ANALISIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(1)

ANALISIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Skripsi)

Oleh

Dea Puspa Mandiri

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ANALISIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

Dea Puspa Mandiri Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(3)

ABSTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

Dea Puspa Mandiri

Korupsi adalah suatu problematika yang besar dalam merusak pembangunan. Oleh sebab itu maka keberadaan saksi pelapor dalam tindak pidana korupsi ini sangat penting. Persoalan utama banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya disebabkan tidak ada jaminan yang memadai, terutama jaminan atas perlindungan tertentu ataupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami gugatan balik atau tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia dan apakah faktor penghambat dalam pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yurudis normatif dan yurudis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi di Negara Indonesia adalah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dimana saksi diberikan perlindungan oleh suatu lembaga yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat dipergunakan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tersebut terdapat dua model, Procedural rights model yaitu model yang memungkinkan saksi berperan aktif dalam proses peradilan tindak pidana danThe service model yaitu model yang menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap saksi yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim. Pemberian perlindungan hukum terhadap saksi termasuk saksi dalam tindak pidana korupsi adalah dalam bentuk perlindungan yang ditujukan bagi keamanan pribadi saksi itu


(4)

sendiri, keluarga dan juga harta bendanya. Faktor penghambat pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia adalah faktor peraturan perundang-undangan yang biasa diterjemahkan terlalu luas yang akan mempengaruhi upaya pemberian perlindungan sepenuhnya terhadap saksi pelapor, faktor aparatur penegak hukum dalam mekanisme perlindungan saksi dalam upaya penegakan hukum masih kurang, faktor kurangnya perhatian dari masyarakat, serta sikap danmental saksi pelapor yang diliputi oleh perasaan takut bila menjadi saksi dikarenakan tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang pasti.

Disarankan bagi tim perumus rancangan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pemberian bantuan perlindungan hukum harus berani melakukan terobosan-terobosan dalam rangka memperluas peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pemberian bantuan. Hendaknya pemberian perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dapat diberikan secara maksimal termasuk perlindungan terhadap keluarga saksi pelapor, harta bendanya dan lain-lainnya.


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Dr. Maroni, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heriyandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(6)

Judul Skripsi : ANALISIS PELAKSANAAN

PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Mahasiswa : Dea Puspa Mandiri No. Pokok Mahasiswa : 0912011018 Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati, S.H., M.H. Tri Andrisman, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003 NIP 19611231 198903 1 023

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP 19620817 198703 2 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 Agustus 1991, yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Dani Wijaya dan Ibu Elia Rosa.

Penulis menyelesaikan studi di SD Xaverius II Rawalaut Bandar Lampung lulus pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Xaverius II Rawalaut Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 2 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2009.

Penulis pada tahun 2009 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur seleksi Penulusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB).Penulis pada tahun 2012mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gunung Kemala Timur, KecamatanWaykrui, Kabupaten Lampung Barat.


(8)

MOTTO

Belajarlah mengalah sampai tak seorang pun yang bisa mengalahkanmu, Belajarlah merendah sampai tak seorang pun yang bisa merendahkanmu.

(Gobin Vashdev)

_Life is short Time is fast No replay No rewind

So enjoy every moment as is comes__ (Dea Puspa Mandiri)

Kegagalan adalah suatu keberhasilan yang tertunda jadi jangan pernah engkau berhenti hanya karena engkau letih, tapi berhentilah hanya setelah engkau selesai.


