58 enzim
-glucosides tumbuh subur dan membantu perubahan isoflavon terikat glukosida menjadi isoflavon tidak terikat aglikon. Bahan pangan kedelai yang
tidak difermentasi tahu, susu kedelai kaya akan glukosida, sedangkan yang difermentasi tempe kaya akan aglikon yang disebabkan karena proses hidrolisis
enzimatik selama fermentasi Wang Murphy 1994B. Oleh sebab itu isoflavon yang dominan pada tempe adalah aglikon, sementara produk olahan kedelai yang
tidak difermentasi lebih dominan glukosida. Sebagian besar absorbsi isoflavon
adalah dalam bentuk aglikon, dengan tingkat absorbsi sebesar 20 hingga 55. Oleh sebab itu dibandingkan dengan bentuk isoflavon glukosida, bentuk aglikon
mempunyai manfaat kesehatan yang jauh lebih besar.
b. Pemasakan Tempe
Kadar isoflavon dihubungkan dengan fraksi protein -yang terdapat pada kedelai- dan produk olahannya Wang Murphy 1994; Coward et al. 1993;
Dewell et al. 2006. Proses pengolahan menggunakan air – seperti pembuatan
tahu dan susu kedelai – akan menurunkan kandungan isoflavon kedelai Anderson Wolf 1995; Wang Murphy 1994A. Isoflavon juga relatif rentan terhadap
panas tinggi Tsukamoto et al. 1995. Pemasakan tempe yang tepat akan meminimalkan kehilangan isoflavon sehingga diperoleh manfaat kesehatan yang
optimal. Hal tersebut menjadi alasan mengapa semua menu tempe dalam penelitian ini diawali dengan pengukusan karena metoda ini yang menghasilkan
kehilangan isoflavon terendah dibanding dengan metoda lain seperti digoreng atau direbus.
Tabel 30 menunjukkan hasil isoflavon tempe mentah dan tempe yang dikukus selama 10 menit. Terlihat bahwa isoflavon tempe kukus mengalami
penurunan sebesar 13.3 dibanding tempe mentah. Pengukusan tempe dalam penelitian ini merupakan metoda yang menghasilkan kehilangan isoflavon
terendah 13.3 dibanding dengan metoda lain seperti: seperti digoreng atau direbus.
59 Tabel 30 Kandungan isoflavon tempe 100g bahan basah
Isoflavon Tempe mentah
Tempe kukus Perubahan
Isoflavon total mg 28.6
24.8 13.3
Gambar 20 menunjukkan perbandingan persentase penurunan kadar isoflavon setelah dikukus Utari 2009 dan setelah direbus serta digoreng
Suarsana 2009.
Perbandingan tersebut
menunjukkan bahwa
proses penggorengan tempe akan menurunkan kadar isoflavon tertinggi 39.15,
dibandingkan dengan proses perebusan 18.20 dan pengukusan 13.3.
Gambar 20 Persentase penurunan kadar isoflavon tempe setelah proses pengukusan, perebusan dan penggorengan
Utari 2009; Suarsana 2009
Konsentrasi isoflavon dalam tubuh sangat bervariasi dan individual yang dikontrol oleh banyak faktor, sehingga sulit untuk menentukan dosis ideal
konsumsi isoflavon. Beberapa penelitian merekomendasikan konsumsi isoflavon sebesar 30 mg hingga 100 mg per hari Nahas Jorge 2003; Messina Messina
2003. Konsumsi tempe kukus sebesar 160 ghr mengandung 39.7 mg isoflavon dianggap peneliti dapat memperbaiki profil lipid dan parameter biokimia lain
yang berhubungan dengan PJK. Berbagai hasil meta analisis menyatakan bahwa isoflavon akan berperan dalam menurunkan kadar lipid darah jika diberikan
minimal 35 mghr Hendrich 2002.
13.3 18.2
39.15
5 10
15 20
25 30
35 40
45
kukus rebus
goreng
60 Berbagai penelitian intervensi tempe pernah dilakukan di Indonesia,
namun jarang yang menganalisis kandungan isoflavon dalam tempe yang diberikan. Penelitian yang mengukur isoflavon antara lain 1 intervensi susu skim
difortifikasi 100 mg isoflavon kedelai Winarsi 2004, 2 intervensi 60ghr
formula tepung tempe setara dengan 100 mg isoflavon Biben 2001, 3
intervensi 100 g formula tempe mengandung 0.59 mg isoflavon Juweni 2000 dan Wardani 2000.
