Potensi Bakteri Endofit Sebagai Agens Pengendali Penyakit Busuk Cabang (Septobasidium Sp) Pada Lada

POTENSI BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI AGENS
PENGENDALI PENYAKIT BUSUK CABANG
(Septobasidium sp.) PADA LADA

MULIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Bakteri Endofit
sebagai Agens Pengendali Penyakit Busuk Cabang (Septobasidium sp.) pada
Lada adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Muliani
NIM A352120071

RINGKASAN
MULIANI. Potensi Bakteri Endofit sebagai Agens Pengendali Penyakit Busuk
Cabang (Septobasidium sp.) pada Lada. Dibimbing oleh BONNY PW
SOEKARNO dan ABDUL MUNIF.
Penyakit busuk cabang lada yang disebabkan oleh Septobasidum sp.
tergolong penyakit baru dan berpotensi merusak pertanaman lada di Kalimantan
Barat. Gejala penyakit busuk cabang Septobasidium sp. pada tanaman lada
tergantung pada stadia patogen. Gejala stadia awal respon tanaman tidak
menunjukan gangguan pada daun atau cabang tetap segar dan hijau, stadia lanjut
bagian tanaman yang terinfeksi terutama daun atau cabang akan rontok secara
bertahap sampai tanaman mati. Penyakit busuk cabang lada ditandai dengan
adanya rizomorf/miselium berwarna coklat kemerahan yang menginfeksi pada
bagian cabang. Miselium dapat menyebar ke seluruh cabang dan mengakibatkan
kematian jaringan tanaman lada. Penyakit ini juga sering disebut penyakit
ganggang pirang, mati ranting, penyakit capit udang, penyakit hawar lembut

(Serawak Malaysia), felt fungi, dan velvet blight. Penelitian ini bertujuan
mendapatkan bakteri endofit asal lada yang potensial sebagai agens pengendali
hayati penyakit busuk cabang dan pemacu pertumbuhan pada tanaman lada.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2013 sampai bulan April 2015
di Laboratorium Mikologi, Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Penyakit Tanaman
Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak, dan Laboratorium Biologi
& Kesehatan Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor, serta kebun petani di
Kecamatan Galing Kabupaten Sambas. Penelitian meliputi tahap in vitro dan in
vivo. Tahap in vitro meliputi eksplorasi, uji reaksi hipersensitif, karakterisasi
fisiologi dan uji antibiosis bakteri endofit. Eksplorasi bakteri endofit berasal dari
contoh akar, cabang, dan daun dari tanaman lada sehat (tidak bergejala) di antar
tanaman sehat, tanaman lada sehat di antara tanaman lada sakit, dan lada liar (lada
hutan). Isolasi bakteri endofit dari akar batang dan daun dilakukan dengan cara
sterilisasi permukaan menggunakan larutan NaOCL 10% dan alkohol 70%. Isolat
bakteri yang didapat dimurnikan dan diindentifikasi berdasarkan tipe morfologi
koloni bakteri kemudian dilakukan uji reaksi hipersensitif. Tahapan selanjutnya
isolat bakteri endofit tersebut dilakukan karakterisasi aktivitas enzim kitinolitik,
produksi IAA, penambat nitrogen, pelarut fosfat, pelarut kalium dan produksi
senyawa fluorescent. Isolat bakteri endofit diuji antibiosis terhadap Septobasidium

sp. dengan metode kultur ganda media PDA. Tahap in vivo meliputi uji
kemampuan penghambatan isolat bakteri endofit terhadap Septobasidium sp. pada
lada secara langsung, uji pemacu pertumbuhan tanaman, dan uji pemacu
ketahanan tanaman menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Metode
inokulasi bakteri endofit dengan cara perendaman bibit lada dalam suspensi
bakteri endofit.
Hasil penelitian in vitro diperoleh 33 isolat bakteri endofit yang diisolasi
dari tanaman lada sehat di antara lada sehat, lada sehat di antara lada sakit dan
lada hutan, dengan kisaran kerapatan 6.3 x 103–9.2 x 106 cfu g-1 berat basah
contoh jaringan tanaman. Hasil uji reaksi hipersensitif terhadap 33 isolat bakteri
endofit diperoleh 10 isolat bakteri endofit bersifat bakteri patogenik pada reaksi

hipersensitif di daun tembakau, sehingga 23 isolat bakteri endofit yang yang
bersifat non patogenik digunakan pada uji selanjutnya. Hasil karakterisasi dari 23
isolat bakteri tersebut, 20 isolat mampu memproduksi IAA, 3 isolat dapat
menambat nitrogen, 10 isolat dapat melarutkan fospat, 6 isolat mempunyai
aktifitas kitinolitik, 4 isolat mempunyai senyawa fluorescent dan semua isolat
bakteri endofit tersebut tidak mampu melarutkan kalium. Hasil uji antibiosis
terhadap Septobasidium sp. menunjukkan bahwa 8 isolat, yaitu isolat bakteri
SHA3, SHC9, SKA1, SKA3, SKA4, SKD8, SKD10 dan LHD8 mampu

menghambat pertumbuhan Septobasidium sp. antara 30.44-78.89% pada media
PDA. Hasil penelitian in vivo, hasil uji di lapangan menunjukkan bahwa isolat
SHC9, SKA3, SKD8, SKD10 dan LHD8 berpengaruh nyata terhadap penekanan
hifa Septobasidium sp. pada tanaman lada dan berpengaruh nyata meningkatkan
pertumbuhan tanaman lada.
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber informasi
mengenai potensi bakteri endofit asal tanaman lada sebagai agens pengendali
penyakit busuk cabang, agens pemacu pertumbuhan dan agens pamacu ketahanan
tanaman lada.
Kata Kunci : busuk cabang, bakteri endofit, lada, Septobasidium sp.

SUMMARY
MULIANI. Potential of Endophytic Bacteria as Control Agents for Rot Disease
Branch (Septobasidium sp.) on Pepper. Supervised by BONNY PW SOEKARNO
and ABDUL MUNIF.
Pepper branch rot disease caused by Septobasidum sp. is relatively new
disease which potentially damages pepper plantation in West Borneo. The
symptoms of the disease depend on the stadia of pepper plant pathogens. The
symptoms of early stage response do not show any interference to leaves and
branches; therefore, they remain fresh and green. Further stadia, however, show

