Desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumber daya ikan di Tanjung Luar Lombok Timur

(1)

SUMBER DAYA IKAN DI TANJUNG LUAR

LOMBOK TIMUR

ABDUL SYUKUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

2012


(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Konservasi Lamun untuk Keberlanjutan Sumberdaya Ikan di Tanjung Luar Lombok Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

NIM. C262070031/SPL Abdul Syukur


(3)

ABDUL SYUKUR 2011: Design Conservation of Seagrass for Sustainability of Fish Resources in the Tanjung Luar, East Lombok. Under Supervision: Yusli Wardiatno, Ismudi Muchsin and Mohammad Mukhlis Kamal.

Seagrass ecosystem has a vital role in the marine environment as a habitat for marine biota, primary productivity, regulate the trophic level of species and populations and gas regulations for the balance of CO2 and O2 through the photosynthesis of mechanism. The purpose of this study is to analysis the ecology of seagrass (seagrass conditions, threat of damage to seagrass, the abundance and diversity of fish species), the social aspect (local ecological knowledge and community values local knowledge). Data was collected by survey and observations. Data analysis was conducted descriptively to explain the condition, potential threats and sources of damage to the seagrass and regression models was used to explain the number of species and aossociation of fish to seagrass. These results indicate the condition of seagrass at the study site in the category of normal, the number of seagrass species was nine species of the total area of 154.21 ha of the seagrass and seagrass community types was a mixed type. Type and number of fish species obtained from 42 families comprising 118 species and 16 049 individuals. The most fish appropriate regression model to explain the number of species and individual fish associated with seagrass is quadratic and exponential models. Fish species diversity is the highest in Gili Maringkik (2.942) and the lowest is in Gili Kere (2.448). Seagrass damage parameters can be seen from the status of marine species such as the scarcity of fish, sea cucumbers, shrimp and molluscs as well as the number of damaged seagrass biomass/day by the community. Ecological communities have sufficient knowledge to know seagrass species as well as the function of the environmental and economic benefits to society and have the local knowledge that is relevant to the conservation namely awiq-awiq. The conclusion of the study is the management of the seagrass beds to the sustainability of fish can be done through seagrass conservation strategy with the zoning system through : (1) integrate the existence of ecology as an instrument in the management and the conservation design, (2) accommodate the ecological knowledge and indigenous communities and (3) zoning can be made in the management of the core zone in the seagrass zone the Gili Kere and sustainable fisheries in the seagrass beds in other locations.

Key words: Seagrass Conditions, Seagrass Damage, Fish Diversity and Conservation.


(4)

ABDUL SYUKUR 2012: Desain Konservasi Lamun untuk Keberlanjutan Ikan di Tanjung Luar Lombok Timur. di Bawah Bimbingan Yusli Wardiatno (selaku Ketua Komisi), Ismudi Muchsin dan Mohammad Mukhlis Kamal (selaku Anggota Komisi)

Lamun (seagrass) memiliki fungsi yang cukup vital bagi lingkungan laut. Fungsi vital lamun di lingkungan laut adalah habitat biota dari yang hidup menempel seperti epifit, merayap, hingga organisme yang memiliki mobiltas tinggi seperti ikan, produktivitas primer, penghasil detritus, mengatur tingkat trofik populasi dan spesies serta regulasi gas untuk keseimbangan CO2 dan O2

Lamun yang memiliki fungsi vital untuk keberlanjutan ikan, saat ini di lokasi studi mendapat ancaman kerusakan yang cukup serius dari over-ekploitasi oleh nelayan dan masyarakat non nelayan. Dalam hal ini diperlukan strategi pengelolaaan yang dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekologi lamun. Keberlanjutan fungsi lamun sebagai sasaran perlindungan sesuai dengan sasaran konservasi sumberdaya ikan yaitu: (1) menjaga kelestarian ekosistem pesisir, (2) melindungi habitat dan biota laut dan (3) melindungi alur migrasi ikan (DKP, 2008) dan Castro et al (2001) menyebutkan perlindungan areal lamun lamun dapat melindungi nilai keanekaragaman hayati dan mningkatkan biomassa ikan di suatu wilayah perairan.

di laut melalui mekanisme fotosintesis. Keberadaan lamun saat ini mengalami proses degradasi akibat aktivitas antropogenik, serta laju kerusakannya tidak dapat diestimasi secara akurat. Disisi lain dewasa ini kebutuhan untuk perlindungan biodiversity terus meningkat, sebagai respon dari kelangkaaan dan bahkan ada organisme yang mendekati kepunahan. Lamun sebagai pondasi spesies tentu merupakan objek yang cukup strategis untuk di lindungi. Peran lamun yang cukup esensial bagi ikan adalah sebagai tempat pemeliharaan ikan yang masih pada massa juvenil dan menjelang dewasa, tempat mencari makan dan berlindung dari predator. Disisi lain degradasi fungsi lamun dapat berdampak pada turunnya produksi ikan yang memiliki asosiasi cukup tinggi dengan lamun yaitu ikan baronang. Produksi ikan tersebut dari 3,4 ton tahun 2005 turun menjadi 1,4 ton tahun 2009 (BPS NTB 2009).

Tujuan penelitian ini adalah mendeterminasi potensi dan sumber ancaman kerusakan lamun, keterkaitan ikan dengan lamun, memformulasikan pengetahuan ekologi masyarakat dan nilai-nilai kearifan lokal serta kelembagaan yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan perikanan secara partisipatif serta merumuskan indikator ekologi sebagai dasar desain konservasi lamun untuk keberlanjutan ikan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi untuk memperoleh data yang berkaitan dengan data ekologi lamun, ikan dan kondisi lingkungan perairan. Selanjutnya adalah metode survei dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data yang berhubungan dengan konndisi sumberdaya lamun akibat over-ekploitasi. Selain itu digunakan wawancara mendalam untuk memperifikasi hasil yang diperoleh dari kuesioner serta penelusuran dokumen yang berkaitan dengan kelembagaan pengelolaaan, jumlah produksi ikan dan dokumen lain yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Analisis data penelitian dilakukan dengan analisis deskriptif yang berkaitan dengan diskripsi untuk menggambarkan potensi dan sumber ancaman serta pengetahuan ekologi lokal masyarakat yang berkaiatan dengan manfaat lamun. Selanjutnya untuk keterkaitan ikan dengan lamun digunakan model regresi yaitu model lenier, kuadratik, logaritmik dan eksponensital dan selanjutnya dilakukan uji t untuk melihat atribut lamun yang memiliki nilai signifikansi paling tinggi untuk


(5)

desain konservasi dilakukan dengan cara sintesis dari hasil analisis yang diperoleh pada bagain sebelumnya.

Hasil penelitian ini adalah pertama potensi lamun yang meliputi luas areal lamun sebesar 154,21 ha, keragaman jenis lamun sebanyak 9 jenis, pola distribusi lamun berdasarkan kedalaman substrat mulai dari ditemukan lamun dari garis pantai, tipe komunitas lamun yang bertipe campuran dan jenis lamun yang memiliki distribusi luas pada semua areal lamun serta jenis lamun yang memiliki distribusi luas pada tiap lokasi padang lamun. Kedua potensi ikan yang terdiri dari 42 famili 118 spesies dan 16049 individu. ketiga kondisi lamun dari nilai kerapatan, penutupan dan biomassa lamun, keempat status beberapa jenis biota laut yang memiliki nelai ekonomi akibat over-ekploitasi, kelima bentuk-bentuk pengetahuan ekologi masyarakat seperti pengetahuan masyarakat tentang jenis lamun dan biota yang umum diperoleh dari padang lamun serta manfaat lamun bagi ikan dan orgaisme lain. Keenam kerusakan lamun dari besarnya nilai biomassa lamun yang lepas belum waktunya akibat cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Ketujuh model keterkaitan ikan dengan lamun serta model yang paling sesuai untuk menduga keterkaitan ikan dengan lamun yaitu dengan menggunakan model kuadratik dan eksponensial. Kedelapan kontribusi lamun terhadap keragaman jenis ikan yang dapat digambarkan dengan menggunakan nilai biomassa lamun yang memiliki tingkat signifikasi paling tinggi dari atribut lamun yang lain seperti luas areal, kerapatan dan penutupan. Kesembilan adalah indikator ekologi sebagai basis desain konservasi lamun yang bersumber dari potensi lamun, potensi ikan, implikasi ekologi akibat over-eksploitasi serta keterkaiatan ikan dengan lamun. Kesepuluh skala perlindungan lamun untuk mencapai sasaran konservasi yang meliputi skala pertama luas areal, kerapatan dan penutupan lamun serta keragaman jenis lamun, skala kedua implikasi ekologi akibat over-eksploitasi yaitu nilai biodiversity biota yang memiliki nilai ekonomi, struktur trofik dari komposisi herbivora yang populasi terus menurun dan nilai biomassa lamun yang lepas sebelum waktunya akibat cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan dan skala ketiga keterkaitan ikan dengan lamun.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dan potensi areal pesisir yang cukup memungkinkan untuk dikembangkan serta besarnya tekananan sumberdaya daya di padang lamun oleh nelayan dan masyarakat non nelayan, pada penelitian solusi keberlanjutan fungsi ekologi lamun terhadap ikan dapat dilakukan melalui strategi pengelolaan yang berbasis konservasi ekosistem dengan dua pendekatan yaitu pertama pemberdayaan nelayan melalui pengembangan buididaya ikan keramba apung yang ramah lingkungan dan kedua perlindungan lamun dalam bentuk zonasi yaitu zona inti (suaka perikanan) dan lokasi lain sebagai zona perikanan yang berkelanjutan.


(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagaian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

SUMBER DAYA IKAN DI TANJUNG LUAR

LOMBOK TIMUR

Abdul Syukur

Disertasi ini

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (SPL)

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji pada Ujian tertutup : Dr Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc

Dr Ir. Sulistiono, M.Sc

Penguji pada Ujian terbuka : Dr. Ir. Rosiady Sayuti, M.Sc

Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA


(9)

Daya Ikan Di Tanjung Luar Lombok Timur

Nama : Abdul Syukur NIM : C262070031/SPL

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

(SPL)

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. NIP. 19570928198103.1006 NIP. 196508141990021001


(10)

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan berkat dan rahmatNya serta hidayahNya, penelitian disertasi ini mulai dari penyusunan rencana penelitian (proposal) sampai penyusunan hasil penelitian dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (SPL) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Disertasi ini menelaah aspek ekologi lamun dan keragaman ikan yang berasosiasi dengan lamun. Aspek sosial (nilai kearifan lokal) dan kelembagaan serta aspek hukum formal sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan utama yaitu desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan di wilayah pesisir Tanjung Luar Lombok Timur. Dari telahaan yang dilakukan sesuai dengan metode yang telah ditepakan pada bagian metologi diperoleh hasil yang menunjukkan kriteria dan indikator ekologi cukup reperesentif sebagai dasar desain konservasi. Dari hasil analisis tersebut diperoleh kebaruan dari penelitian ini yaitu pembatasan pemanfaatan untuk mencegah kerusakan lamun.

