2.2. Fisiologi Stres
Brian J Sharkey 2003: 30, mengutarakan pemikirannya jika sesuatu menggairahkan atau mengancam kita, hypothalamus memberitahukan kelenjar
pituitary anterior kelenjar dibawah otak untuk mengeluarkan hormon adrenocorticotropic ACTH, yaitu pembawa zat kimia yang begerak ke adrenal
cortex kulit otak adrenalin dan memerintahkan pelepasan hormon yang disebut glucocorticoids misalnya, cortisol. Hormon ini penting untuk respon tubuh
terhadap situasi yang menekan. Tanpa hormon tersebut, tubuh tidak dapat berhadapan dengan stres. Stres telah didefinisikan dengan apa saja yang
meningkatkan pelepasan ACTH atau glucocorticoid. Situasi yang menekan juga mendatangkan respon dalam sistem saraf
simpatetik yang mengeluarkan hormon dari adrenal medula, termasuk adrenalin epinephrine dan norepinephrine. Hormon-hormon ini mengumpulkan energi dan
mendukung respon kardiovaskular terhadap stresor penyebab stres. Aspek respon stres yang dijelaskan disebut sebagai mekanisme fight-or-flight Brian
J.Sharkey, 2003: 30. Hormon tersebut menyiapkan tubuh untuk berjuang atau berlari, tetapi memiliki pengaruh lain yang dapat merugikan kesehatan.
Epinephrine membuat gumpalan darah lebih cepat, suatu keuntungan dalam berusaha tetapi merugikan tubuh, dimana dapat mempercepat serangan jantung
atau stroke Brian J.Sharkey, 2003: 30. Guyton 2000 dan Sherwood 1996 dalam Akmarawita Kadir 2010,
mengungkapkan selain epinephrine, sejumlah hormon terlibat dalam General Stress Syndrome. Respon hormon yang predominan adalah pengaktifan sistem
CRH-ACTH-KORTISOL. Peran kortisol dalam membantu tubuh mengatasi stres, diperkirakan berkaitan dengan efek metaboliknya. Kortisol mempunyai efek
metabolik yaitu meningkatkan konsentrasi glukosa darah dengan menggunakan simpanan protein dan lemak. Suatu anggapan yang logis adalah bahwa
peningkatan simpanan glukosa, asam amino, dan asam lemak tersedia untuk digunakan bila diperlukan, misalnya dalam keadaan stres.
Reilly 1985 dalam Akmarawita Kadir 2010 mengungkapkan, reaksi normal pada seseorang yang sehat pada keadaan darurat yang mengancam
jiwanya, akan merangsang pengeluaran hormon adrenalin, hal tersebut menyebabkan meningkatnya denyut nadi, pernapasan, memperbaiki tonus otot
dan rangsangan kesadaran yang semuanya akan meningkatkan kewaspadaan, siap akan kecemasan dan antisipasi yang akan di hadapi untuk kembali pada keadaan
yang normal setelah suatu krisis yang dihadapinya. Walaupun kondisi ini akan dilanjutkan dengan keadaan stres yang siap akan terjadinya suatu kerusakan pada
tubuh. Selanjutnya apabila suatu krisis terjadi dengan suatu kasus sangat ekstrim maka dapat menimbulkan suatu kepanikan yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan atau cidera. Sherwood 1996 dalam Akmarawita Kadir 2010, mengungkapkan
bahwa akselerasi aktivitas kardiovaskuler dan pernapasan, retensi garam dan H2O, serta mobilisasi bahan bakar metabolik dan bahan-bahan pembangun dapat
bermanfaat sebagai respon terhadap stres fisik, misalnya kompetisi olahraga atletik. Ternyata sebagian besar stresor dalam kehidupan kita sehari-hari adalah
stres psikologis, meskipun stresor tersebut memicu respon yang sama. Apabila
tidak diperlukan energi tambahan, tidak ada kerusakan jaringan, dan tidak ada pengeluaran darah, penguraian cadangan energi tubuh dan retensi cairan
merupakan tindakan yang sia-sia, mungkin merugikan bagi individu yang mengalami stres.
Respon stres dibagi menjadi 3 tahapan yaitu reaksi alarm, reaksi melawan, dan reaksi letih. Tahap pertama timbul adanya bahaya dan persiapan
untuk menghadapi stressor. Tahap kedua, timbul perlawanan, tubuh mengembangkan pertahanan terhadap stressor. Apabila stres berkepanjangan dan
individu gagal menghadapi ancaman, maka akan sampai pada tahap ketiga, yaitu kelelahan. Pada tahap ini, segala kekuatan fisik dikuras dan akibatnya bisa
menimbulkan sakit Ali Maksum, 2008: 109.
2.3. Fungsi Stres