Hasil survei beberapa parameter abiotik dibeberapa stasiun yang dianggap dapat mewakili Perairan Bontang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang
sumber : DKP Kota Bontang 2007
2.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL
Dari hasil pengukuran suhu saat survei tanggal 11 Juli 2002 di sekitar LNG Badak, ditemukan bahwa suhu pada buangan outfall Train AB Stasiun 1,
Train CD Stasiun 2 dan Train EF Stasiun 3 bervariasi antara 45.1-45.3
o
C. Suhu air pada outfall Train GH Stasiun 4 adalah 41.5
o
C baik saat air pasang maupun saat air surut. Sebelum masuk ke kanal pendinginan, air pendingin dari
outfall Train ABCDEF bergabung sepanjang sejauh lebih kurang 3 km melalui Stasiun 5, 6 dan 7 lalu masuk ke kolam pendingin melalui Stasiun 8. Setelah
mengalir sekitar 1 km, suhu mulai turun menjadi 44
o
C di Stasiun 7 dan setelah tiba di muara kanal Train ABCDEF Stasiun 8 suhu telah mengalami
penurunan sampai 43
o
C saat air pasang dan 42.5
o
C saat air surut. Adapun muara kanal GH Stasiun 9 suhu telah mengalami penurunan dengan suhu rata-rata
38
o
C tahun 2000-2001 Gambar 4.
Pada Stasiun 13 yang merupakan muara dimana buangan air pendingin memasuki perairan Teluk Bontang, suhu air pada saat survei berkurang menjadi
30.5
o
C saat air pasang dan 32.3
o
C saat air surut. Hasil pengukuran pada Stasiun 13 yang dilakukan sejak 1997-2002 menunjukkan suhu yang konsisten
yakni berkisar antara 32.3-42
o
C, dengan suhu rata-rata tahun 2000-2001 sebesar 38.98
o
C saat air surut dan 35.15
o
No
C saat air pasang Pertamina 2003.
Parameter Stasiun
a1 b1
c1 d1
e1 f1
g1 h1
i1
1 Suhu
o
38 C
29 29
30 30
30 27
29 27
2 Salinitas ‰
31 33
33 34
34 32
12 30
5 3
pH 7.7
7.9 7.8
7.8 7.8
7.7 7.6
7.7 7.4
4 DO grl
7.2 7.6
7.8 7.8
7.6 7.7
8.6 5.3
7.9 5
Arus mdetik 0.3 0.6
0.8 0.5
1.1 0.7
0.4 6
Kecerahan m 3
3.8 4
3.5 2.5
3 0.5
0.3 0.3
Keterangan : 1. Outfall Train AB
2. Outfall Train CD 3. Outfall Train EF
4. Outfall Train GH 5. Jembatan TOP
6. Jembatan TON 7. Sebelah barat Plant 34
8. Muara kanal Train ABCDEF 9. Muara Air Pendingin Train GH
10. Muara Sungai Sekambing 11. Pelabuhan Sekambing Baltim
12. Pertemuan Air Pendingin Train A-H 13. Muara Sungai Sekangat
14. Sebelah Selatan Loading Dock II 15. Basin Cooling Water Intake
16. Pantai Sebelah Barat Berbas 17. Perairan Sekitar Pulau Tihi-Tihi
18. Perairan Sekitar Pulau Selangan
Gambar 4 Nilai suhu
o
C yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002 Sumber : Pertamina 2003.
L a u t
L a u t
D a r a t
1 2
3
4 5
6
7
8 9
10 11
12
13 14
17 18
16
15
D a r a t D a r a t
2.3 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya 2.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya
Sebaran buangan air pendingin yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya telah disimulasikan dengan menggunakan model numerik. Sebaran peningkatan suhu di
Perairan PLTUPLTGU Tambak Lorok dilakukan dengan skenario kondisi angin calm,
∆T outlet sebesar 9
o
C dan debit outlet sebesar 26.49 m
3
dt, dengan suhu alami 29
o
Hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi yakni saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hasil yang diperoleh
menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik tersebut. Pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik dapat dilihat pada
Gambar 5 di bawah.
Gambar 5 Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya Sumber : Mihardja 2006.
C.
