LANDASAN TEORI Perbedaan Tipe Komitmen Organisasi Antara Pekerja Tetap Dengan Pekerja Kontrak Terhadap Perusahaan

14

BAB II LANDASAN TEORI

II.A. Komitmen Organisasi II.A.1. Pengertian Komitmen Organisasi Penelitian tentang komitmen terhadap perusahaan sering dilakukan melalui pendekatan operasional dan dikonseptualisasikan dengan cara yang bervariasi sehingga banyak kajian literatur dengan definisi yang berbeda yang diberikan oleh para ahli tentang konsep dari komitmen itu sendiri Dunham, dkk; Meyer dan Allen, dalam Rifani, 2003. Berikut ini peneliti akan mengulas bermacam-macam definisi yang berbeda yang diberikan oleh para ahli tentang konsep dari komitmen itu sendiri. “Organizational commitment is a variable refelcting the degree of connection an individual perceives himself or herself to have with the particular organization in wich he or she is employed.” Jewel, 1998, hal.256 Sesuai dengan pernyataan di atas, Jewel 1998 menyebutkan bahwa komitmen organisasi merupakan suatu variabel yang mencerminkan tingkat hubungan pengamatan individu untuk menjadi bagian dari organisasi tempatnya bekerja. Sheldon dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001 juga menyatakan bahwa komitmen sebagai atau orientasi terhadap perusahaan yang menghubungkan identitas seseorang pada perusahaannya. Robins dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001 menambahkan pengertian komitmen sebagai suatu sikap yang menggambarkan orientasi karyawan terhadap perusahaan. Sementara Universitas Sumatera Utara 15 Miner dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001 menyatakan bila ditinjau dari segi sikap, pengertian komitmen adalah kekuatan relatif dari keterlibatan karyawan dan identifikasi karyawan terhadap perusahaan dimana ia bekerja. Selain itu, Welsch dan La Van dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001 menyatakan komitmen pada perusahaan adalah sebuah dimensi perilaku yang penting dan dapat digunakan untuk menilai keterikatan karyawan pada perusahaan. Hal ini didukung oleh Davis dan Newstrom dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001 yang menyatakan bahwa komitmen terhadap perusahaan adalah tingkat kemauan karyawan untuk mengidentifikasikan dirinya pada perusahaan, dan keinginannya untuk melanjutkan partisipasi secara aktif dalam perusahaan tersebut. Mowday, Porter, dan Steers dalam Luthans, 2006 juga mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi, serta keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Kemudian ditambahkan lagi oleh Mowday, Porter, Steers, dan Desler dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 dengan memberi pengertian komitmen karyawan terhadap perusahaan sebagai hubungan antara karyawan dengan perusahaan yang merupakan orientasi karyawan pada perusahaan sehingga bersedia menyumbangkan energinya dan mengikatkan diri melalui aktivitas dan Universitas Sumatera Utara 16 keterlibatan dalam perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan. Griffin dan Bateman dalam Prabowo, 2004 memiliki pendapat yang sama dengan pendapat Mowday, Porter, dan Steers di atas, dimana Griffin dan Bateman menyebutkan bahwa komitmen organisasi adalah: 1 dambaan pribadi untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi, 2 keyakinan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, dan 3 kemauan secara sadar untuk mencurahkan usaha demi kepentingan organisasi. Demikian juga dengan Prabowo 2004 yang mendefinisikan komitmen organisasi adalah hubungan antara karyawan dengan organisasi yang ditunjukkan dengan adanya keinginan untuk mempertahankan keanggotaan organisasi, menerima nilai dan tujuan organisasi serta bersedia untuk berusaha keras demi tercapainya tujuan dan kelangsungan organisasi. Mathias dan Jakson dalam Silitonga, 2006 menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah tingkat kepercayaan dan penerimaan tenaga kerja terhadap tujuan organisasi dan mempunyai keinginan untuk tetap ada di dalam organisasi tersebut. Ditambah lagi, Muchinsky 2003 menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah tingkatan dimana pekerja memiliki perasaan setia kepada orang yang mempekerjakannya. Meyer