certain infections on leaves and branches that lead them to fall off until the plant
dies gradually. The disease is indicated by the presence of rizomorf or reddish
brown mycelium that infects the branch. The mycelium spread to the entire
branches and cause the pepper plant to die. The disease is also frequently called
„blonde algae (ganggang pirang) disease‟, „dead twigs (mati ranting)‟, „pincers of
shrimp (capit udang) disease‟, soft blight (hawar lembut) disease (in Sarawak,
Malaysia)‟, felt fungi, and velvet blight.
This study aims to obtain endophytic bacteria which originate from pepper
plant as a potential biological control against branch rot and as plant growth
promoting bacteria on pepper. The research was conducted from August 2013 to
April 2015 in a farmer‟s pepper plantation in Galing, Sambas District of West
Kalimantan. The samples were tested using three different laboratories–Mycology
Laboratory, Nematologi Laboratory of Plant Protection Department of Bogor
Agricultural University, Plant Disease Laboratory of Tanjungpura University, and
Biology and Soil Laboratory of Indonesian Soil Research Institute in Bogor. The
research applies in vitro and in vivo steps. In vitro phases include exploration,
pathogenicity test, physiology characterization, and endophytic antibiosis test.
Exploration of endophytic bacteria from samples of roots, branches, and leaves of
healthy pepper (asymptomatic) were taken from among group of healthy plants,
from among sick pepper and from wild pepper. Isolation of endophytic bacteria

from of roots, stems, and leaves was done by sterilizing using solution of NaOCl
10% and 70% alcohol. The isolated bacteria are then refined and identified based
on the type of colony morphology and then are diagnosed through
hypersensitivity reactions test. The endophytic bacteria are then characterized
based on their enzyme chitinolytic activity, IAA production, nitrogen fixation,
phosphate and potassium solubilization, and production of fluorescent pigments.
Then, the bacteria are antibiotic sensitivity tested toward Septobasidium sp. using
PDA media dual culture method. In vivo phases include tests of inhibition
capabilities of endophytic bacteria directly toward Septobasidium sp. and also test
of growth and resistance enhancer using complete randomized design. In addition,
endophytic bacteria inoculation method applied pepper seedlings immersion into
endophytic bacteria suspension.
There are 33 isolated endophytic bacteria obtained from in vitro phases
isolated from with a density range of 6.3 x 103-9.2 x 106 cfu g-1 fresh weight of
plant tissue samples. Pathogenicity test using hypersensitive reaction resulted of a
total of 33 isolates of endophytic bacteria; 10 isolates are pathogenic bacteria and
23 isolates of endophytic bacteria which are non pathogenic used for the next

experiment. The characterization test of the 23 isolates resulted 20 isolates which
were able to produce IAA, 3 isolates with nitrogen fixation, 10 with solubilization

phosphate activities, 6 with chitinolytic activities, 4 with fluorescent pigments. All
of the isolates are not able to produce potassium solubilization activities. Results
of antibiosis test against Septobasidium sp. showed 8 isolates (SHA3, SHC9,
SKA1, SKA3, SKA4, SKD8, SKD10 and LHD8) which are able to inhibit the
growth of Septobasidium sp. between 30.44-78.89% on PDA. In vivo showed that
isolates SHC9, SKA3, SKD8, SKD10 and LHD8 significantly reduced the growth
of hyphae of Septobasidium sp. and significantly increase the growth of pepper
plants.
The results obtained are expected to be a source of information about the
potential of endophytic bacteria as controlagents for rot branch disease of plant
origin pepper, growth promotingagentand resistanceagent pepper plant.
Keywords: rot disease branch, endophytic bacteria, pepper, Septobasidium sp.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI AGENS
PENGENDALI PENYAKIT BUSUK CABANG
(Septobasidium sp.) PADA LADA

MULIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Elis Nina Herliyana MSi

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke khadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga Tesis ini yang berjudul “Potensi Bakteri Endofit sebagai
Agens Pengendali Penyakit Busuk Cabang (Septobasidium sp.) pada Lada” dapat
diselesaikan.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Dr Ir Bonny
PW Soekarno MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Abdul Munif
MscAgr selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan, saran, dan arahannya
selama proses penelitian hingga penulisan tesis ini.
Terima kasih penulis disampaikan kepada Departemen Proteksi Tanaman
Fakultas Pertanian IPB, teman-teman angkatan 2012 dan di Forum Wacana
Entomologi-Fitopatologi atas semua bantuan, do‟a dan dorongannya kepada
penulis. Rasa hormat dan terima kasih yang mendalam penulis haturkan kepada
Ayahanda dan Ibunda atas kasih sayang dan do‟anya selama ini untuk kesuksesan
penulis, Penulis mendo‟akan semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua.
Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan terutama dibidang Fitopatologi.


Bogor, Februari 2016

Muliani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tujuan
Hipotesis
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Busuk Cabang Lada
Bakteri Endofit sebagai Agens Pengendali Hayati
Bakteri Endofit sebagai Agens Penginduksi Ketahanan Tanaman
Bakteri Endofit sebagai Agens Pemacu Pertumbuhan Tanaman
3 BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan Tanaman Contoh
Isolasi Septobasidium sp.
Eksplorasi Bakteri Endofit pada Lada
Uji Reaksi Hipersensitif
Karakterisasi Fisiologi Bakteri Endofit
Uji Kemampuan Antibiosis Bakteri Endofit pada Septobasidium sp.
Uji Kemampuan Bakteri Endofit sebagai Penghambat
Septobasidium sp. pada lada
Uji Kemampuan Bakteri Endofit sebagai Pemacu Pertumbuhan
Tanaman
Uji Kemampuan Bakteri Endofit sebagai Pemacu Ketahanan Tanaman
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksplorasi Bakteri Endofit pada Lada
Karakterisasi Fisiologi Bakteri Endofit
Kemampuan Antibiosis Bakteri Endofit terhadap Septobasidium sp.
Kemampuan Bakteri Endofit terhadap Penghambatan
Septobasidium sp. pada lada
Kemampuan Bakteri Endofit sebagai Pemacu Pertumbuhan Tanaman
Kemampuan Bakteri Endofit sebagai Pemacu Ketahanan Tanaman
5 PEMBAHASAN UMUM
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
3
3
3
3
5
6
9
10
12
12
12
12
13
14
15
15
16
16
18
19
21
23
24
25

30
30
31
37
43

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Kerapatan populasi bakteri dan jumlah isolat bakteri endofit dari
tanaman lada
Keragaman bakteri endofit
Karakterisasi fisiologi isolat bakteri endofit asal tanaman lada
Kemampuan antibiosis bakteri endofit terhadap Septobasidium sp.
secara in vitro
Pengaruh penghambatan bakteri endofit terhadap hifa Septobasidium sp.
pada lada
Pengaruh perlakuan isolat bakteri endofit terhadap pertambahan jumlah
tunas tanaman lada
Pengaruh perlakuan isolat bakteri endofit terhadap pertambahan tinggi
tanaman lada
Kejadian penyakit Septobasidium sp. pada tanaman lada
Pengaruh bakteri endofit terhadap aktivitas peroksidase (POD) pada
tanaman lada 3 bulan setelah inokulasi

18
19
20
22
23
24
25
25
26

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Diagram alir penelitian “Potensi bakteri endofit untuk mengendalikan
penyakit busuk cabang (Septobasidium sp.) pada lada”
Gejala dan tanda penyakit busuk cabang Septobasidium sp. pada lada
Skema uji antibiosis bakteri endofit terhadap Septobasidium sp.
Daya hambat isolat bakteri endofit terhadap Septobasidium sp.

