Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut

(1)

PEN

UNTUK

IN

NGELOLA

GUGUS

K USAHA

AKH

SEKOLA

NSTITUT

AAN PER

S PULAU

A BUDIDA

HMAD M

AH PASC

T PERTA

BOGO

2010

RAIRAN

KALEDU

AYA RUM

MANSYUR

CASARJA

ANIAN BO

OR

0

PESISIR

UPA

MPUT LA

R

ANA

OGOR

R

AUT


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Akhmad Mansyur


(3)

ABSTRACT

AKHMAD MANSYUR. Coastal Management of Kaledupa Islands for Phycoculture. Guided by Achmad Fahrudin and Irzal Effendi.

The aim of this study are: (1) the actual condition of the utilization coastal of Kaledupa Islands (CKI), Wakatobi Regency Southeast Sulawesi Province for phycoculture based on the suitability area and the seasons, (2) warranties parameters for optimizing area utilization, (3) the grand utilization strategy of CKI for supporting phycoculture. Suitability analysis, carrying capacity, utilization of regional strategies and optimizes scenario are used for that purpose. The results of this study are showed that 5 946.45 ha of CKI for supporting phycoculture were categorized to be three areas: good stabile, good dominant and not yet good stabile. The area utilization were showed over limited based on time period production and half of them had been decreasing return to scale. Condition of constant return to scale have been reached at areas through good stabile and some of not yet good stabile. There’s a potential warranties area for Rp 14 454 608 to 42 952 034 per ha per year and can reach the value Rp 14 431 399 per ha per season for importance rent or contract. The management strategies of CKI are to improve the satisfaction of phycoculturers with the scenario: (1) to repair structures of phycoculture methods, and time period of phycoculture production; (2) to increase user, to compose groups and to reinforce focus groups; and (3) to create guarantee access the capital and to improve input structures of phycoculture.

Keywords: Coastal management, Kaledupa archipelagos, phycoculture


(4)

RINGKASAN

AKHMAD MANSYUR. Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut. Dibimbing oleh Achmad Fahrudin dan Irzal Effendi.

Potensi perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk usaha budidaya memiliki rasio dengan sumberdaya manusia sebesar 1.55 ha/kk (Rp 58 802 901/kk/thn). Rasio ini menunjukkan perairan pesisir GPK, cukup bagi penciptaan kesejahteraan melalui kegiatan budidaya rumput laut. Namun demikian, aktivitas tersebut baru mencapai 9.70% dari 8 200 ha (KS & KSS) dan perkembangannya berjalan lambat (2.80%/thn).

Kajian potensi tanpa pertimbangan musim disinyalir sebagai penghambat usaha budidaya. Pemanfaatan seperti ini mendorong terjadinya produktivitas rendah (< 1 ton/ha/panen). Akibatnya, pelaku budidaya berada pada situasi sulit untuk mengembangkan modal usaha dan menimbulkan faktor ketidakpuasan. Selain itu, keterbatasan akses modal, ikut berperan dalam kondisi ini. Dengan demikian, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji: (1) kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim. (2) parameter agunan kawasan bagi akses modal dalam menunjang optimalisasi pemanfaatan. (3) strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK sehingga tercipta kepuasan pelaku budidaya.

Survei lapang, wawancara dan studi literatur digunakan dalam pengumpulan informasi dari Juli hingga Desember 2008. Data yang terkumpul dianalisis dengan sistem informasi geografis (SIG) dengan mengintegrasikan persamaan laju pertumbuhan harian (LPH) rumput laut, uji anova, dan uji Duncan. Selain itu, digunakan pula analisis daya dukung budidaya efektif, rotasi produksi optimal,

demand capacity ratio, kebutuhan tenaga kerja, indeks relatif input dan skala pengembalian usaha untuk mencapai tujuan pertama. Analisis net present value

dan sphere rent digunakan untuk mencapai tujuan kedua. Analisis kepuasan pengguna dan titik impas pemanfaatan melalui excel solver dilibatkan untuk tujuan ketiga.