Penyelesaian disertasi ini tentu tidak dapat saya selesaikan tanpa bantuan dan bimbingan terutama dari Bapak-Bapak Dosen di Program Studi SPL. Bimbingan dan arahan yang saya rasakan cukup besar kontribusinya, terutama dari Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi SPL dan rekan seperjuangan angkatan tahun 2007 serta mahasiswa yang membantu penelitian. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya haturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc ( Ketua Komisi Pembimbing)

2. Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc (Anggota Komisi Pembimbing) 3. Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin (Anggota Komisi Pembimbing)

4. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA (Ketua Program Studi SPL) 5. Rekan-rekan seperjuangan SPL angkatan tahun 2007

Akhirnya ucapan terimakasih yang dapat saya sampaikan semoga alam kebaikan tersebut menjadi amal saleh yang tidak dapat dinilai dengan benda dan dapat diterima disisi Allah.

Bogor, Juli 2012 Hormat Saya


(11)

Penulis adalah anak ke 5 dari 9 bersaudara dari pasangan Syawal (almarhum) dan Hj. Aminah, dilahirkan di Lombok Timur pada tanggal 2 Pebruari 1962. Perjalanan hidup kami pendidikan dasar sampai SMA kami selesaikan di Lombok Timur yaitu SD dan SMP di Kecamatan Keruak dan SMA di Kota Selong. Pada tahun 1985 mendapat kesempatan melanjutkan studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram pada program Studi Pendidikan Biologi. Pada tahun 1993 diangkat menjadi staf pengajar pada program studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mataram sampai sekarang.

Pada Januari 1995 kami menikah dengan Huriyah anak dari pasangan H. Moh. Salahudin dan Hj. Nurmah. Alhamdulillah kami dikaruniai 4 orang anak sebagai generasi penurus yang bernama Elia Wardhatul Fitri, Moh. Alwali Salahudin, Siti Widhatul Faiha dan Abdul Syafik Syawal.

Pada tahun 1999 kami berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Luat (SPL) Insitut Pertanian Bogor (IPB) dan selesai pada Oktober tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2007 mendapat kesempatan melanjutkan studi S3 pada program studi yang sama di Institut Pertanian Bogor. Demikian kami haturkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi yang telah memberikan arahan dan motivasi selama proses belajar dan penyelesian studi.

Bogor, Juli 2012 Hormat Kami

Abdul Syukur


(12)

ix

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian …... 5

1.3 Kerangka Berpikir ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Kebaruan Penelitian ………. 9

2 TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Distribusi dan Keragaman Jenis Lamun ... 11

2.2 Biologi Lamun ... 12

2.3 Peran Ekologi Padang Lamun ... 17

2.4 Ancaman Kerusakan Lamun ………... 21

2,5 Konservasi Lamun ……… 22

2,6 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem ………... 31

3 METODE PENELITIAN... 35

3.1 Tempat dan Waktu Penelitia ... 35

3.2 Desain Penelitian ... 36

3.3 Pengambilan Data Penelitian ... 37

3.3.1 Pengambilan data tujuan penelitian 1 dan 2 …………... 37

3.3.2 Pengambilan data tujuan penelitian 3………... 39

3.3.3 Pengambilan data tujuan penelitian 4………... 40

3.4 Analisis Data Penelitian …... 41

3.4.1 Analisis data tujuan penelitian 1 dan 2 ……….. 41

3.4.2 Analisis data tujuan penelitian 3……. ……… 43

3.4.3 Analisis data tujuan penelitian 4….. ………. 44

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 47

4.1 Lokasi Penelitian... 47

4.2 Kondisi Ekonomi... 47

4.3 Kondisi Sosial Masyarakat di Lokasi Studi ... 49

4.4 Kelembagaan... 49

4.5. Potensi Areal Perikanan Laut dan Potensi Produksi Perikanan... 51

4.6. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan... 52

5 POTENSI DAN ANCAMAN KERUSAKAN LAMUN... 53

5.1 Jenis dan Distribusi lamun ... 53

5.2 Pola Distrubusi Lamun ... 55

5.3 Luas Areal lamun di Lokasi Studi ... 55

5.4 Kerapatan Jenis Lamun... 56

5.5 Penutupan Lamun... 58


(13)

5.7 Potensi Anacaman Kerusakan Lamun ... 59

5.7.1 Nelayan kecil ... 59

5.7.2 Masyarakat non nelayan... 61

5. 8 Kondisi lingkungan perairan... 62

6 JENIS DAN JUMLAH JENIS IKAN PADA TIAP LOKASI PADANAG LAMUN... 63 6.1 Jenis dan Jumlah Jenis Ikan ... 63

6.1.1 Gili Kere ... 63

6.1,2 Kampung Baru... ... 64

6.1.3 Gili Maringkik ... 65

6.1.4 Lungkak... 66

6 .1.5 Poton Bakau ... ... 66

6.2 Asosiasi dengan Padang Lamun ………….…….………... 68

6.3 Jumlah Spesies Ikan Berdasarkan Bulan... 73

6.4 Komposisi Ikan Berdasarkan Ukuran Panjang... 77

7 PENGETAHUAN LOKAL MASYARAKAT... 83

7.1 Pengetahuan Ekologi Masyarakat Lokal ... 83

7.2. Kearifan Lokal Masyarakat... 85

8 DESAIN KONSERVASI LAMUN... 87

8.1 Kondisi Lamun ... 87

8.2 Sumber Kerusakan Lamun ... 88

8.3 Keterkaitan Ikan dengan Lamun ... 92

8.3.1 Luas areal lamun... 92

8.3.2 Keterkaitan ikan dengan kondisi lamun ... 94

8.4 Komposisi Ikan ... 98

8.4.1 Komposisi ikan berdasarkan famili dan spesies ... 98

8.4.2 Jumlah ikan berdasarkan lokasi ... 100

8.4.3 Jumlah ikan berdasarkan bulan... 101

8.4.4 Stuktur komunitas ikan berdasarkan panjang standar ... 103

8.5 Keanekaragaman Jenis Ikan ... 105

8.6 Jenis Makanan Ikan... 107

8.7 Kriteria dan Indikator Desain Konservasi Lamun ... 111

8.8. Pengelolaan Padang Lamun ... 113

8.9. Zonasi Pengelolaan Lamun... 115

9 KESIMPULAN DAN SARAN... 119

9. 1 Kesimpulan... 119

9. 2 Saran... 121

DAFTAR PUSTAKA... 123


(14)

Halaman 1 Komposisi jenis lamun dan kerapatan/m2……….,, 12 2 Klasifikasi jenis lamun di perairan Indonesia……….. 13 3 Ciri-ciri spesies lamun yang ditemukan di perairan pesisir Indonesia… 14 4 Kelompok fauna yang tinggal di ekosistem padang lamun.………. 18 5 Nilai ekologi dan mekanisme peran lamun………... 20 6 Sebuah sintesis dari luas areal lamun yang hilang dan sumber

Kerusakan Lamun. ………

21

7 Indikator ekologi dalam desain konservasi ……….. 27 8 Dimensi kelembagaan untuk konservasi SDA pesisir dan laut……….. 29 9 Kriteria Sosial dan Ekonomi untuk Menyeleksi Kawasan Konservasi

untuk Perlindugan Laut.……...

30

10 Perbedaan interes ntara masyarakat lokal dan masyarakat industri wisata dalam konservasi ……….

30

11 Klasifikasi fungsi dan jasa ekosistem ……… 33 12 Faktor sukses dari Integrated Coastal Management (ICM)………….. 34 13 Rancangan pengamatan jumlah orang yang datang ke tiap lokasi

padang lamun ……….

38

14 Parameter lingkungan perairan (Fisika dan Kimia) yang diamati pada tiap stasiun pengamatan.………………….

39

15 Kelompok masyarakat sebagai responden dan teknik wawancara….. 39 16 Obyek penilaian masyarakat terhadap manfaat lamun bagi

lingkungan dan ekonomi...

40

17 Rancangan pengambilan data biomassa lamun yang rusak oleh masyarakat. ...

40

18 Pembobotan parameter lamun... 44 19 Klasifikasi kondisi lamun... 44 20 Jumlah penduduk dan nelayan menurut desa di Kecamatan Keruak

dan Jerowaru...

47


(15)

2009 di Tanjung Luar Lombok Timur... 22 Produksi ikan baronang, belanak, tengiri dan udang di tTanjung Luar

Tahun 2005 – Tahun 2009...

49

23 Potensi areal dan potensi produksi perikanan laut di Kecamatan Keruak dan Kecamatan Jerowaru...

51

24 Jenis lamun pada tiap lokasi padang lamun di lokasi studi... 53 25 Kedalaman substrat dan jenis lamun pada tiap areal padang lamun

di lokasi penelitian...

54

26 Indeks Distribusi (ID) tiap jenis lamun di lokasi studi... 55 27 Rata-rata kerapatan lamun (Individu/m2) pada empat lokasi padang 57

lamun (n=54 di Gili Kere, n= 21 di Kampung Baru, n= 21 di Lungkak, n= 39 di Poton Bakau... 28 Persen (%) penutupan lamun pada empat lokasi padang lamun (n =

54 di Gili Kere, n= 21 di Lungkak, n=21 di Poton Bakau dan n= 21 di Kampung Baru). ……….

58

29 Rata-rata biomassa lamun pada empat lokasi padang lamun (n= 6 di Gili Kere , n= 5 di Lungkak, n= 5 di Poton Bakau dan n= 5 di Kampung Baru)………...

59

30 Komposisi nelayan berdasarkan alat tangkap dan areal Tangkapan... 59 31 Komposisi jumlah orang yang datang ke lokasi padang lamun

selama lima hari/bulan...

61

32 Parameter fisika-kimia perairan pada lokasi padang lamun

di wilayah studi.………...

62

33 Jumlah famili, spesies dan total individu ikan di lokasi penelitian……. 63 34 Jenis ikan yang memiliki kelimpahan tinggi berdasarkan jumlah

individu tiap spesies, frekuensi tiap spesies dan famili dengan jumlah spesies paling tinggi.……….

67

35 Famili dan spesies ikan Ada pada semua lokasi padang lamun di lokasi penelitian ………..

68

36 Famili, spesies ikan dengan distribusi pada empat lokasi padang lamun di lokasi studi. ……… ..

69

37 Famili, spesies ikan dengan distribusi pada tiga lokasi padang lamun di lokasi studi.……….

70

38 Famili, spesies ikan dengan distribusi ikan pada dua lokasi padang lamun di lokasi studi. ……….


(16)

39 Famili, spesies ikan dengan distribusi ikan ada pada satu lokasi padang lamun di lokasi studi ……….

72

40 Famili (1), spesies (2), panjang standar hasil pengukuran (3), ukuran panjang maksimal berdasarkan Tsukamoto et al (1997) (4) jumlah individu (5) dari ikan dengan ukuran panjnag maksimal di atas 50 cm. ………..