(9)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payah, aku persembahkan sebuah karya kecil ini kepada orang-orang yang terkasih dan mengasihiku. Untuk, Papaku Dani Wijaya dan Mamaku Elia Rosa yang kucintai, terima kasih untuk setiap pengorbanan, kesabaran, kasih sayang, doa dan air mata yang kalian curahkan demi keberhasilanku, serta sebagai suatu rasa bakti dan hormatku. Kakakku M.Bani Perkaso yang sudah menjadi kakak terbaik yang tiada henti memberikan dorongan dan menjadi panutan untukku, Adikku Tegar Satria yang berkat kelucuannya menjadikan suatu semangat tersendiri untukku. Keluarga besarku, Alm.Kakek (Ahyat Thaib), danNenek (Solha Ahyat), Om ku ( Papawa, Pakcik, Om hendra), Tanteku (Uno,Uncu, Tante Dewi, Tante Emi) serta Adik-adik sepupuku terima kasih atas segala kasih sayang, dukungan, perhatian,nasihat dan motivasi kalian untuk pencapaian keberhasilanku. Serta, Untuk seseorang yang aku Sayangi yang selalu mengiringi langkahku dan mencintaiku sepenuh hati, terima kasih telah menjadi bagian indah dalam hidupku.


(10)

SANWACANA

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi dengan judul “Analisis Pelaksanaan Pemberian Perlindungan Bagi Saksi Pelapor Dalam Perkara Korupsi”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini penulis tidak sendiri melainkan dibantu dan diberikan bimbingan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.


(11)

5. Ibu Dona Raisa M., S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas II atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini.

6. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis.

7. Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Mbak Sri dan Mbak Yanti dibagian Hukum Pidana yang turut membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.

9. Buat Papa dan Mama atas segala pengorbanan dan kesabarannya mendidik ku, yang tanpa henti memberikan doa dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi hidupku.

10. Buat Kakakku Bani dan adikku Tegar, serta kakak-adik sepupuku terima kasih atas segala gurauan, kekonyolan dan kasih sayang kalian untukku.

11. Buat Papawa, terima kasih atas segala curahan perhatian dan kasih sayang, telah menjadi Ayah yang berperan penting demi keberhasilanku.

12. Buat Uno, Tante Dewi, Tante Emi, Uncu, Pakcik, Om hendra terima kasih atas segalanya, telah menjadi tante-tante dan om terbaikku

13. Buat Seluruh Keluarga Besarku terima kasih atas segalanya.

14. Buat kekasihku Denny Saputra, S.H terima kasih selalu mengiringi langkahku, dan menemaniku dikala suka maupun duka.

15. Buat Bapak Amril Bamim, Mama Sinayah, Ayuk Ita, Bang Aven, Kak Apri, adek Manda, Yola, dan adek kembar, terimakasih atas doa dan dukungannya. 16. Buat Keluarga Besar Maimuri Karim, terima kasih telah menjadi keluarga


(12)

17. Buat Sahabat-sahabat terbaikku, Martha Elvin Maika, Santia Nourma, Manda Sari, Irwan Sutrisno, Tiara Putri, 7folks, you’re my best friend (yel2: loe-loe tau gue khaaaaannn ....? hahahaa)

18. Buat Spanky community Kak Indra, Kak Ade, Kak Langgir, dan lainya, salam ragae

19. Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan nya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Bandar Lampung, 19 Februari 2013 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 8

E. Sistematika Penulisan ………. 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Saksi dan Saksi Pelapor………..…..………... 14

B. Ketentuan yang Berkaitan dengan Perlindungan Saksi………. 21

C. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi…...……….. 24

III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah……….…………..……….. 30

B. Sumber dan Jenis Data……….…………..……….. 30

C. Penetuan Populasi dan Sampel………. 31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data….…..…….……….. 32


(14)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden……….………..………… 34 B. Pelaksanaan Perlindungan Bagi Saksi Pelapor Dalam Perkara

Korupsi Di Indonesia………...…...….. 35 C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Perlindungan Bagi Saksi Pelapor

Dalam Perkara Korupsi Di Indonesia………...…... 46

V. PENUTUP

A. Kesimpulan………..………. 59

B. Saran……….……… 60


(15)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi. Adami. 2001.Pelajaran Hukum Pidana.Rajagrafinda Persada. Jakarta Departemen pendidikan dan kebudayaan, 2001. Kamus besar bahasa Indonesia.

Balai pustaka, Jakarta.

