PENDAHULUAN Formula Limbah Kulit Kopi Dan Bakteri Dari Lada Sebagai Pengendali Penyakit Busuk Pangkal Batang
apabila menginfeksi akar rambut yang selanjutnya menyebar ke akar utama sampai ke pangkal batang Mulya et al.2003.
Penyakit ini biasanya ditemukan pada daerah yang memiliki kandungan hara miskin. Gejala penyakit berbeda-beda diantara spesies tanaman, tetapi
umumnya menurunkan vigor dan pertumbuhan tanaman, menguning atau klorosis pada daun dan akhirnya lemas atau tanaman mati Manohara et al. 2005. Dasar
dan pangkal batang tanaman yang terinfeksi menunjukkan warna hitam dengan eksudat bewarna hitam yang mengeluarkan bau busuk, menunjukkan
perkembangan infeksi lanjut patogen. Pada daun, cendawan dapat menyebabkan satu atau banyak lesio, berbentuk bulat dengan karakteristik fimbriate pada
pinggirnya. Pada pagi hari sporangium dapat ditemukan di bawah permukaan daun tanaman yang sakit.
Perubahan warna pada kulit pangkal batang dan gejala pada daun yang berupa bercak coklat tua kosentris dengan warna abu-abu di pusatnya dan
akhirnya layu. Gejala penyakit yang mencolok adalah gejala layu pada daun yang menjadi kuning, kusam dan lunak. Daun mulai gugur dari daun bagian bawah
kemudian menuju kebagian atas tanaman, setelah 10 hari tanaman akan mati. Pada musim kering, perkembangan penyakit terjadi lebih cepat, tanaman bisa mati
dalam waktu tiga atau empat hari setelah gejala layu mulai tampak. Pada kondisi ini daun-daun tetap menggantung kering dan tanaman terlihat seperti terbakar
Kasim 1978.
Infeksi pada batang biasanya terjadi dekat permukaan tanah sampai setinggi 30 cm dari pangkal batang. Bagian yang terinfeksi mengalami perubahan warna,
dan bila dipotong tampak warna coklat sampai hitam. Infeksi pada daun terlihat dari adanya bercak kelabu dengan tepi berwarna coklat. Di luar bagian nekrotik
tersebut terdapat zona kebasahan selebar 3 sampai 4 mm. Daun dengan gejala seperti ini akan gugur dalam beberapa hari.
Upaya Pengendalian BPB yang Banyak Dilakukan di Indonesia
Berbagai upaya sudah banyak dilakukan untuk mengendalikan penyakit BPB pada tanaman lada, diantaranya penggunaan fungisida, penambahan bahan
organik ke tanah, kultur tekhnis dan penanaman kultivar yang tahanresisten. Cendawan P.capsici telah ditemukan tersebar hampir di semua pertanaman lada di
Indonesia Manohara et al. 2005. Struktur populasi Phytophthora juga bervariasi. Manohara dan Sato 1992 pernah mendapatkan isolat Phytophthora asal lada
yang mempunyai karakteristik morfologi yang berbeda dengan P.capsici, demikian juga dengan variasi virulensinya Wahyuno et al. 2009. Pengendalian
BPB juga menghadapi kendala non teknis, yaitu harga lada yang tidak stabil menyebabkan perhatian dan pemeliharaan yang diberikan petani pada tanamannya
berkurang saat harga rendah Manohara et al. 2005.
Pengendalian BPB perlu menggunakan pendekatan alternatif, salah satu komponen pengendalian yang sedang dikembangkan dan diharapkan dapat
mempertahankan produksi lada nasional adalah mengembangkan varietas lada yang tahan BPB dan berproduksi tinggi. Perakitan varietas lada dengan cara
melakukan persilangan antar lada budidaya atau dengan spesies lada lainnya Piper spp., serta pemberian kompos dan pemanfaatan mikroba asli untuk
mengendalikan patogen tersebut. Varieteas lada budidaya belum ada yang tahan
terhadap P.capsici, tetapi beberapa diantaranya menunjukkan kecenderungan lebih toleran Manohara et al. 2006; Setiyono et al. 2005. Kegiatan penelitian
persilangan lada di Balittro telah dimulai sejak tahun 1997 sampai 1998. Pada tahun 2005 telah diperoleh lebih dari 30 kombinasi persilangan dan 400 nomor
lada hibrida yang dapat dipertahankan keberadaannya.
Karakter morfologi berupa jumlah stomata dan ketebalan epidermis pada permukaan bawah daun tidak terkait dengan ketahanan suatu aksesiklon lada
terhadap serangan P.capsici. Ketahanan yang cenderung bersifat fisiologis dari tanaman lada lebih dominan dari pada faktor fisik yang ada Wahyuno et al.