77

41 Famili (1), spesies (2), panjang standar hasil pengukuran (3), ukuran panjang maksimal berdasarkan Tsukamoto et al (1997) (4), jumlah individu (5), dari spesies ikan dengan ukuran panjang maksimal antara 30 – 50 cm.……… ……….

79

42 Famili (1), spesies (2), panjang standar hasil pengukuran (3), ukuran panjang standar berdasarkan Tsukamoto et al (1997) (4), jumlah individu ikan dengan ukuran panjang standar kurang dari 30 cm.……….

82

43 Distribusi responden berdasarkan penilaian terhadap peran ekologi dan manfaat lamun bagi masyarakat, n= 100...

83

44 kondisi lamun di lokasi studi.……….. 87 45 Rata-rata berat basah biomassa lamun (gram)/bulan yang rusak... 91 46 Rata-rata kisaran berat basah biomassa lam un (gram ) yang rusak

o leh masyarakat.……….……….

91

47 Keterkaitan ikan dengan padang lamun ……….. 93 48 Hasil analisis korelasi pearson antara jumlah spesies dengan luas,

kerapatan, penutupan dan biomassa lamun ……….

98

49 (1) Famili dengan jumlah individu tinggi, (2) famili dengan jumlah spesies tinggi dan (3) spesies dengan jumlah individu tingg…………

100

50 Famili ikan dengan nilai frekuensi tinggi pada tiap lokasi, n = 5……… 101 51 Famili ikan dengan frekwensi tinggi berdasarkan bulan………. 103 52 Komposisi panjang ikan (cm)... 104 53 Indeks keanekaragaman dan indeks dominansi ikan pada tiap lokasi

padang lamun ……….

106

54 Spesies ikan dan jenis makanannya ………. 110 55 Pembobotan parameter sebagai dasar penetapan zona pengelolaan 116 56 Zona pengelolaan lamun di lokasi studi……… 117


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Proses penentuan Indeks Distribusi lamun………. 133

2 Famili, jumlah spesies tiap famili dan jumlah individu tiap spesies di Gili Kere………...

136

3 Frekuensi spesies di Gili Kere………. 138 4 Jenis famili, jumlah spesies tiap famili dan jumlah individu tiap spesies

di Kampung Baru………... 140

5 Frekuensi spesies di Kampung Baru……….. 142 6 Jenis famili, jumlah spesies tiap famili dan jumlah individu tiap spesies

di Gili Maringkik………..

144

7 Frekuensi spesies di Gili Maringkik……….. 145 8 Jenis famili, jumlah spesies tiap famili dan jumlah individu tiap

spesies di Lungkak………... 146

9 Frekuensi spesies di Lungkak………... 147 10 Jenis famili, jumlah spesies tiap famili dan jumlah individu tiap spesies

di Poton Bakau………... 148

11 Frekuensi spesies di Poton Bakau………. …. 150 12 Frekuensi spesies ikan antara 1 - 5 dari bulan April – Agustus 2010….. 152


(18)

Halaman

1 Kerangka berpikir ………..……… 8

2 Distribusi jenis lamun berdasarkan habitat ………... 11

3 Rantai makanan pada lamun dari jenis Enhalus acoroides ………... 20

4 Peranan pengetahuan ekologi masayarakat dalam pengelolaan ……… 29

4 Krangka konseptual dalam desain areal konservasi yang berhubungan dengan perikanan tangkap……….. 31 6 Peta lokasi penelitian………. 35

7 Desain struktur tujuan metode dan analisis penelitian ………. 36

8 Luas tiap lokasi padang lamun di lokasi studi... 56

9 Lamun sebagai habitat ikan di lokasi studi (n= 60)... 60

10 Jumlah spesies ikan/bulan di lokasi studi……….. …. 73

11 Spesies Ikan dengan frekuensi tinggi ………. 74

12 Spesies ikan dengan frekuensi antara 24 % -48 %... 75

13 Jumlah individu ikan berdasarkan bulan ………. 76

14 Kondisi jenis biota pada lokasi padang lamun di lokasi studi menjurut responden,n = 50……… 89 15 Hubungan kerapatan lamun dengan jumlah spesies ………... 95

16 Hubungan kerapatan lamun dengan jumlah individu ………... 95

17 Hubungan penutupan lamun dengan jumlah spesies ………. 96

18 Hubungan penutupan lamun dengan jumlah individu ………. 96

19 Hubungan biomassa lamun dengan jumlah spesies ………... 97

20 Hubungan biomassa lamun dengan jumlah individu ………... 97 21 Komposisi jumlah famili ikan dan % jumlah individu pada tiap katagori dari total jumlah individu sebesar 16049, n = 25……….

99

22 Komposisi jumlah famili ikan dengan (%) jumlah spesies dari total jumlah spesies sebesar 118, n = 25………..


(19)

23 Komposisi jumlah ikan (%) berdasarkan jumlah total ……….. 101 24 Jumlah spesies dan individu (%) berdasarkan bulan... 102 25 Komposisi jumlah famili dan spesies berdasarkan panjang standar

(cm).…..………..

103


(20)

1.1 Latar Belakang

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga dari kelompok monokotil yang telah beradaptasi dengan lingkungan laut (Marlin 2011). Hartog (1970) in Dahuri (2003) menjelaskan bahwa lamun telah dapat beradaptasi dengan lingkungan laut dapat dilihat dari: (1) lamun dapat hidup pada media air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik dan (4) mampu melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam.

Distribusi lamun secara geografis dapat dikelompokkan dalam dua bioregion yaitu: (1) bioregion temperate dan (2) bioregion tropis (Waycott et al. 2007). Berdasarkan bioregion tersebut distribusi lamun di perairan laut Indonesia termasuk dalam wilayah bioregion Indo-Pasifik. Selanjutnya distribusi lamun pada lingkungan laut dibatasi oleh kondisi lingkungan yaitu kondisi substrat dan sinar matahari. Kiswara (1999) menyebutkan lamun dapat terdistribusi pada kondisi substrat yang berlumpur, pasir berlumpur, pasir halus, pasir karang, puing karang mati dan tempat berbatu sampai kedalaman perairan yang masih dapat ditembus sinar matahari.

Lamun di lingkungan laut memiliki fungsi sebagai sumber produktivitas primer dan habitat biota laut (Hemminga and Duarte 2000 in Waycott et al. 2007). Nienhuis et al. (2002) dan Jones et al. (2006) menjelaskan bahwa lamun dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan ikan pada massa juvenil, tempat mencari makan dan berlindung dari predator. Beberapa jenis biota laut selain ikan yang berasosiasi dengan lamun adalah moluska, udang, kepiting dan tripang (Tsukamoto et al. (1997). Selanjutnya dari aspek lingkungan fisik lamun dapat berfungsi sebagai peredam energi gelombang dan arus yang sampai ke pantai (Willams et al. 2006).

Keanekaragaman jenis ikan yang berasosiasi dengan lamun telah dinyatakan oleh Hutomo dan Martosewejo (1977), Hutomo (1985) dan Peristiwadi (1991) in Dahuri (2003) yaitu di Teluk Banten ditemukan 360 spesies ikan yang berasosiasi dengan lamun, di perairan Gusung Talang Selat Makasar ditemukan 27 spesies ikan dan di pantai Lombok Selatan ditemukan 85 spesies ikan dan 4 spesies yang khas hidup di padang lamun adalah jenis Syngnathoides biaculeatus, Novaculichthys, Acreichthys sp dan Centrogenys vaigiensis.


(21)

Keberadaan lamun yang cukup penting untuk keberlanjutan ikan dan lingkungan saat ini mendapat ancaman yang cukup serius akibat meningkatnya aktivitas penduduk di wilayah pesisir seperti pembangunan pelabuhan, alih fungsi lahan menjadi kawasan industri dan pemanfaatan areal lamun yang cendrung tidak ramah lingkungan (Dahuri 2003). Dampak langsung dari aktivitas pembangunan di wilayah pesisir seperti pelabuhan berakibat pada berkurangnya luas areal lamun mulai dari ukuran meter kuadrat sampai ratusan kilometer kuadrat (Willams et al. 2006). Kerusakan lamun selain dari aktivitas antropogenik dapat juga berasal dari alam seperti badai, vulkanik dan pemanasan global (Neckless and Frederick 1999).

Kerusakan beberapa jenis lamun seperti jenis Syringodium isoetifolium dan Enhalus acoroides telah terjadi di Kepulauan Seribu, Pulau Pari dan Teluk Banten yang disebabkan oleh kekeruhan air akibat perputuran perahu nelayan (Kiswara 1999). Lebih lanjut disebutkan bahwa pada tegakan tunggal dari jenis Enhalus acoroides, dan tegakan campuran dari jenis Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halophila uninervis dan Halophila ovalis telah hilang seluas 25 ha akibat reklamsi pantai di Teluk Banten. Selanjutnya Tomascik et al. (1997) menyebutkan bahwa kerusakan lamun di perairan Indonesia berasal dari: (1) aktivitas pembangunan di wilayah pesisir dan peningkatan jumlah penduduk, (2) eutrofikasi, (3) pembuangan limbah industri, (4) aquakultur dan (5) over fishing. Kiswara et al. (1994) menyebutkan kerusakan lamun di Teluk Gerupuk dan pantai Kute (Lombok Selatan) disebabkan oleh masyarakat yang memanfaatkan areal lamun dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan.

Sumber kerusakan lamun yang telah disebutkan di atas dapat berdampak pada menurunnya fungsi ekologi lamun untuk keberlanjutan ikan. Fungsi ekologi lamun tersebut adalah sebagai area pemijahan (spawning ground), area asuhan (nursery ground) dan area mencari makan. Selanjutnya berdasarkan potensi lamun yang cukup luas di perairan Indonesia dan fungsi vital lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan saat ini menjadi salah satu objek dari sasaran konservasi perairan (DKP 2008). Indikator yang perlu dipertimbangkan dalam konservasi lamun adalah: (1) pola distribusi dan tipe komunitas lamun, (2) dinamika perubahan secara spatial dan temporal, (3) fungsi lamun sebagai habitat bagi keanekaragaman jenis biota laut serta proses ekologi seperti tranfer energi melalui rantai makanan herbivora dan detritus serta (4) besarnya


(22)

kerusakan lamun akibat aktivitas masyarakat serta kerusakan lamun yang disebabkan oleh faktor alam (Thom et al. 2001).

Kerusakan lamun yang dapat berdampak pada menurunnya fungsi lamun di lingkungan laut dapat direspon melalui konservasi lamun sebagai objek perlindungan laut. Beberapa contoh perlindungan laut atau konservasi laut yang berhasil dalam meningkatkan biomassa ikan adalah: (1) di Teluk Chesapeake USA, konservasi dan pengelolaan lamun dilakukan dengan menggunakan kriteria kualitas air, (2) di Great Barrier Reef Australia konservasi lamun dilakukan dengan perluasan areal perlindungan laut, kriterianya adalah jumlah jenis ikan terumbu karang yang bermigrasi ke padang lamun, (3) di Filipina dan Karibbia konservasi lamun diintegrasikan dalam program pengelolaan Marine Protected Area (MPA) yang diperkuat oleh undang-undang, (4) di Mediterranean konservasi lamun dilakukan melalui restorasi dengan cara rehabilitasi habitat (Kenworthy et al. 2000 in Larkum et al. 2006).