Hamzah. Andi. 2008.Hukum Acara Pidana.Grafika.Jakarta

---, 1984,Pengetahuan Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Indonesia. Moeljatno. 1993,Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Prodjohamidjojo. Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi. Pradnyaparamita. Jakarta.

Prodjodikoro, Wirdjono. 2003. Asas Asas Hukum Pidana. Refika Aditama. Bandung.

---, 1983.Hukum Acara Pidana di Indonesia,Sumur Batu, Jakarta.

Marzuki. Peter Mahmud. 2006. Penenlitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Moleong. Lexi J, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rodakarya. Bandung.

Mulyadi. Lilik. 2000.Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bhakti. Bandung. Soekanto, Soerjono, 2010.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Soesilo. Prajogo. 2007.Kamus Hukum,Wacana Intelektual, Jakarta.

Yusuf. Muhammad. 2006, Urgensi Perlunya Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi.Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981).


(16)

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai Negara hukum, Negara harus berperan disegala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan bangsa dan Negara Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga negaranya. Hal itu bertujuan untuk menciptakan adanya keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta menghendaki agar hukum ditegakkan artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu fenomena kejahatan yang menghambat pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benar-benar diprioritaskan. Sumber kejahatan korupsi banyak dijumpai dalam masyarakat dewasa ini, sehingga korupsi justru berkembang dengan cepat dan baik kualitas maupun kuantitasnya. Sekalipun penanggulangan tindak pidana korupsi diprioritaskan, namun diakui bahwa tindak pidana korupsi termasuk jenis perkara yang sulit penanggulangan dan pemberantasannya.


(18)

2

Umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila seorang yang katakanlah pegawai bawahan mengetahui bahwa atasannya melalukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar bawahan tidak berani melaporkan kasus tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada dibawah si pelaku tindak pidana korupsi. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orang-orang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan pernah terungkap. Dalam hal keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di pengadilan, utamanya berkenaan dengan saksi Hukum Acara Pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian (system negatif wettelijke) yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan :

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalahmelakukannya”.

Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut


(19)

3

memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.

Proses pemeriksaan tindak pidana korupsi dari laporan masyarakat kepada polisi, kemudian polisi melakukan peyelidikan dan penyidikan, setelah itu kasus dilimpahkan kepada kejaksaan. Kejaksaan akan memeriksa kasus, apakah bukti-buktinya sudah lengkap atau belum, jika sudah maka jaksa akan melakukan penuntutan dan perkara akan diperiksa dan diputus di pengadilan. Dari serangkaian proses tersebut, pemeriksaan di setiap tahapnya memerlukan saksi sebagai alat bukti yang sah dan untuk mengetahui kebenaran materiel yang sesungguhnya dari terjadinya tindak pidana.

Adanya keterangan dari saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat/mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana merupakan salah satu alat bukti yang sah yang dapat membantu hakim untuk benar-benar meyakinkan kesalahan terdakwa hampir semua proses peradilan pidana menggunakan keterangan saksi. Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum.

Seluruh tahapan proses penyelesaian perkara pidana, mulai tahap penyidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan alat bukti ”keterangan saksi” yang merupakan alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah


(20)

4

sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Berkaitan dengan peranan saksi ini, seorang praktisi hukum (hakim), Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi dark number mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. Namun penegak hukum sering mengalami kesulitan untuk menghadirkan saksi dan/atau korban dengan berbagai alasan misalnya: saksi takut, khawatir atau bahkan tidak mampu (karena biaya tidak ada, depresi, terluka atau terbunuh).

