansi dan akuntabilitas dari LPSK.8Untuk itu Penulis
mengangkat hal ini dalam Karya Ilmiah dalambentuk Tesis yang Berjudul
“Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap
Saksi Pelapor (Wistleblower)dalam Tindak Pidana Korupsi “
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

7
8

Rahmat, Kesaksian, Majalah Kesaksian Edisi II, 2012, hlm. 3.

Mal Thes Zumara, Fungsi LPSK dalam Kasus Pelanggaran HAM Dikaitkan dengan UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Repository UNAND, diakses dari
http://repository.unand.ac.id/17037/1/FUNGSI_LEMBAGA_PERLINDUNGAN_SAKSI_DAN_
KORBAN.pdf, pada tanggal 30 April 2014, pukul 18.00

10

Berdasarkan pada latar belakang diatas maka permasalahan pokok dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimana Eksistensi Lembaga Perlindungan saksi dan Korban dalam
melindungi saksi pelapor (whistleblower) pada tindak pidana korupsi?

b. Hambatan-hambatan yang mempengaruhi eksistensi LPSK menjalankan
kewenangannya dalam melindungi saksi pelapor (whistleblower) pada
tindak pidana korupsi?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan tesis ini dibatasi pada penelitian mengenai eksistensi
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi saksi pelapor
(whistleblower) pada tindak pidana korupsi dengan kajian kajian yang
berhubungan dengan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, serta referensi-referensi lainnya yang
berhubungan dengan pembahasan tesis ini

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

11

Adapun tujuan penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui dan memahami
bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
menjalankan kewenangannya melindungisaksi pelapor (whistleblower) pada
perkara korupsi,serta menganalisa hambatan-hambatan yang terjadi didalam
pelaksanaannya.Hambatan tersebut sebetulnya bukan saja semata karenapersoalan
kelembagaan, tapi juga dukungan atau sambutaninstansi pemerintah tertentu atas
kehadiran LPSK.
2. Kegunaan Penelitian
Ada dua kegunaan dalam penelitian ini yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis

penelitian iniadalah “Untuk mengetahui eksistensi

dari

LembagaPerlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi pelapor
(whistleblower) pada perkara tindak pidana korupsi. Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat berguna sebagai masukan dan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan pembangunan hukum di Indonesia

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini mencoba memberikan rekomendasi umum terhadap berbagai
kelemahan terkait dengankelembagaan dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Tujuan utamanyaadalah untuk memberikan masukan dalam implementasi UU
PSK agar eksistensinya dapat berjalan dengan baik sehingga tercapai keadilan
hukum. Diharapkan dengan memberikanrekomendasi umum tersebut maka para

12

pihak yang bertangungjawab atas pelaksanaan UU PSK dapatmengambil sikap
dan tentunya dapat mengeliminir berbagai kelemahan yang ada. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah informasi,
pengetahuan dan masukan bagi masyarakat, penegak hukum dan instansi terkait,
seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan (hakim), Penasihat Hukum/Advokat,
Balai Pemasyarakatan dan Lembaga Pemasyarakatan dalam upaya melindungi
saksi pelapor (whistleblower)pada tindak pidana korupsi.

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis
Pisau analisis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini menggunakan
teori penegakan hukum dan teori hukum progresif. Penegakan hukum juga dapat
diartikan dalam kerangka tiga konsep, yakni konsep penegakan hukum yang
bersifat total (total inforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada
dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali yang bersifat penuh
(full inforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi
dengan hukum acara dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individu,
dan konsep penegakan actual (actual inforcement concept) yang muncul setelah
diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum , karena kepastian baik yang
berkaitan dengan sarana prasarana, kualitas SDM, kualitas perundang-undangan
dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut:

13

a. Faktor hukumnya sendiri yaitu UU PSK sebagai dasar perlindungan belum
memiliki ketentuan yang khusus mengatur tentang pelapor/whistleblower.
Khusus yang dimaksud adalah dari segi definisi, syarat dan perlindungan
yang dapat diberikan kepada pelapor/whistleblower. Pengaturan Surat
Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2011
tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi
Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak
Pidana Tertentu, dan Peraturan Bersama Kementerian Hukum dan HAM
RI, KPK RI, Kejaksaan RI, Polri, dan LPSK tentang Perlindungan Bagi
Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, hanya bersifat
anjuran tidak mengikat antar penegak hukum sehingga sulit untuk
diberikan perlindungan yang pasti jika didasarkan pada SEMA.