2009. Semua varietas lada yang dibudidayakan tidak ada yang tahan 100 terhadap penyakit BPB, tetapi ada beberapa varietas yang toleran terhadap
P. capsici antara lain Natar 1, Bangka, Pulau Laut, Merapin dan Banjarmasin.
Ravindran et al. 2000 menyatakan bahwa Natar 1 dan Natar 2 selain mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi juga toleran terhadap nematoda
dan BPB. Pada daun lada jenis LDL yang diinokulasi dengan 50 isolat P.capsici asal lada mempunyai kisaran luas nekrosa antara 0 sampai 33,4, dengan rata rata
12,2.
Pengendalian penyakit BPB akan semakin sulit apabila P.capsici telah masuk di dalam jaringan tanaman, sehingga pestisida masih menjadi satu
–satunya cara untuk mengendalikan penyakit utama lada ini Schwinn1983. Penggunaan
fungisida untuk mengendalikan BPB pada tanaman lada dapat menekan intensitas serangan P.capsici sampai 90 lebih tinggi tanpa menggunakan pestisida
Manohara et al. 2007. Penggunaan fungisida selain memberikan dampak negatif terhadap mutu buah lada juga dapat memberikan ancaman terhadap kualitas
lingkungan, keseimbangan ekosistem maupun kesehatan manusia.
Kompos dan Peran Kompos dalam Pengendalian Penyakit Potensi Limbah Kulit Kopi
Kulit kopi merupakan limbah hasil pengolahan kopi yang belum termanfaatkan secara maksimal. Besarnya produksi kopi di Indonesia tentunya
menghasilkan limbah kulit kopi yang semakin besar pula. Limbah kulit kopi merupakan limbah organik padat yang dihasilkan dari perkebunan kopi ataupun
pabrik pengolahan kopi menjadi kopi. Besarnya limbah kulit kopi jika tidak dimanfaatkan akan terbuang dan menimbulkan pencemaran. Limbah kulit kopi
belum dimanfaatkan secara optimal, padahal memiliki kadar bahan organik dan unsur hara yang dapat memperbaiki struktur tanah. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk penangananjumlah limbah kulit kopi yang semakin meningkat dengan cara mengolah limbah kulit kopi menjadi kompos.
Pemberian kulit limbah kopi sampai 50 mampu meningkatkan perbaikan lapisan olah tanah dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi tomat Berecha
et al. 2011. Limbah kulit kopi berpotensi sebagai polisakarida Larut Air PLA terutama pektin. Pektin bisa memperkuat jaringan antar sel, sehingga sukar
diinfeksi oleh patogen. Transformasi limbah kulit kopi menjadi kompos dengan perlakuan mikroba merupakan metode alternatif untuk mengubah limbah ini
menjadi pupuk organik yang bermanfaat. Produk akhir sifat fisik dan kimia setelah perlakuan kulit kopi terjadi peningkatan P tersedia, Ca dan Mg tetapi
terjadi penurunan K terdeteksi Orozco et al. 2006.
Pengendalian Hayati BPB pada Tanaman Lada
Strategi pengendalian perlu memperhatikan mekanisme ketahanan secara umum terhadap Phytophthora spp. baik ketahanan struktur dari inang,
pembentukan senyawa penghambat, memacu terbentuknya struktur penghalang barrier, reaksi hypersensitive dan pembentukan Pytoaleksin Hwang 2001.
Selama 30 tahun terakhir ini perhatian orang terhadap penelitian dan pengembangan pengendalian hayati terus meningkat seiring dengan kebutuhan
untuk pengembangan sistem pengendalian yang ramah lingkungan, yang tidak merusak ekosistem dan tidak merusak kesehatan. Pengendalian penyakit tanaman
menggunakan agens antagonis dan mikroba asli berpotensi untuk dikembangkan. agens antagonis telah tersedia di alam, aktivitasnya dapat distimulasi dengan
memodifikasi lingkungan atau tanaman inang, aman terhadap lingkungan, tidak mempunyai efek residu, aplikasinya tidak berulang-ulang dan relatif kompatibel
dengan teknik pengendalian lainnya Agrios 2005.
Beberapa jenis bakteri juga merupakan agen pengendali yang potensial diantaranya P.fluorescens dan Bacillus spp. Saju 2004. Mekanisme kerja dari
bakteri sebagai agen pengendali karena kemampuannya menghasilkan senyawa antibiotik dan enzim pendegradasi dinding sel patogen. Menurut Sarma 2006,
pengendalian patogen tanaman secara hayati sebaiknya menggunakan campuran beberapa mikro organisme antagonis dengan variasi mekanisme pengendalian.
