Konservasi Lamun 4 Ancaman Kerusakan Lamun

22 tahun 1997 sampai tahun 2005 sebesar 10,8 hatahun, Virnstein dan Lori 2004 menyatakan di Utara Indian River Lagoon Florida, kerusakan lamun dari tahun 1996 sampai tahun 1997 lebih dari 100 ha yang disebabkan oleh melimpahnya makroalga dan tingkat kekeruhan air yang meningkat. Dahuri 2003 menyebutkan bahwa ancaman ekosistem padang lamun saat ini dapat berasal dari: 1 sedimentasi, 2 eutrofikasi, 3 over eksploitasi sumberdaya ekosistem padang lamun, 4 penggunaan alat dan bahan yang dapat merusak habitat dan 5 degradasi fisik habitat lingkungan laut sebagai akibat dari suatu pengerukan. Oleh karena itu dalam mendesain model kerusakan lamun dapat dilakukan melalui dua proses yaitu: 1 lokalisasi gangguan yang bersumber dari jangkar, bom dan peralatan yang tidak ramah lingkungan dan 2 identifikasi sumber kerusakan yang berasal dari proses sedimentasi dan faktor antopogenik lainnya Schultz 2008. Namun demikian kemampuan pulih recovery lamun dapat menjadi dasar dalam mengestimasi biaya untuk program restorasi Karlin et al 2008.

2.5 Konservasi Lamun

Pengelolaan sumberdaya alam hayati di wilayah pesisir dan laut dimulai dari pemahaman tentang aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap komunitas biota laut dan ekosistemnya. Pada sistem ekologi di wilayah pesisir ada tiga ekosistem yang sering terkena dampak aktivitas manusia yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Namun demikian menurut Coles et al 2008 lamun sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam aspek perlindungan baik dari kalangan ilmuan, pemerintah dan masyarakat, sedangkan lamun memiliki fungsi sebagai perangkap sedimen melalui sistem pertumbuhannya dan memperlambat energi gelombang serta arus yang sampai ke pantai. Pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir berkaitan dengan dinamika pembangunan dapat dilakukan dengan pendekatan konservasi melalui mekanisme top down dan bottom up Dearden et al. 2005. Selanjutnya strategi pengelolaan yang dibutuhkan adalah meningkatkan kesadaran semua pihak tentang nilai konservasi lingkungan. Selanjutnya Satria 2009 menyebutkan instrumen penting yang dapat digunakan dalam konservasi sumberdaya laut yaitu: 1 instrumen ekonomi yaitu kompensasi bagi masyarakat yang tergantung pada nilai sumberdaya yang ada di areal konservasi, 2 instrumen hukum, 3 23 instrumen politik yaitu berupa gerakan politik hijau untuk peduli terhadap isu-isu lingkungan, 4 instrumen pendidikan dan 5 instrumen teknis yang meliputi pengembangan teknologi ramah lingkungan. Perlindungan ekosistem padang lamun bertujuan untuk melestarikan lamun dan biota asosiasinya. Perlindungan padang lamun dapat meningkatkan biomassa ikan di suatu wilayah perairan laut Castro et al. 2001. Peningkatan biomassa ikan dengan pendekatan konservasi ekosistem telah dilakukan melalui penataan ruang di wilayah pesisir dengan sistem zonasi DKP 2008. Grumbine 1994 menjelaskan evaluasi status konservasi melalui program monitoring dapat menjadi dasar dalam mengoptimalkan pengelolaan kawasan konservasi. Sukses pengelolaan dapat dimulai dari pemahaman tentang perubahan kondisi lingkungan secara spatial dan temporal yang memiliki pengaruh signifikan pada pertumbuhan dan kesehatan lamun Davis dan Fyfe 2007. Konsep pengelolaan dengan pendekatan konservasi ekosistem sebagai salah satu strategi pengelolaan bertujuan untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya UU No. 5 Tahun 1990. Sedangkan World Conservation Strategy mendefinisikan konservasi adalah sebagai manajemen dalam penggunaan biosfer oleh manusia dan dapat memberi manfaat yang besar untuk keberlanjutan sustainability bagi generasi sekarang dan dapat melakukan pemeliharaan untuk kebutuhan generasi yang akan datang Gilpin 1996. Konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya UU No 37 Tahun 2007. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources IUCN mendefinisikan konservasi atau area perlindungan laut adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora-fauna dan penampakan sejarah serta budaya dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya Pet-Soede et al. 2007. Definisi konservasi di atas makna yang cukup ensensial adalah nilai keberlanjutan dalam pemanfaatan yang bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian, agar dapat digunakan oleh generasi 24 sekarang dan generasi akan datang. Konsep konservasi sebenarnya diawali oleh krisis keanekaragaman hayati yang telah didiskusikan oleh para ahli ekologi sejak tahun 30 an dan 40 an. Saat ini konservasi bukan saja bagian dari kajian akademik, tetapi sudah dibicarakan sebagai suatu kebijakan khususnya dalam perencanaan pengelolaan pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone Management Haes at al 1996. Selanjutnya dijelaskan hal mendasar yang menjadi fokus dalam konservasi ekosistem adalah perlindungan habitat dapat diintegrasikan dalam proses perencanaan serta legalisasi sebagai panduan dalam pelaksanaan pengelolaan. Indonesia memiliki perhatian yang cukup besar dalam perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan yang berhubungan secara langsung dengan perlindungan keanekaragaman hayati seperti UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No 32 tahun 2009 tentang Pengetolaan Lingkungan Hidup, UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No 37 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, peraturan pemerintah yaitu PP No.60 tahun 2007 yang mengatur secara detil tentang penyelenggaraan Konservasi Sumberdaya Ikan DKP 2008. Penerapan konsep konservasi untuk keberlanjutan sumnberdaya ikan dan ekosistemnya dilaksanakan dalam bentuk kawasan konservasi perairan yang bertujuan untuk: 1 perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2 pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan 3 pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya DKP 2008. Selanjutnya Thom et al. 2001 menjelaskan pemilihan indikator dalam desain konservasi secara konseptual adalah merupakan faktor kunci untuk memahami perubahan pada struktur dan fungsi ekosistem. Selanjutnya dijelaskan indikator dari kriteria yang telah dipilih dapat menjadi alat yang efektif untuk melakukan monitoring dan evaluasi keberlanjutan kawasan konservasi. Pada perspektif global perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem dilaksankan dengan pendekatan Marine Protected Area MPA. Ehler et al 2004 menjelaskan tentang perinsip dasar dari MPA adalah: a. Memperkuat keterkaitan antara MPA melalui: 1 konektivitas antara MPA dengan sekitar wilayah pesisir dan laut, 2 menyediakan pengetahuan dan informasi yang baik dan 3 manfaat dan kegunaan, 25 b Menyusun dan mengembangkan model kebijakan MPA dalam kerangka kerja secara lebih luas untuk diintegrasikan di dalam pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan laut melalui: 1 mengintegrasikan penguatan secara vertikal dan horizontal, 2 MPA menjadi bagian dari pengelolaan terpadu wilayah pesisir dan laut dan 3 perencanaan partisipatif untuk desain MPA c. Mengembangkan pelaksanaan MPA melalui peningkatan kebijakan dan manajemen melalui: 1 peningkatan kapasitas dan sumber daya, 2 penilaian terhadap efektifitas dari pengelolaan dan 3 jaringan kerja networks dari MPA Konservasi melalui pendekatan MPA yang telah berhasail sebagai alat dalam pengelolaaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu adalah: 1. MPA di Laut Merah Mesir yang cukup efektif sebagai alat untuk pengelolaan pesisir dan Laut secara terpadu. 