Sumbangan Zat Gizi Tempe terhadap Kecukupan
Tempe adalah satu-satunya bahan pangan nabati yang zat gizinya dianggap sempurna, karena kandungan proteinnya mendekati hewani, hal ini berkaitan
dengan kandungan asam amino tempe. Tabel 31 menunjukkan bahwa sebagai
sumber protein yang baik ternyata intervensi 160g tempe per hari mampu memberi sumbangan signifikan kecukupan protein, yaitu lebih dari 50 AKG.
Protein umumnya tinggi pada pangan hewani yang juga memiliki kadar lemak tinggi. Konsumsi tempe sebagai sumber protein akan sangat baik pada kelompok
berisiko hiperkolesterolemia mengingat kadar lemak tempe jauh lebih rendah dibanding hewani. Hasil analisis tempe dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam 100 g tempe mengandung lemak sebesar 2.9 g dan protein sebesar 16.9 g, sementara ayam dan daging meskipun mengandung protein yang lebih tinggi yaitu
sekitar 24 g, namun kandungan lemaknya 6 kali lipat dibanding tempe sekitar 18 g lemak.
Sumbangan lemak dan energi dari 160g tempe terhadap kecukupan masing-masing hanya sekitar seperlima dari AKG, maka tidak ada kekhawatiran
bahwa konsumsi tempe akan memperburuk profil lipid atau meningkatkan berat badan. Proses hidrolisa dan penggunaan energi saat fermentasi menyebabkan
karbohidrat pada tempe menjadi lebih rendah dibanding kedelai Winarno 1985. Komposisi asam lemak pada tempe menunjukkan bahwa persentase
terbesar kandungan asam lemak tempe adalah asam lemak tidak jenuh ganda PUFA yang jumlahnya sekitar 4 kali dibanding SAFA dan 3 kali dibanding
MUFA. Komposisi
ini juga
sangat baik
bagi konsumsi
individu hiperkolesterolemia.
61 Tabel 31 Sumbangan intervensi tempe terhadap AKG
Zat gizi 100 g tempe
Sumbangan 160 g tempe terhadap AKG
Energi Kalori
199
1
18.2 Protein
gram 16.85
2
53.9 Lemak
mg 2.9
2
9.9 SAFA
gram 1.1
1
- MUFA
gram 1.7
1
- PUFA
gram 4.3
1
- Vitamin E
mg 1
1
10.7 Zn
ppm 1.74
2
28.4 Cu
ppm 1.69
2
-
1
Nutrisurveys 2007;
2
tempe kukus Utari, 2009
Hasil analisis kandungan Zn pada tempe menunjukkan bahwa kandungan Zn tempe sebesar 1.74ppm, hampir sama dengan kandungan Zn pada ayam
1.8ppm. Intervensi tempe memberikan sumbangan Zn terhadap kecukupan
sekitar 30. Selama proses fermentasi kedelai terjadi peningkatan
bioavailability Zn dari 73 menjadi 84.5 Moeljopawiro et al. 1988.
Perbedaan Konsumsi Zat Gizi Kelompok Intervensi dan Kontrol
Tabel 32, 33, dan 34 menunjukkan perbandingan konsumsi sampel pada kelompok kontrol dan intervensi. Intervensi
a
sama dengan intervensi
b
, perbedaan adalah pada penghitungan konsumsi dimana intervensi
a
memasukkan zat gizi tempe dalam perhitungan konsumsi sedangkan intervensi
b
tidak memasukkan zat gizi tempe dalam perhitungan konsumsi.
Tabel 32 memperlihatkan konsumsi zat gizi makro. Jika tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan konsumsi Intervensi
b
maka tidak ada perbedaan konsumsi energi, protein dan karbohidrat pada kelompok kontrol dengan
intervensi. Namun jika tempe dimasukkan dalam perhitungan konsumsi Intervensi
a
terlihat adanya perbedaan konsumsi energi dan protein yang bermakna pada kelompok kontrol dengan intervensi. Terjadi peningkatan
konsumsi energi sebesar 19.9 sedangkan protein sebesar 39.3. Peningkatan konsumsi energi dapat memperkecil persentase kekurangan energi, dimana pada
62 kontrol sebesar 66.2 AKG tergolong defisit energi berat menjadi 79.0 AKG
pada kelompok intervensi tergolong defisit energi sedang. Sementara itu peningkatan AKG pada protein dari 70.8 AKG defisit protein sedang menjadi
98.6 AKG normal, sedangkan konsumsi karbohidrat tidak menunjukkan perbedaan bermakna meskipun terjadi peningkatan pada kelompok intervensi.