Untuk itu perlu diberikan atau dilakukan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban. Tujuannya menurut Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 4 adalah “memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan“ (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Alinea Pertama). Saksi di sini salah satunya adalah yang melaporkan tindak pidana pada kepolisian. Tindak pidana yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi yaitu yang menyangkut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Apabila Masyarakat mengetahui adanya suatu tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan cara:

1. melaporkan pelanggaran Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 2. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan


(21)

5

3. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur Tindak Pidana Korupsi

4. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak Tindak Pidana Korupsi

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bagaimana tindakan dari pihak kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada saksi pelapor tindak pidana Korupsi dan apakah keluarganya juga ikut dilindungi oleh kepolisian atau justru ada sebuah badan tersendiri yang akan melindungi dan memberikan jaminan rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum, berikut dengan faktor-faktor penghambat yang dihadapi kepolisian dalam memberikan perlindungan kepada saksi pelapor, dan penanggulangannya oleh kepolisian.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menelitinya dan menyusunnya kedalam penulisan hukum dengan judul “Analisis PelaksanaanPemberian Perlindungan Bagi Saksi Pelapor Dalam Perkara Korupsi”

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang tersebut diatas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia?


(22)

6

b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penelitian dalam penelitian ini adalah mengenai :

a. Dalam bidang keilmuan, yakni merupakan bagian dari ilmu hukum pidana, khususnya hukum acara pidana mengenai pelaksanaan pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.

b. Dalam bidang substansi, yakni mengenai bagaimana bentuk pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia dan faktor penghambat dalam pelaksanaannya.

c. Penelitian ini mengambil tempat di Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok bahasan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui dan memahami:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.


(23)

7

2. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penelitian ini, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut bentuk pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai faktor penghambat dalam pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Perlindungan menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu usaha untuk mempertahankan hak dan kewajiban seseorang dengan aturan atau hukum sebagai batasannya.1 Sedangkan menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban yang wajib dilaksanakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

1

Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia,. (Balai pustaka, Jakarta, 2001), hlm1002


(24)

8

Saksi menurut kamus bahasa Indonesia adalah seseorang yang melihat, mendengar, atau merasakan secara langsung tentang terjadinya suatu peristiwa.2 Pengertian saksi menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2006 adalah orang yang dapat memberrikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan atau ia alami sendiri.

Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Pelapor menurut bahasa Indonesia adalah seseorang yang melaporkan suatu peristiwa yang menurutnya tidak wajar yang terjadi kepada instansi yang terkait. Sedangkan laporan menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1981 adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan Undang-undang kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.

2


(25)

9

Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun didalam hubungan dengan manusia lain.3 Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, perlindungan hukum adalah : “Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pnguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada”.

Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita. Perlindungan hukum tersebut akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama. Berlakunya seorang manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum) dimulai saat berada dalam kandungan ibunya dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, hal ini berlangsung selama ia hidup.4

Menjadi saksi adalah wajib menurut undang-undang, yang berarti pula bagi siapa saja yang tidak mengindahkannya akan dikenakan sanksi (hukuman). Seseorang yang menyaksikan peristiwa pidana terkadang tidak mau untuk memberikan kesaksiannya, hal ini dikarenakan seseorang tersebut takut untuk menjadi saksi. Harus dilihat hal-hal yang seharusnya dikontribusikan kepada saksi, sehingga kenyataan tersebut dapat berubah. Perubahan tersebut dengan cara memberikan perlindungan normatif yang berdimensi psikologis.

3

Soedikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Jogjakarta : Liberty, 1991), hlm. 9


(26)

10

Perlindungan normatif diberikan oleh pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang harus memberikan jaminan kepada seorang saksi, berupa ganti rugi yang dikeluarkan oleh saksi selama ia memberikan kesaksiannya dalam setiap tahapan proses hukum. Seorang saksi harus didampingi oleh penasehat hukum. Bahkan lebih dari itu, dalam kasus-kasus tertentu, saksi harus mendapatkan pengawalan dari aparat kepolisian. Perlindungan psikologis perlu dilakukan karena bagi orang awam belum dapat membedakan antara tersangka, terdakwa dan saksi. Proses penghilangan perasaan rasa bersalah yang selanjutnya menimbulkan rasa takut inilah yang mesti diantisipasi dengan jalan memberikan perlindungan psikologis terhadap saksi.5

Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan saksi diberikan melalui suatu Lembaga yang bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya disebut LPSK). LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

LPSK akan memberikan perlindungan kepada saksi jika telah menyetujui permohonan saksi beserta persyaratannya, dan juga telah menandatangani bersama saksi atas surat pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi antara LPSK dan saksi tersebut, termasuk kesediaan untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya dan untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan. LPSK wajib memberikan perlindungan 5

Eddyono, Betty Yolanda, Fajrimei A.Gofar, “Saksi Dalam Ancaman,” http://www.perlindungansaksi.com, diunduh 3 Desember 2012.


