pekerjaan yang dikatakan sampingan tersebut dalam arti di luar usaha tani ternyata merupakan pekerjaan pokoknya.
ii Tanaman yang diproduksi adalah tanaman yang  tidak  beresiko tinggi artinya teknologinya dapat dikuasai serta  secara ekonomi menguntungkan. Serta yang menjadi
pertimbangan lain adalah, petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan iii Motif berusaha adalah  mencari keuntungan, yang dilakukan  dengan
mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan  dijual untuk mendapatkan uang tunai iv Petani adalah bagian dari sistem politik yang lebih besar, yang ditunjukkan
dengan adanya  partai-partai politik yang berpengaruh juga terhadap kepemimpinan di desa v Petani subsisten secara mutlak tidak ada tetapi petani mempunyai hubungan
yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri petani Indonesia saat ini berbeda dengan ciri-ciri petani menurut Shanin ataupun Wolf. Yang membedakan antara lain: i
Mengusahakan lahan yang sempit ii Produk yang dihasilkan  cenderung untuk kebutuhan pasar, dengan tujuan  dijual dan hasil penjualannya  digunakan untuk
memenuhi   kebutuhan pokoknya. iii Penerapan teknologi modern sudah dilakukan didalam usaha taninya panca usaha tani iv Berpenghasilan ganda tidak selalu
menggantungkan sumber nafkahnya disektor ekonomi saja. v Fungsi lahan pertanian lebih sebagai  penenang ekonomi
6
mereka  dan bukan sebagai  sumber ekonomi satu- satunya sebagaimana yang dicirikan Shanin 1971
2.2 Penguasaan lahan.
Masalah penguasaan lahan di pedesaan merupakan  masalah yang rumit, karena ia menyangkut berbagai aspek seperti: ekonomi, demografi, hukum politik dan sosial.
Pandangan ekonomi melihat tanah sebagai  faktor produksi. Tetapi karena faktor
6
Penenang disini  diartikan  lebih sebagai cadangan harapan akhir ketika usaha disektor lain diluar usaha tani tidak menghasilkan.
produksi yang  berupa tanah itu makin lama makin merupakan barang yang langka, maka  perbandingan  jumlah  manusia dengan luas lahan pertanian menjadi semakin
timpang. Disitulah masuk sudut  pandang demografi. Sedangkan pandangan  hukum lebih melihat pola hak dan  kewajiban para  pemakai tanah dalam kerangka formal dan
nonformal yang  mengatur segala aktivitas ekonomi yang ada hubungannnya  dengan tanah. Untuk memungkinkan  agar segala  peraturan ditaati oleh  semua  warga
masyarakat, diperlukan adanya aparatur organisasi yang dapat memaksakan peraturan itu. artinya diperlukan adanya penguasa. Maka disinilah terkait sudut pandang politik.
Ke  empat sudut pandang  ini merupakan simpul-simpul yang penting dalam melihat penguasaan lahan dan melalui simpul-simpul itulah masyarakat dapat dipetakan
bagaimana susunan lapisannya.  Maka  terkaitlah sudut pandang sosiologis. Hubungan penguasaan lahan bukan saja  menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia.
Dalam kaitannya  hubungan antara  manusia dengan tanah sebagai benda, hanya mempunyai arti jika hubungan itu merupakan hubungan aktivitas. Dalam hal ini
aktivitas itu adalah penggarapan dan pengusahaannya. Misalnya jika seseorang memiliki sebidang tanah tertentu, ini  mengandung implikasi bahwa orang lain tidak
boleh  memilikinya, atau  boleh menggarapnya  dengan syarat-syarat tertentu. Implikasi
selanjutnya ialah bahwa hal itu mencakup hubungan   antara   pemilik dan buruhnya, antara  sesama buruh tani dan antara  orang-orang yang langsung atau tidak langsung
terlibat dalam proses produksi di  mana tanah merupakan salah satu faktornya Wiradi,1984. Selanjutnya Wiradi juga menegaskan bahwa, masalah tanah pa da
hakekatnya adalah menyangkut masalah pembagiannya, penyebarannya atau distribusinya, yang pada  gilirannya menyangkut hubungan kerja dalam  proses
produksi.
Masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah, dalam undang-undang pokok agraria UUPA 1960 diatur juga dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang
menyebutkan bahwa : adanya macam-macam hak atas  permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan  kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang-orang la in  serta badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan  tanah yang bersangkutan demikian  pula
tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan  untuk kepentingan  yang langsung berhubungan  dengan  penggunaan tanah,  dalam batas-batas
menurut undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi pasal 4 UUPA 1960.
Selanjutnya  pasal 16 ayat 1 UUPA 1960, dijelaskan macam-macam hak atas tanah yang  meliputi : a Hak milik; b Hak guna usaha ; c Hak guna ba ngunan; d
Hak pakai; e Hak sewa; f Hak membuka tanah; g Hak memungut hasil hutan serta hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan  ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak penguasaan  tanah yang sifatnya sementara , diatur dalam  pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak
gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut
diusahakan hapus dalam  waktu singkat UUPA dalam subekti,1990 Hak milik menurut pasal 20 UUPA adalah  hak turun temurun terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak milik dapat beralih dan dialihka n kepada pihak lain. Hak pakai menurut pasal 41
UUPA 1960 adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dengan perjanjian  dengan  pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa -menyewa atau perjanjian  pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan  dengan  jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya mengenai bagi hasil, pada UU No.2 tahun 1960, tentang perjanjian
bagi hasil dijelaskan bahwa : Perjanjian bagi hasil, ialah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara  pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum
pada lain pihak yang dalam undang-undang disebut penggarap berdasarkan  perjanjian mana penggarap diperkenankan  oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan  usaha
pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
2.3 Pola Nafkah Ganda