Tabel 32 Karakteristik sampel berdasarkan rata-rata konsumsi zat gizi makro saat intervensi
Zat Gizi Perlakuan
Mean Perubahan
terhadap kontrol P value
terhadap kontrol Energi Kalori
Intervensi
a
1389 19.9
0.000 Intervensi
b
Kontrol 1112
1158 -3.9
0.548
Protein g Intervensi
a
49.3 39.3
0.000 Intervensi
b
Kontrol 36.0
35.4 1.7
0.795
Karbohidrat g Intervensi
a
186.7 4.4
0.373 Intervensi
b
Kontrol 173.4
178.8 -3.0
0.146 Intervensi
a
= zat gizi tempe dihitung; Intervensi
b
:zat gizi tempe tidak dihitung; p0.05 ada beda
Tabel 33 menunjukkan karakteristik sampel berdasar konsumsi lemak. Jika tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan konsumsi Intervensi
b
maka tidak ada perbedaan antara konsumsi lemak, kolesterol, SAFA, MUFA dan PUFA
pada kelompok kontrol dengan intervensi. Namun jika tempe dimasukkan dalam perhitungan konsumsi Intervensi
a
terlihat adanya perbedaan konsumsi SAFA, MUFA dan PUFA pada kelompok kontrol dengan intervensi, namun tidak ada
perubahan konsumsi lemak dan kolesterol, meskipun konsumsi lemak sedikit meningkat pada kelompok intervensi dan konsumsi kolesterol sedikit turun pada
kelompok intervensi. Konsumsi SAFA, MUFA dan PUFA mengalami
peningkatan pada kelompok intervensi dibanding kontrol, dengan persentase terbesar pada MUFA disusul PUFA dan SAFA. Hal ini sesuai dengan analisis
laboratorium bahwa tempe mengandung MUFA dan PUFA ikatan rangkap 2 yang cukup tinggi.
63 Penurunan konsumsi kolesterol pada kelompok intervensi kemungkinan
disebabkan karena mereka mengonsumsi tempe intervensi sementara pada kelompok kontrol yang tidak diperkenankan mengonsumsi tempe terpaksa beralih
mengonsumsi pangan lain, dan kemungkinan adalah beralih mengonsumsi ayam yang lebih sering Tabel 19.
Tabel 33 Karakteristik sampel berdasarkan rata-rata konsumsi lemak selama intervensi
Zat Gizi Perlakuan
Mean Perubahan
terhadap kontrol P value
terhadap kontrol Lemak g
Intervensi
a
41.5 8.1
0.097 Intervensi
b
29.9 -10.5
0.142 Kontrol
33.4 Kolesterol mg
Intervensi
a
147.9 -15.1
0.174 Intervensi
b
146.9 -15.7
0.215 Kontrol
174.3 SAFA g
Intervensi
a
12.5 23.8
0.001 Intervensi
b
9.5 -5.9
0.689 Kontrol
10.1 MUFA g
Intervensi
a
20.2 104.0
0.000 Intervensi
b
8.7 -12.1
0.186 Kontrol
9.9 PUFA g
Intervensi
a
13.0 46.1
0.000 Intervensi
b
9.9 -11.2
0.324 Kontrol
8.9 Intervensi
a
= zat gizi tempe dihitung; Intervensi
b
:zat gizi tempe tidak dihitung: p0.05 ada beda
Tabel 34 memperlihatkan rata-rata konsumsi zat gizi mikro dan serat . Jika tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan konsumsi Intervensi
b
maka tidak ada perbedaan antara konsumsi vitamin E, Seng dan serat antara kelompok
kontrol dengan intervensi. Namun jika tempe dimasukkan dalam perhitungan konsumsi Intervensi
a
terlihat adanya perbedaan pada konsumsi vitamin E, Seng dan Cu pada kelompok control dengan intervensi.