dalam Muchinsky, 2003 menyatakan bahwa secara umum komitmen organisasi mencerminkan hubungan pekerja dengan organisasi tempat ia bekerja dan berdampak terhadap keputusannya untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. Pekerja yang memiliki komitmen lebih memilih untuk tetap di dalam organisasi daripada pekerja yang tidak memiliki komitmen Dunham, Grube, dan Castaneda dalam Muchinsky, 2003. Universitas Sumatera Utara 17 Sementara itu Becker dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 menyatakan bahwa komitmen adalah sebagai akibat adanya taruhan sampingan side bets, berwujud waktu, uang, status, keterampilan, maupun fasilitas dari perusahaan. Pada pengertian ini seorang karyawan terikat untuk melakukan sesuatu yang konsisten karena bila tidak, maka ia akan kehilangan semua investasi yang telah diberikan. Komitmen terhadap perusahaan tercermin dalam kinerja karyawan, semakin tinggi komitmen karyawan, maka kinerjanya akan semakin baik. Di samping itu, komitmen karyawan juga akan terkait dengan masa kerja karyawan, absensi, turn over, prestasi kerja, dan produktivitas kerja Steers dan Porter, dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001. Oktorita, Rossyid, Lestari 2001 menyatakan bahwa komitmen tumbuh didahului dengan adanya niat untuk bekerja dalam organisasi. Karyawan yang mempunyai komitmen tinggi ditandai dengan tingkat kehadiran tinggi, keterlibatan aktif, keterikatan yang kuat dan berorientasi pada pencapaian tujuan. Brooks dalam Dahesihsari, 2002 menggambarkan komitmen organisasi dalam konteks attachment, identification, dan involvement. Selain itu, Brooks juga mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu sikap, suatu perilaku, dan sebagai suatu proses. Berdasarkan teori Kelman, O’Reilly dan Chatman dalam Caldwell, Chatman, dan O’Reilly, 1990 berpendapat bahwa komitmen kepada organisasi dinyatakan dalam tiga dasar kelekatan yang terpisah: compliance, identification, dan internalization. Compliance mengarah kepada kelekatan instrumental dalam bentuk reward khusus; identification mengarah pada kelekatan Universitas Sumatera Utara 18 berdasarkan keinginan untuk bergabung dengan organisasi; dan internalization mengarah kepada kesamaan antara nilai individu dan organisasi. O’Reilly dan Chatman lebih jauh menunjukkan bahwa konsekuensi dari komitmen tergantung kepada dasar kelekatan individu. Sementara itu, Steers dan Porter dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 membagi komitmen ke dalam dua pendekatan utama, yaitu: 1 attitudinal commitment, yang mengandung komitmen sebagai sikap. Karyawan mengadakan identifikasi dengan tujuan dan nilai perusahaan dan berkeinginan untuk tetap menjadi anggota perusahaan guna memudahkan pencapaian tujuan. 2 behavioral commitment, yang memandang komitmen sebagai perilaku. Karyawan akan mempunyai komitmen terhadap perusahaan karena tergantung pada aktivitas masa lalunya, atau jika karyawan telah mempunyai banyak tabungan di perusahaan yang sulit atau tidak mungkin ditinggalkan. II.A.2. Tipe Komitmen Organisasi Allen dan Meyer dalam Luthans, 2006 membedakan komitmen organisasi atas tiga tipe, yaitu : affective commitment, continuance commitment, dan normative commitment. 1. Affective commitment adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalm organisasi. 2. Continuance commitment adalah komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit. Universitas Sumatera Utara 19 3. Normative commitment adalah perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal yang benar yang harus dilakukan. Allen dan Meyer dalam Dahesihsari, 2002 mengusulkan bermacam- macam definisi komitmen yang mencerminkan tiga hal umum, yaitu sebuah orientasi afektif terhadap organisasi affective commitment, pertimbangan tentang biaya jika meninggalkan organisasi continuance commitment, dan tanggung jawab moral untuk tetap dalam organisasi normative commitment. Untuk membenarkan bahwa masing-masing merepresentasikan konsep-konsep yang berbeda dari konstruk komitmen organisasi, Allen dan Meyer dalam Dahesihsari, 2002 mengembangkan model tiga komponen dari komitmen organisasi. Walaupun tiap komponen mencerminkan