(27)

11

sepenuhnya kepada saksi termasuk keluarganya sejak ditandatanganinya surat pernyataan tersebut.

2. Konseptual

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Perlindungan Saksi dan Korban adalah suatu usaha yang bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana (Pasal 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2006).

b. Perlindungan adalah suatu usaha untuk mempertahankan hak dan kewajiban seseorang dengan aturan atau hukum sebagai batasannya.6

c. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri (Pasal 1 butir 26 Undang-Undang No.13 Tahun 2006).

d. Pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana dengan keterangan itikad baik.7 e. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No.13 Tahun 2006).

6

Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus besar bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai pustaka, 2001). hlm. 102.

7

Lian Nury Sanusi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. (Ciganjur: Kawan Pustaka, 2006), hlm. 56.


(28)

12

f. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.8

E. Sistematika Penulisan

Supaya mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan, maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika yang tersusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini menguraikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengaturan dalam suatu pembahasan tentang pokok permasalahan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

8

Lilik Mulyadi. dalam Bambang Santoso, Tindak Pidana Korupsi. (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2003), hlm 21-22.


(29)

13

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang permasalahan hukum dalam pemberian perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia.

V. PENUTUP

Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Saksi dan Saksi Pelapor

Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana yang dimaksud. Tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi ”dark number” mengingat dalam system hukum yang

berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari para penegak hukum adalah

testimonyyang hanya diperoleh dari saksi atau ahli.Berbeda dengan sistem hukum yang berlaku di Amerika yang lebih mengedepankan ”silent evidence” (barang

bukti).9

Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan, dimana keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan padanya (Unnus Testis Nullus) dan saksi harus memberikan keterangan mengenai apa yang ia lihat, dengar, ia alami sendiri

9


(31)

15

tidak boleh mendengar dari orang lain (Testimonium De Auditu). Dalam Pasal 185 ayat 1-7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan : 1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang

pengadilan.

2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. 5) Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,

bukan merupakan keterangan saksi.

6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

(a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain (b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain

(c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu

(d) cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai dengan


(32)

16

keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah : 1) Syarat objektif saksi

(a) Dewasa telah berumur 15 tahun / sudah kawin (b) berakal sehat

(c) Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah / perkawinan dengan terdakwa

2) Syarat subjektif saksi

Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri.

3) Syarat formil

Saksi harus disumpah menurut agamanya.10

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu :

1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

2) saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga

10


(33)

17

3) suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau tidaknya alas an yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebsan tersebut.

Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri misalnya adalah pastor agama Katolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Karena Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” Maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi , dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itulah maka kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.


(34)

18

Pasal 171 KUHAP yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah :

1) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin 2) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik

kembali

Penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopath, mereka ini tidak dapat ditanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja.

Kekuatan alat bukti saksi atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor. Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak suatu perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah. Kekuatan pembuktian keterangan saksi tergantung pada dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dikatakan dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguhsungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:

1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yanglain. 2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.


(35)

19

3) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan keterangan tertentu.

4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memepengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.

Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, pelapor mengandung arti setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat yang mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi. Keberadaan pelapor sangat penting, tanpa adanya pelapor kemungkinan besar kasus-kasus korupsi tidak akan terungkap.