Pada kelompok intervensi terjadi peningkatan konsumsi vitamin E, Seng dan Cu yang lebih besar dibanding
kontrol. Hal tersebut sesuai dengan uji laboratorium bahwa kandungan vitamin E,
64 Seng dan Cu tempe cukup tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan AKG
Tabel 31. Tabel 34 Karakteristik sampel berdasar rata-rata konsumsi zat gizi mikro dan
serat saat perlakuan
Zat Gizi Perlakuan
Mean Perubahan
terhadap kontrol P value
terhadap kontrol Vitamin C mg
Intervensi
a
33.3 -7.2
0.362 Intervensi
b
27.9 -22.3
0.046 Kontrol
35.9 Vitamin E mg
Intervensi
a
4.3 34.4
0.000 Intervensi
b
3.1 -3.1
0.548 Kontrol
3.2 Zn mg
Intervensi
a
13.7 24.5
0.050 Intervensi
b
4.2 -61.8
0.490 Kontrol
11.0 Cu mg
Intervensi
a
1.0 41.0
0.000 Intervensi
b
0.58 -1.7
0.025 Kontrol
0.59 Serat g
Intervensi
a
7.4 8.8
0.103 Intervensi
b
Kontrol 6.2
6.8 -8.8
0.097 Intervensi
a
= zat gizi tempe dihitung; Intervensi
b
:zat gizi tempe tidak dihitung; p0.05 ada beda
Kepatuhan
Mengingat intervensi tempe cukup lama diberikan, maka menu tempe diganti setiap hari. Tempe diolah dengan pengukusan selama 10 menit, kemudian
diangkat dan dicampur dengan bumbu yang telah dimasak sebelumnya. Setelah agak dingin, maka tempe dimasukkan ke dalam kemasan dan siap didistribusikan
ke rumah sampel. Tempe intervensi didistribusikan ke masing-masing sampel dengan cara di
antar ke rumah masing-masing sampel setiap hari sekitar pukul 9.00 WIB hingga 11.00 WIB. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, enam hari seminggu - hari
Senin hingga Sabtu hari Minggu libur, namun pada hari tersebut sampel tidak
65 diperkenankan mengkonsumsi kedelai dan hasil olahnya. Sampel diharapkan
menghabiskan tempe tersebut dalam satu hari tempe tidak bau hingga malam hari. Peneliti tidak menunggu saat tempe tersebut dimakan, karena tempe tidak
harus dihabiskan dalam satu kali makan, namun boleh dikonsumsi sesuai keinginan sampel, baik sebagai camilansnack maupun sebagai lauk. Setiap hari
ketika tempe diantar ke sampel, peneliti menanyakan sisa konsumsi tempe sehari sebelumnya.
Pada umumnya sampel mampu menghabiskan tempe yang diberikan. Rata-rata konsumsi tempe tidak berbeda antara fase I dan II yaitu 86.3 pada fase
I dan 86.9 pada fase II atau sebanyak 138g tempe mengandung 22.5 g protein dan 34.2 g isoflavon. Alasan tempe kadang tidak dihabiskan oleh sampel adalah
karena menu tempe tidak sesuai selera, bau tempe yang kadang agak langu, bosan, dan tidak sempat makan karena bepergian. Tidak ada keluhan bahwa
tempe membuat perut menjadi kembung seperti banyak dikhawatirkan selama ini. Hal tersebut karena kadar karbohidrat terutama oligosakarida mengalami
penurunan saat proses perendaman, pemasakan dan fermentasi Teran 1999. Tidak ditemukan menu tempe favorit, mengingat selera sampel yang
beragam. Jika dilihat dari persentase kepatuhan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar sampel dapat menghabiskan tempe yang diberikan. Kebiasaan ini dapat
diteruskan jika penelitian sudah berakhir dengan jumlah tempe dan cara pengolahan yang sama dengan saat penelitian. Tabel 35 di bawah ini adalah
memperlihatkan persentase konsumsi tempe. Tabel 35 Gambaran kepatuhan konsumsi tempe
Fase Minimal
Maksimal Rata-rata
I 62.5
100 86.3
II 58
100 86.9
Total 58
100 86.5
138g tempe
66
Kadar profil lipid serta prevalensi dislipidemia sebelum intervensi
Pada tahap pelaksanaan penapisan awal diperoleh 123 sampel yang memenuhi kriteria inklusi penapisan yaitu mengalami menopause secara alami,
rentang menopause 1 – 5 tahun, tidak menderita penyakit degeneratif dan jika terpilih sanggup menjalani intervensi yang telah ditentukan. Setelah dilakukan
penapisan pengambilan darah maka diperoleh 67 sampel 54.9 yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian yaitu salah satu dari kadar profil lipidnya tidak
normal. Dari 67 calon sampel yang memenuhi syarat awal, hanya 60 calon
sampel yang datang saat pengambilan darah 1 fase 1. Tujuh calon sampel yang tidak datang karena bekerja di tempat yang jauh sehingga tidak memungkinkan
untuk mengirim tempe setiap hari. Hingga akhir penelitian, dari 60 sampel tersisa 53 sampel yang memiliki data lengkap untuk dianalisis. Tujuh sampel yang drop
out memiliki alasan: 1 orang sakit, 1 orang data tidak lengkap, 5 orang tidak
bersedia melanjutkan intervensi dengan alasan non medis. Tabel 36 menunjukkan profil lipid sampel sebelum intervensi, terlihat
bahwa rata-rata serum kolesterol total dan K-LDL lebih tinggi dari normal, sedangkan rata-rata trigliserida mendekati batas tidak normal dan K-HDL masih
tergolong normal. Jika di lihat dari besarnya persentasi kadar profil lipid, terlihat bahwa lebih dari separuh jumlah sampel mempunyai kadar kolesterol total lebih
dari nilai normal sedangkan K-LDL yang diatas normal mendekati separuh jumlah responden. Sementara K-HDL dan trigliserida yang tidak normal kurang dari
sepertiga responden. Tabel 36 Distribusi sampel berdasar kadar profil lipid sebelum intervensi
Variabel Standar
normal Mean + SD
Normal Tidak normal
n n
Profil lipid Kolesterol total
mgdL 200
210.7 + 26.6 18
33.9 35
66.0 Kolesterol LDL
mgdL 130
132.2 + 23.6 27
50.9 26
49.1 Kolesterol HDL
mgdL 40
49.2 + 10.7 44
83.0 9
17.0 Trigliserida
mgdL 150
147.0 + 48.9 34
64.2 19
35.8
Masa menopause yang ditandai dengan penurunan produksi estrogen merupakan faktor risiko yang meningkatkan ketidaknormalan profil lipid pada
67 wanita menopause. Hal tersebut karena hilangnya fungsi esterogen untuk
meningkatkan aktivitas reseptor LDL sehingga menurunkan metabolisme lipid dan berakibat pada peningkatan kadar lipid darah.