2. Florida Keys National Marine Sanctuary FKNMS, manajemen MPA dapat menyediakan informasi dan pengetahuan yang cukup baik bagi masyarakat, di Tanzania, melalui partisipasi masyarakat dan pendekatan terpadu sukses dalam meningkatkan kapasitas dan manfaat dari MPA, 3. Filipina manajemen MPA berhasil dengan pendekatan penguatan hubungan vertikal dan horizontal antar stakeholder melalui inisiatif pengelolaan pesisir secara luas dan MPA dapat sebagai alat untuk pengelolaan pesisir terpadu. MPA dilihat dari bentuknya terdiri dari: 1 wilayah tertutup closed areas adalah wilayah yang tertutup untuk pengambilan ikan, dimana tujuannya adalah untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan, 2 wilayah penelitian dan monitoring adalah suatu wilayah yang dilindungi untuk dikelola sebagai daerah penelitian atau evaluasi kondisi lingkungan dan laboratorium alam, 3 wilayah laut yang sensitif, 4 Taman Nasional Laut, 5 perlindungan laut secara regional atau ekosistem yang besar dan 6 pengelolaan terpadu Agardy 1997. Selanjutnya IUCN in Wescott et al. 2008 membagi kategori MPA dalam beberapa bentuk yaitu: 1. Strict Nature Reserve Ia yaitu perlindungan suatu kawasan dan sebagian besar dikelola untuk kepentingan ilmu pengetahuan. 2. Wilderness area Ib adalah mengelola suatu kawasan utama untuk perlindungan, II National Park atau Taman Nasional adalah untuk konservasi ekosistem dan rekreasi, III Natural Monumen adalah untuk mengelola suatu kawasan untuk konservasi alam yang memiliki keistimewaan, IV Manajemen 26 habitat dan spesies adalah perlindungan suatu kawasan untuk konservasi melalui pengelolaan yang diintervensi, V Protected LandscapeSeascape adalah perlindungan dengan pengelolaan utama untuk konservasi landscape dan rekreasi dan VI Managed Resources Protected Area adalah perlindungan untuk pengelolaan keberlanjutan penggunaan dari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Konservasi sebagai strategi perlindungan habitat untuk menjamin keberlanjutan fungsi secara ekologi Frid et al. 2006. Dalam hal ini Gladstone 2007 menyebutkan tentang kriteria-kriteria yang diperlukan dalam desain MPA yaitu: 1 keterwakilan representativeness, 2 kekayaan spesies richness species, 3 nilai ancaman dari spesies, 4 tingkat konektivitas, 5 tidak dapat diganti irrepaceability dan 6 ukuran populasi. Esensi dari definisi konservasi serta bentuk dan tujuan perlindungan yang telah disebutkan di atas sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, pelaksanaan konservasi perairan dapat dilakukan dalam bentuk: 1 Taman Nasional Perairan, 2 Suaka Alam Perairan, 3 Taman Wisata Perairan dan 4 Suaka perikanan, sedangkan sistem pengelolaannya menggunakan pendekatan zonasi yang meliputi : 1 zona inti, 2 zona perikanan berkelanjutan. 3 zona pemanfaatan dan 4 zona lainnya. Konservasi Sumberdaya Ikan KSDI adalah: 1 menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, 2 melindungi alur migrasi ikan dan biota lain, 3 melindungi habitat dan biota laut, dan 4 melindungi situs budaya tradisional DKP 2008. Selanjutnya Jelbart et al. 2008 menyebutkan tentang luas areal untuk perencanaan perlindungan areal pesisir dan laut, khusus untuk areal yang tidak di manfaatkan secara langsung no-take sanctuary zone adalah 10 – 30 . Beberapa hal yang cukup penting tentang keberadaan padang lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan seperti yang dinyatakan oleh Hal et al. 2001 menyebutkan asosiasi ikan dengan padang lamun pada beberapa ukuran merupakan informasi yang cukup penting untuk desain program restorasi lamun dan Castro et al 2001 menjelaskan desain zonasi pemanfaatan padang lamun dapat membantu dalam membuat keputusan tentang strategi monitoring dan evaluasi terhadap keberlanjutan padang lamun dan biota lainnya. Morfologi lamun yang dapat dijadikan indikator perubahan kondisi lingkungan secara ekologi adalah: lebar daun, panjang daun, jumlah daun, biomassa, kepadatan dan Leaf Area Index Durako and John 2004. Kelimpahan 27 lamun dan kondisi lingkungan seperti topografi, nutrient dan komposisi sedimen dapat menjadi dasar dalam investigasi interaksi antar spesies pada skala temporal di padang lamun daerah tropis Izumi dan Mashiro 2000. Indikator ekologi dari struktur dan komposisi ekosistem dapat digunakan untuk melakukan monitoring dan penilaian pada areal konservasi Beyeler dan Dale 2001. Selanjutnya kepadatan, panjang daun dan pencemaran daun leaf fouling dapat digunakan untuk melihat kemampuan lamun untuk pulih dari suatu kondisi lingkungan Davis dan Fyfe 2007. Adapun indikator