Konservasi lamun di perairan Indonesia sebenarnya telah terintegrasi pada Kawasan Konservasi Taman Nasional Laut, Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Laut. Adapun definisi dari tiap kawasan konservasi tersebut adalah: (1) Taman Nasional Perairan yang merupakan kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi, (2) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya, (3) Taman Wisata Perairan, merupakan kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi dan (4) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan baik air tawar, payau maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlidung dan berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu yang berfungsi sebagai daerah perlindungan (PP No 60 Tahun 2007). Kriteria yang menjadi dasar penetapan kawasan konservasi perairan yaitu: (1) ekologi yang meliputi keanekaragaman hayati, kealamiahan, keterkaitan ekologis, keterwakilan, keunikan, produktivitas, daerah pemijahan ikan dan daerah pengasuhan, (2) sosial budaya meliputi tingkat dukungan masyarakat, potensi konflik kepentingan, potensi ancaman, kearifan lokal serta adat istiadat dan (3) ekonomi yang meliputi


(23)

nilai penting perikanan, potensi rekreasi dan parawisata, estitika dan kemudahan mencapai kawasan (DKP 2008).

Lombok Timur memiliki luas laut 1.074, 33 km2

Kerusakan lingkungan di wilayah pesisir Lombok Timur dapat dilihat dari kerusakan mangrove sebesar 331,7 ha dan terumbu karang sebesar 45 % di Gili Maringkik dan Gili Petagan (Co-Fish Project 2001). Indikasi lain dari kerusakan lingkungan laut di wilayah pesisir Lombok Timur adalah menurunya produksi ikan yaitu pada tahun 2003 produksi ikan sebesar 16. 857,5 ton dan turun menjadi 15.995,7 ton pada tahun 2007 dan rata-rata penurunan produksi ikan dari tahun 2003 sampai 2007 sebesar 1,04 % (Lombok Timur dalam Angka 2008). Penelitian yang berkaitan dengan kerusakan lamun berdasarkan indikator ekologi dan ekonomi di wilayah pesisir Tanjung Luar telah dilakukan oleh (Syukur 2001). Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa sumber kerusakan yang berlangsung secara terus menerus berasal dari pemanfaatan areal lamun secara distruktif oleh masyarakat yang mencari sumberdaya yang bernilai ekonomi.

dan panjang pantai 85 km (Bappeda NTB, 2006). Di wilayah pesisir Lombok Timur memiliki potensi hutan mangrove 2.242,56 ha, terumbu karang 761,10 ha dan padang lamun (Lombok Timur dalam Angka 2008). Potensi lamun di areal pantai Lombok Timur dapat ditemukan di sepanjang pantai Pulau Lombok dan pantai pulau-pulau kecil. Namun demikian data tentang luasan padang lamun belum tersedia. Keberadaan padang lamun di wilayah pesisir Lombok Timur memiliki makna yang cukup penting, khususnya dalam mendukung produksi perikanan laut. Hal ini telah dinyatakan oleh Cullen dan Unsworth (2010) yang menyatakan bahwa padang lamun memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam mendukung produksi ikan baik secara langsung maupun tidak langsung dari fungsi lamun sebagai temapat pemeliharaan dan tujuan ikan bermigrasi.

Tanjung Luar secara administratif berada dalam wilayah Kabupaten Lombok Timur dan letak geografisnya yaitu pada posisi 116°. 37’ - 116°. 45’ bujur timur dan 8°17’- 8°18’ lintang selatan. Berkaitan dengan sumberdaya alam di wilayah pesisir Tanjung Luar, isu utama yang masih menjadi masalah adalah tentang kerusakan lingkungan laut. Salah satu ekosistem yang mengalami kerusakan adalah ekosistem padang lamun. Hasi identifikasi sumber kerusakan padang lamun di lokasi studi adalah: (1) pembangunan dermaga perikanan, (2) over-exploitasi sumberdaya yang bernilai ekonomi dari areal padang lamun dan


(24)

cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan, (3) kemiskinan, dan (4) jumlah penduduk yang cukup besar yaitu sebesar 24.018 jiwa dan yang berprofesi sebagai nelayan sebesar 6.037 orang (25,13%). Dampak dari kerusakan lingkungan dan tingginya laju eksploitasi sumberdaya ikan diduga sebagai penyebab menurunya produksi ikan hasil tangkapan nelayan. Salah satu jenis ikan yang produksinya cukup menurun dan memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap lamun dalam siklus hidupnya adalah ikan baronang. Selain ikan baronang produksi beberapa jenis ikan lain juga mengalami penurunan. Adapun produksi beberapa jenis ikan tersebut adalah ikan baronang dari 3,4 ton pada tahun 2005 turun menjadi 1,4 ton tahun 2009, ikan belanak dari 14,1 ton pada tahun 2006 turun menjadi 7,6 ton tahun 2009 dan ikan tengiri dari 24,8 ton tahun 2006 turun menjadi 5,2 ton tahun 2009 (BPS, NTB 2009).

Potensi lamun di lokasi studi cukup luas dan tersebar pada beberapa lokasi seperti di intertidal pantai Gili Kere, Gili Maringkik, Gili Bembek, Kampung Baru, Lungkak dan Poton Bakau. Keberadaan padang lamun tersebut tentu memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap keanekaragaman jenis ikan di lokasi penelitian. Beberapa penelitian lain yang berkaitan dengan potensi ikan pada padang lamun seperti yang telah dilakukan oleh Bell et. al (2007) di Taman Nasional Wakatobi, Supriyadi (2009) di areal padang lamun Teluk Kotania dan Pelita Jaya, Marasabessy (2010) di Pulau-Pulau Derawan Kalimatan Timur. Berkaitan dengan peran lamun yang cukup penting untuk keanekaraman jenis ikan yang berasosiasi dengan lamun, potensi lamun serta bentuk aktivitas masyarakat yang dapat menyebabkan kerusakan lamun di lokasi belum dilakukan penelitian. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang potensi, kondisi lamun, potensi ikan, fungsi ekologi lamun terhadap ikan dan sumber ancaman kerusakan lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan. Selanjutnya dari parameter tersebut digunakan sebagai kriteria dalam desain konservasi lamun dan strategi pengelolaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan di lokasi studi.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis potensi lamun dan sumber ancaman kerusakan lamun. 2. Menganalisis keragaman ikan yang berasosisai dengan lamun.


(25)

3. Menganalisis pengetahuan ekologi masyarakat lokal dan kearifan lokal masyarakat yang memiliki relevansi dengan konservasi lamun.

4. Merumuskan kriteria dan indikator ekologi sebagai dasar desain konservasi lamun dan strategi pengelolaan

1.3 Kerangka Berpikir

Potensi padang lamun di lokasi studi cukup besar dan tersebar pada beberapa lokasi yaitu di intertidal pantai Tanjung Luar (Kampung Baru, Lungkak dan Poton Bakau dan di intertidal pulu kecil (gili) seperti di Gili Kere, Gili Maringkik dan Gili Bembek. Isu utama yang menjadi permasalahan berkaitan dengan keberadaan lamun di lokasi studi adalah kerusakan lamun yang disebabkan oleh tingginya intensitas pemanfaatan oleh nelayan tradisional dan pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan oleh masyarakat. Kerusakan lamun di lokasi studi dapat berdampak negatif khususnya ikan yang memanfaatkan padang lamun sebagai habitat agar sukses dalam tahapan vital dari siklus hidupnya. Oleh karena itu untuk menilai keberadaan lamun di lokasi studi dapat mengguankan beberapa indikator seperti kondisi lamun berdasarkan parameter jumlah jenis lamun, kerapatan lamun, penutupan lamun dan biomasa lamun. Selain itu indikator lain yang cukup penting berkaitan dengan keberadaan lamun adalah bentuk aktiviatas masyarakat dalam memanfaatkan areal padang. Penilaian bentuk aktivitas masyarakat tersebut dapat menjelaskan tentang manfaat lamun bagi masyarakat lokal. Namun demikian pemanfaatan tersebut sering berdampak negatif terhadap lamun. Hal tersebut disebabkan karena cara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan. Kerusakan lamun akibat perubahan kondisi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat maupun faktor alam dapat dinilai dari perubahan struktur komunitas dan populasi dari biota yang berasosiasi dengan lamun (Coles et al. 1996).

Konservasi lamun di lokasi studi sebagai strategi pengelolaan sumberdaya ikan bersumber hasil penilaian pada aspek nilai lingkungan lamun, sumber kerusakan lamun dan keanekaragaman ikan yang berasosiasi dengan lamun. Oleh karena itu desain konservasi lamun di lokasi studi sasaran utama dalam pengelolaanya adalah: (1) melindungi fungsi ekologi lamuan dalam mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan (2) mengendalikan cara-cara pemanfaatan untuk mencegah kerusakan lamun, sehingga terjamin kelestarian dari sumberdaya ikan dan biota lain yang berasosiasi dengan lamun. Oleh karena itu


(26)

untuk mencapai sasaran tersebut selain aspek ekologi aspek sosial yang meliputi peran serta masyarakat lokal dan pengetahuan ekologi masyarakat lokal adalah faktor penting yang harus di integrasikan dalam sistem pengelolaanya (Bianchi et al. 2009)

Desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan di lokasi studi meliputi dua aspek yaitu: (1) menetapkan kriteria ekologi sebagai instrumen atau parameter yang digunakan sebagai indikator dalam monitoring dan evaluasi terhadap potensi lamun, kondisi lamun, peran ekologi lamun untuk mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan perubahannya akibat eksploitasi sumberdaya yang bernilai ekonomi di padang lamun, (2) pengelolaan yang berbasis konservasi ekosistem padang lamun untuk mengurangi atau mencegah kerusakan lamun dan lingkungannya.

Berkaitan dengan kedua aspek tersebut kriteria ekologi sebagai instrumen dalam desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan yaitu: potensi lamun (luas areal lamun dan jumlah jenis lamun), kondisi lamun (kerapatan lamun, penutupan lamun dan biomassa lamun), komunitas ikan yang berasosiasi dengan lamun (keanekaragaman ikan, kelimpahan dan kekayaan jenis ikan), fungsi ekologi lamun terhadap ikan (struktur komunitas ikan berdasarkan ukuran dan padang lamun sebagai tempat ikan mencari makan) dan sumber ancaman kerusakan lamun (kelompok nelayan yang memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari ikan dan masyarakat non nelayan yang mencari sumberdaya yang bernilai konsumsi dan ekonomi). Selanjutnya pada aspek pengelolaan parameter ekologi, sosial (pengetahuan ekologi masyarakat lokal dan kearifan lokal) dan kelembagaan. Oleh karena itu penerapan kriteria dalam pengelolaan padang lamun di lokasi studi secara spatial di buat dalam zona pengelolaan berdasarkan nilai sumberdaya pada tiap lokasi padang lamun. Secara garis besar kerangka berpikir dari desain konservasi lamun di lokasi studi seperti pada (Gambar 1).