4
5
15
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Data isolat bakteri endofit lada: jumlah koloni, kerapatan populasi
bakteri, frekuensi kemunculan isolat, dan indeks keragaman
Uji reaksi hipersensitif dan ciri-ciri mofologi bakteri endofit lada
Daya hambat isolat bakteri endofit terhadap Septobasidium sp. pada
lada
Pengaruh isolat bakteri endofit terhadap pertumbuhan tanaman lada
Analisis keragaman penghambatan isolat bakteri terhadap
Septobasidium sp. pada lada
Analisis keragaman pengaruh isolat bakteri pertambahan tunas lada
Analisis keragaman pengaruh isolat bakteri terhadap pertambahan
panjang lada
Analisis keragaman pengaruh bakteri endofit terhadap aktivitas
peroksidase (POD) pada tanaman lada 3 bulan setelah inokulasi

37
38
39
40
41
41
42
42

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu komoditas ekspor di sektor
perkebunan yang dapat memberikan kontribusi devisa bagi Indonesia. Dua produk
lada Indonesia yang paling dikenal di pasar dunia adalah lada hitam (black
pepper) dan lada putih (white pepper). Bentuk pengusahaan lada di Indonesia
adalah berupa perkebunan rakyat dan perkebunan swasta.
Produksi nasional lada setiap tahun mencapai 91 039 ton pada tahun 2013
dengan luas areal tanam 171 920 ha, sedangkan pada tahun 2014 produksi
menjadi 91 908 ton dengan luas areal 172 034 ha, dengan rata-rata produktivitas
nasional 0.8 ton/ha. Daerah sentra produksi lada utama di Indonesia adalah
Provinsi Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Bengkulu dan Sulawesi Selatan (Dirjenbun 2014). Produksi lada di Kalimantan
Barat menurun setiap tahun seiring dengan menurunnya luas areal tanam. Tahun
2009 dengan produksi total mencapai 4 620 ton dengan luas areal tanaman 9 629
ha, sedangkan pada tahun 2013 total produksi 3 470 ton dengan luas areal tanam 7
107 ha. Tahun 2014 produksi menurun menjadi 3 416 ton dan luas areal tanam 7
229 ha, dengan jumlah petani 20 475 kepala keluarga (Disbun Kalbar 2014).
Penurunan produksi dan luas areal tanaman lada salah satunya disebabkan
oleh serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting adalah penyakit
busuk cabang lada yang disebabkan oleh Septobasidium sp. yang menyerang
tanaman lada di Kalimantan Barat (Suswanto 2009). Tahun 2010 luas serangan
Septobasidium sp. mencapai 997.98 ha terdiri atas serangan ringan 794.7 ha dan
serangan berat 203.28 ha dari luas areal pengamatan 8 514 ha di 5 kabupaten dari
13 Kabupaten di Kalimantan Barat (BPTP Kalbar 2012). Serangan tertinggi
terjadi pada tanaman lada di Kabupaten Bengkayang dengan keparahan penyakit
sampai 100% (Rianto 2014). Kerugian akibat penyakit hawar beludru setiap bulan
di Kabupaten Bengkayang diperkirakan dapat mencapai Rp 237 juta (BPTP
Kalbar 2012).
Penyakit busuk cabang lada atau hawar beludru (velvet blight) pertama kali
ditemukan pada tanaman lada di India dan sudah tersebar di India, Malaysia dan
Indonesia (Sarma et al. 2011; IPC 2016). Penyakit ini sudah dilaporkan pada
pertanaman lada di Bangka, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Sarma et
al. 2011). Di Kalimantan Barat penyakit busuk cabang lada tergolong penyakit
baru dan minor yang berpotensi merusak pertanaman lada (Suswanto dan Rianto
2014). Petani lada sering menyebut penyakit ini dengan sebutan penyakit
ganggang pirang, mati ranting, penyakit capit udang (Sambas, Kalimantan Barat),
penyakit hawar lembut (Serawak, Malaysia) (Suswanto 2009). Tahun 2004 saat
awal penyakit busuk cabang atau hawar beludru umumnya dijumpai pada kebun
lada yang tidak terawat (Suswanto dan Rianto 2014).
Penyakit busuk cabang Septobasidium sp. pada stadia awal tidak
menunjukan gangguan pada daun atau cabang tetap segar dan hijau, stadia lanjut
bagian tanaman yang terinfeksi, daun atau cabang, akan rontok secara bertahap
sampai tanaman mati (Suswanto 2009). Penyakit busuk cabang lada ditandai
dengan adanya rizomorf/miselium berwarna coklat kemerahan yang menginfeksi

2

pada bagian cabang. Miselium dapat menyebar ke seluruh cabang dan
mengakibatkan kematian jaringan tanaman lada (Suswanto dan Rianto 2014).
Miselium akan membentuk 3 lapisan yaitu lapisan pertama berupa jalinan miselia
yang melekat pada permukaan jaringan tanaman. Lapisan kedua berupa talus yang
tumbuh vertikal seperti pilar sehingga menciptakan ruang antara lapisan bawah
dan atas. Lapisan ketiga berupa jalinan himenium yang terbentuk di bagian ujung
pilar sehingga memberi kesan sebagai atap penutup (dome) (Gomez dan Horovitz
2001; Henk 2005). Perkembangan penyakit akan berlangsung cepat pada saat
musim hujan, sedangkan pada musim kemarau perkembangan penyakit relatif
lambat (Rianto 2014; Rianto et al. 2015).
Kerugian yang disebabkan oleh penyakit busuk cabang lada dapat
menyebabkan batang/cabang mengering sehingga buah tidak berkembang lebih
lanjut. Buah lada yang terserang tidak dapat dijadikan lada putih. Selain itu
serangan pada tandan buah menyebabkan buah keriput. Perkembangan penyakit
yang cepat ini disebabkan oleh faktor tanaman dan lingkungan yang
mendukungnya (Rianto 2014). Sampai sekarang petani lada di Kalimantan Barat
belum menemukan cara pengendalian penyakit busuk cabang lada secara tepat,
baik secara kimiawi maupun pengendalian secara kultur teknis. Banyak petani
mengunakan fungisida yang mengandung belerang (Cu) fungisida tidak mampu
menekan perkembangan penyakit busuk cabang dan mengakibatkan tanaman
menjadi gugur akibat keracunan Cu yang tinggi.
Penggunanan agens pengendali hayati bakteri endofit untuk mengendalikan
penyakit busuk cabang lada belum banyak dilaporakan. Bakteri endofit
Arthrobacter spp., Bacillus megaterium, B. cereus, Enterobacter sp.
Pseudomonas putida, P. aeruginosa, Curtobacterium luteum, Micrococcus spp.,
dan Serratia spp. pada tanaman lada mempunyai kemampuan menekan
pertumbuhan penyakit busuk pangkal batang lada (BPB) yang disebabkan oleh
Phytophthora capsici (Aravind et al. 2009a; Aravind et al. 2009b). Bakteri endofit
dilaporkan mengendalikan penyakit batang dan penyakit akar yang disebabkan
Fusarium oxysporum dan nematoda secara in vitro dan in vivo (Munif dan Harni
2011; Harni dan Munif 2012; Edward et al. 2013). Berdasarkan hasil laporan
tersebut diduga bakteri endofit asal lada dapat menekan pertumbuhan penyakit
busuk cabang Septobasidium sp.
Kado (1992) mendefinisikan bakteri endofit sebagai bakteri yang hidup di
dalam jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan kerugian dan tanaman memperoleh
manfaat atas keberadaannya. Menurut Hallmann et al. (1997), bakteri endofit
dapat diisolasi dari jaringan tanaman yang telah dilakukan sterilisasi permukaan
atau diekstraksi dari dalam tanaman, dan bakteri ini tidak merugikan tanaman.
Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup pada di dalam jaringan tanaman sehat
tanpa menimbulkan gejala penyakit pada inang (Carroll 1991). Kriteria untuk
mengenali bakteri endofit juga telah dipublikasikan oleh Reinhold-Hurek dan
Hurek (1998) yaitu bakteri endofit diisolasi dari jaringan tanaman yang
permukaannya telah disterilisasi dan adanya bukti mikroskopik untuk
memvisualisasikan tanda keberadaan bakteri di dalam jaringan tanaman.
Bakteri endofit dilaporkan berperan sebagai pemacu pertumbuhan (plant
growth promoting bacteria) dan agens hayati (biological control agent) pada
tanaman lada (Harni dan Ibrahim2011; Munif dan Harni 2011; Harni dan Munif
2012). Baberapa bakteri endofit dilaporkan mampu memfiksasi nitrogen (N2),