Parameter Biokimia sebelum dan Setelah Intervensi Kadar Profil Lipid Sebelum dan Setelah Intervensi
Wanita menopause merupakan salah satu kelompok populasi yang mengalami peningkatan risiko terhadap PJK. Bukti empiris menyebutkan bahwa
PJK merupakan penyebab kematian terbesar pada wanita menopause. Hal
tersebut disebabkan karena perubahan metabolisme lipoprotein yang berhubungan dengan penurunan sekresi estrogen sehingga menyebabkan peningkatan kolesterol
total, K-LDL dan penurunan K-HDL Nasr 1998. Di Indonesia, meskipun tidak dibagi berdasar jenis kelamin, ternyata terjadi peningkatan penyebab kematian
karena PJK. Jika pada tahun 1971 PJK menjadi penyebab kematian no 11 menyumbang 5.1 kematian, tahun 1986 meningkat menjadi penyebab
kematian ke 3 9.7 dan tahun 1995 menjadi penyebab kematian pertama 18.9.
Berbagai bukti ilmiah berdasar penelitian klinis membuktikan bahwa kedelai merupakan alternatif makanan sebagai pengganti protein hewani yang
mempunyai efek menguntungkan terhadap penurunan risiko PJK. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi kedelai mempunyai kontribusi terhadap penurunan risiko PJK di berbagai populasi Potter et al. 1993 termasuk wanita
menopause Potter et al. 1998; Wangen et al. 2001; Dewell et al. 2002. Bukti epidemiologi juga menunjukkan bahwa bangsa Asia yang mengonsumsi kedelai
sebagai salah satu pangan utama mempunyai insiden PJK jauh lebih rendah dibanding tipe diet barat Beaglehole 1990. Sebagai contoh, bangsa Jepang
mengonsumsi protein kedelai sebesar 55ghr sedangkan penduduk Amerika Serikat mengonsumsi kurang dari 5ghr.
Pada tahun 1998, dengan menghitung kematian karena PJK per 100.000 penduduk usia 35 hingga 75 tahun ternyata
penduduk Amerika mempunyai kejadian tertinggi sebesar 401 kematian laki-laki dan 197 kematian perempuan, sedangkan Jepang sebesar 201 laki-laki dan 99
68 kematian perempuan AHA 1999. Terlihat bahwa perbedaan pola diet akan
mempengaruhi pola penyakit dan penyebab kematian di suatu negara. Tempe sebagai makanan tradisional yang murah dan sangat mudah
ditemukan di pasar mempunyai peluang sebagai pangan fungsional untuk memperbaiki profil lipid dan menurunkan risiko PJK pada wanita menopause.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi tempe dapat memperbaiki profil lipid secara bermakna, yaitu dengan menurunkan kolesterol total sebesar
6.0, K-LDL sebesar 5.8 dan trigliserida sebesar 11.7. Namun demikian, tidak terjadi penurunan K-HDL setelah intervensi.