b. Aparatur penegak hukumnya, yakni LPSK yang merupakan lembaga baru
di Indonesia masih mengalami banyak hambatan dalam memberikan
perlindungan. Adanya benturan kewenangan LPSK dengan institusi lain
khsusunya dengan kepolisian, dimana masing-masing institusi
mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang menjadi rujukan
hukum lembaganya. Selain itu apabila LPSK memberikan rekomendasi
kepada penegak hukum lain mengenai perlindungan hukum, hal itu
dianggap intervensi kepada penegak hukum tersebut. Oleh karena itu,
diperlukan suatu penyamaan visi antar penegak hukum. Selain masalah
integralisasi yang belum baik peran LPSK masih terbatas dalam
kewenangan yang dituangkan UU PSK.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi maka
mustahil penegakan hukum mencapai tujuanya.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.9

Teori hukum progresif diperlukan dalam rangka menjadikan keadilan subtantif
sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia. Kata progresif itu sendiri

9

Soerjono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta : Rajawali Press,
1983).hlm 5

14

berasal dari progress yang berarti adalah kemajuan. Jadi, disini diharapkan hukum
itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab
perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serata mampu melayani
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya
penegak hukum itu sendiri.10Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,
sejahtera dan membuat manusia bahagia.11 Selain itu juga hukum progresif
menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan
mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).
Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
“Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara
final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada
manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada
dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus
menerus

membangun

dan

mengubah

dirinya

menuju

kepada

tingkat

kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke
dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lainlain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process,
law in the making).”12

Dalam konteks yang demikian itu, eksistensi LPSK diharapkan selalu bergerak
dalam upayanya melindungi whistleblower tanpa terpaku pada hukum yang ada.

10

Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara. hlm.80-82
Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm.31
12
Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm.72
11

15

Jika LPSK hanya menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka
hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan
manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.

Kewenangan LPSK dapat dilakukan secara maksimal dalam mewujudkan
keadilan yang progresif dimana whistleblowermenjadi faktor penting dalam
menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game)
untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan
progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya
ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.

2. Konseptual

Kerangka konseptual diperlukan dalam menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus/istilah istilah yang dipakai sesuai judul untuk memberikan batasan
atau gambaran mengenai pokok-pokok dan alur pikir penulisan tesis ini. Adapun
konsep yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah:

a. Eksistensi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia Eksistensi adalah keberadaan,
kehadiran yang mengandung unsur bertahan13. Pengertian lainnya
dikemukakan oleh Abidin bahwa:
“Eksistensi adalah proses yang dinamis, suatu „menjadi‟ atau „mengada‟.
Ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri, yakni existere yang
artinya keluar dari, melampaui‟ atau „mengatasi‟. Jadi eksistensi tidak
13

Kamus besarBahasa Indonesia, 2002 hlm 357

16

bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami
perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan
dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”14. Berdasarkan beberapa
definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa eksistensi adalah proses
atau gerak untuk menjadi ada kemudian melakukan suatu hal untuk tetap
menjadi ada.
b. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalahLembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi
dan/atau sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang.
c. Whistleblower kadang diartikan sebagai „saksi pelapor’, „pemukul
kentongan’, atau „pengungkap fakta’. Whistleblower biasanya ditujukan
kepada seseorang yang pertama kali mengungkap atau melaporkan suatu
tindak pidana atau tindakan yangdianggap ilegal di tempatnya bekerja atau
orang lain berada, kepadaotoritas internal organisasi atau kepada publik
seperti media cetak atau lembaga pemantau publik. Pengungkapan tersebut
tidak selaludidasari itikad baik sang pelapor, tetapi tujuannya untuk
mengungkapkejahatan atau penyelewengan yang diketahuinya.

d. Pengertian korupsi adalah karakteristik korupsi yang unik, multi dimensi,
dan sangat merusak(destruktif) telah menimbulkan pendapat dan
penafsiran yang berbeda-beda, baik di kalangan praktisi hukum maupun
teoritisi hukum, tentang batasan korupsi. Salah satu pengertian korupsi