(27)

Gambar 1 Kerangka berpikir

Perubahan kondisi lamun, struktur

komunitas ikan dan aspek sosial

masyarakat berkaitan dengan manfaat

lamun dan keberlanjutan sumberdaya ikan

Lamun (

Seagrass

) di Wilayah

Pesisir Tanjung Luar

Areal tangkapan nelalayan dan

pemanfaatan secara distruktif

oleh masyarakat

Kriteria desain

Konservasi lamun

Analisis dan Sintesis

Monitoring dan evaluasi

perubahan kondisi lamun dan

struktur komunitas ikan

Pengelolaan padang

lamun untuk keberlanjutan

sumberdaya ikan

Degradasi fungsi lamun

sebagai habitat ikan

Potensi lamun, kondisi lamun, struktur

komunitas ikan dan fungsi ekologi lamun

terhadap ikan (tempat pembesaran dan

mencarai makan)

Zonasi dan

pencegahan

pemanfaatan

distruktif


(28)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitiaan ini diharapkan dapat menambah referensi berkaitan dengan masalah degradasi lingkungan di wilayah pesisir serta menjadi strategi dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan. Selain itu hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam mengembangkan konsep pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis konservasi ekosistem.

1.5 Kebaruan (Novelty) Penelitian

Konservasi lamun didesain berdasarkan kriteria yang dapat menyebabkan perubahan pada kondisi lamun dan biota asosiasinya. Konservasi lamun di Kuraburi (Thailand selatan) dengan konsep kerjasama multi-stakehouldres (Suksa-ard et al.2010). Hal tersebut disebabakan karena kerusakan lamun yang mencapai 80 % akibat tsunami tahun 2004, penangkapan ikan yang distruktif dan rendahnya pengetahuan masyarakat lokal tentang kesehatan lamun. Selanjutnya desain konservasi lamun di Teluk Florida dengan menggunakan kriteria kualitas air. Kriteria kualitas air tersebut digunakan untuk menegelola tingkat sedimentasi dan nutrien yang dapat berdampk negatif terhadap pertumbuhan dan survive lamun. Konservasi lamun di Mediterranean menggunakan kualitas air untuk memonitoring tingkat pencemaran akibat limbah induistri, selanjutnya pada areal yang sudah tidak ada lamun tetapi sebelumnya ada lamun dilakukan melalui restorasi. Metode dan pendekatan konservasi lamun di Australia yaitu di sekitar Great Barrier Reef menggunakan indikator keragaman jenis ikan karang yang bermigrasi ke lokasi padang lamun. Keragaman jenis ikan karanag yang berasosiasi dengan lamun tersebut dimanfaatkan oleh nelayan lokal sebagai areal tangkapan. Kondisi tersebut dapat berdampak negatif terahadp kelestarian sumberdaya ikan pada areal konservasi Great Barrier Reef. Oleh karena itu pendekatan dan metode yang digunakan dalam konservasi lamun adalah melalui penambahan luas areal konservasi Great Barrier Reef sampai areal padang lamun. Selanjutnya pendekatan dan metode konservasi lamun di Filipina dan Karibbia di integrasikan dalam sistem pengelolaan MPA. Hal tersebut dilakukan karena keberadaan padang lamun secara ekologi merupakan satu kesatuan sistem secara fungsional dengan sistem lain dalam mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan (Kenworthy et al. 2000 in Larkum et al. 2006).

Keberadaan lamun yang cukup vital untuk keberlanjutan sumberdaya ikan menjadi salah satu objek konservasi lamun sumberdaya ikan di perairan laut


(29)

Indonesia. Konservasi lamun di perairan Indonesia dilakukan pada sistem pengelolaan kawasan konservasi perairan Taman Nasional Konservasi Laut, Konservasi Laut Daerah dan Konservasi Taman Wisata Laut (DKP 2008)

Kriteria dan indikator desain konservasi lamun untuk keberlanjutan sumberdaya ikan di lokasi studi bersumber dari hasil analisis dan sintesis pada beberapa parameter seperti: potensi lamun, kondisi lamun, sumber ancaman kerusakan lamun, keragaman ikan yang berasosiasi dengan lamun dan nilai lingkungan lamun yang dibutuhkan ikan untuk survive. Kriteria dan indikator ekologi tersebut berfungsi untuk mencegah kerusakan lamun sebagai habitat ikan dan sebagai alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi perubahan potensi lamun dan kondisi lamun akibat over-ekploitasi dan pemanfaatan areal lamun dengan cara tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu “kebaruan” dari penelitian ini adalah pencegahan dan pembatasan dalam pemanfaatan dengan indikator potensi dan kondisi lamun serta struktur komunitas ikan khususnya yang memiliki kelimpahan tinggi baik secara spatial dan temporal seperti Plectorhinchus flavomaculatus,Upeneus vittatus dan Archamia goni.


(30)

2.1 Distribusi dan Keragaman Jenis Lamun (Seagrass)

Lamun adalah jenis tumbuhan yang sudah beradaptasi dengan lingkungan laut (Touchhette 2007). Lamun dapat tumbuh dan berkembang di perairan tropis dan perairan temperate (Marlin 2011). Keragaman jenis lamun lebih rendah dari keragaman jenis tumbuhan lain dari kelompok angiospermae dan jumlah spesies lamun kurang dari 60 spesies (Waycott et al. 2007).

Distribusi lamun dapat dikelompokan dalam beberapa zona yaitu: (1) zona Halodule uninervis dengan kisaran distribusi sempit (narrow-leaf), (2) zona Halophila dengan kisaran distribusi yang luas dan (3) zona Thalassia-Cymodocea-Enhalus (Fortes 1990). Selanjutnya Short et al. (2001) dalam Waycott et al. (2007) mengelompokkan distribusi jenis lamun berdasarkan tipe habitat seperti pada Gambar 2 di bawah ini. Berdasarkan distribusi tiap jenis lamun tersebut dapat ditemukan jenis lamun yang endemik di daerah tropis yaitu Enhalus acoroides (Waycott et al. 2007).

Gambar 2 Distribusi jenis lamun berdasarkan habitat (Waycott et al. 2007)

Jumlah jenis lamun di perairan Indonesia sebanyak 12 spesies (Fortes 1994). Namun demikian dengan ditemukannya jenis baru yaitu Halophila sulawesi saat ini jumlah spesies lamun di perairan Indonesia sebanyak 13 spesies (Kuo 2007 in Supriadi 2009). Distribusi tiap jenis lamun di perairan Indonesia pada beberapa lokasi berdasarkan jumlah dan jenisnya antar lokasi tidak sama. Hal ini dapat menjelaskan bahwa wilayah perairan pesisir Indonesia memiliki kondisi lingkungan yang berbeda sebagai faktor pembatas keragaman jenis lamun. Salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan lamun adalah substrat dan salinitas. Keragaman jenis lamun pada beberapa lokasi serta kerapatan tiap jenis lamun/m2 (Tabel 1).

Payau

Pantai yang dangkal


(31)

Tabel 1 Komposisi jenis lamun dan kerapatan individu lamun/m2. No Jenis Lamun Selat

Sunda

Teluk Banten

Teluk Jakarta

Lombok Flores 1 Enhalus acoroides 160 40-80 36-96 60-90 60-146

2 Cymodocea rotundata 38-756 690 26-1136 253-1400 220-1800

3 Cymodocea serrulata 48-1120 60-190 1056 362 115-1600

4 Hallophila ovalis 15-240 820 18-115 400-1855 100-2160

5 Halodule pinifolia - - - 7120 430-2260

6 Halodule uninervis 10-335 40-1160 604 80-160 360-5600

7 Sringodium isotifolium 630 124-3920 144-536 1160-2520 360-3740

8 Thalassia hemprichii 30-315 220-464 68-560 200-865 160-1820

9 Thalassodendron ciliatum - - - - 400-840

Sumber: Kiswara et al (1994)

Jenis lamun di lokasi lain seperti di Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara di Kabupaten Pangkep terdiri dari 7 jenis yaitu Enhalus acoroides, Cyamodocea rotundata, Cyamodocea serrulata, Halodule uninervis, Holodule pinifolia, Thalassia hemprichii dan Syringodium isotifolium (Supriadi dan Arif 2006), dan jumlah yang sama ditemukan di Teluk Pelitajaya dan Kotania di Seram bagian barat dengan jenis Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isotifolium, Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata (Supriadi 2009). Pada perairan Teluk Toli-Toli dan pulau sekitarnya di Sulawesi Barat terdapat 8 jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Syringodium isotifolium, Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata (Supriadi 2010), di Teluk Arun Lampung Selatan dapat ditemukan 4 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides,Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Halophila ovalis (Supratomo 2000).

2.2 Biologi Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang masuk dalam sub kelas Monocotiledoneae. Siklus reproduksi lamun secara seksual dilakukan di bawah air (Marlin 2011) dan struktur reproduksi lamun secara seksual terdiri dari bunga dan buah. Selain reproduksi secara seksual lamun dapat melakukan reproduksi secara aseksual. Struktur morfologi lamun terdiri dari akar, batang dan daun. Fungsi dari tiap organ lamun adalah daun sebagai organ fotosintesis, sedangkan akar serta rhizoma berfungsi sebagai jangkar untuk menempel pada substrat dan menyerap nutrient dari lingkungan sekitar (Rutledge dan Jorge 2009

).

Selanjutnya dijelaskan hasilfotosintesis sebagian disimpan dalam bentuk karbohidrat dan akan digunakan pada kondisi lingkungan yang tidak


(32)

menguntungkan dan kemampuan lamun untuk menyimpan karbohidrat dapat dilihat dari pertumbuhan lamun.

Lamun terdiri dari dua famili yaitu famili Potamogetonaceae dengan ciri-ciri morfologi seperti herba, sistem perakaran yang maju secara perlahan, bunganya kecil, uniseluler atau hermaprodit, buahnya kecil dengan satu biji dan famili Hydrocharitaceae dengan ciri-ciri memiliki sistem perakaran dengan ujung akar dan susunan daun jelas, dan telah mengalami diffrensiasi antara helai daun dan tangkai daun serta memiliki buah yang banyak dan tidak memiliki endosperm (Fortes 1990), sedangkan Duarte (2008) in Marlin (2011) menyatakan lamun dapat dekelompokkan menjadi 4 famili yaitu famili Posidoniaceae, famili Zosteraceae famili Hydrocharitaceae dan famili Cyamodoceaceae. Adapun klasifikasi jenis lamun di perairan Indonesia seperti pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 klasifikasi jenis lamun di perairan Indonesia

Devisi: Anthophita

Kelas: Angiospermae

Subkelas: Monocotyledoneae

Ordo: Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae

Genus:Enhalus

Spesies:Enhalus acoroides

Genus Halophila Spesies: Halophila decipiens Halophila ovalis Halophila spinulosa Halophila minor

Genus: Thalassia Spesies:Thalassia hemprichii

Famili:

Potamogentonaceae

Genus: Cymodocea Spesies:

Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata

Genus: Haludule

Spesies: Halodule pinifolia

Halodule uninervis

Genus: Syringodium Spesies:

Syringodium isoetifolium

Genus: Thalassodendron

Spesies:

Thalassodendron ciliatum Sumber : Yulianda et al. (2008)


(33)

Jenis-jenis lamun tersebut memiliki ciri-ciri secara lengkap seperti pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Ciri-ciri spesies lamun yang ditemukan di perairan pesisir Indonesia.