Hasil analisis diperoleh bahwa perairan pesisir GPK tergolong alami dan menunjang LPH antara 2.01 hingga 3.93% per hari (musim pancaroba dan timur). Berdasarkan kriteria LPH 3% per hari dan jarak beda nyata pada taraf kepercayaan 95%, maka interaksi antara LPH, stasiun dan musim menunjukkan bahwa perairan ini terdapat pada kondisi stabil baik (KSB), dominan baik (KDB) dan stabil belum baik (KSBB). Pemanfaatan kawasan ini dicirikan dengan penggunaan input yang rendah, namun over limited berdasarkan periode waktu produksi. Demikian pula struktur metode budidaya sehingga skala pengembalian

decreasing di sebagian besar lokasi pemanfaatan. Kondisi constant return to scale

dicapai pada KDB dan sebagian KSBB.

Potensi agunan perairan pesisir GPK diperoleh sekitar Rp 14 454 608 hingga 42 952 034 per hektar per tahun dan dapat mencapai Rp 14 431 399 per ha per musim bagi kepentingan sewa atau kontrak. Akhirnya, Strategi pengelolaan perairan pesisir GPK untuk meningkatkan kepuasan pelaku budidaya dapat dilakukan dengan skenario: (1) perbaikan struktur metoda dan periode waktu


(5)

v

produksi budidaya; (2) pembentukan dan penguatan fungsi kelompok pelaku budidaya; (3) pemberian jaminan akses modal melalui gabungan fitur perjanjian bank & grameen, dan insentif harga bagi komoditas rumput laut.


(6)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR

GUGUS PULAU KALEDUPA

UNTUK USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT

AKHMAD MANSYUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut

Nama Mahasiswa : Akhmad Mansyur

NIM : C251060051

Program Studi : Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Ir. Irzal Effendi, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian sejak Juni hingga Desember 2008 ini adalah pengelolaan perairan pesisir, dengan judul Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir. Irzal Effendi, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada Penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta stafnya dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. selaku Ketua Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi secara baik. Demikian juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji dosen penguji luar komisi yang telah memberikan sumbangsi positifnya. Ucapan ini, tidak lupa disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor terutama mahasiswa pada Program Studi SPL yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan karya ini. Lebih khusus, ungkapan terima kasih dihaturkan kepada ayah, ibu, istri dan anaku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga laporan ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambeua, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara pada 31 Maret 1974 sebagai anak pertama dari pasangan H. La Ane Erek dan Hj. Muhaeni. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, lulus 1999. Pada 2000 menikah dengan Nusriani, S.Pd. dan saat ini telah dikaruniahi seorang putra (Muhamat Julfikar Erek).

Penulis bekerja sebagai Dosen Tetap di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara sejak 2003 hingga sekarang. Pada 2006 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan menyelesaikannya pada Februari 2010.

Selama mengikuti program S2 penulis selalu aktif mengikuti dan menyelenggarakan berbagai seminar baik itu bersifat lokal, nasional maupun internasional yang berkaitan dengan Perikanan dan Kelautan, Ketahanan Nasional maupun Pertanian. Selain itu, penulis juga memberikan kontribusi pada Forum Wacana Pascasarjana IPB di Bidang Kerjasama dan Forum Wacana Pesisir IPB di Bidang Sekretariat, Informasi dan Kerjasama.


(12)

xi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

Ruang Lingkup Penelitian ... 9

Kerangka Pemikiran ... 9

TINJAUAN PUSTAKA ... 14

Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 14

Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 17 Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 24 Pendekatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Perairan pesisir ... 27 Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 31 METODE PENELITIAN ... 33

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 33 Jenis dan Sumber Data ... 34 Penentuan Stasiun dan Teknik Sampling ... 34 Penentuan Responden ... 36 Pengambilan Data ... 37 Analisis Data ... 37 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

Kondisi Umum Wilayah Penelitian ... 49 Kesesuaian Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 55 Daya Dukung Pemanfaatan Kawasan ... 69 Kondisi Pemanfaatan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 86 Strategi dan Skenario Pengelolaan Kawasan Budidaya Rumput Laut ... 91 Akses Modal bagi Optimalisasi Pemanfaatan Kawasan ... 102 Pembahasan ... 110

KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

Kesimpulan ... 113 Saran... 114 DAFTAR PUSTAKA ... 115


(13)

xiii

Halaman 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa

untuk budidaya rumput laut ... 18 2 Analisis budidaya Eucheuma cottonii sistem long line: satu KK (tiga

hingga empat orang anggota), delapan blok (0.20 ha) ... 26 3 Metode penentuan responden penelitian ... 36 4 Matriks persepsi pengguna kawasan berdasarkan dimensi ekologi,

sosial dan ekonomi ... 43 5 Matriks keunggulan dimensi keseluruhan yang dapat dipersepsi oleh

pengguna kawasan ... 45 6 Matriks biaya pemanfaatan kawasan yang dikorbankan bagi kegiatan

budidaya ... 45 7 Matriks kepuasan pengguna yang memanfaatkan kawasan budidaya ... 46 8 Matriks excel solver bagi optimasi pengguna potensial ... 47 9 Matriks excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap produksi ... 48 10 Luas pulau-pulau berpenghuni di Gugus Pulau Kaledupa ... 50 11 Data curah hujan selama sepuluh tahun (1995-2004) Kabupaten Wakatobi .... 52 12 Keadaan penduduk Gugus Pulau Kaledupa selama kurun waktu 1996

hingga 2008 ... 53 13 Keadaan penduduk Gugus Pulau Kaledupa berdasarkan kelompok umur

pada tahun 2008 ... 54 14 Rata-rata umum laju pertumbuhan harian rumput laut di setiap titik

sampel ... 59 15 Laju pertumbuhan harian rumput laut pada setiap stasiun berdasarkan

rataan musim dari jumlah kelompok thallus ... 61 16 Laju pertumbuhan harian rumput laut di setiap musim berdasarkan

rataan kelompok thallus ... 62 17 Klasifikasi kawasan berdasarkan interaksi antara laju pertumbuhan

harian (LPH), musim dan stasiun ... 65 18 Jumlah kepala keluarga pelaku budidaya rumput laut ... 74 19 Rata-rata jumlah tenaga kerja dalam satu unit usaha budidaya rumput

laut ... 75 20 Rata-rata alokasi waktu disetiap jenis kegiatan budidaya rumput laut

dalam satu siklus produksi (jam) ... 76 21 Rata-rata penggunaan input budidaya rumput laut dalam satu kali

proses produksi ... 78 22 Titik impas produk pada dua kawasan budidaya rumput laut ... 109


(14)

xv

Halaman

1 Bagan kerangka pikir penelitian. ... 13

2 Trade-off tujuan antar komponen pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993). ... 31

3 Lokasi penelitian di Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. ... 33

4 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut (sumber: Manfi 2003). ... 35

5 Peta stasiun penelitian (sumber: Smart 2005, Manafi 2003). ... 35

6 Titik pengambilan sampel rumput laut untuk satu stasiun. ... 36

7 Nilai rata-rata parameter fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa. ... 55

8 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter fisik kimia perairan. ... 60

9 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter rataan jumlah laju pertumbuhan harian kelompok thallus dalam suatu rataan musim. ... 63

10 Contoh Eucheuma cottonii yang rusak di perairan pesisir Sombano (Smart 2005)... 67

11 Perkembangan luas lokasi pemanfaatan kawasan budidaya Eucheuma cottonii secara kumulatif di GPK dalam kurun waktu 1993-2004 (Fox 2005). ... 67

12 Peta kesesuaian kawasan budidaya rumput laut berdasarkan parameter laju pertumbuhan harian dan perubahan musim. ... 68

13 Perubahan biomasa (Bms) dan karaginan (Krg) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil baik (KSB). ... 70

14 Perubahan biomasa (Bms) dan karaginan (Krg) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 70

15 Present value karaginan (Krg) dan biomasa (Bms) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil baik (KSB). ... 71

16 Present value karaginan (Krg) dan biomasa (Bms) Eucheuma cottonii pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 72

17 Rerata pendapatan bersih pelaku budidaya rumput laut di setiap stasiun berdasarkan perubahan musim. ... 79

18 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan net present value dalam skala musim. ... 80

19 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan net present value dalam skala tahun. ... 81