14

Zainal Abidin, 2007. Kontribusi Analisis Eksistensial dalamPraktek Psikologi.hlm16

17

yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya dikemukakan oleh Gunnar
Myrdal. Gunnar Myrdal sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji,
memberikan pengertian korupsi dalam arti yang luasyaitu;
“The term ‘corruption’ will be used-in its sense, to include not only all
forms of ‘improper of selfish exercise of power and influence attached to a
public office or to the special position one occupies in public life’ but also
the activity of the bribers”.15
e. Tindak pidanakorupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-Undang No 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( Pasal 1 ayat (1) UndangUndang No 20 Tahun 2001)

15

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan,Jakarta: Erlangga, 1985, hlm. 240

II.TINJAUANPUSTAKA

A. Tinjauan Umum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Pasca amandemen UUD 1945 yang terjadi di Indonesia, banyak hal yang telah
berubah pada sistem ketatanegaraan. Salah satu sistem ketatanegaraan Indonesia
yang berubah pasca amandemen UUD 1945 adalah mengenai format lembaga
negara. Sebelum amandemen UUD 1945, format lembaga negara Indonesia
adalah dengan menggunakan sistem lembaga tertinggi negara yang memegang
kedaul atan tertinggi, yang kemudian lembaga tertinggi negara membagi
kekuasaan kepada lembaga-lembaga di bawahnya. Akan tetapi, setelah
amandemen UUD 1945 konsepsi lembaga tertinggi negara tidak digunakan lagi.

Kekuasaan tertinggi Negara dikembalikan kepada rakyat yang dilakukan
berdasarkan UUD 19451, artinya format lembaga negara pasca amandemen UUD
1945 kedudukanlembaga negara berada kedudukannya saling sejajar dan saling
mengimbangi(check

and

balances).UUD

1945

(amandemen)

telah

mengamanatkan dibentuknya beberapalembaga negara dengan fungsi dan
kewenangannya masing-masing yangberbeda satu sama lainnya, tetapi tetap
dalam semangat check and balances.

1

Sri Soemantri, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung.
1986, hlm 59

19

Lembaga-lembaga negara di atas dalam sistem ketatanegaraan disebutsebagai
Lembaga Tinggi Negara. Dengan fungsi dan kewenangannyalembaga-lembaga
negara tersebut menjalankan roda pemerintahan.Seiring perkembangan negara
yang demikian pesat, sertakebutuhan kesejahteraan dan perlindungan terhadap
warga negara semakin meningkat. Kurangnya lembaga-lembaga negara pasca
amandemen UUD 1945dalam memenuhi kebutuhan akan kesejahteraan dan
perlindungan warganegara, pada akhirnya memicu kelahiran lembaga-lembaga
negara barudengan berpayung hukum pada peraturan perundang-undangan
dibawah UUD1945.

Lembaga-lembaga negara baru yang lahir karena undang-undangcenderung
berbentuk komisi atau lembaga yang mempunyai sifat yangindenpenden.Secara
teoritik, lahirnya lembaga-lembaga negara baru tersebutsebagai akibat dari
gelombang baru demokrasi yang terjadi disejumlah negara,khususnya yang
mengalami proses transisi demokrasi dari otoritarian kedemokratis, muncul organorgan kekuasaan baru, baik yang sifatnyaindependen (independent regulatory
agencies), maupun yang sebatassampiran negara (state auxiliary agencies).
Kalaupun bukan merupakanbentuk kekalahan gagasan trias politica terhadap
perkembangan baru danpergeseran paradigma pemerintahan dari perspektif
Huntingtonian, kelahiran organ-organ kekuasaan baru dapat dibaca sebagai
sebuah bentuk penyesuain diri negara untuk mempertahankan stabilitas sistem
dalam kerangkapengaturan trias politica untuk menuju suatu kondisi tertib
politik.2

2

Dikutip dari http://wahyudidjafar.files.wordpress.com/2010/01/komisi-negara_antaralatah-

20

Sejumlah persoalan bangsa terkait dengan kesejahteraan danperlindungan warga
negara bertolak pada penegakkan hukum, yang manadalam masa rezim otoritarian
orde baru persoalan tersebut seperti tersimpan tanpa pernah dipublikasikan. Oleh
karenanya dalam masa transisidemokrasi yang sedang berjalan saat ini, Indonesia
banyak melahirkan lembaga dan komisi baru untuk membantujalannya tertib
pemerintahan disegala bidang.Periode sesudah tumbangnya Orde Baru komisi
negara terbentuk hingga 2009, Indonesia sedikitnya telahmemiliki 14 komisi
negara independen, yang bukan perpanjangan dari salah satu organ kekuasaan
tertentu. Dari 14 komisi-komisi negara yang ada, Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK) adalah lembaga yang mempunyai kewenangan memberikan
perlidunganterhadap saksi dan korban pada suatu perkara hukum yang terjadi.