Famili Spesies Diskripsi

1. Potamoge tonaceae

1.1. Cymodocea rotundata

Rhizoma berbentuk silinder, jumlah daun 3-4, panjang daun 4-15 cm dan lebar 2-4 mm, pada helai daun terdapat 7 -15 tulang daun, membulat dan tumpul, tiap fragmen (node) 1- 4, bunga tidak nampak dan tumbuh di intertidal

1.2. Cymodocea serrulata

Rhizoma berbentuk silinder, rhizoma memiliki panjang 4-25 cm, dengan jumlah akar 1-3, Jumlah daun 3-5 dengan panjang 4 -16 cm dan lebar 4-6 mm dan ditemukan di daerah intertidal

1.3. Halodule pinifolia

Rhizoma memiliki diameter 1mm, daun 2-3, panjang 15 cm dan lebar tidak lebih dari 1mm. dan umumnya dijumpai di substrat berlumpur

1.4. Halodule uninervis

Tulang kurang dari 13, ujung daun seperti trisula, biasanya ditemukan pada substrat berpasir dan berlumpur atau di terumbu karang

1.5. Syringodium isoetifolium

Rhizoma antar fragmen 1-5, panjang daun 16 cm dengan lebar 1-3 mm, memiliki bunga jantan dan betina

1.6. Thalassoden dron ciliatum

Batang tumbuh tegak, jumlah daun 4-6 dan panjang 7-10 cm dan biasanya berasosiasi dengan terumbu karang

2. Hydrocha ritaceae

2.1.Enhalus acoroides

Ukuran panjang lebih dari 1 meter, helai daun linier (sejajar), buah berbentuk bulat, ujung daun

membulat dan tumbuh pada substrat berlumpur. 2.2.Halophila

ovalis

Helai daun berbentuk bulat dan panjang antara 1- 4 cm dan lebar 0,5 – 2,0 cm, seperti semanggi dan mampu tumbuh sampai kedalaman 25 m. 2.3. Halophila

spinulosa

Daun berbentuk bulat panjang, tiap kumpulan daun 10 sampai 20 pasang.

2.4.Halophila decipiens

Helai daun berbentuk oval atau elips, dengan panjang 1,0 – 2,5 cm dan lebar 5 mm dan memiliki daun yang berpasang-pasangan. 1.5.Halophila

minor

Daun berbentuk bulat panjang seperti telur dan panjang 0,5 – 1,5 cm dan tumbuh substrat berpasir dan berlumpur

2.6.Thalassia hemprichii

Rhizoma tebal sampai 5 mm, pada umumnya panjang daun mencapai 40 cm dan lebar 0,4 – 1,0 cm, helai daun berbentuk pita.

Sumber : Hutomo et al. (1988), Fortes (1989), Nienhuis et al (1989) dan Ertiemeijer (1993) in Dahuri (2003).

Pertumbuhan lamun dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan yaitu sumber karbon, suhu, cahaya, salinitas, perpindahan air dan nutrient (Alongi 2000). Dahuri (2003) menyatakan bahwa parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan lamun adalah: kecerahan, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus. Koch dan Sven (1996) menyatakan aktivitas fotosintesis dari macrofita laut yaitu lamun sangat memungkinkan untuk mengembalikan keseimbangan gas CO2 di atmosfir pada


(34)

skala global. Namun menurut Duarko dan Amanda (2009) level cahaya tidak menjadi faktor utama sebagai penghalang distribusi dari Halophila decipiens di daerah intertidal dan Carlos et al (2006) menjelaskan pengurangan cahaya pada lamun dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap laju pengurangan sulfat dan berdampak pada metabolisme lamun. Adapun pengaruh dari beberapa parameter lingkungan tersebut terhadap pertumbuhan dan perkembangan lamun adalah sebagai berikut:

1 Salinitas

Tiap jenis lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, tetapi sebagian besar jenis lamun memiliki kisaran toleransi yang lebar terhadap salinitas pada kisaran antara 10 – 40 0/oo. Halophila ovalis dapat hidup pada salinitas yang rendah. Perubahan salinitas dapat menyebabkan kerusakan lamun. Manzanera et al. (2008) menyatakan Posidonia oceanica sangat sensitif terhadap peningkatan salinitas, dan kisaran salinitas yang pengaruhnya signifikan terhadap struktur dan vitalitas lamun berkisar antara 38. 4 0/oo – 39. 1 0

/oo

2 Pergerakan Air

Pergerakan air seperti kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik, untuk jenis lamun dari Turtles grass (Thalassia testudinum) dapat tumbuh secara optimal, sedangkan laju optimal untuk fotosintesis dari Thalassia testudinum pada kecepatan arus 0,25 cm/det dan Cymodocea nodosa laju optimal fotosintesisnya terjadi pada kecepatan arus 0,64 cm/det (Alongi 2000)

3 Kecerahan

Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang cukup untuk aktivitas fotosisntesis. Kebutuhan cahaya secara umum untuk tumbuhan lamun pada kisaran 200 µmolm-2sec-1. Pada daerah intertidal kebutuhan cahaya pada 400-600 µmolm-2sec-1 dan di daerah subtidal pada kisaran 150 µ mol m-2sec-1 - 250 µmolm-2 sec-1 , sedangkan pada perairan yang lebih dalam kurang dari 100 µmol m2sec-1 (Alongi 2000). Pantoja-Reyes dan Susana (2005) menyatakan cahaya memiliki peranan yang cukup relevan dalam mengatur keseimbangan pertumbuhan lamun baik secara horizontal dan vertikal.


(35)

4 Temperatur

Lamun yang tersebar secara geogrfais cukup luas dapat diindikasikan memiliki toleransi yang luas terhadap temperatur (Dahuri 2003). Namun demikian pada kenyataanya spesies lamun di daerah tropis memiliki toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur yang optimal bagi spesies lamun adalah 280C – 300C. Temperatur dapat berpengaruh terhadap kemampuan fotosintesis lamun dan akan menurun jika temperatur berada diluar kisaran optimal tersebut.

5 Nutrien

Produktivitas primer lamun ditentukan oleh dua parameter lingkungan utama yaitu (1) cahaya dan (2) nutrient. Nutrien yang ketersediaannya terbatas adalah nitrogen dan fosfat (Tomascik et al, 1997). Ketersediaan nitrogen sebenarnya cukup banyak tetapi gas ini tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh mahluk hidup (Dugan 1972 in Effendi 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa nitrogen baru bisa dimanfaatkan oleh mahluk hidup (tumbuhan dan hewan) terlebih dahulu nitrogen mengalami proses fiksasi menjadi ammonia (NH3), ammonium (NH4) dan nitrat (NO3). Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik yaitu : ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2) dan nitrat (NO3

Fosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karakteristik fosfor berbeda dengan unsur-unsur utama lainya karena fosfor tidak ditemukan dalam keadaan bebas. Fosfor berbentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium dan pada kondisi aerob bersifat tak larut serta dapat mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan aquatik (Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi 2000). Selanjutnya dijelaskan unsur fosfor di perairan ditemukan dalam bentuk anorganik yang terlarut yaitu ortofosfat (trisodium fosfat, disodium fosfat, monosodium fosfat dan diamonium fosfat) dan polifosfat (sodium hexametafosfat, sodium trifolifosfat dan tetrasodium pirofosfat).

), sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea (Effendi 2000). Nitrogen yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap lamun, karena dapat memicu pertumbuhan alga dan akan mengurangi cahaya yang masuk ke lamun.

Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan aquatik, sedangkan polifosfat harus mengalami perubahan dulu, menjadi bentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Fosfat


(36)

anorganik setelah masuk ke tumbuhan seperti fitoplankton mengalami perubahan menjadi organofosfat yaitu fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4) tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) mengalami reduksi menjadi ion besi bervalensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di perairan (Broun, 1987 in Effendi 2000).

6 Substrat

Lamun dapat tumbuh dan berkembang pada beberapa macam tipe substrat yaitu mulai dari yang berlumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40 %. Substrat memiliki peran yang cukup penting terutama sebagai: (1) pelindung dari pengaruh arus air laut dan (2) tempat pengolahan dan pemasok nutrient (Dahuru 2003). Selanjutnya dijelaskan kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun.

2.3 Peran Ekologi Padang Lamun

Lamun sampai saat ini terus menjadi perhatian yang menarik untuk kegiatan penelitian, terutama dari aspek reproduksi, fisiologi, anatomi serta proses evolusinya. Aspek ekologi seperti asosiasi lamun dengan fauna dan keterkaitan fungsi lamun dengan ekosistem lain masih menjadi objek penelitian yang sangat penting untuk pengelolaan keberlanjutan lamun dan biota asosiasinya. Beberapa jenis biota yang berasosiasi dengan lamun adalah miofauna (nematoda dan polychaeta), makro fauna (bivalvia dan amphipoda), kelompok motil epifauna dari mikrofauna seperti protozoa dan makrofauna seperti gastropoda dan echinodermata (Tomascik et.al 1997).

Lamun memiliki peran sebagai tempat pemeliharaan (nursery) ikan yang masih muda (juvenil) dan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kepadatan ikan di terumbu karang (Nienhuis et al. 2002). Oleh karena itu kehilangan habitat yang bervegetasi lamun di suatu wilayah pesisir dapat berdampak pada penurunan kepadatan (abundance) dan kekayaan (richnes) organisme (Gillanders and Bloomfield 2005). Parameter lamun yang memiliki peran cukup penting terhadap keanekaragaman jenis ikan adalah penutupan lamun (Nemeth dan Jered 2007). Adapun jenis ikan yang sering ditemukan di padang lamun adalah famili Apogonidae, Blenniidae, Centriscidae, Gerreidae, Gobiidae, Labridae, Lethrinidae, Lutjanidae, Monacanthidae, Scaridae,


(37)

Scorpaenidae, Siganidae, Syngnathidae dan Teraponidae (Ohman et al. 2002). Selanjutnya dijalaskan bahwa jenis ikan yang memilih lamun sebagai habitat dapat dikelompokkan berdasarkan: (1) kelompok ikan yang tinggal secara permanen, (2) kelompok ikan yang tinggal secara temporal, (3) kelompok ikan yang datang secara reguler seperti ikan karang yang migrasi secara harian (diurnally) dan (4) kelompok ikan yang datang secara sekali-kali. Tomascik et al (2007) menggambarkan keragaman jenis fauna yang tinggal di padang lamun (Tabel 4).

Tabel 4 Kelompok fauna yang tinggal di ekosistem padang lamun.