Tabel 37 Kadar profil lipid sebelum dan setelah intervensi
Parameter Fase
Intervensi Kontrol
p-value K-Total mgdL
Sebelum Setelah
Selisih Selisih
p-value 210.7 + 26.8
198.1 + 32.6 12.6 + 18.1
6.0 0.000
211.4 + 32.0 210.9 + 34.6
0.5 + 14.7 0.2
0.802 0.000
K-LDL mgdL Sebelum
Setelah Selisih
Selisih p-value
132.2 + 23.6 124.4 + 27.7
7.8 + 16.7 5.8
0.001 127.5 + 26.2
141.6 + 30.3 14.1 + 15.0
11.8 0.000
0.000 K-HDL mgdL
Sebelum Setelah
Selisih Selisih
p-value 49.2 + 10.7
48.2 + 10.5 1.1 + 5.9
1.4 0.198
48.3 + 12.2 50.7 + 10.3
2.3 + 6.7 7.0
0.013 0.009
Trigliserida mgdL Sebelum
Setelah Selisih
Selisih p-value
147.0 + 48.9 127.9 + 60.3
19.0 + 43.2 11.7
0.002 127.8 + 33.7
127.2 + 45.2 0.6 + 37.7
1.2 0.904
0.017
Selanjutnya G yang memiliki serum
dilihat terjadinya pen “normal” dari 33.9
terjadi peningkatan se “normal” dari 64.2
untuk K-LDL tidak te intervensi meskipun
mengalami penurunan untuk K-HDL setelah
memiliki kadar “norm kurang lama menyeba
Berbagai penelitian t setelah intervensi sela
trigliserida dapat beru selama 2 minggu.
Gambar 21 Persenta dan set
Hasil penelitia dilakukan sebelumnya
33.9 50.9
10 20
30 40
50 60
70 80
90
K-total
p 0.05 p 0.05
Gambar 21 memperlihatkan perubahan per m lipid “normal” sebelum dengan setelah int
peningkatan persentase yang memiliki kadar sebelum intervensi menjadi 50.9 set elah
sebesar 50.1 dan peningkatan persentase ka menjadi 79.2 atau meningkat sebesar 23.4
terjadi perubahan persentase sampel sebelum n jika dilihat kadar K-LDL rata-rata set
nan turun 5.8 dibanding sebelum interven ah intervensi terjadi sedikit penurunan persenta
ormal”, kemungkinan karena durasi waktu p ebabkan kadar K-HDL relatif tidak berubah set
n terdahulu menunjukkan bahwa perubahan elama 12 minggu, sedangkan perubahan K -to
rubah dalam waktu yang lebih singkat, yaitu se
ntase sampel menurut kategori profil lipid “no setelah intervensi.
itian ini mendukung penelitian intervensi tem nya di Indonesia. Sugyarto 1990 memberika
50.9 83
64.2 50.9
81.1 79.2
KLDL K-HDL
Trigliserida sebelum in
setelah int
ns ns
ns ns
p 0.05
69 ersentase sampel
intervensi. Dapat ar K -total serum
ah intervensi atau kadar trigliserida
3.4. Sedangkan m dengan setelah
setelah intervensi vensi. Sementara
ntase sampel yang u penelitian yang
setelah intervensi. n K -HDL terjadi
total, K-LDL dan setelah intervensi
“normal” sebelum
mpe yang pernah ikan tempe 200 g
m intervensi intervensi
70 hr pada pasien rumah sakit yang hiperkolesterolemia berhasil menurunkan
kolesterol total 17.3, K-LDL 26.3 dan meningkatkan K-HDL 4.2. Arbai 1994 memberikan tempe 150 ghr selama 2 minggu pada laki-laki dewasa
yang hiperlipidemia dan hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan kolesterol total 8.38, K-LDL 8.29, trigliserida 9.19 dan meningkatkan
K-HDL 8.47. Sementara itu penelitian yang dilakukan Wardani 2000 yang memberikan 100 ghr formula tempe selama 42 hari pada laki-laki berhasil
menurunkan kolesterol total sebesar 15.7. Meta analisis yang dilakukan oleh Anderson et al. 1995 terhadap 38
penelitian klinis menyatakan adanya hubungan antara konsumsi protein kedelai dengan konsentrasi serum lipid. Secara rata-rata terdapat penurunan 13 pada K-
LDL, namun tidak ada perubahan pada K-HDL. Yeung and Yu 2003 dalam meta analisis yang dilakukan terhadap 21
studi klinis menyebutkan bahwa isolat isoflavon dalam bentuk tablet signifikan menurunkan kolesterol total, K-LDL dan trigliserida. Selanjutnya meta analisis
yang dilakukan Zhan and Ho 2005 yang mereview 23 penelitian klinis yang dipublikasi tahun 1995 hingga 2000 melaporkan bahwa isoflavon secara
signifikan menurunkan kolesterol total sebesar 3.77, K-LDL 5.25 dan trigliserida 7.27, serta meningkatkan K-HDL 3.03. Perubahan dipengaruhi
oleh jenis atau bentuk isoflavon yang diberikan, level awal kadar profil lipid, serta durasi pemberian. Beberapa studi menunjukkan bahwa konsumsi isoflavon lebih
dari 80mgh lebih nyata mempengaruhi perubahan profil lipid. Efek pada
kolesterol total, K-LDL dan triliserida dapat muncul pada pemberian dalam jangka pendek, sementara perubahan K-HDL muncul setelah intervensi lebih dari
12 minggu Zhan Ho 2005. Meta analisis yang dilakukan Taku et al. 2007 pada 11 randomized
controlled trials yang dipublikasi tahun 1990 hingga 2006 menyimpulkan bahwa
isoflavon kedelai dapat menurunkan serum kolesterol total 0.10 mmolL, K-LDL 0.10 mmolL, namun tidak memperbaiki K-HDL dan trigliserida. Penurunan K-
LDL lebih besar pada individu yang mengalami hiperkolesterolemia dibanding yang normal. Meta analisis terbaru yang ditulis oleh Hooper et al. 2008 tentang
pengaruh pemberian flaonoids dan makanan yang diperkaya flavonoid terhadap
71 risiko penyakit jantung pada berbagai randomized controlled trials menyatakan
bahwa isoflavon secara signifikan dapat menurunkan K-LDL sebesar 0.19 mmolL.