Berdasarkan ketentuan umum Pasal 1 ayat (3) UUPSK menyatakan bahwa:
“Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yangselanjutnya disingkat LPSK,
adalah lembaga yang bertugas dan berwenanguntuk memberikan perlindungan
dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atauKorban sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini”. Kemudian dalamPasal 12 UU PSK disebutkan bahwa:
“LPSK bertanggung jawab untukmenangani pemberian perlindungan dan bantuan
pada Saksi dan Korbanberdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini”.

Terkait dengan tugas dan kewenangannya dalam memberikan perlindungan
kepada saksi, maka tugas yang paling utama dari LPSK itu sendiri adalah

21

melindungi saksi yang mengetahui tindak pidana agar tercipta penegakan hukum
yang seadil-adilnya, sama rata dan tidak pandang bulu. Hal ini sangat penting
untuk menciptakan iklim hukum yang sebenarnya di dalam suatu negara hukum.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dibentuk untuk memberikan rasa aman terhadap setiap saksi dan/atau korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Perlindungan
dalam UU No. 13 Tahun 2006 diartikan sebagai segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban
yang wajib dilaksanakan oleh LPSK.

Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban pada awalnyaadalah
amanat yang didasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi
dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undangundangyang mengatur tentang perlindungan saksi.Penjelasan Undang-Undang RI
No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan
bahwaPerlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia
belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 UU No. 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap
tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia..
Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama memberikan perlindungan
terhadap saksi dan korban, LPSK telah menunjukkan rekam jejak, yang walau

22

masih sedikit, namun telah diacungi jempol dari berbagai pihak. Beberapa
perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus serius, di
mana dari perlindungan itu kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi
mencapai keadilan.3

Bila dilihat dari karakteristik tugas dan pekerjaan maka LPSK sebenarnya
merupakan model lembaga yangmenjadi pendukung (supporting) dari pekerjaan
lembaga/institusi

lainnya4.

Implikasi

atas

karakteristikpekerjaan

tersebut

menyebabkan LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan beberapa lembaga
penegakhukum yang ada5.

Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara penempatan yang baik agar
bisamenempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh karena itulah maka LPSK
dengan jelas harus membangunposisi kelembagaannya yang berada diantara dua
kepentingan yakni kepentingan pertama yangdimandatkan oleh UU PSK sebagai
lembaga yang bersifat mandiri, namun dari kepentingan kedua yakniuntuk
menjalankan program juga harus didukung oleh instansi terkait yang dalam
prakteknya akanmenimbulkan irisan kewenangan dengan instansi tersebut.

B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

3

Rahmat, Kesaksian, Majalah Kesaksian Edisi II, 2012, hlm. 3.
Lihat Notulensi Diskusi terbatas mengenai lembaga negara, tanggal 7 Maret 2006 yang dilaksanakan oleh
ICW danKoalisi Perlindungan Saksi
5
ibid, Lihat juga pembahasan Bagian Kerjasama Antar Lembaga

4

23

Tindak pidana korupsi adalah perbuatan mengambil aset milik Negara yang
dimotivasi oleh kepentingan pribadi, sehingga negara kehilangankemampuannya
untuk melaksanakan dan tanggungjawabnya dalammenyejahterakan masyarakat.
Sebagai konsekuensinya, korupsimengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak
dasar untuk hidupsejahtera.

