Uji Disolusi Tablet Parasetamol Yang Diproduksi Oleh Pt Mutiara Mukti Farma (Mutifa) Medan Secara Spektrofotometri Uv-Vis

(1)

UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL YANG

DIPRODUKSI OLEH PT MUTIARA

MUKTIFARMA(MUTIFA) MEDAN

TUGAS AKHIR

Oleh:

JUWAIRIA SIREGAR

NIM 122410046

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

UJI DISOLUSI TABLET PARASETAMOL YANG

DIPRODUKSI OLEH PT MUTIARA

MUKTIFARMA(MUTIFA) MEDAN

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya PadaProgram Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

JUWAIRIA SIREGAR NIM 122410046

Medan, Mei 2015 Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing,


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tugas akhir berjudul “UJI DISOLUSI TABLET

PARASETAMOL YANG DIPRODUKSI OLEH PT MUTIARA MUKTI

FARMA (MUTIFA) MEDAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS”.

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagaimana mestinya. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak antara lain:

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., sebagai Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., sebagai Ketua Program Studi Diploma-III Analis Farmasi dan Makanan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Popi Patilaya, S.Si., M.Sc., Apt., sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.


(4)

4. Ibu Dra. Nuranti Sirait, sebagai Pembimbing Lapangan yang telah membimbing dan memberikan sarana serta petunjuk selama pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan di PT Mutifa Medan.

5. Ibu Dra. Anayanti Arianto, M.Si., Apt., sebagai Dosen Pembimbing Akademik selama penulis melaksanakan pendidikan pada program studi D-III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. 6. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara atas

ilmu, didikan dan bimbingan kepada penulis selama ini.

Selama penulisan tugas akhir ini penulis banyak menerima bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Makmur Siregardan Ibunda Jamilah yang telah membesarkan, mendidik dan member motivasi berupa moril maupun materi kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa sepenuhnya isi dari tugas akhir ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan serta masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas akhir ini.Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan seluruh pihak yang terkait.

Medan, Mei 2015 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. LatarBelakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

1.3. Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Tablet ... 4

2.1.1. Jenis-jenis Tablet ... 4

2.1.2. Cara Penggunaan Tablet ... 5

2.1.3. Persyaratan Tablet ... 6

2.2. UraianUmumParasetamol ... 8

2.2.1. MekanismeKerja ... 9

2.2.2. Farmakokinetik ... 9

2.2.3. Farmakodinamik ... 10

2.2.4. EfekSamping ... 10

2.2.5. Indikasi ... 11


(6)

2.3. Disolusi ... 12

2.3.1. MetodeUjiDisolusi ... 13

2.3.2. PengaruhBentukSediaanTerhadapLajuDisolusi .... 14

2.4. Spektrofotometri ... 16

2.4.1. Definisi ... 16

2.4.2. Instumen ... 16

BAB III METODOLOGI ... 18

3.1. Tempat... 18

3.2. Alat-alat ... 18

3.3. Bahan-bahan ... 18

3.4. Prosedur ... 18

3.4.1. PembuatanLarutanDaparFosfat pH 5,8 ... 18

3.4.2. PembuatanLarutanPembanding ... 19

3.4.3. PembuatanLarutanUji ... 19

3.4.4.Penetapan Kadar SecaraSpektrofotometri UV ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1. Hasil ... 21

4.2. Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.1. Kesimpulan ... 23

5.2. Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel4.1.Kadar Allopurinol Terlarut Dalam Media HCl 0,01 N ... 21


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Parasetamol (asetaminofen) merupakan salah satu obat analgesik-antipiretik yang sangat populer. Parasetamol dapat tersedia dalam berbagai macam sediaan seperti tablet, kapsul, tetes, eliksir, suspensi, dan supositoria. Parasetamol pada umumnya diberikan dalam bentuk tablet yang mengandung 500 mg bahan aktif. Parasetamol juga sering dikombinasikan dengan bahan obat lain dalam satu formulasi (Rohman, 2008).