2.3.2 Pengaruh Limbah Panas terhadap beberapa Biota Laut 2.3.2.1 Terumbu karang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang hampir ditemukan di seluruh perairan dunia, meskipun hanya di perairan tropis dapat berkembang dengan baik.
Distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa
KONDISI PASUT PERBANI
KONDISI PASUT PERBANI
KONDISI PASUT PERBANI
KONDISI PASUT PERBANI
parameter fisika, diantaranya adalah suhu. Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu antara 25-29
o
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang rentan terhadap kenaikan suhu perairan. Respon terumbu karang terhadap tekanan lingkungan
berupa kenaikan suhu dapat dikelompokkan menjadi : 1 respon fisiologis secara langsung terhadap faktor tunggal, 2 respon interaktif terhadap beberapa faktor
lingkungan, 3 akibat tidak langsung yang terjadi pada interaksi komunitas Smith dan Buddemeier 1992.
C, namun suhu diluar kisaran tersebut masih bias ditolerir oleh spesies tertentu dari terumbu karang
untuk dapat berkembang biak dengan baik Dahuri et al. 2001.
Peningkatan suhu perairan diyakini menjadi pemicu terjadinya pemutihan bleaching terumbu karang dan organisma lainnya yang bersimbiosis dengan
zooxanthella dan selanjutnya akan dapat menyebabkan kematian. Namun menurut Smith dan Buddemeier 1992 kepekaan terumbu karang terhadap suhu sangat
adaptif, tergantung spesies dan tergantung pula pada sejarah panjang fluktuasi suhu lingkungan sekitarnya. Faktor suhu yang dapat menyebabkan terjadinya
pemutihan apabila mengalami kenaikan 3-4°C di atas suhu maksimum alami selama 2-3 hari pemaparan atau sekitar 1-2°C selama pemaparan beberapa
minggu. Selanjutnya dinyatakan bila suhu naik sampai lebih dari 4°C maka akan menyebabkan kematian lebih dari 90 populasi terumbu hanya dalam beberapa
hari Smith dan Buddemeier 1992. Sub-lethal
efek suhu pada terumbu karang dapat terjadi pada penurunan respon makan, menurunkan laju reproduksi, menambah pengeluaran lendir,
mempercepat keluarnya simbion zooxanthelae dan menurunkan perbandingan fotosintesisrespirasi Grigg dan Dollar 1990.
Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5
o
C. Akan tetapi pengaruh suhu terhadap binatang karang yang harus dihindari adalah adanya perubahan suhu secara mendadak dari suhu
alami ambient level, karena menurut Neudecker 1981 perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6
o
C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya.
Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas
33.5
o
C dan dibawah 16.5
o
C. Walaupun terdapat beberapa karang yang dapat bertahan hidup pada suhu yang tinggi, seperti jenis Acropora yang dapat hidup
pada perairan dengan kisaran suhu musiman 16-40
o
C. Pada dasarnya pengaruh suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu
yang ekstrim, yaitu suhu minimum dan maksimum saja, namun lebih kepada perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami ambient level. Menurut
Neudecker 1981 perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6
o
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai di lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan
karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10
C di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat
mematikannya. Salah satu akibat dari tekanan yang terjadi pada terumbu karang adalah
peristiwa pemutihan karang coral bleaching. Pemutihan Karang menjadi pudar atau berwarna putih salju terjadi akibat degenerasi atau hilangnya zooxanthellae
dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya
Brown et al. 1999. Tekanan penyebab pemutihan karang antara lain tingginya suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya
cahaya, tingginya tingkat kekeruhan, sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi.
Selain perubahan suhu, perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup terumbu karang. Brown et al. 1999
menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan mainland runoff
dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara nutrient
overload berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah overgrowth terhadap karang.
o
C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10m
dan suhu sekitar 25
o
C sampai 29
o
Coles 1985 mempelajari dampak peningkatan suhu pada keberhasilan “settlement” dari larva planula karang di sekitar pembangkit tenaga listrik di
Hawai. Berdasarkaan kepadatan settlement dari juvenile pada berbagai gradient suhu Coles 1985 menyimpulkan suhu optimum jangka pendek 33°C sampai
34°C untuk planula Poillopora damicornis menetap di Hawai yang berkisar antara 6-7°C lebih tinggi daripada suhu maksimum tahunan sebesar 27°C di
perairan lepas pantai Hawai. Kenaikan suhu 6-7°C bagi planula karang di wilayah yang suhu ambien maksimumnya lebih tinggi dari Hawai untuk spesies karang
sejenis atau lainnya mungkin dapat dihipotesiskan bahwa respon dari planula karang akan bergeser sesuai dengan kondisi suhu lingkungannya.