Mengenai tata cara dalam memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tidak pidana korupsi terdapat dalam Pasal 3 PP No 71 tahun 2000 tentang cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyebutkan ayat (1) “informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat sebagaimana maksud dalam Pasal 2 harus disampaikan secara tertulis dan disertai :


(36)

20

1) Data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat atau pimpinan lembaga swadaya masyarakat dengan melampirkan photo copy kartu tanda penduduk atau identitas diri lain.

2) Keterangan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan.

Ayat 2 : setiap informasi, saran, atau pendapat dari masyarakat harus diklarifikasi dengan gelar perkara oleh penegak hukum”. Dari pasal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebutan whistblower (peniup peliut) atau pelapor berada pada proses sebelum proses penyidikan dan penyelidikan, dimana pelapor melaporkan adanya tindak pidana korupsi kepada penyidik dalam hal ini yaitu penyidik, untuk kemudian laporan tersebut diselidiki kebenarannya.

Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak memberikan kesaksian dipersidangan. Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak pidana itu sendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1) ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan ayat (2) “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”

Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan


(37)

21

tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

B. Ketentuan yang Berkaitan dengan Perlindungan Saksi

Perlindungan saksi dan pelapor merupakan elemen penting dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, umumnya tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesempatan, kewenangan ataupun sarana yang dimungkinkan oleh jabatan yang diperolehnya. Dengan demikian pada sebagian besar kasus korupsi dilakukan oleh pembuat keputusan bukan pada tingkat bawah. Dalam posisi semacam ini, apabila seorang yang katakanlah pegawai bawahan mengetahui bahwa atasannya melakukan tindak pidana korupsi, kemungkinan besar ia enggan melaporkan kasus tersebut karena khawatir akan mengancam pekerjaannya yang sudah jelas berada dibawah si pelaku tindak pidana korupsi. Tanpa adanya perlindungan hukum terhadap orang-orang seperti ini, kemungkinan besar kasus-kasus korupsi yang besar tidak akan pernah terungkap. Dalam hal keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di pengadilan, utamanya berkenaan dengan saksi.

Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagai jaminan terhadap perlindungan saksi dan


(38)

22

pelapor tarhadap kasus korupsi yaitu dari tahap peristiwa baru terjadi sampai dengan pasca persidangan, diperlakukan gambaran mengenai bentuk perlindungan. Dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai hal-hal tersebut, yaitu :

1) Pasal 5 ayat (1) dan (2) 2) Pasal 6 :

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: (a) bantuan medis

(b) bantuan rehabilitasi psiko-sosial 3) Pasal 7 ayat (1), (2),dan (3) :

(a) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

(1) hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

(2) hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindakpidana.

(b) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan. (c) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

4) Pasal 8 :

Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


(39)

23

(b) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut scdang diperiksa. (c) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.

(d) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

6) Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) :

(a) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(b) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

(c) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Pasal 5 Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban seorang saksi dan korban berhak:


(40)

24

1) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,

2) serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya

3) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan

4) memberikan keterangan tanpa tekanan 5) mendapat penerjemah

6) bebas dari pertanyaan yang menjerat

7) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus 8) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan 9) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

10) mendapat identitas baru

11) mendapatkan tempat kediaman baru

12) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan 13) mendapat nasihat hukum; dan/atau

14) memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir

C. Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Korupsi

Konsep hukum indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik. Sedangkan dalam bahasa Belanda


(41)

25

istilah tindak pidana tersebut dengan “straf baar teif” atau delict. Berikut ini pendapat beberapa sarjana mengenai tindak pidana :

Menurut Roeslan Saleh perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Kemudian dari beberapa pengertian tentang tindakpidana tersebut di atas dapat disamaka dengan istilah tindak pidana, peristiwa pidana atau delik.11 Mengenai arti straf baar teif perlu juga diketahui pendapat para sarjana. Menurut Van Hamel, straf baar teif adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.12

Bedasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa didalam perbuatan pidana didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Atau dapat diartikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana. Dari definisi diatas dapat dicari beberapa unsur-unsur tindak pidana yaitu :

b. Perbuatan manusia

c. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) d. Melawan hukum (syarat materil)

e. Mampu dipertanggungjawabkan.

11

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta: Aksara Baru, 1983) hlm 9.

12


(42)

26

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal dari kata corrumpore, suatu kata latin yang tua.13Dari bahasa Latin inilah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris:

Corruption, corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda Corruptie (korruptie), sedang dalam Ensiklopedia Indonesia: Korupsi adalah gejala di mana para pejabat badan-badan Negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Sedangkan arti harafiah dari korupsi dapat berupa:

1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran.

2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

3) Perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk 4) Penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran

5) Sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat

6) Pengaruh-pengaruh yang korupsi.14

Tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ancaman pidananya penjara maksimal seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

13

Lilik Mulyadi,Tindak Pidana Korupsi. (Bandung : Citra Aditya Bhakti. 2000), hlm. 16

14


(43)

27

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200 juta dan paling banyak 1 milyar rupiah.

Istilah korupsi pertama kali hadir dalam khasanah hukum di Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.

Delik korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dikelompokkan atas :

1) Delik Korupsi dirumuskan normatif (Pasal 2 dan 3).

2) Delik dalam KUHP Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435, yang diangkat menjadi Delik Korupsi (Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12).

3) Delik Penyuapan Aktif (Pasal 13).

4) Delik Korupsi karena pelanggaran undang-undang yang lain, yang memberi kualifikasi sebagai delik korupsi (Pasal 14).

5) Delik korupsi percobaan, pembantuan, permufakatan (Pasal15).


(44)

28

7) Delik korupsi dilakukan subyek badan hukum (Pasal 20).

Menurut Syed Hussein Alatas korupsi di dalam praktek mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1) Korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang. 2) Korupsi pada umumnya dilakukan penuh kerahasiaan.

3) Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbale balik. 4) Korupsi dengan berbagai macam akal berlindung dibalik kebenaran hukum. 5) Mereka yang terlibat korupsi adalah yang menginginkan keputusan yang tegas

dan mereka mampu mempengaruhi keputusan.

6) Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum.

7) Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

8) Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan itu.

9) Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat.15

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: 1) Kelemahan para pengajar agama dan etika.

2) Kolonialisme, dimana suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.

3) Kurangnya pendidikan, namun melihat pada realitas yang ada pada saat ini ternyata kasus-kasus korupsi di Indonesia, mayoritas koruptor adalah mereka

15

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi. (Jakarta : Pradnyaparamita. 2001), hlm. 12.


(45)

29

yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, sehingga alasan ini dapat dikatakan kurang tepat.

4) Kemiskinan, pada kasus-kasus yang merebak di Indonesia dapat disimpulkan bahwa para pelaku korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan melainkan keserakahan, sebab mereka bukanlah dari kalangan yang tidak mampu melainkan mereka adalah konglomerat.

5) Tiada sanksi yang keras.

6) Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku anti korupsi. 7) Struktur pemerintahan.

8) Perubahan radikal, di saat sistem nilai mengalami transisional.

9) Keadan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bias mencerminkan masyarakat keseluruhan.16

16


(46)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yang berdasarkan pokok permasalahan dilakukan dengan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri berbagai peraturan perundang-undangan, teori-teori, kaidah hukum dan konsep-konsep yang ada hubungannya dengan permasalah yang akan dibahas. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu dengan melakukan pengkajian dan pengolahan terhadap data primer sebagai data utama yaitu fakta-fakta dan perilaku empiris di lapangan.15

B. Sumber dan Jenis data

Sumber dan jenis data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan

15


(47)

melakukan studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan di bahas,16yang terdiri antara lain:

1. Bahan hukum primer yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

4) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

5) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

16


(48)

31

C. Penetuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah maanusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.17 Dalam penelitian ini responden sebanyak 3 orang, yaitu 1 orang dari Anggota Kepolisian Resor Bandar Lampung, 1 orang Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan 1 orang dari Kejaksaaan Negeri Tanjung Karang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

17


(49)

32

b. Studi Dokumen

Mempelajari berkas-berkas dokumen yang berkaitan dengan pokok bahasan dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut. c. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, kemudian analisis ini dipaparkan secara sistematis sehingga terjawab keseluruhan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini bersifat evaluatif analisis


(50)

33

yang kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.