Untuk menghilangkan rasa sakit dan nyeri yang ringan sampai moderat, serta untuk menurunkan suhu badan pada keadaan panas badan yang tinggi dibutuhkan obat yang memberikan efek antipiretik (menurunkan demam) dan analgesik. Dimana antipiretik bekerja dengan meningkatkan eliminasi panas dengan cara menimbulkan dilatasi pembuluh darah parifer dan mebolisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan mengeluarkan keringat yang dapat mengakibatkan penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tersebut adalah hasil kerja obat pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan pusat kontrol di hipotalamus. Adapun contoh obat yang mengandung antipiretik dan analgesik antara lain parasetamol, dimana dalam perdagangan biasa parasetamol diformulasikan dalam bentuk sediaan tablet dengan dosis 500 mg untuk tiap tablet (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Parameter uji yang dilakukan untuk pengujian setiap tablet adalah keseragaman bobot untuk menjamin keseragam tiap tablet, kekerasan agar tablet


(9)

dapat bertahan terhadap berbagai guncangan, kerenyahan untuk mengetahui kerenyahan tablet, waktu hancur untuk mengetahui kesesuaian batas waktu hancur, disolusi untuk mengetahui lama obat melarut dan penetapan kadar untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat (Ditjen POM, 2014).

Salah satu parameter uji yang dilakukan untuk pengujian sediaan tablet adalah dilakukan uji disolusi. Uji ini dilakukan untuk menentukan kesesuain dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan lain dalam monografi (Ditjen POM, 2014).

Faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi yaitu ukuran dan bentuk yang akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan. Selain itu sifat media pelarut juga akan mempengaruhi uji kelarutan. Beberapa kegunaan uji disolusi antara lain menjamin keseragaman suatu batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan dan diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru (Ditjen POM, 2014)

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk memilih judul “Uji Disolusi Tablet Parasetamo Secara Spektrofotometri UV-Visible Yang Diproduksi Oleh PT Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan” yang dimaksud untuk menjelaskan bagaimana suatu obat larut sempurna sehingga dapat melepaskan zat aktifnya kemudian diabsorbsi dan dapat melewati membran masuk ke jaringan termasuk reseptor yang membutuhkan sehingga berefek terapi.


(10)

1.2Tujuan Dan Manfaat

1.2.1 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. mengetahui kadar parasetamol yang terlarut dari sediaan tablet parasetamol yang diproduksi oleh PT. Mutifa dalam media buffer fosfat pH 5,8;

b. membandingkan kadar parasetamol yang terlarut dari sediaan tablet parasetamol yang diproduksi oleh PT. Mutifa dengan persyaratan uji yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi V.

1.2.2 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, khususnya tentang uji disolusi tablet parasetamol secara spektrofotometri UV-Visibel.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tablet

Tablet adalah sediaan padat yang dibuat secara kempa-cetak, berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan.Zat tambahan yang digunakan dapat berfungsi sebagai zat pengisi, zat pengembang dan zat pembasah (Anief, 2007).

2.1.1 Jenis-jenis Tablet

Menurut Anief (1995), ada beberapa jenis tablet antara lain:

a. Tablet kempa, yaitu suatu bentuk sediaan tunggal yang disiapkan dengan mengempa bahan obat yang digranulasi di bawah tekanan beberapa ratus kg per cm2permukaan ke dalam bentuk cakram atau bentuk lain sesuai punch dan die.

b. Tablet kunyah, yaitu tablet yang dikunyah terlebih dahulu di dalam mulut kemudian ditelan.

c. Tablet salut, yaitu tablet yang disalut dengan satu atau lebih lapisan dari campuran berbagai zat. Tablet salut gula disalut dengan gula. Tablet salut enterik dibuat agar dapat tahan terhadap asam lambung dan tablet yang hanya hancur diusus. Salut dibuat dari asam ftalat, resin, dan asam stearat.

d. Tablet efervesen, yang pada penggunaannya tablet dilarutkan dulu dalam segelas air akan keluar gas CO2 dan tablet akan pecah dan larut.