hubungan anggota dengan organisasinya, hubungan tersebut bermacam-macam. Komitmen mengarah pada kelekatan seseorang terhadap organisasi tempatnya bekerja, namun kelekatan tersebut muncul karena bermacam-macam alasan. Pekerja dengan affective commitment yang kuat tetap bekerja pada organisasi tersebut karena mereka ingin melakukannya, pekerja dengan continuance commitment yang kuat tetap bekerja pada organisasi tersebut karena mereka butuh, dan pekerja dengan normative commitment tetap bekerja pada organisasi tersebut karena mereka merasa harus melakukannya. Oleh karena itu, tiga komponen dari komitmen organisasi mencerminkan perbedaan keadaan psikologis yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman berbeda dan akan mengarah pada perilaku yang berbeda, mencakup Universitas Sumatera Utara 20 konsekuensi berbeda terhadap perilaku dalam bekerja. Meyer, Allen, dan Smith dalam Dahesihsari, 2002. Penyebab dari affective commitment lebih berhubungan kepada kebutuhan psikologis pekerja untuk merasa nyaman dalam perannya dan kompeten dalam tugasnya Dunham, Grube, Castaneda, Hacket, Bycio, Hausdorf, Meyer, Allen, dan Smith dalam Dahesihsari, 2002. Karyawan yang memiliki affective commitment yang kuat akan mengidentifikasikan diri, terlibat mendalam, dan menikmati keanggotaannya dalam organisasi Mayer, dalam Prabowo, 2004. Irving dan Meyer dalam Prabowo, 2004 menyatakan bahwa komitmen ini berkaitan dengan pengalaman kerja. Di samping itu, affective commitment dipengaruhi oleh karakteristik organisasi seperti desentralisasi dalam pengambilan keputusan Brooke dkk dalam Prabowo, 2004, maupun karakteristik disposisional seperti locus of control yang dikemukakan Luthans, dkk dalam Prabowo, 2004. Cropanzo, dkk; Mathieu dan Zajac, Wanous, dkk dalam Prabowo, 2004 menyebutkan bahwa affective commitment berkorelasi positif dengan kesesuaian harapan antara karyawan dengan imbalan yang diberikan organisasi, keterlibatan kerja, dorongan sosial dari: pasangannya, orang tua, dan teman-temannya. Di sisi lain, penyebab dari continuance commitment dan normative comitment tidak berhubungan dengan pengalaman kerja. Allen dan Meyer dalam Dahesihsari, 2002 menyatakan bahwa komitmen pekerja, ketergantungan terhadap organisasi, dan partisipasi manajemen yang diperoleh merupakan penyebab munculnya normative commitment, ketika organisasi memberikan pengaruh dalam sosialisasi dan membentuk pengalaman terhadap Universitas Sumatera Utara 21 perasaan tanggung jawab pekerja untuk tetap bekerja pada organisasi tersebut. Weiner dalam Prabowo, 2004 mendefinisikan hal ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu, sehingga memenuhi tujuan dan keinginan organisasi. Hal ini berkaitan dengan moral dan yang benar. Weiner juga menyatakan bahwa normative commitment dapat berkembang akibat investasi organisasi pada karyawannya, misalnya adanya pelatihan, subsidi kuliah atau sosialisasi pengalaman yang menekankan nilai loyalitas. Continuance commitment di sisi lain, dapat berkembang sebagai hasil dari berbagai tindakan atau peristiwa yang meningkatkan biaya jika meninggalkan organisasi. Usia, jabatan, kepuasan karir, dan pengorbanan diri adalah hal-hal yang lebih berhubungan kepada continuance commitment Allen dan Meyer dalam Dahesihsari, 2002. Stebbins dalam Prabowo, 2004 menyebutkan bahwa continuance commitment adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku yang lain karena adanya ancaman akan kerugian. Becker dalam Prabowo, 2004 menyatakan bahwa continuance commitment berkaitan dengan akibat investasi organisasi pada anggotannya maupun kurangnya alternatif kerja yang dirasakan. Allen, Meyer, dan Becker dalam Prabowo, 2004 menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi continuance commitment, yaitu self invesment, general training, dukungan sosial dari atasannya, rekan kerja, pasangannya, orang tua, dan teman, dan kesempatan. Universitas Sumatera Utara 22 II.A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi terbagi menjadi lima kategori, yaitu : 1. Karakteristik personal, mencakup: usia, Steers,Porter, Mowday, Welsch dan La Van dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, lama