Menurut Saju 2004 Trichoderma spp., bakteri P.fluorescens dan Bacillus subtilis merupakan agen pengendali hayati yang potensial digunakan untuk
mengendalikan cendawan patogen yang termasuk dalam golongan oomycetes. Cendawan Trichoderma spp. mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat dari
pada patogen dengan cara parasitasi, mampu berkompetisi mendapatkan nutrisi, ruang hidup dan dapat memproduksi enzim.
Induksi ketahanan tanaman adalah fenomena dimana terjadi peningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi oleh patogen setelah terjadi peningkatan
rangsangan. Perlindungan didasari pada mekanisme ketahanan yang distimulus oleh perubahan metabolik yang terjadi pada tanaman untuk melindungi diri
mereka. Agens penginduksi dapat berupa agens biotik maupun abiotik. Agens biotik bisa berupa penggunaan patogen yang sama pada inokulasi berikutnya,
patogen yang tidak kompatibel, patogen lemah, saprofit dan komponen mikrobia Van Loon et al. 2006.
Mikroba asli yang diambil dari rizosfer tanaman lada dalam pengendalian P.capsici merupakan pengendalian yang diharapkan dapat menghasilkan zat
antipatogen, fitohormon dan penyedia hara bagi tanaman lada yang tahan terhadap patogen ini. P.capsici merupakan salah satu spesies yang dapat dipengaruhi oleh
mikroorganisme tanah, dimana hasil antagonisnya menyebabkan perkembang- biakkan fungi terhalang.
Kompos Diperkaya Bioaktivator
Pemanfaatan kompos dalam budidaya tanaman memiliki peranan positif, baik secara fisik, kimia maupun biologi. Penggunaan kompos dapat memperbaiki
struktur tanah dan menjadi unsur utama dalam budidaya tanaman secara organik. Ketersediaan unsur hara dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertumbuhan
sehingga bisa mengurangi penggunaan pupuk buatan. Penggunaan kompos yang
diperkaya dengan mikroba tertentu atau sering disebut sebagai kompos bioaktif akan terjadi efisiensi penggunaan pupuk buatan. Keberadaan mikroba di dalam
kompos diharapkan dapat menekan populasi mikroba patogen di tanah soilborne pathogen.
Selain sebagai biokontrol untuk mengendalikan berbagai patogen yang menginfeksi tanaman, beberapa mikroba bakteri berperan sebagai pemacu
pertumbuhan. Berbagai isolat diketahui diketahui berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman Raj et al.2005. Sebagai pemacu pertumbuhan tanaman,
bakteri secara kompetitif mengkolonisasi akar dan memanfaatkan eksudat dan lisat yang dikeluarkan akar tanaman. Kemampuan memfiksasi nitrogen,
melarutkan fosfat P, dan produksi hormon tumbuh telah banyak dilaporkan sebagai mekanisme bakteri dalam perannya sebagai agens pemacu pertumbuhan
dan produksi tanaman Bae et al.2007.
Proses dekomposisi bahan organik secara alami membutuhkan waktu yang lama 3-6 bulan sehingga sangat menghambat upaya pelestarian penggunaan
bahan organik untuk lahan-lahan pertanian. Bahan yang mengandung lignin menjadi penghalang akses enzim selulolitik pada degradasi bahan organik yang
berligno selulosa dan dapat menghambat proses dekomposisi sehingga dapat menyebabkan penumpukkan limbah dan berdampak negatif bagi lingkungan
Saraswati et al. 2006.
Pengomposan dengan menggunakan mikroba perombak lignin dan selulosa dapat membantu proses dekomposisi bahan organik menjadi lebih cepat, sehingga
segera dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kompos dapat bermanfaat untuk tanah karena meningkatkan kontribusi terhadap kandungan humus tanah Giusquiani et
al.1995;Leifeld et al. 2002.
Beberapa mikroba yang termasuk agensia hayati dari golongan bakteri Bacillus spp., Pseudomonas spp., aktinomiset Streptomyces spp. dan
cendawan Trichoderma spp., Aspergillus spp., Penicillium spp. merupakan mikroba terbanyak yang terdapat di dalam kompos Chet dan Inbar 1994; Michel
et al. 2002. Sejumlah laporan hasil penelitian menyebutkan penggunaan kompos dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap serangan patogen. Kompos
sebagai substrat yang baik untuk pertumbuhan sejumlah mikroorganisme agensia hayati seperti Trichoderma spp., Fusarium oxysporum non patogenik FoNP dan
Bacillus spp., sehingga aplikasi kompos ke dalam tanah dapat mengurangi serangan patogen tanaman.