C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia Hutabarat dan Evans 1984.
Suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia adalah 28-30°C. Karang dewasa lebih sensitif terhadap kenaikan suhu, dimana
kenaikan suhu sebesar 3-5°C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik Coles 1975; Neudecker
1981. Neudecker 1981 mempelajari pertumbuhan dan kelulusan hidup berbagai spesies karang batu yang dipapar pada limbah air pendingin pembangkit tenaga
listrik di Guam. Peningkatan suhu 4-6°C di atas suhu ambien mempengaruhi pertumbuhan karang, dimana spesies karang yang tumbuhnya lambat lebih tahan
terhadap kenaikan suhu daripada spesies karang yang tumbuhnya cepat. Coles 1975 melakukan studi dampak limbah bahang Electrical Company
Kobe Generating Station, Hawai selama 2 tahun terhadap terumbu karang, hasilnya menunjukkan bahwa suhu absolut atas yang berkepanjangan jauh lebih
kritis sebagai faktor yang menyebabkan kerusakan dan kematian daripada kenaikan suhu yang cepat di atas suhu lethal atas yakni 34ºC 4ºC diatas suhu
ambien Coles et al. 1976 mempelajari intensitas dan durasi kenaikan suhu alami
maksimum dari berbagai jenis karang tropis Eniwetak, Atoll, Marshall Islands dan subtropis Kaneohe Bay, Oahu, Hawai. Paparan dalam waktu lama pada suhu
di atas 32.7°C, menemukan bahwa suhu tersebut mendekati nilai kritis. Suhu maksimum ambien tahunan di Hawai 26.5°C, sementara suhu di Eniwetak 2°C
lebih tinggi daripada di Hawai. Kenaikan suhu 2°C di atas suhu maksimum tahunan ternyata menyebabkan efek sublethal hilangnya pigmen zooxanthella,
sedangkan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di kedua lokasi. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang
pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh
kenaikan suhu terhadap terumbu karang
Taxon Ekosistem Lokas
i
ΔT ºC
Jenis Dampak Suhu kritis
o
C
Terumbu karang Terumbu karang
Terumbu karang Karang
West Indies Kahe Point,
Hawai Kahe Point,
Hawai Tanguisson
Point, Guam 3-4
5-6
6-8 Hilangnya
pigmen zooxanthella,
dan mortalitas tinggi
Kematian karang pada
+4-5
o
C, efek sublethal pada
+2-3
o
36
32-33 C
Kematian karang
Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984
2.3.2.2 Fitoplankton 2.3.2.2.1 Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton
Salah satu parameter perairan yang berperan penting dalam menentukan keberadaan fitoplankton adalah suhu. Distribusi suhu di permukaan laut sangat
berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran fitoplankton Bouman et al. 2003. Suhu berpengaruh langsung terhadap laju fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan,
sementara pada hewan berpengaruh terhadap proses fisiologi khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Selain itu suhu dapat berperan dalam
menentukan suksesi jenis fitoplankton pada suatu perairan. Suhu berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO
2
yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O
2
yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut. Daya larut O
2
akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan. Toleransi terhadap suhu bervariasi pada setiap spesies. Adaptasi organisme dapat terjadi
terhadap perubahan suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu normalnya Poornima et al. 2005.
Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplanton terutama dapat ditemukan di sekitar industri yang membuang air pendingin mereka ke perairan di sekitarnya.
Hasil penelitian yang dilakukan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom Madras di India menunjukkan bahwa fitoplankton dan klorofil-a mengalami
penurunan selama melewati sistem air pendingin cooling water system dari tempat pengambilan air laut intake ke tempat pembuangan air pendingin
outfall, sementara pada daerah percampuran mixing point jumlah klorofil-a mengalami recovery secara signifikan. Suhu intake tercatat maksimum 29.6
o
C pada bulan Maret dan minimum pada bulan Januari yakni 26.9
o
C. Adapun suhu di outfall
menunjukkan ∆T bervariasi antara 7.3-9.3
o
C dan pada daerah mixing point ∆T bervariasi antara 3.4-5.9
o
Jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara 35-70 dibandingkan dengan di intake. Sementara pada daerah mixing point
klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50 dibandingkan dengan di intake Poernima et al. 2005.