No. Fauna Kelompok taksa

1 Infauna Mikrofauna Protozoa dan bakteri

Miofauna Herpacticoid copepods, ostracods, nematodes dan polychaetes

Makrofauna Polichaets, bivalvia, amphipods, holothutoid dan phoronoids

2 Motil epifauna Mikrofauna Protozoa

Miofauna Hepacticoids copepods, ostracods, rotifera dan nematodes

Makrofauna Amphipods, isopods, decapods, polichaetes, gastropods, echinoderms dan nemerteans 3 Sesil efifauna Hydroids, bivalvia, bryozoans, sponges,

ascidians dan polychaetes 4 Epibentik fauna Ikan, decapods dan cephalopods Sumber : Tomascik et al. (1997)

Jenis ikan yang berasosiasi dengan lamun dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu: (1) penghuni penuh yaitu yang memijah dan menghabiskan masa hidupnya di padang Iamun seperti Apogon margaritophorus, (2) penghuni yang menghabiskan hidupnya di padang lamun selama masa juvenil hingga siklus dewasa tetapi memijah di luar padang lamun seperti Halichoeres leparensis, Paramia quinquelineata, Monacanthus tomentosus, M. hajam, Hemiglyphidodon plagiumetopon dan Sygnathoides biaculeatus, (3) penghuni yang hanya pada tahap juvenil seperti Siganus canaliculatus, S. Virgatus, S.chrysospilos, Lethrinus spp. Scarus spp. Abudefduf spp. Monacanthus mylli dan Muloides samoensis dan (4) penghuni berkala atau transit yaitu untuk berlindung dan mencari makan (Tomascik at al. 1997).

Keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan di padang lamun didukung oleh heterogenitas habitat, ketersediaan makanan, peningkatan ruang hidup dan perlindungan dari predator (Dolar 1991). Pilditch et al. (2004) menyatakan habitat yang memiliki vegetasi lamun memiliki hubungan yang signifikan dengan kepadatan dan komposisi makroinvertebrata seperti di esturia New Zealand dan fauna herbivor yang memiliki ketergantungan cukup besar terhadap lamun


(38)

adalah sea urchin (Tripneustes gratilla), ikan, penyu hijau (Chelonia midas) dan dugong (Dugong dugong) (Richmond, 2002, Eklof et. al, 2008 in Lyimo et al. 2009). Zieman et al. (1984) dan Mattila dan Cristoffer (1999) menjelaskan secara lebih spesifik peran lamun terhadap ikan yaitu sebagai tempat berlindung dari predator, sedangkan Asmus et al. (2005) menjelaskan peran lamun sebagai habitat juvenil pada zona pasang surut. Selanjutnya Jones et al. (2006) menyatakan selain faktor kerapatan, ukuran penutupan dan besarnya fragmentasi habitat berperan dalam mendukung kelimpahan juvenil ikan. Namun demikian ketersediaan makan di padang lamun merupakan indikator utama perpindahan ikan dari ekosistem lain ke padang lamun (Horinouchi 2007). Asosiasi lamun dengan epifit dapat menambah ketersediaan makanan di padang lamun dan memiliki korelasi yang positif untuk peningkatan populasi herbivora (Heck Jr dan Paul 1999).

Jenis makanan ikan di padang lamun adalah krustasea, amphipoda, brachyura, stomatopoda, copepoda, polychaeta dan gastropoda (Peristiwady, 1994 in Kiswara, 1999). Belt et al. (2007) menemukan jenis ikan omnivora yang memiliki kelimpahan paling tinggi dan termasuk ikan pemakan invertebrata di Wakatobi. Selain karena faktor makanan ikan bermigrasi ke padang lamun dapat disebabkan oleh struktur habitat (Jones et al 2006). Perpindahan ikan dari mangrove dan rawa (saltmarsh) ke padang lamun karena faktor struktur habitat lamun yang sangat mendukung sebagai tempat ikan mencari makanan dan berlindung dari predator (Mattila dan Bostrom 1999). Selain struktur habitat faktor waktu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap ikan yang bermigrasi ke padang lamun. Griffiths (2001) menjelaskan ikan yang tertangkap pada malam hari lebih baik untuk digunakan dalam penilaian keanekaragaman ikan, karena dapat merepresentasikan struktur komunitas ikan yang lebih mendekati kebenaran. Selanjutnya Bell et. al (2007) menjelaskan jenis ikan omnivora lebih dominan pada siang hari dan diganti dengan ikan pemakan invertebrata pada malam hari.

Peran lamun terhadap ikan dijelaskan oleh Weinstein et al. (2001) yaitu lamun memiliki kontribusi sebagai tempat pemeliharaan ikan lebih dari 30 %, mangrove antara 5 – 10 %, dataran pasang surut (tidal flat) 5 %, rawa 25 – 30 %, terumbu karang 25 % dan dasar perairan yang berlumpur lebih kecil dari 5 %. Uraian fungsi lamun terhadap ikan seperti yang disebutkan di atas dapat merupakan indikator ekologi dari peran lamun terhadap ikan. Padang lamun


(39)

selain berperan sebagai habitat ikan dan biota lain, lamun memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan sistem ekologi di wilayah pesisir. Dalam hal ini Bengen (2004) menjelaskan fungsi lamun di wilayah perairan pesisir adalah: (1) produsen detritus dan zat hara, (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, (3) sebagai tempat ikan mencari makan dan berlindung dari sengatan matahari.

Lamun dapat memproduksi bahan bahan organik dalam bentuk detritus. Biomassa lamun dalam bentuk detritus yang disumbangkan ke perairan sekitar sebesar 10% - 20% (Tomascik et al. 1997). Proses pemanfaatan lamun oleh organisme laut melalui rantai makanan yaitu rantai makanan detritus dan rantai makanan herbivora (Engeman et al 2008). Contoh model rantai makanan di padang lamun seperti pada Gambar 3.

Gambar 3 Rantai makanan pada lamun dari jenis Enhalus acoroides (Tomascik et al.1997)

Lamun memiliki peran tidak saja terhadap ikan dan biota laut tetapi memiliki peran yang cukup penting terhadap lingkungan. Mekanisme peran lamun tersebut seperti pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Nilai ekologi dan mekanisme peran lamun.

No Nilai Ekologi Diskripsi

1 Stabilitas sedimen dan pesisir Canopy lamun sebagai penyangga perpindahan air dan rihizoma-akar dapat mengikat sediment

2 Menjaga kualitas air Canopy lamun, epifit dan alga berperan seperti semak belukar (scrub) sebagai atau menahan nutrient yang masuk melalui sungai atau run-off

3 Produktivitas primer untuk ekosistem pesisir

Produksi karbon organik dan oksigen 4 Pemeliharaan (nursery) ikan Berlindung, makanan, dan mendukung jaring

makanan Sumber : Thom dan Long (2001)


(40)

2. 4 Ancaman Kerusakan Lamun

Kerusakan lamun selain disebabkan oleh perahu nelayan, sebagian besar lamun yang hilang dari perairan pesisir akibat aktivitas pembangunan (Davis dan Fyfe 2007). Indikator untuk menilai kerusakan lamun adalah komposisi biota laut yang berasosiasi dengan lamun, kerapatan, penutupan, biomassa dan luas areal lamun. Kerusakan lamun pada skala tertentu dapat menjadi dasar untuk mengembalikan fungsi lamun melalui program konservasi dan restorasi (de Jong et al. 2009).

Saat ini ancaman terhadap kerusakan lamun tidak saja berasal dari aktivitas antropogenik, juga dari perubahan iklim global yang dapat berdampak pada naiknya permukaan air laut dan peningkatan suhu air laut yang akan berpengaruh negatif terhadap lamun (Schultz 2008). Selanjutnya Neckles dan Frederick (1999) menjelaskan dampak perubahan iklim global terhadap lamun adalah: (1) perubahan suhu dapat mengubah laju pertumbuhan dan fungsi fisiologi yang lain dari tumbuhan lamun, (2) naiknya permukaan air laut akan menyebabkan bertambahnya kedalaman perairan dan berpengaruh terhadap perubahan pergerakan air yang dapat berdampak pada berkurangnya jumlah cahaya yang sampai kelamun.

Selain yang telah disebutkan di atas tekanan yang cukup potensial dan dapat menyebabkan hilangnya lamun adalah sedimentasi, masuknya spesies baru, panangkapan ikan, aquakultur, overgrazing dan alga blooming (William et al. 2006). Contoh kerusakan lamun akibat sedimentasi adalah di Taman Nasional Tuanku Abdul Rahman Sabah Malaisia (Coles et al. 2008) dan contoh lain yang menyebabkan kerusakan lamun di wilayah tropis seperti pada (Tabel 6).

Tabel 6 Sebuah sintesis dari luas areal lamun yang hilang dan sumber kerusakan lamun.

Mekanisme utama penyebab hilangnya lamun Areal yang hilang

(km2

Lingkungan (Environmental) )/tahun

Secara biologi < 1,0 Pendaratan kapal, polusi herbivora 1, 0 - 100 Eutrofikasi, perahu dan

sedimentasi

herbivora > 100 Hidrologi dan resuspensi

sedimen

Tidak ada data Sumber : William et al. (2006)

Selanjutnya Engeman et al. (2008) menyatakan aktivitas perahu memiliki dampak negatif terhadap lamun di Teluk Florida dengan luas areal lamun yang rusak dari tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 sebesar 27,1 ha dan antara


(41)

tahun 1997 sampai tahun 2005 sebesar 10,8 ha/tahun, Virnstein dan Lori (2004) menyatakan di Utara Indian River Lagoon Florida, kerusakan lamun dari tahun 1996 sampai tahun 1997 lebih dari 100 ha yang disebabkan oleh melimpahnya makroalga dan tingkat kekeruhan air yang meningkat. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa ancaman ekosistem padang lamun saat ini dapat berasal dari: (1) sedimentasi, (2) eutrofikasi, (3) over eksploitasi sumberdaya ekosistem padang lamun, (4) penggunaan alat dan bahan yang dapat merusak habitat dan (5) degradasi fisik habitat lingkungan laut sebagai akibat dari suatu pengerukan. Oleh karena itu dalam mendesain model kerusakan lamun dapat dilakukan melalui dua proses yaitu: (1) lokalisasi gangguan yang bersumber dari jangkar, bom dan peralatan yang tidak ramah lingkungan dan (2) identifikasi sumber kerusakan yang berasal dari proses sedimentasi dan faktor antopogenik lainnya (Schultz 2008). Namun demikian kemampuan pulih (recovery) lamun dapat menjadi dasar dalam mengestimasi biaya untuk program restorasi (Karlin et al 2008).

2.5 Konservasi Lamun

Pengelolaan sumberdaya alam hayati di wilayah pesisir dan laut dimulai dari pemahaman tentang aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap komunitas biota laut dan ekosistemnya. Pada sistem ekologi di wilayah pesisir ada tiga ekosistem yang sering terkena dampak aktivitas manusia yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Namun demikian menurut Coles et al ((2008) lamun sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam aspek perlindungan baik dari kalangan ilmuan, pemerintah dan masyarakat, sedangkan lamun memiliki fungsi sebagai perangkap sedimen melalui sistem pertumbuhannya dan memperlambat energi gelombang serta arus yang sampai ke pantai.

Pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir berkaitan dengan dinamika pembangunan dapat dilakukan dengan pendekatan konservasi melalui mekanisme top down dan bottom up (Dearden et al. 2005). Selanjutnya strategi pengelolaan yang dibutuhkan adalah meningkatkan kesadaran semua pihak tentang nilai konservasi lingkungan. Selanjutnya Satria (2009) menyebutkan instrumen penting yang dapat digunakan dalam konservasi sumberdaya laut yaitu: (1) instrumen ekonomi yaitu kompensasi bagi masyarakat yang tergantung pada nilai sumberdaya yang ada di areal konservasi, (2) instrumen hukum, (3)


(42)

instrumen politik yaitu berupa gerakan politik hijau untuk peduli terhadap isu-isu lingkungan, (4) instrumen pendidikan dan (5) instrumen teknis yang meliputi pengembangan teknologi ramah lingkungan.

Perlindungan ekosistem padang lamun bertujuan untuk melestarikan lamun dan biota asosiasinya. Perlindungan padang lamun dapat meningkatkan biomassa ikan di suatu wilayah perairan laut (Castro et al. 2001). Peningkatan biomassa ikan dengan pendekatan konservasi ekosistem telah dilakukan melalui penataan ruang di wilayah pesisir dengan sistem zonasi (DKP 2008). Grumbine (1994) menjelaskan evaluasi status konservasi melalui program monitoring dapat menjadi dasar dalam mengoptimalkan pengelolaan kawasan konservasi. Sukses pengelolaan dapat dimulai dari pemahaman tentang perubahan kondisi lingkungan secara spatial dan temporal yang memiliki pengaruh signifikan pada pertumbuhan dan kesehatan lamun (Davis dan Fyfe 2007).

Konsep pengelolaan dengan pendekatan konservasi ekosistem sebagai salah satu strategi pengelolaan bertujuan untuk menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati dan nilainya (UU No. 5 Tahun 1990). Sedangkan World Conservation Strategy mendefinisikan konservasi adalah sebagai manajemen dalam penggunaan biosfer oleh manusia dan dapat memberi manfaat yang besar untuk keberlanjutan (sustainability) bagi generasi sekarang dan dapat melakukan pemeliharaan untuk kebutuhan generasi yang akan datang (Gilpin 1996).

Konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (UU No 37 Tahun 2007). International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) mendefinisikan konservasi atau area perlindungan laut adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora-fauna dan penampakan sejarah serta budaya dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya (Pet-Soede et al. 2007). Definisi konservasi di atas makna yang cukup ensensial adalah nilai keberlanjutan dalam pemanfaatan yang bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian, agar dapat digunakan oleh generasi


(1)

Lampiran 9 Frekuensi Spesies di Lungkak

No Famili Spesies Frekuensi Spesies

1 Engraulidae Stolephorus indicus 5

2 Leiognathidae Leiognathus oblongus 5

3 Mugilidae Moolgarda delicates 5

4 Mullidae Upeneus vittatus 5

5 Carangidae Caranx ignobilis 4

Scomberiodes tala 4

6 Gereidae Gerres oyena 4

7 Haemulidae Plectorhinchus flavomaculatus 4

8 Leiognathidae Secutor interpuptus 4

9 Monacanthidae Acreichthys tomentosus 4

10 Apogonidae Archamia goni 3

11 Cynoglossidae Paraplagusia bilineata 3

12 Haemulidae Plectorhinchus gibbosus 3

Pomadasys maculatum 3

13 Leiognathidae Leiognathus rapsoni 3

14 Lutjanidae Lutjanus boutton 3

15 Siganidae Siganus canaliculatus 3

Siganus guttatus 3

16 Callionymidae Eleutherochir opercularis 2

17 Carangidae Caranx sexfasciatus 2

18 Fistulariidae Fistularia commersonii 2

19 Labridae Cheilio inermis 2

20 Leiognathidae Leiognathus bindus 2

Leiognathus equulus 2 Leiognathus splendens 2

21 Sphyraenidae Sphyraena barracuda 2

22 Tetraodontidae Chelonodon patoca 2

23 Apogonidae Archamia goni 1

Foa brachygramma 1

24 Blennidae Petroscirtes variabilis 1

25 Bothidae Bothus pantherinus 1

26 Carangidae Caranx melampygus 1

27 Chandidae Ambassis buruensis 1

28 Chirocentridae Chirocentrus dorab 1

29 Clupeidae Sardinella gibbosa 1

30 Hemiramphidae Hemiramphus far 1

31 Leiognathidae Gazza rhombea 1

Leiognathus daura 1

32 Lethrinidae Lethrinus variegates 1

Gymnocranius elongates 1 Lethrinus lentjan 1

33 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 1

34 Pomacentridae Neopomacentris azysron 1

35 Scaridae Calotomus spinidens 1

36 Synodontidae Saurida gracilis 1

Saurida nebulosa 1

37 Tetraodontidae Arothron manilensis 1


(2)

Lampiran 10 Jenis Famili, Jumlah Spesies tiap Famili dan Jumlah Individu tiap

Spesies di Poton Bakau

No Famili Spesies Jumlah Individu tiap spesies

1 Apogonodae Apogonichthys ocellatus 172

Archamia goni 1286

Cheilodipterus macrodon 5

Sheilodipterus quinquelinatus 9

2 Balistidae Balistapus undulates 9

3 Bothidae Bothus pantherinus 1

4 Callionymidae Eleutherochir opercularis 8

5 Carangidae Caranx ignobilis 126

Caranx melampygus 24

Caranx sexfasciatus 86

Scomberiodes lysan 132

Secutor interuptus 11

Trachinotus blochii 10

6 Centriscidae Acoliscus strigatus 2

7 Chandidae Ambassis buruensis 253

Chanos chanos 1

8 Clupeidae Sardinella gibbosa 103

Sardinella lemuru 19 9 Cynoglossidae Paraplagusia bilineata 12

Cynoglossidae Paraplagusia blochi 13

10 Ephippidae Drepane punctata 1

Platax boersi 1

11 Engraulidae Stolephorus indicus 125

Thryssa mystax 3 12 Fistulariidae Fistularia commersonii 2

13 Gerreidae Gerres filamentosus 16

14 Haemulidae Plectorhinchus celebicus 39

Plectorhinchus falvomaculatus 233

Plectorhinchus gibbosus 1

Pomadasys argenteus 7

15 Labridae Thalossoma hardwickii 1

16 Leiognathidae Gazza minuta 15

Gazza rhombea 32

Leiognahus bindus 290

Leiognathus daura 73

Leiognathus equulus 268

Leiognathus rapsoni 34

Secutor interuptus 16 17 Lethrinidae Gymnocranius elongatus 18 18 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 3

Lutjanus boutton 4

Lutjanus lutjanus 16 19 Monacanthidae Acreichthys tomentosus 3

20 Mugilidae Moolgarda delicates 30

21 Mullidae Upeneus indicus 40

Upeneus vittatus 171

22 Polynemidae Filimanus xanthonema 21

Polynemus pelbeius 2 23 Pomacentridae Amphiprion frenathus 2


(3)

Johnius borneensis 2

Johnius macropterus 7

25 Siganidae Siganus canaliculatus 15

Siganus argentheus 4

26 Sillaginidae Sillago chondropus 3

Sillago macrolepis 1

Sillago sihama 2

27 Sphyraenidae Sphyraena barracuda 68

28 Synodontidae Saurida nebulosa 4

Synodus dermatogenys 1 29 Tetraodontidae Canthigaster compressa 1

Chelonodon patoca 41

Langocephalus gloveri 4

Takifugu radiates 1 30 Triacanthuridae Triacanthus neiuhofi 18

31 Trichiuridae Johnius macropterus 4

Trichiurus lepturus 44


(4)

Lampiran 11 Frekuensi Spesies di Poton Bakau

No Famili Spesies Frekuensi Spesies

1 Apogonidae Archamia goni 5

2 Engraulidae Stolephorus indicus 5

3 Haemulidae Plectorhinchus falvomaculatus 5

4 Mugilidae Moolgarda delicates 5

5 Mullidae Upeneus vittatus 5

6 Carangidae Caranx ignobilis 4

Scomberoides lysan 4

7 Clupeidae Sardinella gibbosa 4

8 Leiognathidae Leiognathus equulus 4

9 Mullidae Upeneus indicus 4

10 Siganidae Siganus canaliculatus 4

11 Trichiuridae Trichiurus lepturus 4

12 Callionymidae Eleutherochir opercularis 3

13 Carangidae Caranx melampygus 3

Caranx sexfasciatus 3

Secutor interuptus 3

Trachinotus blochii 3

14 Chandidae Ambassis buruensis 3

15 Clupeidae Sardinella lemuru 3

16 Cynoglossidae Paraplagusia bilineata 3

Paraplagusia blochi 3 17 Haemulidae Plectorhinchus celebicus 3

18 Leiognathidae Leiognahus bindus 3

19 Sillaginidae Sillago chondropus 3

20 Triacanthuridae Triacanthus neiuhofi 3

21 Apogonodae Apogonichthys ocellatus 2

Cheilodipterus macrodon 2

22 Gerreidae Gerres filamentosus 2

23 Leiognathidae Gazza rhombea 2

Leiognathus daura 2 Secutor interuptus 2

24 Lethrinidae Gymnocranius elongatus 2

25 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 2 Lutjanus boutton 2 Lutjanus lutjanus 2

26 Polynemidae Filimanus xanthonema 2

27 Sciaenidae Johnius amblycephalus 2

28 Synodontidae Saurida nebulosa 2

29 Tetraodontidae Chelonodon patoca 2

30 Trichiuridae Johnius macropterus 2

31 Apogonidae Sheilodipterus quinquelinatus 1

32 Balistidae Balistapus undulates 1

33 Bothidae Bothus pantherinus 1

34 Centriscidae Acoliscus strigatus 1

35 Chanidae Chanos chanos 1

36 Ephippidae Drepane punctata 1

Platax boersi 1

37 Engraulidae Thryssa mystax 1

38 Fistulariidae Fistularia commersonii 1

39 Haemulidae Plectorhinchus gibbosus 1

Pomadasys argenteus 1

40 Labridae Thalossoma hardwickii 1


(5)

42 Leiognathidae Leiognathus rapsoni 1

43 Monacanthidae Acreichthys tomentosus 1

44 Polynemidae Polynemus pelbeius 1

45 Pomacentridae Amphiprion frenathus 1

46 Sciaenidae Johnius borneensis 1

Johnius macropterus 1

47 Siganidae Siganus argentheus 1

48 Sillaginidae Sillago macrolepis 1

Sillago sihama 1

49 Sphyraenidae Sphyraena barracuda 1

50 Synodontidae Synodus dermatogenys 1

51 Tetraodontidae Canthigaster compressa 1 Langocephalus gloveri 1 Takifugu radiates 1


(6)

SUMBER DAYA IKAN DI TANJUNG LUAR

LOMBOK TIMUR

ABDUL SYUKUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

BOGOR

2012