Istilah korupsi dilihat dari sudut pandang terminologi berasal dari kata
“corruptio”dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan, dan
dipakaipula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk.
Dalamperkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai perbendaharaan katadalam
bahasa berbagai negara, termasuk bahasa Indonesia. Istilah korupsiyang sering
dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan seseorangdalam bidang
keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berartimelakukan kecurangan
atau penyimpangan menyangkut keuangannegara. Hal itu dikemukakan pula oleh
Henry Campbell Black6 yangmengartikan korupsi sebagai: “an act done with an
intent to give someadvantage inconsistent with official duty and the rights of
others”. (terjemahanbebasnya: sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untukmemberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajibanresmi
dan hak-hak dari pihak lain).

Termasuk pula dalam pengertian“corruption” menurut Black adalah, perbuatan
seorang pejabat yang secaramelanggar hukum menggunakan jabatannya untuk
mendapatkan suatukeuntungan yang berlawanan dengan kewajibannya. “an act
6

Henry Compbell Black, Black’s Law Dictionary With Pronounciations, (St. Paul, Minn: WestPublishing
Co., 1983), hlm. 182

24

done with anintent to give some advantage inconsistent with official duty and the
rights ofothers” (terjemahan bebasnya: sesuatu perbuatan yang dilakukan
denganmaksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai
dengankewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain). Dalam Webster’s
NewAmerican

Dictionary

(Lapuk),“contamination”

kata

“corruption”

(kemasukan

sesuatu

diartikan
yang

sebagai

“decay”

merusak),

dan

“impurity”(tidak murni). Sedangkan kata “corrupt” dijelaskan sebagai “to
becomerotten or putrid” (menjadi busuk, lapuk atau buruk), juga “to induce
decayin something originally clean and sound” (memasukkan sesuatu yang
busuk,atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan bagus).7

Korupsi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan yang buruk
seperti penggelapanuang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.8 Sedangkan
menurutSudarto, istilah korupsi berasal dari perkataan “corruption”, yang
berartikerusakan. Disamping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk
menunjukkeadaan atau perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkankepada
ketidak-jujuran seseorang dalam bidang keuangan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
PidanaKorupsi dalam Pasal3 memberikan pengertian korupsi sebagai berikut :
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiriatau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukanyang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara”.Secara umum korupsi berhubungan dengan perbuatan

7

Lihat A. Mariam Webster, New International Dictionary, (G & C Marriam Co. PublishersSpringfield Mass
USA, 1985 )
8
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976)

25

yangmerugikan
kepentingan
negara
atau
masyarakat
kepentinganpribadi, kelompok, atau keluarga tertentu.’

luas

untuk

Karakteristik korupsi yang unik, multi dimensi, dan sangat merusakdestruktif)
telah menimbulkan pendapat dan penafsiran yang berbeda-beda,baik di kalangan
praktisi hukum maupun teoritisi hukum, tentang batasankorupsi.Salah satu
pengertian korupsi yang dikemukakan oleh para ahlidiantaranya dikemukakan
oleh Gunnar Myrdal. Gunnar Myrdal sebagaimanadikutip oleh Oemar Seno Adji,
memberikan pengertian korupsi dalam arti yangluas, dengan menyatakan, “The
term ‘corruption’ will be used-in its sense, toinclude not only all forms of
‘improper of selfish exercise of power andinfluence attached to a public office or
to the special position one occupies inpublic life’ but also the activity of the
bribers”.9

Vijay K. Shunglu berpendapat sebagian besar praktik korupsi adalah kasus “whitecollar corruption”10. Hal ini dikarenakan “white-collar worker” memiliki peluang
yang lebih besar untuk melakukan korupsi dibandingkan dengan “blue-collar
worker”.11 Sutherland menyatakan bahwa “a white collar crime was a
crimecommitted by a person of respectability and high social status in the course
ofhis occupation.”12
Menurut IS Susanto, “white-collar crime” dapat dikelompokkan ke dalam:
1.Kejahatan-kejahatan
yang
dilakukan
oleh kalangan
profesi
melakukanpekerjaannya.
2. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya
3. kejahatan korporasi.13

9

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hal. 240.
Vijay K. Shunglu, “India’s Anticorruption Strategy,” in Regional Strategies and International
Instrument to Fight Corruption, page 17.
11
Loc.cit.
12
http://www.WhiteCollarCrimeFYI.com
13
Susanto, Kriminologi, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 83.
10

dalam

26

Berbeda dengan IS Susanto yang mengelompokkan kejahatan yang dilakukan oleh