C Poernima et al. 2005
Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton juga dilakukan dengan uji laboratorium, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton yang
berada pada suhu 42
o
C dengan waktu kontak 15-30 menit tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam kandungan klorofil-a dibandingkan dengan suhu
kontrol 28
o
Penelitian sejenis juga telah dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan. Perbedaan suhu antara daerah intake dan suhu
daerah outfall sepanjang musim dari Pembangkit Listrik ini adalah ±10 C. Percobaan laboratorium juga menunjukkan dalam waktu kontak
tersebut produktifitas primer fitoplankton mengalami pengurangan sebesar 19 dibandingkan dengan suhu kontrol Poernima et al. 2005.
o
C. Hasil penelitian menunjukkan Klorofil-a fitoplankton di daerah intake secara signifikan
lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di daerah outfall. Perbedaan antara daerah intake dan daerah outfall paling besar terjadi pada musim semi,
dimana nilai rata-rata klorofil-a fitoplankton di daerah intake sebesar 0.67 mg m
-3
sedangkan di daerah outfall sebesar 0.44 mg m
-3
Chuang et al. 2009.
Hasil penelitian tentang dampak buangan air pendingin terhadap fitoplankton menunjukkan bahwa buangan air pendingin tidak mempengaruhi
sebaran parameter lingkungan yang lain seperti salinitas, pH, DO dan nutrien nitrat, nitrit, amoniak, posfat dan silikat di perairan pesisir Poernima et al.
2005. Tidak ada perbedaan signifikan dalam monitoring faktor-faktor lingkungan yang dideteksi antara daerah intake sampai outfall kecuali suhu air Chuang et al.
2009. Variabel lingkungan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Variabel lingkungan n=12 yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake
dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan
Site Intake
Outlet
Winter Spring
Summer Autumn
Winter Spring
Summer Autumn
Water temperature
o
C Salinity psu
DO mgL
-1
pH Linght extinction m
-1
18.7±0.5 33.0±1.0
7.6±0.2 7.8±0.0
1.1±0.2 24.4±2.0
35.0±0.0 73±0.5
7.3±0.0 1.1±0.2
28.0±2.1 32.6±1.4
6.1±0.2 8.2±0.0
1.4±0.2 24.2±1.3
33.2±1.6 6.7±0.4
8.4±0.1 1.1±0.1
28.2±0.6 35.0±0.0
6.8±0.2 7.8±0.0
1.1±0.5 32.3±1.7
35.3±0.3 6.0±0.4
7.3±0.0 1.3±0.3
38.8±1.0 32.7±0.9
5.7±0.2 7.9±0.1
1.1±0.3 33.8±2.1
34.0±0.1 6.0±0.2
8.3±0.0 0.9±0.2
Sumber : Chuang et al. 2009
Beberapa eksperimen dan studi lapangan pada beberapa lokasi yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap kehidupan
fitoplankton diberikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh
kenaikan suhu terhadap fitoplankton
Taxon Ekosistem Lokas
i
ΔT ºC
Jenis Dampak Suhu kritis
o
C
Fitoplankton
Diatom :
Gyrosigma spenceri
Mediteranean Martigues-
Ponteau
Eksperimen 7
10 17
Berkurangnya 10-60 jumlah
sel
Tidak ada, T
=12
o
C Tidak ada,
T =16
o
39
C
Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984
2.3.2.2.2 Faktor Lain yang dapat Mempengaruhi Fitoplankton
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton secara langsung atau tidak langsung adalah karakteristik hidrooseanografi termasuk sifat
fisik perairan. Perairan pantai menunjukkan variabilitas fitoplankton yang sangat tinggi, hal ini disebabkan perairan pantai memiliki dinamika fisik yang kompleks
yang dicirikan sebagai perairan dangkal, kaya nutrien, dan adanya pengaruh arus pasang surut serta penerima beban sungai May et al. 2003.
a. Distribusi dan Ketersediaan Nutrien N, P dan Si