kerja sebagai pekerja profesional Welsch dan La Van dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, masa jabatan, motif berprestasi, jenis kelamin, ras, faktor kepribadian Steers, Porter, dan Mowday dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, sifat karyawan itu sendiri Miner dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, persepsi pekerja tentang bagaimana perusahaan tersebut percaya kepada mereka dimana semakin tinggi kepercayaan yang diperoleh dari organisasi, maka akan semakin tinggi pula harapan pekerja bahwa semakin banyak usaha yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan organisasi maka akan diupah secara adil Hutchison dan Sowa, dalam Schultz Schultz, 1990, sikap positif terhadap kelompok kerja, rencana pensiun, jumlah anak yang bersekolah, dan pertemanan dalam komunitas di organisasi Schultz dan Schultz, 1990. 2. Karakteristik pekerjaan, meliputi: kejelasan serta keselarasan peran, umpan balik, tantangan pekerjaan, kesempatan berinteraksi, dimensi inti pekerjaan Steers, Porter, dan Mowday dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, otonomi Steers, Porter, Mowday, Schultz dan Schultz dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, karakteristik organisasi kerjanya Miner dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, job Universitas Sumatera Utara 23 enrichment, serta kesempatan untuk menunjukkan keahlian dan kemampuan dalam pekerjaan Schultz dan Schultz, 1990. 3. Karakteristik struktural, mencakup: derajat formalisasi, ketergantungan fungsional, desentralisasi, tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dalam perusahaan Steers, Porter, dan Mowday dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001, kekuasaan, kesempatan promosi, suasana partisipatif, tingkat pekerjaan, dan jabatan Welsch dan La Van dalam Oktorita, Rosyid, dan Lestari, 2001. 4. Pengalaman kerja. Pengalaman kerja dipandang sebagai kekuatan sosialisasi yang penting, yang mempengaruhi kelekatan psikologis karyawan terhadap perusahaan. Pengalaman kerja terbukti berkorelasi positif dengan komitmen terhadap perusahaan sejauh menyangkut taraf seberapa besar karyawan percaya bahwa perusahaan memperhatikan minatnya, merasakan adanya kepentingan pribadi dengan perusahaan, dan seberapa besar harapan-harapan karyawan dapat terpenuhi dalam pelaksanaan pekerjaannya Steer dan Porter, dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001. 5. Fasilitas yang diberikan perusahaan seperti keamanan pekerjaan, tunjangan Robbins dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001, dan lingkungan kerja Robbins; Oktorita, Rosyid, dan Lestari dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001. Selanjutnya, Steers dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 menyebutkan bahwa komitmen yang kuat dapat membawa dampak positif, antara lain: Universitas Sumatera Utara 24 peningkatan prestasi kerja, motivasi kerja, masa kerja, produktivitas kerja, dan karyawan lebih rajin masuk kerja sehingga mengurangi absensi dan menurunkan turn over. Wiener dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 menyebutkan komitmen terhadap perusahaan dipengaruhi oleh dua hal yaitu personal predisposition dan corporate intervention. Personal predisposition mengandung pengertian kemampuan perusahaan menyeleksi orang-orang yang lebih mempunyai komitmen, sementara corporate intervention mengandung arti sejauh mana perusahaan mampu melakukan sesuatu yang membuat karyawan memiliki komitmen. Studi terhadap 119 pekerja bank di New Guinea menunjukkan bahwa komitmen organisasi berkembang secepat-cepatnya enam bulan setelah bergabung dengan perusahaan dan komitmen tersebut berhubungan positif dengan kepuasan kerja O’Driscoll dalam Schultz Schultz, 1990. II.B. Pekerja Tetap Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja waktu tidak tertentu PKWTT adalah perjanjian tentang pekerjaan yang memiliki jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya selain jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja kontrak. Pekerjaan waktu tidak tertentu adalah pekerjaan yang bersifat tetap, pekerjaannya tidak dibatasi waktu. Dengan kata lain, jika