3

melarutkan fosfor (P), mendegradasi besi (Fe) sebagai siderofor dan mensinteis
fitohormon seperti IAA (Indole-3-aceticacid) (Furnkranz et al. 2009).
Eksplorasi bakteri endofit sebagai agens hayati yang potensial sangat
penting dilakukan. Bakteri endofit sudah banyak dilaporkan sebagai agens
pengendali hayati, meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menginduksi
ketahanan terhadap patogen (Hallmann et al. 1997; Jasim et al. 2013). Belum
banyak laporan penggunaan bakteri endofit untuk mengendalikan penyakit busuk
Septobasidium sp. pada tanaman lada. Sementara itu, penyakit busuk cabang lada
merupakan penyakit penting pada tanaman lada di Kalimantan Barat yang dapat
mengurangi produktivitas tanaman lada sehingga diperlukan menyusun strategi
pengendalian penyakit.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendapatkan bakteri endofit asal lada yang
potensial sebagai agens pengendali hayati penyakit busuk cabang dan sebagai
pemacu pertumbuhan tanaman lada.
Hipotesis
Diduga bakteri endofit mampu menekan dan mengendalikan penyakit busuk
cabang pada lada, dapat memacu pertumbuhan tanaman dan memacu ketahanan
tanaman lada secara in vitro dan in vivo.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber informasi
mengenai potensi bakteri endofit asal tanaman lada sebagai agens pengendali
penyakit busuk cabang, agens pemacu pertumbuhan dan agens pamacu ketahanan
tanaman lada.
Ruang Lingkup Penelitian
Upaya yang dilakukan dalam mencapai tujuan adalah: (1) melakukan
eksprolasi bakteri endofit hal ini dilakukan untuk mendapatkan isolat bakteri
endofit non-patogenik dan isolat bakteri potensial. (2) Melakukan uji kemampuan
isolat bakteri endofit hal ini dilakukan untuk mendapatkan isolat bakteri endofit
yang efektif dalam mengendalikan penyakit busuk cabang Septobasidium sp.
(Gambar 1).

4

Eksprolasi bakteri endofit

1.
2.
3.
4.

Isolasi bakteri endofit
Uji patogenisitas
Karakteristik bakteri endofit
Uji antibiosis bakteri endofit

Uji kemampuan bakteri endofit

1.
2.
3.

Hasil :
1. Isolat bakteri endofit non-patogenik
2. Isolat bakteri potensial

Uji daya hambat secara langsung dan
tidak langsung terhadap patogen
Uji ketahanan tanaman dan pemacu
pertumbuhan tanaman
Produksi elisitor dan evaluasi terhadap
aktivitas peroksidase

Hasil :
1. Bakteri efektif dalam mengendalikan
patogen
2. Bakteri sebagai pemacu pertumbuhan
tanaman

Gambar 1 Diagram alir penelitian “Potensi bakteri endofit untuk mengendalikan
penyakit busuk cabang (Septobasidium sp.) pada lada”

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Busuk Cabang Lada
Penyakit busuk cabang lada merupakan penyakit yang menimbulkan
kerugian besar pada tanaman lada di Kalimantan Barat. Penyakit busuk cabang
lada dapat menyerang semua stadia tanaman lada baik tanaman menghasilkan dan
tanaman belum menghasilkan atau saat masa pembibitan. Penyebab penyakit ini
adalah Septobasidum sp. dengan tanda penyakit di lapangan pada tanaman sakit
berupa lapisan miselium yang menyelimuti bagian batang, cabang, daun maupun
buah lada (Gambar 2). Infeksi patogen lebih sering terjadi pada ruas batang (node)
yang menghasilkan akar samping (sulur panjat) dibandingkan dengan batang
tanpa akar samping (Suswanto 2009).

A
B
Gambar 2 Gejala dan tanda penyakit busuk cabang Septobasidium sp. pada lada.
A, Miselium Septobasidium sp. sudah membungkus pada cabang;
B, Gejala stadia awal Septobasidium sp. pada ranting.
Perkembangan penyakit busuk cabang Septibasidium sp. akan berlangsung
cepat jika terjadi pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
perkembangan penyakit relatif lambat. Miselium berkembang setelah terjadinya
hujan akan terlihat pertumbuhan rizomorf yang keluar dari himenium yang telah
mengalami keretakan (Rianto et al. 2015).
Miselium membentuk 3 lapis yang terbentuk pada jaringan tanaman disebut
basidiomata. Basidiomata terdiri lapisan pertama berupa jalinan miselia yang
melekat pada permukaan jaringan tanaman yang berwarna coklat kemerahan.
Lapisan kedua berupa talus yang tumbuh vertikal seperti pilar sehingga
menciptakan ruang antara lapisan bawah dan atas. Lapisan ketiga berupa jalinan
himenium yang terbentuk di bagian ujung pilar sehingga memberi kesan sebagai
atap penutup, dimana himenium akan menghasilkan basidium yang berbentuk 4
sekat (Gomez dan Horovitz 2001; Henk 2005; Lu dan Gou 2009). Mekanisme
kematian tanaman akibat infeksi patogen Septobasidum sp. pada lada bersifat
parasit fakultatif yaitu cendawan bertahan dalam kurun waktu lama sebagai
saprofit dan hanya dalam kondisi tertentu bersifat parasitik (Suswanto 2009).
Kalimantan Barat memiliki iklim hujan tropis yang memiliki bulan basah
mencapai 9 bulan dengan ciri utama antara bulan basah dan kering sulit
dibedakan. Kejadian penyakit busuk cabang terutama antara bulan November-