(12)

2.1.2 Cara Penggunaan Tablet

Menurut Ansel (1989), tablet dapat digunakan dengan berbagai cara sebagai berikut:

a. Tablet Oral

Tablet oral dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tablet biasa dan tablet kunyah.Tablet biasa yaitu tablet yang dicetak, tidak disalut, diabsorbsi disaluran cerna dan pelepasan obatnya cepat untuk segera memberikan efek terapi, contohnya tablet parasetamol.Tablet kunyah yaitu tablet yang dikunyah dulu baru ditelan, contohnya tablet antasida.

b. Tablet penggunaannya melalui rongga mulut

Tablet yang penggunaanya melalui rongga mulut antara lain tablet bukal, tablet sublingual dan tablet hisap. Tablet bukal yaitu tablet yang digunakan dengan cara disisipkan diantara gusi dan pipi, contohnya tablet progesteron. Tablet sublingual yaitu tablet yang digunakan dengan cara diletakkan dibawah lidah. Tablet ini cepat melarut dan bahan obatnya cepat diabsorbsi, contohnya tablet isosorbit dinitrat. Tablet hisap yaitu tablet yang digunakan dengan cara dihisap dan obatnya terlarut sedikit demi sedikit dan diserap dirongga mulut, contohnya tablet antiseptika dan tablet lokal anastesi.

c. Tablet penggunaannya di bawah kulit

Tablet yang digunakan dibawah kulit antara lain tablet implantasi dan tablet hipodermik. Tablet implantasi yaitu tablet yang digunakan dengan cara ditanamkan di dalam jaringan di bawah kulit dengan tujuan untuk pemakaian tempo lama, contohnya tablet hormon KB. Tablet hipodermik adalah tablet yang


(13)

sebelum digunakan dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarutnya, contohnya tablet atropine sulfat.

d. Tablet everfessen

Tablet everfessen yaitu tablet yang dilarutkan terlebih dahulu dalam air, kemudian diminum, contohnya tablet Ca Sandoz.

e. Tablet vagina

Tablet vagina yaitu tablet yang pemakainannya melalui vagina.Bentuknya pipih oval dengan bagian ujungnya lebih kecil.Tablet ini umumnya mengandung antibiotik dan antibakteri.

2.1.3 Persyaratan Tablet

Menurut Farmakope Indonesia Edisi V, tablet harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Keseragaman sediaan

Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif merupakanbagian terbesar dari tablet dan cukup mewakili keseragaman kandungan.Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup darikeseragaman kandungan jika zat aktif merupakan bagian terkecil dari tablet atau jika tablet bersalut gula. Oleh karena itu, umumnya farmakopemensyaratkan tablet bersalut dan tablet yang mengandung zat aktif 50 mgatau kurang dan bobot zat aktif lebih kecil dari 50% bobot sediaan, harusmemenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang pengujiannyadilakukan pada tiap tablet.


(14)

b. Kekerasan

Tablet harus memiliki kekuatan atau kekerasan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan pada saat pengepakan dan pengangkutan.Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Hardness Taster.Tablet diletakkan diantara alat penekan punch dan dijepit dengan memutar sekrup pengatur sampai tanda lampu menyala, lalu ditekan tombol sehingga tablet pecah.Tekanan dapat ditunjukkan melalui skala yang tertera. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 Kg.

c. Kerenyahan

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kerenyahan tablet, karena tablet yang rapuh dan rusak kandungan zat berkhasiatnya berkurang sehingga mempengaruhi efek terapi. Kerenyahan ditandai dengan massa partikel yang berjatuhan dari tablet. Uji ini menggunakan alat yang disebut Roche Friabilator yang terdiri dari sebuah tabung yang berputar, ke arah radial disambungkan sebuah bilah lengkung. Tablet dimasukkan kedalam drum tersebut, dihidupkan alat maka drum berputar dan tablet bergulir jatuh sampai pada putaran berikutnya dipegang kembali oleh bilah. Pemutaran dilakukan 100 kali dengan persyaratan tablet tidak boleh kehilangan berat lebih dari 0,8%.

d. Waktu hancur

Uji ini dimaksud untuk mengetahui kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa


(15)

tablet dirancang untuk pelepasan kandungan obat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau melepaskan obat dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas diantara pelepasan tersebut.Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna.Interval waktu hancur yaitu tidak lebih dari 15 menit.Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila tidak ada sisa sediaan yang tidak larut tertinggal pada kasa.

e. Disolusi

Uji ini digunakan untuk menegtahui kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi. f. Penetapan kadar zat berkhasiat

Penetapan kadar ini digunakan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat, berarti obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai tertera pada monografi antara lain di Farmakope Indonesia.