ekologi dalam desaian konservasi lamun seperti pada Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 Indikator ekologi dalam desain konservasi. Struktur Proses Indikator Organisme Pencemaran lingkungan, mutagenesis Jumlah parasit dan, kelainan bentuk secara fisik Spesies Batas penyebaran dan kepunahan Ukuran dan jumlah populasi Populasi Perubahan kelimpahan atau kepunahan Umur atau ukuran struktur penyebaran Ekosistem Kompetisi dan aliran energi Kekayaan spesies, keanekaragaman dan jumlah tingkat tropik Landscape Gangguan dan suksesi Fragmentasi, distribusi secara spatial dari komunitas dan habitat Sumber : Karr 1981 in Beyeler dan Dale 2001 Indikator ekologi di atas dalam desain konservasi memiliki keterkaitan dengan luas areal sebagai sasaran konservasi. Dalam hal ini Bohnsack 2002 in Possingham et al. 2005 menyebutkan areal perlindungan untuk konservasi keanekaragaman hayati minimal 30 , sedangkan untuk pengelolaan perikanan dalam menjaga stok ikan antara 20 – 30 . Seleksi areal konservasi selain berhubungan dengan penetapan batas dan luas areal, masalah lain yang cukup penting adalah proses ekologi sebagai faktor kunci untuk mencapai sasaran konservasi. Adapun fungsi-fungsi ekologi tersebut adalah: 1 siklus energi dan elemen dan karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur, 2 siklus silikon, 3 siklus kalsium karbonat, 4 ekspor dan suplai makanan, 5 produktivitas, 6 ketentuan dan perlindungan habitat, 7 pola secara temporal dan kemantapan populasi variabilitas population, resistensi dan resilience kommunitas, 8 suplai dan ekspor propagule, 9 imigrasi dan emigrasi ikan dewasa dan 10 modifikasi dan proses secara fisika Bremner et al. 2008. 28 Selanjutnya Possingham et al. 2005 menjelaskan pada kondisi fungsi- fungsi ekologi tersebut belum teridentifikasi penetapan kawasan konservasi dapat dilakukan melalui negosiasi dengan stakeholders. Pada suatu areal konservasi yang telah ditetapkan permasalahan utamanya adalah pada strategi pencegahan gangguan dari masyarakat Bianchi et al. 2009. Oleh karena itu dalam desain konservasi seperti konservasi padang lamun dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: 1 melalui undang-undang atau peraturan prescriptive dan 2 konsensus bersama atau kombinasi keduanya Larkum et al. 2006. Selanjutnya Wescott dan Fitzssimons 2008 menyebutkan desain kawasan konservasi dapat dilakukan melalui: 1 klasifikasi sistem perlindungan secara komprehensif, dan melakukan kuantifikasi secara rasional dan akurat pada komponen-komponen yang esensial, 2 pendekatan pengelolaan melalui sistem zonasi dan 3 strategi pengelolaan isu-isu kebijakan yang bersifat emergensi. Selain faktor-faktor biologi, ekologi yang dijadikan dasar dalam desain konservasi di wilayah pesisir, peran masyarakat lokal merupakan bagian yang menentukan untuk mencapai tujuan konservasi. Hal ini dinyatakan oleh Few 2009 yang menyatakan partisipasi tidak dapat disederhanakan dalam desain konservasi, sebab partisipasi itu memiliki kekuatan dalam relasinya dengan kawasan perlindungan. Penilaian respon masyarakat terhadap areal konservasi telah dilkukan oleh Minnis dan Stoffie 2007. Hasil penilaian tersebut menunjukkan ada perbedaan respon masyarakat terhadap keberadaan kawasan konservasi yang dipengaruhi oleh: 1 perwakilan masyarakat yang diikutkan dalam proses, b resiliensi masyarakat yang berkurang dalam mendukung proses adaptasi mereka secara tradisional untuk nilai sosial dan lingkungan alamnya dan c identitas masyarakat yang menghalangi dan melindungi akses ke wilayah pesisir dan laut. Selanjutnya dari hasil penilaian tersebut dapat disusun permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat untuk desain model konservasi meliputi: 1 dampak terhadap perikanan, 2 partisipasi masyarakat dan 3 potensi manfaat yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Areal konservasi padang lamun di Selat Kepulauan Torres dilakukan oleh masyarakat yang dikenal sebagai “seagrass-watch” Coles et al 2008. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses pelibatan masyarakat adalah: 1 indentifikasi kebutuhan dan komunikasi yang wajar dalam pertemuan, 2 pengembangan konsep, 3 implementasi yang meliputi program pengelolaan 29 dan 4 mengkomunikasikan hasil analisis. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Dahuri 2003 yang menyatakan upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui: 1 meningkatkan dan mengoptimalkan kerjasama dan koordinasi, 2 desiminasi manajemen, 3 memperbaiki kualitas dan kuantitas pekerja yang terlibat dalam pengelolaan, 4 keterlibatan publik, 5 mendukung komunitas lokal, 6 mengembangkan metode alternatif dalam penangkapan ikan. Masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang areal konservasi dan pengetahuan tersebut disebut sebagai pengetahuan ekologi masyarakat lokal Simms et al. 2009. Selanjutnya dijelaskan pengetahuan ekologi masyarakat memiliki keterkaitan dengan ahli dibidang konservasi yang dapat saling memperkuat dalam merumuskan kebijakan pengelolaan seperti pada Gambar 4 di bawah ini. Gambar 4 Peranan pengetahuan ekologi masayarakat dalam pengelolaan. Dimensi pengetahuan lokal tidak saja berhubungan dengan tindakan konservasi tetapi juga dengan sistem kelembagaan Tabel 8. Tabel 8 Dimensi kelembagaan untuk konservasi SDA pesisir dan laut No Faktor Atribut Data dan informasi 1 Asal usul lembaga Proses pembentukan dan sifat lembaga 1. Sejarah pembentukan lembaga 2. Inisiatif pembentukan 3. Dasar pembentukan 4. Tujuan pembentukan 2 Keberadaan lembaga Batas kewenagan dan aturan main 1. Identifikasi anggota 2. Proses rekruitmen 3. Bentuk-bentuk aturan penangkapan dan non penangkapan 3 Manajemen konflik Manajemen konflik 1. Kemampuan pemimpin atau anggota kelompok dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat 2. Mekanisme atau prosedur penyelesian konflik Sumber : Priyatna et al. 2007 Ilmuwan Pengetahuan ekologi masyarakat lokal Informasi untuk membuat kebijakan pengelolaan 30 Kriteria sosial dan ekonomi untuk menyeleksi kawasan konservasi terdiri dari beberapa indikator seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Kriteria sosial dan ekonomi untuk menyeleksi kawasan konservasi untuk perlindugan laut. No Indikator Kriteria 1 Ekonomi Jumlah nelayan yang tergantung pada wilayah area dan nilai wisatanya Kontribusi dari perlindungan untuk meningkatkan dan pemeliharaan nilai ekonomi 2 Sosial Kenyamanan, memelihara metode penangkapan secara tradisional, nilai rekreasi, pendidikan, nilai keindahan dan nilai warisan 3 Ilmu Pengetahuan Jumlah ahli yang mempersiapkan konsep, pengaturan survey dan monitoring, nilai pendidikan serta kegiatan penelitian 4 Kelayakan dan kegunaan Dapat diterima secara sosial dan politik, mudah diakses untuk pendidikan dan wisata, cocok dengan keadaan wilayah, kenyamanan dalam manajemen dan dapat dilaksanakan Sumber : Houde et al.2001 Selanjutnya dilihat dari keragaman stakeholder yang memanfaatkan sumberdaya di wilayah pesisir memiliki perbedaan dalam tujuan dan Ehler et al. 2004 menjelaskan secara detil perbedaan interes antara dua komunitas masyarakat yaitu antara masyarakat lokal dengan masyarakat industri wisata pada suatu kawasan konservasi laut seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Perbedaan interes antara masyarakat lokal dan masyarakat industri wisata dalam konservasi Daerah perlindungan Masyarakat lokal Industri wisata Konservasi biodiversity Fungsi utama : in situ konservasi biodiversity Memelihara maintanance fungsi secara ekologi Preservasi pengawetan sumberdaya alam sebagai basis komoditas dari industri Preservasi budaya Pengetahuan lokal untuk konservasi dan keberlanjutan biodiversity Memeliharamaintenance dalam keterpaduan sosial dan matapencaharian Preservasi pengawetan sebagai komoditas yang ditawarkan untuk wisata Pendapatan Pendapatan yang diinvestasikan di dalam konservasi Sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal Pendapatan untuk industri Sumber : Ehler et al. 2004 31

2.6 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem