D. Landasan Teori
1. Teori Pembelajaran Konstruktivisme
Teori sebagai landasan untuk menganalisis data hasil penelitian adalah menggunakan teori pembelajaran konstruktivisme dengan tokohnya Von
Glaseerfeld. Alasan mengapa peneliti mengambil teori yang dikemukakan oleh Von Glaseerfeld adalah sebagai alat analisis pada dampak program
literasi media bagi siswa kelas X SMA Muhammadiyah 1 Kota Magelang. Teori pembelajaran konstruktivisme yang dikembangkan oleh Glaserfeld
merupakan keberlanjutan dari para aliran kognitif. Hanya saja Glaserfeld mengembangkan lebih lanjut aliran kognitif itu dalam mengkonstruksikan
pengetahuan. Pembelajaran berfungsi untuk membekali pengetahuan siswa mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan.
Sesuai dengan prinsip belajar konstruktivisme, maka dalam pembelajaran nampak ada pergeseran fungsi guru sebagai sumber informasi.
Dalam kaitan memperoleh pengalaman dan sumber informasi siswa mempunyai kemampuan mengakses beragam informasi dan pengetahuan yang
dipergunakan dalam belajar. Untuk itu, maka guru lebih berfungsi membekali kemampuan siswa dalam menyeleksi informasi yang dibutuhkan. Informasi
tidak memuat satu-satunya kebenaran, tetapi informasi hanya memiliki makna dalam konteks waktu, tempat, permasalahan dalam bidang tertentu Panen dan
Paulina dalam Sugandi, 2004: 40. Dengan teori ini diharapkan dapat menggali secara mendalam dan komprehensif mengenai alasan SMA
Muhammadiyah 1 Kota Magelang menerapkan pendidikan kritis media pada
siswa. Selain hal tersebut peneliti juga ingin menggali secara mendalam dan komprehensif mengenai bentuk dan proses pembelajaran nilai-nilai kritis
media serta hasil dari pelaksanaan pembelajaran nilai-nilai kritis media pada siswa sekolah menengah atas.
Konstruktivisme menurut Glaserfeld adalah pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan realitas, tetapi pengetahuan merupakan akibat
dari suatu konstruksi kognitif kenyatan melalui kegiatan seseorang. Berdasarkan uraian di atas, maka pemikiran Glaserfeld tentang konstruksi
suatu pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia
sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang
baru Sugandi, 2004: 41. Pembelajaran konstruksivisme mengkritisi konsep pembelajaran yang
selama ini dimaknai sebagai proses belajar-mengajar, dalam arti cenderung berpusat pada guru, di pihak lain cenderung berpusat pada subjek belajar.
Karena konstruktivisme berpegang kepada pandangan keaktifan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman
belajar yang diperoleh. Selain itu konstruktivisme merupakan landasan berpikir yang dipergunakan dalam pembelajaran konstekstual, yaitu bahwa
pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperlus melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Aliran
konstruktivisme melihat langsung siswa direct experiences sebagai kunci
dalam pembelajaran. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep kaidah yang siap untuk diambil dan diingat sehingga harus mengkonstruksi
pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungannya Muslich, 2009: 164-165. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus
menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke situasi lain dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik siswa sendiri. Dengan dasar
itu maka Glaseerfeld berpandangan, bahwa pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam
proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif melalui proses belajar mengajar. Dalam pandangan
konstruktivisme, “strategi memperoleh” lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu
tidak dapat ditransfer begitu saja dari guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh siswa. Sugandi, 2004: 42. Dari pandangan
Glaseerfeld tersebut tampak bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang berdasarkan transformasi pengetahuan dan informasi
yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan
sebagai pengalaman fisik, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif, keterampilan dan mental.
2. Teori Sosialisasi