2.2 Uraian Umum Parasetamol

Parasetamol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sediki pahit. Parasetamol larut dalam 1:70 air dingin, 1:20 air mendidih, 1:7 etanol, 1:13 aseton, 1:40 gliserol, 1:9 propilen glikol serta larut dalam metanol,


(16)

dimetilformalmida, etil diklorida, dan dalam larutan alkali hidroksida. Parasetamol memiliki titik leleh 168-172ºC dan pH 5,3-6,5 ( Ditjen POM, 2014).

2.2.1 Mekanisme Kerja

Golongan obat ini menghambat enzim siklo-oksigenase sehinggan konversi asam arakidonat menjadi PGG2(prostaglandin yang mengandung

peroksida yang sangat reaktif) terganggu. Setiap obat menghambat siklo-oksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada (Ganiswara,1995).

2.2.2 Farmakokinetik

Asetaminofen diberikan secara oral.Penyerapan dihubungkan dengan pengosongan perut, dan konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60 menit.Asetaminofen sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan glukoronida acetaminophen, yang secara farmakologis tidak aktif.Kurang dari 5% diekresikan dalam keadaan tidak berubah.Metabolit minor tetapi sangat aktif (N-acetyle-p-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek toksisnya terhadap hati dan ginjal.Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal.Dengan kualitas toksik atau penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih (Katzung, 2002).


(17)

2.2.3 Farmakodinamik

Efek asetosal untuk menurunkan suhu tubuh jelas terlihat pada penderita yang demam.Pada orang sehat efek ini tidak jelas.Pada keadaan demam, diduga termostat dihipotalamus terganggu sehingga suhu badan lebih tinggi.Obat-obat golongan salisilat diduga bekerja dengan mengembalikan fungsi termostat ke normal.Pembentukan panas tidak dihambat, tetapi hilangnya panas dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke ferifer dan pembentukan keringat.Walaupun pembentukan keringat merupakan efek yang menonjol setelah pemberian asetosal hal tersebut bukan merupakan mekanisme yang esensial.Salisilat tetap menurunkan demam bila pembentukan keringat dihalangi dengan pemberian atropine.Efek penurunan suhu demam diduga terjadi dengan penghambatan pembentukan prostaglandin seperti efek analgesiknya.Prostaglandin E1 adalah pirogen kuat yang bila disuntikan pada hipotalamus arterior atau kedalam ventrikel otak, efeknya tidak dapat dicegah oleh obat antipiretik. Pirogen menyebabkan pembentukan prostaglandin E1 dan pembentukan zat ini dihambat oleh salisilat (Tanu, 1972).

2.2.4 Efek Samping

Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkan gangguan hati yang tidak reversibel.Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan –SH).Pada


(18)

dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabilit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversibel. Dosis dari 20 g dapat berakibat fatal.

Overdosis biasa menimbulkan antara lain mual, muntah dan anorexia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsintein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Kirana, 2002).

2.2.5 Indikasi

Penggunaan fenasetin dan asetaminofen sebagai analgetik dan antipiretik adalah sama dengan salisilat. Analgesik, fenasetin dan asetaminofen dapat diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan-keadaan seperti sakit kepala, migren, nyeri haid, artralgia, mialgia, dan lain-lain.Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu lama.Jika dosis terapi yang biasa diberikan tidak memberikan manfaat, dosis yang lebih besar biasanya juga tidak menolong (Tanu, 1972).

Antipiretik, penggunaan fenasetin dan asetaminofen untuk meredakan demam telah terdesak oleh penggunaannya untuk menimbulkan analgesia.Untuk dewasa dosis 325 mg- 1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 20 mg per kg BB, diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi 3,6 g (Tanu, 1972).

2.2.6 Dosis

Untuk nyeri dan demam dapat diberikan secara oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g per hari.


(19)

Anak-anak: 4-6 dd 10 mg per kg, yakni rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 120-180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari (Tjay dan Kirana, 2002).

2.3 Disolusi

Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk kedalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara singkat, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Ansel, 1989).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorbsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses larutnya suatu obat disebut disolusi (Anief, 2000).