6

Februari yang merupakan periode pertumbuhan miselium Septobasidium sp.
Serangan yang sudah meluas ini berkaitan erat dengan kondisi tanaman dan juga
cuaca yang mendukung perkembangan patogen (Suswanto 2009). Kelembaban
udara juga berperan dalam menentukan infeksi, keparahan dan insidensi penyakit
busuk cabang atau hawar beludru di lapangan dengan 86% kelembaban udara
merupakan kondisi ideal untuk mendukung perkembangan penyakit. Kelembaban
udara di sekitar pohon dipengaruhi oleh angin, penyinaran dan juga suhu. Suhu
selain mempengaruhi perkecambahan spora juga bisa menentukan lama periode
basah. Semakin tinggi suhu akan mengurangi lama periode basah (Rianto 2014).
Septobasidium sp. hidup bersimbiosis dengan serangga kutu sisik Unaspis
sp. meskipun belum diketahui hubungan antara keduanya (Couch 1930).
Septobasidium sp. mampu tumbuh pada kisaran pH 3-6, pertumbuhan optimum
pada pH 5.5, suhu optimum perkembangan miselia Septobasidium sp. pada suhu
30.2oC, viabilitas tubuh buah atau miselium mampu bertahan selama 90 hari saat
di simpan didalam tanah (Rianto 2014).
Septobasidium sp. termasuk dalam divisi: Basidiomycota, kelas:
Pucciniomycetes, ordo: Septobasidiales, famili Septobasidiaceae, genus:
Septobasidium (Alexopoulos dan Mims 1979). Septobasidium sp. yang memiliki
ciri basidium bersekat melintang dan probasidium berdinding tebal sehingga
jamur ini memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi lingkungan ekstrim (Lu
dan Guo 2009). Menurut Gomez dan Horovitz (2001) ciri-ciri morfologi miselium
Septobasidium sp. bersekat warna hialin-kecoklatan, modifikasi miselium berupa
haustorium berbentuk gelendong, miselium akan membentuk probasidium bulatoval dan basidium dengan basidiospora yang dapat bertunas meski masih
menempel pada basidium. Ciri lain miselium Septobasidium sp. tidak membentuk
sel kait (clamp connection). Beberapa spesies telah dilaporkan sebagai patogen
tumbuhan seperti S. pilosum, S. bogoriense, S. theae, S. pseudopedicilatum yang
menyerang mangga, teh, lada dan jeruk (Couch 1930).
Bakteri Endofit sebagai Agens Pengendali Hayati
Bakteri endofit merupakan bakteri yang hidup dalam jaringan tanaman
tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tanaman tersebut dan dapat diisolasi dari
jaringan (Hallmann et al. 1997). Bakteri ini dapat hidup pada bagian tanaman
seperti akar, batang, daun, dan buah dan jaringan tanaman yang dikolonisasi
bakteri endofit memperoleh nutrisi dan perlindungan dari tanaman inangnya
(Bacon dan Hinton 2006).
Bakteri endofit banyak diteliti sebagai agens pengendali hayati penyakit
tanaman. Peranan bakteri endofit pada tanaman sebagai agens pengendali
penyakit telah dilaporakan beberapa peneliti. Aravind et al. (2009a) melaporkan
bahwa aplikasi bakteri endofit Arthrobacter spp., B. megaterium, B. cereus,
Enterobacter sp. P. putida, P. aeruginosa, C. luteum, Micrococcus spp., dan
Serratia spp. meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit busuk pangkal
bantang lada dan penyakit akar. Bakteri endofit tersebut juga dapat
mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh nematoda (Aravind et al. 2009b).
Edward et al. (2013) melaporkan bahwa bakteri endofit yang diisolasi dari akar
tanaman lada mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit yang

7

disebabkan oleh F. oxysporum. Belum ada laporan penggunaan agens hayati
untuk mengendalikan penyakti busuk cabang lada yang disebabkan oleh
Septobasidium sp. Banyak spesies dari bakteri endofit yang bersifat antagonis di
antaranya B. subtilis, Ralstonia solanacearum, P. fluorescens, P. putida,
Agrobacterium radiobacter, A. tumifaciens, Erwinia herbicola, dan Serratia
marcescens (Hallmann et al. 1997).
Bakteri endofit Gram positif dan Gram negatif telah diisolasi dari beberapa
jenis jaringan berbagai jenis tumbuhan. Populasi bakteri endofit melimpah dan
beragam. Bakteri endofit masuk ke dalam jaringan tanaman terutama melalui zona
akar, bagian tanaman, seperti bunga, batang, dan kotiledon. Bakteri endofit dapat
bersifat obligat ataupun fakultatif dalam mengkolonisasi inangnya. Meskipun
bakteri ini memiliki kisaran inang yang luas, namun ada beberapa bakteri endofit
yang hanya dapat berasosiasi dengan inang dari famili tertentu. Simbiosis antara
tanaman dengan bakteri endofit bersifat netral, mutualisme, atau komensialisme
(Bacon dan Hinton 2006).
Bakteri endofit merupakan agens hayati yang banyak dikembangkan saat ini
untuk pengendalian berbagai penyakit tanaman. Bakteri endofit dilaporkan
menghasilkan antibiotik dan enzim pendegradasi yang dapat menghambat
perkembangan patogen secara in vitro (Hallmann 2001; Long et al. 2003;
Sessitsch et al. 2004), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap patogen dengan
menginduksi reaksi ketahanan tanaman (Benhamou et al. 1996; Kloepper dan Ryu
2006; Harish et al. 2008), dan memacu pertumbuhan tanaman (Sessitsch et al.
2004; Sturz et al. 2010).
Bakteri endofit dapat ditemukan di dalam jaringan akar, batang, umbi, daun,
benih, dan buah tanaman (Hallmann et al. 1997). Pada banyak tanaman, akar
mempunyai jumlah endofit lebih banyak dibandingkan dengan jaringan diatas
permukaan (Rosenblueth dan Romero 2004). Kerapatan populasi bakteri endofit
pada akar adalah 105, batang 104, dan daun sekitar 103 cfu g-1 (Hallmann et al.
1997). Bakteri endofit umumnya berada dalam ruang interseluler dan pembuluh
xilem (Reinhold-Hurek dan Hurek 1998). Compant et al. (2005) melaporkan
bahwa strain Bulkholderia sp. ditemukan dalam pembuluh xilem dan ruang
substomatal pada tanaman Vitis vinifera. Belum diketahui apakah pembuluh xilem
hanya sebagai tempat transportasi bakteri endofit ke bagian lain dari jaringan
tanaman atau melakukan perbanyakan diri dalam pembuluh xilem (Hallmann et
al. 1997).
Mekanisme bakteri endofit sebagai agens pengendali hayati di antaranya
memproduksi bahan campuran antimikrob, kompetisi ruang dan nutrisi, kompetisi
mikronutrisi seperti zat besi dan produksi siderofor sehingga tanaman inang
menjadi resisten (Bacon dan Hinton 2006). Disamping itu, beberapa bakteri
endofit juga menghasilkan senyawa antibiotik seperti phenazines, pyrolnitrin,
pycocyanin, phloroglucianol dan enzim ekstraseluler serta asam pseudomonat.
Keanekaragaman spesies bakteri endofit merefleksikan banyaknya mekanisme
yang mungkin terjadi untuk melawan patogen, yang memungkinkan patogen
memproduksi senyawa antibiotik untuk melawan bakteri endofit tersebut
(Hallmann dan Breg 2006).
Enzim ekstraseluler yang dihasilkan bakteri endofit di antaranya adalah
kitinase, protease, dan selulase. Enzim kitinase merupakan enzim penting yang
dihasilkan oleh bakteri antagonis untuk mengendalikan patogen tular tanah,