pekerjaannya adalah di luar jenis pekerjaan waktu tertentu, Universitas Sumatera Utara 25 maka status pekerja tersebut adalah pekerja tetap. Terhadap pekerja tetap dapat disyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 tiga bulan. II.C. Pekerja Kontrak Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kontrak kerja waktu tertentu adalah perjanjian tentang pekerjaan yang menurut jenis, sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap kontrak. Perlu diperhatikan bahwa yang termasuk jenis pekerjaan ini adalah: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tiga tahun, pekerjaan yang sifatnya musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diadakan paling lama 2 dua tahun dan dapat diperpanjang 1satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 satu tahun. II.D. Perbedaan Tipe Komitmen Organisasi Pekerja Tetap Dengan Pekerja Kontrak Terhadap Perusahaan Mowday, Porter, dan Steers dalam Luthans, 2006 mendefinisikan komitmen organisasi sebagai: keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu, keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi, serta keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Universitas Sumatera Utara 26 Allen dan Meyer dalam Luthans, 2006 membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : affective commitment, continuance commitment , dan normative commitment. Affective commitment adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalm organisasi. Continuance commitment adalah komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit. Normative commitment adalah perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal yang benar yang harus dilakukan. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jenis perjanjian kontrak kerja dapat dibagi 2 dua, yaitu : Perjanjian kontrak kerja waktu tertentu PKWT dan Pekerjaan kontrak kerja waktu tidak tertentu PKWTT. Perjanjian kontrak kerja waktu tertentu adalah perjanjian tentang pekerjaan yang menurut jenis, sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Status pekerjanya adalah pekerja tidak tetap kontrak. Perlu diperhatikan bahwa yang termasuk jenis pekerjaan ini adalah: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tiga tahun, pekerjaan yang sifatnya musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja waktu tertentu dapat diadakan paling lama 2 dua tahun dan dapat diperpanjang 1satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 satu tahun. Pekerjaan waktu tidak tertentu adalah pekerjaan yang bersifat Universitas Sumatera Utara 27 tetap, pekerjaannya tidak dibatasi waktu. Dengan kata lain, jika pekerjaannya adalah di luar jenis pekerjaan waktu tertentu sebagaimana tersebut di atas, maka status pekerja tersebut adalah pekerja tetap. Terhadap pekerja tetap dapat disyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 tiga bulan. Kuntjoro 2002 mengemukakan, mengingat bahwa seringkali di dalam suatu organisasi terdiri dari pegawai tetap dan juga pegawai kontrak, maka masalah komitmen seringkali menjadi pertanyaan pihak organisasi terhadap pegawai kontrak. Secara psikologis tentu perlu dicermati, karena komitmen organisasi, munculnya lebih psikologis dibanding kebutuhan sosial-ekonomi yang bersumber dari gaji atau upah. Pada pegawai kontrak, umumnya masa 6 enam bulan pertama adalah periode dimana karyawan baru menyesuaikan diri dengan tugas, dan biasanya pada saat tersebutlah ia baru terlihat efisien dalam menjalankan tugas-tugasnya. Namun sayangnya jika ia ternyata hanya dikontrak 1 satu tahun, maka dalam bulan-bulan berikutnya ia sudah harus berpikir bahwa akhir tahun masa kontrak habis dan harus memperpanjang, itupun masih meragukan apakah dapat diperpanjang atau tidak; jika secara kebetulan ternyata tidak dapat diperpanjang maka secara disadari atau tidak ketentraman dalam menjalankan tugas terganggu. Begitu juga jika diperpanjang untuk tahun kedua, maka pada akhir tahun pegawai umumnya sudah terlihat gelisah karena setelah tahun kedua kemungkinan untuk diperpanjang sangat kecil terbentur peraturan, dan lain-lain, sehingga efisiensi kerjanya menjadi kurang, karena perhatiannya pasti lebih tercurah untuk mencari kerja di