Pada saat partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk kedalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat yang dikenal dengan lapisan difusi.Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membran biologis serta absorbsi terjadi (Anief, 2000).

Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat dari sediaan tersebut pertama-tama harus terlarut, sesudah itu barulah


(20)

obat yang berada dalam larutan melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan akan berdisfusi secara pasif atau transport aktif, kelarutan obat merupakan pembatas kecepatan absorbsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya, kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi, karena kecepatan disolusi dari obat tidak larut atau disintagrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif. Apabila kecepatan absorbsi tidak dapat ditentukan oleh salah satu dari tahap, maka tidak satupun dari kedua tahap merupakan pembatas kecepatan (Syukri, 2002).

2.3.1 Metode Uji Disolusi

Menurut Farmakope Indonesia Edisi V (2014), ada dua metode uji disolusi yaitu:

a. Metode basket

Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu tablet atau kapsul granul atau agregat partikel halus obat dalam larutan obat dalam darah, cairan, dan dalam jaringan lain dalam wadah 37º ± 0,5ºC selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm,


(21)

berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat.

b. Metode dayung

Sama seperti metode dayung, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas dayung dan batang seperti pengaduk.Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung.Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai.Sediaan dibiarkan tenggelam kedasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

2.3.2 Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Laju Disolusi

Menurut Syukri (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:

a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisiko kimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta ukuran-ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi.

b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Secara umum


(22)

laju disolusi akan menurun menurut ukuran sebagai berikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karna diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk, kapsul, tablet, supositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelicin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju disolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi padat dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas.

c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai.Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut.Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi


(23)

tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat disepanjang aliran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan.

2.4 Spektrofotometri

2.4.1 Definisi

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran serapan cahaya didaerah ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) oleh suatu senyawa. Absorbansi spektrofotometri UV-Vis adalah istilah yang digunakan ketika radiasi ultraviolet dan cahaya tampak diabsorbsi oleh molekul yang diukur. Alatnya disebut UV-Vis spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis adalah salah satu dari sekian banyak instumen yang digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometer umumnya digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa (Mulja dan Suharman, 1995).

2.4.2 Instrumen

Suatu diagram sederhana spektrofotometer UV-Vis memiliki komponen-komponen yang meliputi sumber-sumber sinar, monokromator, dan sistem optik sebagai berikut:


(24)

a. Sumber sinar

Daerah UV digunakan lampu hidrogen atau lampu deuterium pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara 350-900 nm.

b. Monokromator

Digunakan untuk mendispersikan sinar kedalam komponen-komponen panjang gelombangnya, yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrument melewati spektrum.

c. Optik-optik

Dapat memecah sumber sinar sehingga sumber sinar melewati 2 kompartemen dan sebagaimana dalam spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel.Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi (Rohman, 2007).


(25)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat

Uji disolusi tablet parasetamol 500 mg dilakukan di PT Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan yang bertempat di Jl. Karya Jaya No. 68 Km. 8,5 Namorambe Medan.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah Dissolution Taster (Pharneg Lab Type DISS-II), Spektrofotometri UV-Visible, timbangan analitik, kertas saring, kertas perkamen, spatula, dan alat-alat gelas (beaker gelas, corong, gelas ukur, labu tentukur, dan pipet volum).

3.3 Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah tablet parasetamol 500 mg yang diproduksi oleh PT Mutifa. Baku pembanding parasetamol, dan larutan dapar fosfat pH 5,8.

3.4 Prosedur

3.4.1 Pembuatan larutan dapar fosfat pH 5,8

Sebanyak 27,218 g kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) di larutkan dalam

air bebas CO2 dan diencerkan sampai 1000 ml sehingga diperoleh larutan kalium

dihidrogen fosfat 0,2 M. Larutan dapar fosfat pH 5,8 dibuat dengan mencampur 50 ml KH2PO40,2 M dengan 3,6 ml natrium hidroksida (NaOH) 0,2 N dan


(26)

3.4.2 Pembuatan Larutan Pembanding

Sebanyak 56,0 mg baku pembanding parasetamol dimasukan kedalam labu tentukur 100 ml. Dilarutkan dengan 70 ml larutan dapar fosfat pH 5,8, kocok hingga larut. Encerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai garis tanda lalu kocok sehingga diperoleh konsentrasi ± 560 µg/ml. kemudian dipipet 1,0 ml di masukan ke dalam labu tentukur 100 ml. Encerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai garis tanda lalu di kocok sehingga diperoleh konsentrasi ± 5,6 µg/ml. Ukur serapan baku (A) pada panjang gelombang 243 nm.