8

karena enzim ini dapat mendegradasi dinding sel patogen yang terdiri atas kitin
seperti dinding sel cendawan, nematoda, dan serangga. Enzim protease yang
dihasilkan oleh bakteri selain berperan dalam mendegradasi dinding sel patogen,
juga digunakan untuk melakukan penetrasi secara aktif ke dalam jaringan
tanaman. Benhamou et al. (1996) melaporkan enzim selulase dan pektinase yang
dihasilkan P. fluorescens dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk
mengkolonisasi daerah interseluler jaringan korteks akar, sehingga terjadi
penghambatan invasi patogen. Supramana et al. (2008) menyatakan bahwa P.
putida dapat menekan perkembangan penyakit tanaman dengan persaingan ruang
dan nutrisi (unsur karbon), merangsang pertumbuhan tanaman dan menginduksi
ketahanan tanaman. Huili et al. (2009) melaporkan bahwa Bacillus sp. strain
CHM1 dapat menghambat pertumbuhan miselium F. oxysporum dan Rhizoctonia
solani dalam uji in vitro. Satu agens biokontrol mungkin memiliki lebih dari satu
mekanisme.
Keberhasilan pengembangan agens hayati untuk mengendalikan patogen
tanaman adalah tergantung dalam pemilihan jenis dan sumber agens hayati yang
akan dikembangkan. Pada umumnya jenis agens hayati yang dikembangkan
adalah mikrob alami, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, air dan
bahan organik, maupun yang hidup di dalam jaringan tanaman (endofit) yang
bersifat menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi
dengan patogen sasaran, atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman. Tahap
pertama dalam pengembangan agens hayati adalah seleksi agens hayati nonpatogen. Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agens hayati dari populasi
alaminya, seperti kelompok mikrob saprofit atau non patogen dari tanah atau dari
bagian tanaman (Baker dan Cook 2007).
Bakteri endofit mengolonisasi relung hidup yang sama dengan patogen
tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada inangnya (Sigee 1993). Bakteri ini
dapat berperan sebagai agens pengendali hayati jika bakteri endofit telah
berasosiasi dengan tanaman sebelum patogen menyerang tanaman tersebut (Bacon
dan Hinton 2006). Cara kerja bakteri endofit sebagai agens pengendali hayati
antara lain memproduksi bahan campuran antimikrob, kompetisi ruang dan
nutrisi, kompetisi mikro nutrisi seperti zat besi dan produksi siderofor, serta dapat
menyebabkan tanaman inang menjadi resisten (van Loon 1997).
Keanekaragaman spesies bakteri endofit merefleksikan banyaknya cara
kerja yang mungkin terjadi untuk melawan patogen, yang memungkinkan patogen
memproduksi senyawa antibiotik untuk melawan bakteri endofit tersebut (Bacon
dan Hinton 2006). Selain sebagai agens pengendali hayati, hampir semua spesies
bakteri endofit juga dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman,
terutama menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auksin dan sitokinin.
Bakteri ini juga dapat meningkatkan kandungan zat besi dalam tanah, fosfor dan
nitrogen bagi tanaman (Suzuki et al. 2003). Menurut Bacon dan Hinton (2006)
efek dari pertumbuhan tanaman tidak terjadi secara langsung. Jika ada patogen
yang menyerang tanaman, bakteri endofit lebih fokus untuk mengendalikan
penyakit dari pada memacu pertumbuhan. Mekanisme kerja seperti ini juga terjadi
jika terjadi tekanan abiotik pada tanaman seperti saat musim kering atau musim
dingin. Bakteri endofit secara tidak langsung dapat memacu pertumbuhan
tanaman dengan menambah jumlah produksi fitohormon dan ketersediaan
mineral.

9

Beberapa bakteri endofit dilaporkan mampu sebagai agens pengendali
hayati penyakit tanaman. Wei et al. (1991) melaporkan bahwa P. fluorescens
strain 68-4 yang diaplikasikan pada benih mentimun mampu mengolonisasi
bagian dalam jaringan tanaman dan meningkatkan ketahanan secara sistemik
terhadap penyakit antraknosa. Bakteri S. marcescens 90-166 dilaporkan dapat
menghasilkan asam salisilat yang digunakan untuk menginduksi ketahanan secara
sistemik pada tanaman tembakau yang diinfeksi oleh P. syringae pv. tabaci (Press
et al. 1997).
Bakteri Endofit sebagai Agens Penginduksi Ketahanan Tanaman
Induksi ketahanan tanaman adalah fenomena terjadinya peningkatan
ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen akibat rangsangan. Ketahanan ini
merupakan perlindungan tanaman yang didasari pada mekanisme ketahanan yang
dirangsang oleh perubahan metabolik. Induksi ketahanan tanaman terhadap
nematoda dapat melalui peningkatan asam salisilat, peroksidase, fitoaleksin,
pathogenesis related protein (PR) dan senyawa fenolik (Tian et al. 2007).
Mekanisme pengendalian yang lain adalah kompetisi tempat dan makanan dengan
patogen (Sikora et al. 2007).
Tanaman mempertahankan diri terhadap infeksi patogen dalam bentuk
struktur anatomis dan sistem fisiologis yang diaktifkan oleh suatu sinyal (induksi
ketahanan). Pertahanan dalam bentuk sistem fisiologis ini bersifat laten dan hanya
terjadi apabila ada penginduksi yang tepat (van Loon 1997), seperti infeksi
patogen non kompatibel atau terserapnya senyawa bioaktif (Sequeira et al. 1977).
Induksi ketahanan tanaman merupakan aktivitas pertahanan tanaman untuk
melindungi diri dari patogen atau hama melalui pengaktifan mekanisme ketahanan
tanaman (Ouchi 1983). Mekanisme pertahanan tanaman terjadi akibat perlakuan
agens penginduksi ketahanan dan infeksi challenge. Agens penginduksi akan
diterima dan dikenali oleh reseptor tanaman yang berada diluar dan/atau pada
membran sel. Agens penginduksi ketahanan bisa berperan sebagai sinyal itu
sendiri atau hanya memacu sintesis sinyal tertentu yang ditransduksikan ke bagian
tanaman lain. Sinyal tersebut diproduksi di satu bagian tanaman dan berperan di
bagian lain. Transduksi sinyal dapat ditransfer secara intraseluler dan interseluler
sehingga menyebabkan perlindungan sistemik. Beberapa sinyal yang terlibat
dalam induksi ketahanan adalah asam salisilat (SA), asam jasmonat, sistemin, 2,6
dichloro-isonicotinic (Steiner dan Schönbeck 1995).
Pengaktifan reaksi ketahanan ditandai dengan adanya perubahan aktivitas
gen tanaman yang diindikasikan oleh suatu metilasi DNA genom setelah aplikasi
agens penginduksi tertentu. Dalam ketahanan terinduksi terjadi peningkatan
aktivitas enzim dalam lintasan produksi metabolit tertentu seperti kitinase, β-1,3glukanase, peroksidase dan pathogenesis related (PR). Sintesis protein-protein ini
tampaknya diregulasi pada level mRNA (Park dan Kloepper 2000).
Hoffland et al. (1996) mengemukakan bahwa induksi ketahanan tanaman
oleh bakteri non-patogenik umumnya tidak menimbulkan kematian sel
(hypersensitivity atau programmed cell death). Dampak fenotipik yang teramati
berupa induksi ketahanan secara sistemik (induced systemic resistance atau ISR).
ISR ditujukan pada penekanan perkembangan penyakit tanpa adanya hubungan