Kompos merupakan sumber hara makro dan mikro yang lengkap namun dalam kadar yang rendah Setyorini et al. 2006 sehingga untuk memperoleh hasil
yang memadai diperlukan dosis kompos yang tinggi. Untuk dapat meningkatkan efektivitas kompos diperlukan pengkayaan kompos baik dengan menggunakan
bahan mineral maupun mikroba tanah non patogenik.
Mineral-mineral yang mengandung unsur P, K, Ca dan Mg banyak digunakan untuk memperkaya hara dalam kompos, sedangkan mikroba tanah
yang efektif dalam membantu pertumbuhan tanaman dan mengendalikan serangan mikroba patogen masih sangat terbatas untuk pengayaan kompos. Penggunaan
mineral yang banyak mengandung unsur, dapat dimanfaatkan tanaman untuk pertukaran ion dan memastikan ketersediaan unsur hara tinggi di tanah.
Pemanfaatan mineral dapat menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik serta mampu mengurangi kehilangan nutrisi tanah Pine et al. 1994. Penambahan
mineral ke dalam tanah merupakan salah satu upaya untuk mencukupi kebutuhan unsur hara tanaman. Mikroba tanah sangat berperan dalam membantu
pertumbuhan dan peningkatan produksi tanaman serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit. Berbagai mikroba tanah berperan dalam
penambatan N
2
-udara baik yang hidup bebas maupun bersimbiose, pelarutan P, penyedia K, penghasil hormon tumbuh dan perangsang pembungaan, serta
penghasil zat pengendali penyakit.
Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan sumber utama unsur-unsur hara esensial yang dihasilkan dari proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik.
Dekomposisi bahan organik yang tinggi atau semakin cepat turn over bahan organik, maka unsur hara semakin cepat tersedia.
Terdapat gejala penurunan kadar bahan organik tanah di banyak perkebunan lada, terutama pada tanah latosol seiring dengan makin lamanya pengusahan lahan
tersebut Pujiyanto 1996; Wibawa 1987. Jika penurunan kadar bahan organik berlangsung terus-menerus, maka keberlanjutan usaha pertanian pada lahan
tersebut akan terancam. Tanah dapat menjadi rusak dan tidak produktif, sehingga tidak ekonomis lagi dimanfaatkan sebagai usaha pertanian. Guna mengembalikan
sifat fisik dan fisikokimia rizosfer serta menjamin keberlangsungan pengusahaan lahan tersebut, maka degradasi lahan dapat dihindari, antara lain dengan
menambahkan bahan organik berupa kompos untuk mempertahankan kandungannya pada aras minimum sebesar 3,5 atau 2 C organik Baon et al.
2003.
Penurunan kadar bahan organik tanah merupakan salah satu indikator utama penurunan kesuburan tanah mineral di perkebunan lada. Kecenderungan
penurunan kandungan bahan organik tanah BOT tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kehilangan dan penambahan bahan organik ke dalam
tanah. Kehilangan bahan organik dari tanah dapat terjadi karena oksidasi biologis oleh mikroorganisme didalam tanah, erosi tanah lapisan atas pada umumnya
berkandungan bahan organik tinggi, ataupun karena pembakaran pada saat melakukan persiapan lahan Baon et al. 2003.
Proses dekomposisi bahan organik yang cukup dalam tanah mampu mengaktifkan populasi mikroorganisme tanah yang dapat memacu mineralisasi
bahan organik dan dekomposisi pestisida, serta meminimumkan perkembangan mikroorganisme tanah yang merugikan. Kompos sebagai sumber bahan organik
dapat dipertimbangkan dalam upaya menekan beberapa penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah. Penyakit yang disebabkan oleh patogen tular
tanah adalah unik, disebabkan patogen dapat bertahan hidup dibawah tekanan mikroorganisme tanah, dan dapat menginvasi tanaman melalui tanah
Hyakumachi 2000. Kompos yang mengandung sejumlah mikroorganisme dapat berperan sebagai biokontrol, bersifat antagonis terhadap patogen dan
mikroorganisme di dalamnya juga dapat menimbulkan suatu induksi resistensi induce systemic acquired resistance SAR di dalam tanaman Zhang et al.
1996. Kompos dari kotoran hewan banyak digunakan untuk memperbaiki struktur dan kondisi tanah, kesehatan tanaman dan pengendalian penyakit.
Aktivitas antagonis yang terlibat dalam pengendali biologi ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi di dalam kompos tersebut Termorshuizen et al. 2006.