3.4.3 Pembuatan Larutan Uji

Sebanyak 900 ml media disolusi dimasukan kedalam labu disolusi. Hidupkan alat disolusi, biarkan media disolusi hingga suhu 37ºC ± 0,5ºC. Alat dijalankan pada laju kecepatan 50 rpm dan waktu 30 menit. Masukan segera 6 tablet parasetamol 500 mg kedalam masing-masing wadah secara serentak. Setelah 30 menit, larutan disolusi disaring dan dipipet 1,0 ml filtrat masukan kedalam labu tentukur 100 ml. Encerkan dengan larutan dapar fosfat pH 5,8 sampai garis tanda lalu kocok sehingga diperoleh konsentrasi ± 5,6 µg/ml. Ukur serapan larutan uji (B) pada panjang gelombang 243 nm.

3.4.4 Penetapan Kadar Secara Spektrofotometri UV

Alat spektrofotometri dihidupkan dan ditekan angka pada panjang gelombang 243 nm. Tempat kuvet dibuka, masukkan larutan dapar fosfat pH 5,8 sebagai blanko pada kuvet 1 dan larutan standar pada kuvet 2 lalu tutup sehingga didapat absorbansinya. Untuk mengukur absorbansi pada larutan uji dilakukan


(27)

dengan cara yang sama, dimana larutan blanko pada posisi tetap di kuvet 1 dan larutan uji pada kuvet 2.

Perhitungan kadar zat berkhasiat tablet parasetamol 500 mg yang larut dalam 30 menit adalah:

�=��

�� × �� �� ×

�� �� ×

��

�� × 100%

Keterangana: K = Kadar zat berkhasiat

Vm = Volume media disolusi (ml) Vb = Volume awal larutan baku (ml) Fu = Faktor pengenceran larutan uji Fb = Faktor pengenceran larutan baku Au = Absorbansi larutan uji

Ab = Absorbansi larutan baku

Bb = Bobot baku yang ditimbang (mg)


(28)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil uji disolusi tablet dalam larutan dapar fosfat pH 5,8 tertera pada Tabel 4.1. Kadar parasetamol terlarut dari sediaan tablet yang di produksi oleh PT Mutifa mencapai 96,55-105%.

Tabel. 4.1. Kadar Parasetamol Terlarut Dalam Media Dapar Fosfat pH 5,8

No. Sampel

Tablet

Kadar Zat Terlarut (%)

1 I 98,39%

2 II 96,55%

3 III 97,81%

4 IV 97,91%

5 V 104,53%

6 VI 105,64%

4.2 Pembahasan

Menurut Farmakope Indonesia edisi V (2014), kadar parasetamol terlarut dari sediaan tablet tidak kurang dari 80%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar parasetamol yang terlarut dari keenam tablet yang diuji mencapai 96,55-105%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar parasetamol yang diproduksi oleh PT Mutifa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan oleh Farmakope Indonesia Edisi V. Kadar zat aktif yang terlarut tersebut juga sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Farmakope Inggris dan Farmakope Tiongkok, dimana jumlah keenam sampel yang diuji memenuhi persyaratan yaitu kadar tidak kurang dari 80%.

Perbandingan metode spektrofotometri UV-Vis dan KCKT yaitu dari prinsip dasar yang berbeda.Untuk metode spektrofotometri UV-Vis memiliki


(29)

prinsip dasar absorbansi, sedangkan untuk metode KCKT memiliki prinsip dasar kromatografi. Metode spektrofotometri UV-Vis memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode KCKT yaitu biaya yang digunakan tidak mahal serta tidak memerlukan waktu yang lama, tetapi metode spektrofotometri memiliki kelemahan dari hasil analisis yang tidak terlalu peka. Kelebihan metode KCKT dibandingkan metode spektrofotometri yaitu hasil analisi dapat diketahui kandungan sampel benar-benar murni atau tidak (kepekaan tinggi dalam analisi).