10

langsung antara bakteri penginduksi dengan patogen pada tempat infeksi. Menurut
Sticher et al. (1997), beberapa hal yang membedakan antara mekanisme ISR
dengan antagonisme, antara lain: tidak ada pengaruh toksik dari stimulan terhadap
patogen, sifat induksi ketahanan menurun bila inhibitor (aktinomisin D)
diaplikasikan, dan tidak ada korelasi dengan produksi metabolit toksik dari
stimulan.
Mulya et al. (1996) melaporkan adanya kelompok bakteri yang mempunyai
habitat pada rizosfer tanaman atau disebut dengan rizobakteri yang dapat
mengolonisasi jaringan dan menginduksi ketahanan tanaman. Bakteri P.
fluorescens PfG32R dapat hidup dalam jaringan daun tembakau dan menginduksi
aktivitas enzim fenilalanin amoniliase. Kemampuan hidup dan menginduksi
enzim tersebut diduga ada kaitannya dengan keberadaan gen yang memiliki
homologi dengan gen asal patogen yang mengode hipersensitivitas
danpatogenesitas, yaitu gen hrp. Rizobakteri diaplikasikan melalui pencampuran
dengan tanah steril, perendaman akar bibit tanaman atau pelapisan biji (Kloeper
dan Ryu 2006).
Faktor-faktor yang menentukan induksi ketahanan oleh rizobakteri meliputi
produksi asam salisilat, siderofor, dan lipopolisakarida (LPS). Asam salisilat salah
satu faktor penentu dalam induksi ketahanan tanaman tembakau terhadap tobacco
mosaik virus (TMV) atau ketahanan kacang buncis terhadap Botrytis cinerea
(Sticher et al. 1997).
Lui et al (1995) menyatakan bahwa sebagai model analisis mekanisme
induksi ketahanan tanaman sebagai agens pengendalian hayati dapat dilakukan
dengan menyiramkan bakteri atau campuran bakteri ke tanah steril, pencelupan
bakteri pada akar bibit tanaman, perendaman benih (coating) dengan suspensi
bakteri sebelum disemaikan dan kemudian tanaman diinfeksi dengan patogen.
Induksi ketahanan pada tanaman dapat diamati melalui indikator-indikator
terjadinya proses induksi tersebut, seperti aktivitas enzim-enzim yang
berhubungan dengan ketahanan tanaman dan senyawa-senyawa yang dapat
berperan sebagai elicitor induksi ketahanan tanaman.
Bakteri Endofit sebagai Agens Pemacu Pertumbuhan Tanaman
Bakteri endofit dilaporkan juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman
(plant growth-promoting). Bakteri endofit yang mengolonisasi jaringan internal
tanaman terlindungi dari stres lingkungan dan kompetisi dengan mikrob lain
(Hallmann et al. 1997). Backman dan Sikora (2008) melaporkan bahwa
keberadaan bakteri endofit di dalam jaringan tanaman selain berperan dalam
perbaikan pertumbuhan tanaman (plant growth promotion), juga karena
kemampuannya menghasilkan zat pemacu tumbuh, memfiksasi nitrogen,
memobilisasi fosfat, dan berperan dalam kesehatan tanaman (plant health
promotion).
Bakteri endofit juga dilaporkan berperan sebagai pemacu pertumbuhan
(plant growth promoting bacteria) dan agens pengendali hayati (biological
control agent) melalui mekanisme langsung dan tidak langsung (direct and
indirect mechanisms) sebagai penyuplai nutrisi pada tanaman seperti fiksasi
nitrogen (N2) melarutkan fosfor (P) mendegradasi besi (Fe) sebagai siderofor.

11

Selain itu juga bakteri dapat mensintesis fitohormon seperti Indole-3-aceticacid
(IAA), sitokinin dan menurunkan level etilen pada tanaman (Furnkranz et al.
2009).
Bakteri endofit juga dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman
seperti kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) yang dapat
meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap serangan hama dan patogen
(Ramamoorthy et al. 2001; Ryan et al. 2007). Hal ini dimungkinkan karena
beberapa PGPR dapat masuk ke bagian dalam dari akar tanaman dan berasosiasi
dengan bakteri endofit (Kloepper dan Ryu 2006). Beberapa bakteri endofit
dilaporkan mampu sebagai agens pengendalian hayati penyakit tanaman. S.
marcescens 90-166 dilaporkan dapat menghasilkan asam salisilat yang digunakan
untuk menginduksi ketahanan secara sistemik pada tanaman tembakau yang
diinfeksi oleh P. syringae pv. tabaci (Press et al. 1997). Dasteger et al. (2011)
menyatakan bahwa bakteri endofit dari tanaman lada seperti S. nematodiphla
dapat memacu pertumbuhan tanaman lada. Jasim et al. (2013) melaporkan bakteri
endofit dari tanaman lada Klebsiella sp. (PnB 10) dan Enterobacter sp. (PnB 11)
mampu memacu pertumbuhan tanaman lada.
Ting et al. (2008) melaporkan bahwa isolat bakteri endofit Serratia
UPM39B3 dan cendawan endofit F. oxysporum UPM31P1 mampu meningkatkan
pertumbuhan bibit pisang. Kemampuan PGPR untuk menjadi endofit dalam
tanaman inangnya menjadi indikasi bahwa secara alami endofit mampu
menginduksi respon ketahanan tanaman sama seperti induksi oleh PGPR.
Kelebihan lain dari PGPR di antaranya: menambah fiksasi nitrogen di tanaman
kacang-kacangan; memacu pertumbuhan bakteri fiksasi nitrogen bebas;
meningkatkan ketersediaan nutrisi lain seperti fosfat, belerang, besi dan tembaga;
memproduksi hormon tanaman; menambah bakteri dan cendawan yang
menguntungkan, mengontrol hama dan penyakit tumbuhan dengan memproduksi
siderofor, kitinase, selulase, antibiotik, sianida (Soesanto 2008). Bakteri endofit
memacu pertumbuhan tanaman melalui sejumlah mekanisme, yaitu: aktivitas
pelarutan fosfat, produksi auksin dan produksi siderofor (Verma et al. 2001; Lee
et al. 2004; Ryan et al. 2008).