Efek hipokolesterolemik kedelai dan tempe tidak secara spesifik ditunjukkan oleh faktor tertentu, namun akibat dari peran sinergis beberapa
komponen dalam kedelai Potter et al. 1995. Berbagai mekanisme lain yang dapat menjelaskan peran kedelai dan tempe dalam menurunkan kolesterol antara
lain: Serat. Setelah fermentasi, serat dalam tempe meningkat hingga tujuh kali
lipat dibanding kedelai yang disebabkan karena adanya pertumbuhan miselium Rhizopus
Matsuo 1990. Dalam serat juga terkandung saponin yang mampu menghambat penyerapan kolesterol Fraser 1994.
Berbagai penelitian melaporkan bahwa serat kedelai dapat menurunkan kolesterol pada individu yang
mengalami hiperkolesterolemia Shorey et al. 1985. Efek protein pada hormon. Dalam penelitian ini, uji laboratorium
menunjukkan bahwa asam amino tertinggi dalam tempe adalah arginin, yaitu 6.68ww. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghozali 2009
yaitu arginin meningkat hingga tujuh kali dibandingkan dengan arginin pada kedelai.
Insulin dan glukagon berperan dalam homeostatis lipid dan glukosa. Tingginya rasio insulinglukagon dihubungkan dengan peningkatan risiko PJK
yang disebabkan efek hiperlipidemik dan atherogenik. Pada intervensi protein kedelai jangka panjang terjadi peningkatan glukagon sehingga terjadi penurunan
rasio insulinglukagon. Hal tersebut merupakan sebagian peran protein kedelai terhadap efek hipolipidemik. Kapasitas protein kedelai untuk mengatur rasio
insulinglukagon kemungkinan karena komposisi asam amino kedelai. Umumnya protein nabati tinggi asam amino seperti lisin, glisin dan alanin, sementara protein
hewani tinggi lisin. Tingginya rasio argininlisin dihubungkan dengan tingginya konsentrasi serum glukagon Torres et al. 2006.
Rasio argininlisin yang lebih tinggi pada kedelai dibanding pangan hewani ternyata dapat menghambat proses
lipogenesis Potter et al. 1995. Efek ini dilaporkan terjadi pada penderita
hiperkolesterolemia Sanchez Hubbard 1991. Sisa protein yang tidak dapat
72 dicerna yaitu peptida hidrofobi akan mengikat asam empedu dan kolesterol dalam
lumen usus menyebabkan penurunan absorbsi kolesterol Madani et al. 1998. Penelitian terdahulu pada studi binatang mencatat bahwa asam amino lisin
dan methionin asam amino pembatas pada kedelai cenderung meningkatkan level kolesterol methionin merupakan prekursor homosistein-faktor risiko PJK,
sementara arginin mempunyai efek yang berlawanan Kurowska Carroll 1994; Tamura et al. 1998.
Efek protein pada reseptor LDL. Kedelai mengandung 2 tipe protein yaitu globulin 11S glycinin dan 7S
β-conglycinin. Studi pada kultur sel
menunjukkan bahwa globulin dapat menstimulasi aktifitas reseptor LDL Lovati et al
. 1992. Berdasar penelitian sebelumnya, Sirtori et al. 1995 menyatakan bahwa konsumsi protein kedelai dapat mengatur reseptor LDL pada manusia.
Kadar reseptor LDL pada sel ternyata lebih tinggi pada kelompok yang diberi intervensi protein kedelai dibanding protein kasein Baum et al. 1998.
Protein kedelai menurunkan absorbsi kolesterol di pencernaan dan pengeluaran garam empedu sehingga membantu menurunkan kolesterol serum.