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil uji disolusi yang telah dilakukan disimpulkan bahwa tablet parasetamol 500 mg yang diproduksi oleh PT. Mutifa Farma memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi V.

5.2 Saran

Diharapkan kepada PT. Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan agar terus meningkatkan mutu produksinya agar dapat menjaga kepercayaan masyarakat. Selain itu, kadar parasetamol perlu ditetapkan dengan metode lain yang akurasinya lebih tinggi seperti kromatografi cair kinerja tinggi.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1995).Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 45.

Anief, M. (2000).IlmuMeracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Mada University press. Hal. 244.

Anief, M. (2007).Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 92.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal.103, 104, 105, 119.

Chinese Pharmacopeia Commision. (2005). Pharmacopeia Of The People’s Republic Of China. Vol II. Hal. 127.

Ditjen POM. (2014). Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1001.

Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal.207, 209.

Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VIII. Jakarta: Salemba Medika. Hal.492, 493.

Mulja, M.H. dan Suharman.(1995). Analisis Instumental. Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 28.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.261, 262. Siswandono dan Soekardjo.(1995). Kimia Medisinal. Surabaya. Airlangga University Press.Hal. 544.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika.Edisi Pertama. Yogyakarta: UI Press. Hal.31, 37, 38.

Tanu, I. (1972). Farmakologi dan Terapi.Edisi Pertama. Jakarta: UI Press. Hal.162, 164.

Tjay, T.H. dan Kirana, R. (2000). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hal.297, 298.


(32)

Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Parasetamol

Nama Sediaan : Tablet Parasetamol

Zat berkhasiat : 500 mg Parasetamol tiap tablet

No. bets : 0909345

Media disolusi : Buffer fosfat pH 5,8 Volume disolusi : 900 ml

Tipe alat : Dayung (paddle)

Waktu : 30 menit

Kecepatan rotasi : 50 rpm Panjang gelombang : 243 nm

Persyaratan (Q) : Tidak kurang 80% dari yang tertera pada etiket Bobot baku (Bb) : 56 mg

Faktor pengenceran larutan baku (Fb) : 100 ml Faktor pengenceran larutan uji (Fu) :100 ml Kandungan parasetamol pada etiket (Ke) : 500 mg Absorbansi larutan baku : 0,33892

Sampel Absorbansi Larutan Uji

Pertama 0,33085

Kedua 0,32466

Ketiga 0,32887

Keempat 0,32923

Kelima 0,35147


(33)

Perhitungan:

Kadar Zat Terlarut (K):

K =

�� ��

×

�� ��

×

�� ��

×

�� ��

×100%

Keterangan: K = Kadar zat berkhasiat

Vm = Volume media disolusi (ml) Vb = Volume awal larutan baku (ml) Fu = Faktor pengenceran larutan uji Fb = Faktor pengenceran larutan baku Au = Absorbansi larutan uji

Ab = Absorbansi larutan baku

Bb = Bobot baku yang ditimbang (mg)

Ke = Kandungan parasetamol yang tertera pada etiket (mg) 1. Untuk Au1 = 0,33085

K

=

900

100

×

100

100

×

0,33085

0,33892

×

56

500

×

100% = 98, 39% 2. Untuk Au2 = 0,32466

K = 900

100

×

100

100

×

0,32466

0,33892

×

56

500

×

100% = 96, 55% 3. Untuk Au3 = 0,32887

K = 900

100

×

100

100

×

0,32887

0,33892

×

56

500

×

100% = 97, 81% 4. Untuk Au4 = 0,32923

K = 900

100

×

100

100

×

0,32923

0,33892

×

56

500

×

100% = 97, 91% 5. Untuk Au5 = 0,35147

K = 900

100

×

100

100

×

0,35147

0,33892

×

56


(34)

6. Untuk Au6 = 0,35522

K = 900

100

×

100

100

×

0,35522

0,33892

×

56


(1)

prinsip dasar absorbansi, sedangkan untuk metode KCKT memiliki prinsip dasar kromatografi. Metode spektrofotometri UV-Vis memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode KCKT yaitu biaya yang digunakan tidak mahal serta tidak memerlukan waktu yang lama, tetapi metode spektrofotometri memiliki kelemahan dari hasil analisis yang tidak terlalu peka. Kelebihan metode KCKT dibandingkan metode spektrofotometri yaitu hasil analisi dapat diketahui kandungan sampel benar-benar murni atau tidak (kepekaan tinggi dalam analisi).