20 Nilai ekonomi kawasan budidaya rumput laut berdasarkan sphere rent dalam skala tahun. ... 82


(15)

xvi

22 Peta pemanfaatan kawasan budidaya rumput laut ... 85 23 Persentase keberadaan KK dan tingkat memanfaatkan kawasan

budidaya rumput laut. ... 88 24 Persentase keberadaan pengguna kawasan (KK) dan tingkat

penggunaan input budidaya rumput laut. ... 89 25 Skala pengembalian usaha pemanfaatan kawasan budidaya rumput

laut. ... 90 26 Indeks relatif dari atribut dimensi ekologi pada setiap kawasan

budidaya rumput laut. ... 93 27 Indeks relatif dari atribut dimensi sosial pada setiap kawasan budidaya

rumput laut. ... 95 28 Indeks relatif dari atribut dimensi ekonomi pada setiap kawasan

budidaya rumput laut. ... 96 29 Indeks manfaat total dari keseluruhan dimensi pada setiap kawasan

budidaya rumput laut. ... 98 30 Indeks relatif atribut biaya pada setiap kawasan pemanfaatan untuk

budidaya rumput laut. ... 98 31 Indeks kompetisi atribut biaya pada setiap kawasan pemanfaatan

untuk budidaya rumput laut. ... 99 32 Indeks kepuasan pengguna kawasan budidaya rumput laut. ... 100 33 Perubahan pengguna dan struktur biaya pemanfaatan kawasan ketika

akses modal direalisasikan. ... 105 34 Optimalisasi pengguna dan struktur pemberian modal dalam

pemanfaatan kawasan ketika akses modal direalisasikan. ... 106 35 Rata-rata biaya per unit bibit berdasarkan biomasa dan kadar

karaginan pada kawasan stabil belum baik (KSBB). ... 107 36 Rata-rata biaya per unit bibit berdasarkan biomasa dan kadar


(16)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Data yang diperlukan untuk penelitian pengelolaan kawasan budidaya

rumput laut di Gugus Pulau Kaledupa ... 121

2 Nilai parameter kualitas perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa ... 122

3 Uji faktorial terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 123

4 Uji Duncan terhadap laju pertumbuhan harian rumput laut ... 124

5 Uji present value biomasa dan karaginan rumput laut pada kawasan stabil baik ... 126

6 Uji present value biomasa dan karaginan pada kawasan stabil belum baik ... 127

7 Insentif harga dasar dan atap biomasa basah pada kawasan stabil belum baik dan stabil baik ... 128

8 Analisis keuntungan rata-rata pelaku budidaya rumput laut ... 129

9 Analisis net present value (NPV) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 130

10 Analisis sphare rent (SR) kawasan usaha budidaya rumput laut ... 131

11 Analisis return to scale (RTS) usaha budidaya rumput laut ... 132

12 Analisis indeks relatif (IR) usaha budidaya rumput laut ... 134

13 Analisis strategi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 140

14 Analisis excel solver bagi optimasi pengelolaan kawasan budidaya rumput laut ... 143

15 Analisis excel solver bagi titik impas penggunaan modal terhadap produksi ... 144


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gugus Pulau Kaledupa (GPK) merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Wakatobi berdasarkan UU nomor 29/2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana dan Wakatobi. Kabupaten Wakatobi melingkupi seluruh kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi (TNLW) yang ditetapkan sebelumnya dengan SK Menteri Kehutanan RI nomor 393/Kpts-VI/1996. Oleh karena itu, GPK memiliki dua peranan dalam konteks pengelolaan sumberdaya. Pertama, sebagai daerah pemanfaatan sumberdaya untuk kesejahteraan masyarakat Wakatobi pada umumnya dan masyarakat GPK pada khususnya. Kedua, sebagai kawasan konservasi sumberdaya yang harus dipertahan keberadaanya bagi kepentingan daerah, nasional maupun internasional.

Salah satu bentuk kegiatan yang dapat menunjang kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumberdaya adalah budidaya rumput laut. Menurut Anggadiredja et al. (2006), rumput laut secara ekologi memegang peranan sebagai produsen primer (penghasil bahan organik dan oksigen) di lingkungan perairan. Kedua bahan ini perupakan sumber penghidupan bagi manusia dan biota akuatik seperti ikan, bulu babi, penyu dan hewan herbivor lainnya. Dengan demikian rumput laut, disamping plankton, berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam suatu lingkungan ekologi.

Dalam pertimbangan sosial, budidaya rumput laut telah dikenal oleh masyarakat Kaledupa sebagai salah satu kegiatan yang mampu mempererat hubungan antara masyarakat dengan lingkungan perairan. Fox (2005) menilai bahwa pemanfataan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut mampu menumbuhkan rasa memiliki kawasan di kalangan masyarakat Kaledupa untuk dijaga dan dipertahankan. Pandangan tersebut mengasumsikan pentingnya keterlibatan sosial dalam pengelolaan perairan pesisir GPK melalui kegiatan budidaya rumput laut. Dengan demikian, upaya konservasi terutama dari berbagai aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut yang tidak berwawasan lingkungan seperti penggunaan racun dan atau bom dapat dilakukan secara bersama.