12

3 METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2013 sampai bulan April 2015
di Laboratorium Mikologi, Laboratorium Nematologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Penyakit Tanaman
Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak, dan Laboratorium Biologi
& Kesehatan Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor, serta kebun petani di
Kecamatan Galing Kabupaten Sambas.
Pengambilan Tanaman Contoh
Tanaman contoh sebagai sumber bakteri endofit diambil dari sentra tanaman
lada di Kabupaten Sambas. Tanaman contoh diambil adalah tanaman yang sehat
tidak tampak gejala dan tanda penyakit, hal ini mengindikasikan adanya
mekanisme bakteri endofit di dalam jaringan tanaman. Tanaman sehat dipilih dari
tanaman sehat (tidak bergejala) di antara tanaman sehat, tanaman sehat di antara
tanaman sakit (bergejala) dan tanaman lada hutan. Tanaman tersebut masingmasing diambil pada bagian akar, cabang dan daun.
Isolasi Septobasidium sp.
Isolat Septobasidium sp. diperoleh dari koleksi Laboratorium Penyakit
Tanaman Fakutas Pertanian Universitas Tanjungpura Pontianak. Isolat
Septobasidium sp. diperbanyak di media kentang dexstrose agar (1000 mL,
akuades, 20 g agar, 20 g dexstrose).
Eksplorasi Bakteri Endofit pada Lada
Bakteri endofit diisolasi dari akar, batang dan cabang lada. Metode isolasi
adalah dengan teknik sterilisasi permukaan mengikuti metode dari Edward et al.
(2013). Bagian-bagian tanaman lada disterilisasi permukaan secara berurutan
dengan cara bagian tanaman direndam di dalam NaOCl 3% selama 3 menit, lalu
direndam dengan alkohol 70% selama 1 menit, dan kemudian dicuci sebanyak 3
kali dengan akuades steril. Keefektifan sterilisasi permukaan dapat dilihat dengan
cara membiakkan 100 µL akuades bekas pencucian akar yang ketiga pada media
TSA 50% dan diinkubasi pada suhu ruang selama 24-48 jam.
Kontrol dari sterilisasi permukaan, maka air pencucian 0.5 mL ditumbuhkan
pada media TSA jika menunjukkan adanya pertumbuhan mikrob maka tidak dapat
digunakan, sehingga dilakukan sterilisasi ulang sampai mendapatkan hasil
sterilisasi permukaan yang bersih. Bagian tananam yang sudah disterilisasi
permukaan dihaluskan menggunakan mortar steril. Potongan contoh (akar,
cabang, dan daun) yang sudah halus dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang

13

bersisi 45 mL akuades steril, kemudian dilakukan pengenceran secara berseri
sampai 10-3. Sebanyak 100 µL dari pengenceran 10-1-10-3 diinokulasikan pada
media TSA 50%, kemudian masing-masing pengenceran diinokulasikan pada 3
cawan petri.
Pengamatan terhadap pertumbuhan bakteri endofit dilakukan setelah masa
inkubasi 24-48 jam. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah koloni bakteri yang
tumbuh dan tipe morfologi koloni (Cappucino dan Sherman 2013). Tipe
morfologi koloni bakteri yang diamati yaitu: warna koloni, bentuk koloni
(circular, irreguler, filamentous, rizoid), Elavasi (risaid, canvax, Flat, umbulate,
craterifom), tepian koloni (entri, undelate, filiform, curled, lobate). Masingmasing koloni menunjukkan perbedaan morfologi dimurnikan kembali pada
media TSA 100%. Isolat yang telah dimurnikan diuji patogenisitas.
Isolat-isolat bakteri endofit dari satu tanaman contoh yang didapat kemudian
dikelompokkan menjadi satu contoh, kemudian dihitung frekuensi kemunculan
isolat dalam masing-masing komunitas untuk menentukan isolat yang dominan
frekuensi kemunculan isolat bakteri ditentukan berdasarkan jumlah koloni tunggal
isolat bakteri pada media isolasi, yang menggunakan rumus :

Fi (x) = Frekuensi isolat (ke-i) dalam komounitas (x)
Ni (x) = Jumlah koloni isolat (ke-i) dalam komunitas (x)
N
= Jumlah total koloni dalam komunitas (x)
Indeks keanekaragaman dianalisis berdasarkan Krebs (1978)
H’ = -Σ Pi ln Pi
Keterangan: H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jumlah individu di bandingkan jumlah seluruh habitat.

Uji Reaksi Hipersensitif (HR)
Uji reaksi hipersensitif dilakukan untuk mengetahui patogenisitas bakteri
endofit berdasarkan reaksi pertahanan tanaman yang diwujudkan dalam gejala
reaksi hipersensitivitas pada tanaman tembakau (Zou et al. 2006). Isolat bakteri
endofit dibiakkan pada 5 ml media TSB 100% kemudian digoyang selama 48 jam.
Suspensi bakteri endofit diambil sebanyak 2 ml dengan menggunakan syringe
steril dan diinjeksikan pada permukaan bawah daun tembakau. Pengamatan hasil
uji dilakukan pada 24-48 jam setelah injeksi. Reaksi yang positif terhadap bakteri
yang bersifat patogenik ditunjukkan dengan adanya bercak nekrosis hipersensitif
pada bagian daun yang diinjeksikan, sedangkan bagian daun yang tetap berwarna
hijau (tidak menunjukkan gejala nekrosis) menunjukkan reaksi yang negatif
(bakteri non patogenik). Isolat bakteri endofit yang non patogenik digunakan
untuk uji selanjutnya dan disimpan dalam akuades steril, dan akuades ditambah
griserol 20%.

14

Karakterisasi Fisiologi Bakteri Endofit
Karakterisasi fisiologis dilakukan terhadap isolat bakteri endofit yang
menunjukkan potensi pengendalian terhadap penyakit busuk cabang dan pem