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil uji disolusi yang telah dilakukan disimpulkan bahwa tablet parasetamol 500 mg yang diproduksi oleh PT. Mutifa Farma memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi V.

5.2 Saran

Diharapkan kepada PT. Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan agar terus meningkatkan mutu produksinya agar dapat menjaga kepercayaan masyarakat. Selain itu, kadar parasetamol perlu ditetapkan dengan metode lain yang akurasinya lebih tinggi seperti kromatografi cair kinerja tinggi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1995).Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 45.

Anief, M. (2000).IlmuMeracik Obat Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Mada University press. Hal. 244.

Anief, M. (2007).Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 92.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal.103, 104, 105, 119.

Chinese Pharmacopeia Commision. (2005). Pharmacopeia Of The People’s Republic Of China. Vol II. Hal. 127.

Ditjen POM. (2014). Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1001.

Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal.207, 209.

Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VIII. Jakarta: Salemba Medika. Hal.492, 493.

Mulja, M.H. dan Suharman.(1995). Analisis Instumental. Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 28.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.261, 262. Siswandono dan Soekardjo.(1995). Kimia Medisinal. Surabaya. Airlangga University Press.Hal. 544.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika.Edisi Pertama. Yogyakarta: UI Press. Hal.31, 37, 38.

Tanu, I. (1972). Farmakologi dan Terapi.Edisi Pertama. Jakarta: UI Press. Hal.162, 164.

Tjay, T.H. dan Kirana, R. (2000). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hal.297, 298.


(4)

Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Parasetamol

Nama Sediaan : Tablet Parasetamol

Zat berkhasiat : 500 mg Parasetamol tiap tablet No. bets : 0909345

Media disolusi : Buffer fosfat pH 5,8 Volume disolusi : 900 ml

Tipe alat : Dayung (paddle)

Waktu : 30 menit

Kecepatan rotasi : 50 rpm Panjang gelombang : 243 nm

Persyaratan (Q) : Tidak kurang 80% dari yang tertera pada etiket Bobot baku (Bb) : 56 mg

Faktor pengenceran larutan baku (Fb) : 100 ml Faktor pengenceran larutan uji (Fu) :100 ml Kandungan parasetamol pada etiket (Ke) : 500 mg Absorbansi larutan baku : 0,33892

Sampel Absorbansi Larutan Uji

Pertama 0,33085

Kedua 0,32466

Ketiga 0,32887

Keempat 0,32923

Kelima 0,35147


(5)

Perhitungan:

Kadar Zat Terlarut (K):

K =

�� ��

×

�� ��

×

�� ��

×

��

��

×

100%

Keterangan: K = Kadar zat berkhasiat

Vm = Volume media disolusi (ml) Vb = Volume awal larutan baku (ml) Fu = Faktor pengenceran larutan uji Fb = Faktor pengenceran larutan baku Au = Absorbansi larutan uji

Ab = Absorbansi larutan baku

Bb = Bobot baku yang ditimbang (mg)

Ke = Kandungan parasetamol yang tertera pada etiket (mg) 1. Untuk Au1 = 0,33085

K

=

900

100

×

100

100

×

0,33085

0,33892

×

56

500

×

100% = 98, 39% 2. Untuk Au2 = 0,32466

K = 900

100

×

100

100

×

0,32466

0,33892

×

56

500

×

100% = 96, 55% 3. Untuk Au3 = 0,32887

K = 900

100

×

100

100

×

0,32887

0,33892

×

56

500

×

100% = 97, 81% 4. Untuk Au4 = 0,32923

K = 900

100

×

100

100

×

0,32923

0,33892

×

56

500

×

100% = 97, 91% 5. Untuk Au5 = 0,35147

K = 900

100

×

100

100

×

0,35147

0,33892

×

56


(6)

6. Untuk Au6 = 0,35522

K = 900

100

×

100

100

×

0,35522

0,33892

×

56