Dalam perspektif ekonomi, budidaya rumput laut dipandang sebagai kegiatan yang dapat mendatangkan keuntungan. Effendi (2004) menyatakan bahwa campur


(18)

tangan masyarakat untuk memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan akan meningkatkan produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Anggadiredja et al. (2006) menambahkan bahwa tingkat permintaan akan komoditas rumput laut (Eucheuma cottonii) terus mengalami peningkatan (rata-rata 10% per tahun). Demikian pula dengan harga yang mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0.07% per tahun. Perkiraan kebutuhan dunia akan produk ini dapat mencapai 274 100 ton dengan harga sekitar U$ 0.82 kg-1 pada 2010. Kemampuan luar negeri untuk memenuhi kebutuhan tersebut mencapai 165 000 ton/tahun (Filiphina 77.2%; Tanzania 5.4% dan lainnya 0.7%). Sisanya diharapkan dari Indonesia sebanyak 16.7%. Dengan demikian, budidaya rumput laut dipandang sebagai salah usaha yang penting untuk dikembangkan dan dapat dijadikan salah satu matapencaharian utama masyarakat.

Tingginya kebutuhan dunia akan produk rumput laut dapat dikaitkan dengan dua hal pokok. Pertama, hidrokoloid yang berasal dari tumbuhan ini tidak mengakibatkan efek samping terhadap kesehatan bila dikonsumsi dalam bentuk makanan atau obat-obatan. Kedua, penggunaannya dalam industri nonpangan dan berbagai industri lainnya semakin meluas seperti tekstil, cat, keramik dan kertas.

Upaya pemenuhan kebutuhan dunia akan komoditas ini, Indonesia hanya menempati posisi kedua setelah Filiphina (77.2% berbanding 16.7%). Luas pemanfaatan perairan pesisir Indonesia baru mencapai 9.7% bagi usaha ini (Anggadiredja et al. 2006). Rendahnya tingkat pemanfaatan tersebut, disebabkan oleh beberapa hal seperti:

a. Keterbatasan permodalan untuk membantu petani nelayan yang membutuhkannya.

b. Keterbatasan penerapan dan alih teknologi budidaya rumput laut yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen yang berkualitas melalui penelitian, percontohan, pelatihan, magang dan penyuluhan;

c. Kurangnya penyediaan sumberdaya manusia terlatih melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan terstruktur sesuai segmen budidaya yang diminati pembudidaya rumput laut.

d. Terbatasnya pola pengaman terpadu dengan mengikutsertakan masyarakat dalam segmensegmen usaha, seperti pembibitan dan pembesaran;


(19)

e. Pengembangan Budidaya Rumput Laut masih dilaksanakan sendiri – sendiri secara sektoral.

Dengan demikian, kondisi ini dipandang sebagai faktor pemicu yang mengakibatkan Indonesia bukan sebagai negara produsen rumput laut dunia.

Pemanfaatan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut tergantung pada ketersediaan sumberdaya alam (lokasi & bibit) dan sumberdaya manusia (tenaga kerja). Salah satu potensi Indonesia untuk pengembangan usaha ini adalah GPK yang memiliki perairan pesisir sekitar 13 900 ha termasuk tubir karang datar (Duncan 2005). Perairan tersebut mengandung potensi untuk usaha budidaya rumput laut sekitar 8 200 ha (Manafi 2003). Di sisi lain, GPK memiliki populasi masyarakat dalam usia produktif secara ekonomi sekitar 60% dari total penduduk 17 604 jiwa. Dalam populasi ini terdapat 5 292 kepala keluarga yang berarti bahwa setiap keluarga beranggotakan empat orang (PDKW 2006). Perbandingan antara ketersediaan kawasan dan jumlah kepala keluarga adalah sekitar 1.55 ha/kk. Harapan tersebut melebihi standar ideal pemanfaatan (0.20 ha/kk) yang dapat mensejahterakan satu keluarga dengan jumlah anggota tiga hingga empat orang. Dala standar tersebut, keluarga atau pelaku budidaya bersangkutan dapat memperoleh tingkat pendapatan sebesar Rp 33 600 000 atau keuntungan sekitar Rp 24 052 000/kk/panen (Anggadiredja et al. 2006).