tempat lain. Universitas Sumatera Utara 28 Siregar mengemukakan bahwa dalam perusahaan umumnya menggunakan empat sistem pembayaran yang berbeda: status sebagai pekerja harian lepas, status sebagai pekerja dengan upah per potong satuan hasil atau status sebagai pekerja kontrak, status sebagai pekerja tetap harian, dan status sebagai pekerja tetap. Dari kategori tersebut hanya status sebagai pekerja tetap yang memberikan jaminan kerja yang secara hukum bersifat mengikat. Dari temuan diketahui bahwa dua pertiga dari buruh tersebut dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan kepastian untuk dapat terus bekerja, yang menyebabkan mereka dapat dengan mudah diberhentikan, dan banyak pekerja tidak menerima upah jika sakit atau tidak masuk karena alasan apapun. Siregar juga mengemukakan bahwa di sektor formal terdapat sekitar 60 pekerja yang dipekerjakan berdasarkan kontrak kerja yang tidak memberikan jaminan untuk terus bekerja sehingga tidak akan memperoleh kompensasi berupa uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja pada saat terjadinya PHK. Secara umum, pekerja kontrak hanya dibayar untuk setiap hari masuk kerja dan tidak berhak atas sejumlah tunjangan yang dapat diharapkan oleh pekerja tetap yang dibayar bulanan, termasuk perlindungan dari Jamsostek, untuk pensiun dan asuransi kecelakaan. Zulkifli 2006 selaku koordinator lapangan salah satu elemen buruh menjelaskan bahwa pekerja kontrak dengan pekerja tetap berbeda dalam hal mendapatkan keuntungan dan fasilitas. Pernyataan ini didukung oleh Simanjuntak sumber : Informasi Hukum Vol. 5 Tahun VI, 2004 yang membedakan pekerja kontrak dengan pekerja tetap dari sistem pengupahan dan fasilitas yang diperoleh. Universitas Sumatera Utara 29 Upah perjam sering diberlakukan untuk pekerjaan yang sifatnya temporer atau yang dapat dilakukan pekerja tidak tetap atau kontrak. Misalnya pekerjaan bangunan, pekerja panen pertanian dan perkebunan. Upah perminggu biasanya diberlakukan juga untuk pekerjaan yang sifatnya temporer. Upah perbulan biasanya diberlakukan untuk pekerjaan yang sifatnya tetap. Pekerja mempunyai ikatan kerja dalam waktu yang relatif lama atau tetap sehingga disebut pekerja atau pegawai tetap. Disamping upah, biasanya diberikan juga beberapa jenis tunjangan seperti tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan keahlian dan lain-lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Robbins dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 menyebutkan bahwa komitmen karyawan dipengaruhi oleh fasilitas yang diberikan perusahaan seperti keamanan pekerjaan, tunjangan, dan lingkungan kerja. Lebih jauh, Welsch dan La Van dalam Oktorita, Rossyid, Lestari, 2001 juga menjelaskan bahwa komitmen organisasi memiliki hubungan yang positif dengan suasana partisipastif, kekuasaan, kesempatan promosi, usia, tingkat pekerjaan, jabatan, dan lama kerja sebagai pekerja profesional. Pekerja dengan pendidikan lebih tinggi dan yang bekerja sebagai ilmuwan, ahli mesin, atau spesialis tertentu telah terbukti memiliki komitmen organisasi yang rendah. Demikian juga dengan yang menginginkan karir lebih tinggi-yang menduduki posisi yang sama selama lima tahun dan merasa bahwa mereka tidak dapat dipromosikan dan tidak memiliki kesempatan dipromosikan-menunjukkan penurunan komitmen organisasi yang signifikan Staut, Slocum, dan Cron dalam Schultz Schultz, 1990. Universitas Sumatera Utara 30 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tipe komitmen pekerja tetap terhadap perusahaan akan berbeda dengan tipe komitmen organisasi pekerja kontrak terhadap perusahaan. II.E. Hipotesis Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Ada perbedaan tipe komitmen organisasi pada pekerja tetap. 2. Ada perbedaan tipe komitmen organisasi pada pekerja kontrak. 3. Ada perbedaan komitmen organisasi tipe Affective antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak. 4. Ada perbedaan komitmen organisasi tipe Normative antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak. 5. Ada perbedaan komitmen organisasi tipe Continuance antara pekerja tetap dengan pekerja kontrak. Universitas Sumatera Utara 31

BAB III METODE PENELITIAN