(51)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi di Negara Indonesia adalah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dimana saksi diberikan perlindungan oleh suatu lembaga yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat dipergunakan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tersebut terdapat dua model, Procedural rights model yaitu model yang memungkinkan saksi berperan aktif dalam proses peradilan tindak pidana dan

The service model yaitu model yang menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap saksi yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim.

2. Faktor penghambat pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia adalah faktor peraturan perundang-undangan yang biasa diterjemahkan terlalu luas yang akan mempengaruhi upaya pemberian perlindungan sepenuhnya terhadap saksi pelapor, faktor aparatur penegak hukum dalam mekanisme perlindungan saksi dalam upaya penegakan


(52)

60

hukum masih kurang, faktor kurangnya perhatian dari masyarakat, serta sikap danmental saksi pelapor yang diliputi oleh perasaan takut bila menjadi saksi dikarenakan tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang pasti.

B. Saran

1. Disarankan bagi tim perumus rancangan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan bantuan perlindungan harus berani melakukan terobosan-terobosan dalam rangka memperluas peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pemberian bantuan.

2. Hendaknya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dapat diberikan secara maksimal termasuk perlindungan terhadap keluarga saksi pelapor, harta bendanya dan lain-lainnya.


(1)

1. Bahan hukum primer yaitu :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

4) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

5) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dikemukakan para ahli dan peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur, Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain.

16


(2)

31

C. Penetuan Populasi dan Sampel

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah maanusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Sampel merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan

dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.17 Dalam penelitian ini responden sebanyak 3 orang, yaitu 1 orang dari Anggota Kepolisian Resor Bandar Lampung, 1 orang Hakim dari Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan 1 orang dari Kejaksaaan Negeri Tanjung Karang.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisa lebih lanjut.

17


(3)

dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut. c. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

2. Pengolahan Data

Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data.

E. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan cara menganalisis data secara kualitatif, kemudian analisis ini dipaparkan secara sistematis sehingga terjawab keseluruhan permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini bersifat evaluatif analisis


(4)

33

yang kemudian dikonstruksikan dalam suatu kesimpulan yang ringkas dan tepat sesuai tujuan dari penelitian ini.


(5)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi tindak pidana korupsi di Negara Indonesia adalah disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dimana saksi diberikan perlindungan oleh suatu lembaga yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk dapat dipergunakan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi itu sendiri. Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi tersebut terdapat dua model, Procedural rights model yaitu model yang memungkinkan saksi berperan aktif dalam proses peradilan tindak pidana dan

The service model yaitu model yang menentukan standar baku tentang

pelayanan terhadap saksi yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim.

2. Faktor penghambat pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam perkara korupsi di Indonesia adalah faktor peraturan perundang-undangan yang biasa diterjemahkan terlalu luas yang akan mempengaruhi upaya pemberian perlindungan sepenuhnya terhadap saksi pelapor, faktor aparatur penegak hukum dalam mekanisme perlindungan saksi dalam upaya penegakan


(6)

60

hukum masih kurang, faktor kurangnya perhatian dari masyarakat, serta sikap danmental saksi pelapor yang diliputi oleh perasaan takut bila menjadi saksi dikarenakan tidak adanya jaminan perlindungan hukum yang pasti.

B. Saran

1. Disarankan bagi tim perumus rancangan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pelaksanaan bantuan perlindungan harus berani melakukan terobosan-terobosan dalam rangka memperluas peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam pemberian bantuan.

2. Hendaknya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap saksi pelapor dapat diberikan secara maksimal termasuk perlindungan terhadap keluarga saksi pelapor, harta bendanya dan lain-lainnya.