Protein 7S β-conglycinin dilaporkan menurunkan akumulasi kolesterol dalam
aorta sehingga mencegah PJK dan membantu menekan pusat lapar sedangkan protein 11S glycinin mempunyai peran sebagai antioksidan Torres et al. 2006.
Isoflavon. Kedelai adalah sumber utama isoflavon Erdman et al. 2000. Isoflavon merupakan fitoestrogen dengan potensi aktivitas estogen terbesar,
dimana genistein, daidzein dan glycitein adalah komponen paling aktif Sutar et al
. 2001. Isoflavon kedelai mempunyai aktivitas mirip estrogen terhadap reseptor estrogen ER afinitasnya 100 kali lebih rendah dibanding estradiol. Isoflavon
kedelai mengikat ER- yang ditemukan di sistem syaraf pusat, tulang, dinding
vaskular dan saluran urogenitas. Ikatannya terhadap ER-
yang terdapat di payudara serta uterine jauh lebih rendah Morito et al. 2001. Isoflavon
mempunyai peran yang selektif tergantung dari konsentrasi estradiol dan kejenuhan reseptor, sehingga di beberapa jaringan mungkin menunjukkan peran
proestrogenik sedangkan di jaringan lain antiestrogenik Baker et al. 2000; Wolter 2004. Banyak penelitian menunjukkan bahwa isoflavon mempunyai efek
hipokolesterolemik Cassidy et al. 1995, antioksidan dan efek mirip estrogen
73 pada pembuluh darah Nestel et al. 1997; Honore et al. 1997.
Isoflavon mempunyai struktur mirip estrogen sehingga mempunyai kemampuan aktivitas
estrogenik yang
dapat mengatur
metabolisme lipoprotein.
Efek hipokolesterolemik isoflavon adalah melalui kemampuannya untuk mengatur
aktivitas reseptor LDL. Studi pada binatang yang reseptor LDL nya dihilangkan ternyata meningkat risiko atherosklerosis Setchell Cassidy 1999.
Vitamin B12. Tempe mengandung vitamin B12 aktif yang diproduksi baik oleh bakteri maupun kapang selama proses fermentasi kedelai. Penelitian
Susianto 2011 membuktikan bahwa sampel yang diberi formula tepung tempe ternyata mengalami peningkatan kadar vitamin B12 serum setelah 3 bulan
intervensi dihentikan. Selain itu juga terbukti adanya korelasi negatif antara kadar vitamin B12 dengan homosistein serum. Seperti diketahui peningkatan kadar
homosistein akan
memicu peningkatan
hidrogen peroksida
sehingga menimbulkan risiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh
darah yang akan mengakibatkan stroke atau penyakit jantung Bittner 2001
Kadar SOD dan Zn Sebelum dan Setelah Intervensi
Enzim SOD adalah salah satu dari jenis enzim antioksidan endogen dan berperan melindungi sel dari proses oksidasi kerusakan oksidatif, merupakan
sistem pertahanan pertama untuk menekan pembentukan radikal bebas. Enzim ini terdapat pada semua organisme aerob dan umumnya berada dalam tingkat
subseluler intraseluler. Karena berada dalam lingkungan aerob maka dibutuhkan oksigen untuk kehidupannya sehingga peka terhadap terjadinya kerusakan karena
oksidasi atau disebut stres oksidatif. Enzim SOD bekerja di dalam sel dan
berperan pada tahap awal terjadinya stres oksidatif yaitu dengan mengubah radikal anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen.
Sampel penelitian ini yang mempunyai profil lipid “tidak normal” merupakan individu dengan risiko terkena oksidasi yang tinggi. Adanya radikal
bebas pada individu yang berisiko akan meningkatkan pemakaian enzim antioksidan yang mengakibatkan berkurangnya enzim tersebut di dalam sel.
Rendahnya enzim antioksidan intrasel mengakibatkan sel tidak mampu mencegah pembentukan radikal bebas dalam tubuh sehingga terjadi proses peroksidasi lipid
dan berakibat pada peningkatan kadar MDA.
74 Dalam penelitiannya Astuti mendeteksi adanya SOD dalam tempe yang
muncul setelah fermentasi kedelai selama 24 jam Astuti 1997. Peningkatan SOD berlanjut hingga fermentasi 60 jam yang menandakan bahwa produksi SOD
berjalan bersamaan dengan pertumbuhan kapang. Dalam penelitian ini enzim
antioksidan yang diteliti hanya SOD dengan asumsi karena penelitian sebelumnya hanya menemukan SOD dalam tempe sedangkan katalase dan glutation
peroksidase belum dilaporkan. Selain itu SOD dianggap sebagai antioksidan primer yang merupakan pertahanan pertama untuk menangkal radikal bebas.
a. Perubahan aktivitas SOD pada setiap fase