Optimalisasi pemanfaatan kawasan ini berjalan lambat. Fox (2005) menyatakan bahwa tingkat pemanfaatan kawasan tersebut baru mencapai 795 ha dengan rata-rata peningkatan sekitar 2.80% per tahun sejak awal pemanfaatannya (1993). Optimalisasi pemanfaatan diperhadapkan pula dengan produktivitas kawasan yang berbeda-beda.

Smart (2005) menunjukkan kisaran produktivitas tersebut antara 0.02 hingga 8 (ton/ha)/panen kering dengan masa pemeliharaan rata-rata 41 hari. Sebagian besar

(97.30%) pemanfaatan kawasan ini masih tergolong dalam produktivitas < 1 (ton/ha)/panen kering atau 0.43 (ton/ha)/panen kering (jarak tanam 100x25 cm, biomas awal 25 g, LPH 3%, konversi basah : kering adalah 7 : 1). Kondisi ini memberikan contoh tentang pemilihan lokasi yang kurang baik sehingga dapat berimplikasi terhadap menurunnya minat masyarakat Kaledupa untuk memanfaatkan perairan pesisir dalam bidang usaha ini. Karenanya, diperlukan kajian pengelolaan perairan pesisir GPK bagi pengembangan usaha budidaya rumput laut.


(20)

Perumusan Masalah

perairan pesisir GPK ditetapkan sebagai salah satu kawasan Taman Nasional Laut Wakatobi (TNLW). Penetapan tersebut didasarkan atas tingkat keanekaragaman hayati yang tergolong tinggi. WWF dan TNC (2003) menyatakan bahwa dalam TNLW terdapat 396 spesies karang Scleractinia, 10 spesies non Scleractinia dan 28 genera karang lunak. Selain itu, ditemukan 590 spesies ikan, 31 spesies Foraminifera dan 668 spesimen Stomopod.

Salah satu ketentuan yang memuat tentang pemanfaatan taman nasional adalah Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Dalam ketentuan umum UU tersebut dinyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Salah satu tujuan pemanfaatan taman ini adalah sebagai penunjang budidaya yang dapat mengusahakan kelestarian sumberdaya hayati dan lebih mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan kawasan untuk usaha budidaya yang mengunakan plasma nutfah lokal (garangga kanse atau Caulerpa lentillifera) tidak berhasil mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat GPK. Jenis ini banyak dijumpai disekitar Pulau Hoga dan di sebelah timur perairan laut Fatuhari. Produksi terakhir mencapai 5 ton pada awal 1993, namun akibat turunannya harga komoditas kering hingga mencapai Rp 50 kg-1, menjadikan usaha ini tidak berkelanjutan sebagai penunjang kesejahteraan masyarakat.

Berkurangnya salah satu unsur penunjang kesejahteraan masyarakat berdampak pada peningkatan ekploitasi sumberdaya yang tidak ramah lingkungan. Di antaranya adalah pengambilan batu karang, penggunaan racun (sianida) dan bom dalam upaya penangkapan ikan (Hidayati at al. 2007). Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa kondisi terumbu karang hidup mengalami penurunan hingga mencapai rata-rata tutupan sekitar 31%. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan tutupan dari kondisi baik menjadi kriteria cukup bila didasarkan pada kategori sangat baik (75–100%), baik (50– 74.90%), cukup (25–49.90%). Demikian pula dengan kondisi penangkapan ikan yang dinyatakan bahwa 80, 49 dan 61% nelayan tradisional mengalami penurunan hasil dari segi ukuran, jumlah dan jenis ikan (Duncan 2005).


(21)

Dampak dari turunnya harga rumput laut asal Kaledupa adalah timbulnya upaya dari pedagang pengumpul lokal untuk memperolah bibit rumput luat yang banyak diminati pasar dan bernilai ekonomi tinggi. Melalui Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara, upaya itu diwujudkan dengan hadirnya rumput laut dari jenis E. cottonii asal Sabah (Malaysia) di GPK. E. cottonii pertama kali dibudidayakan oleh masyarakat Sombano di perairan sebalah Barat GPK, kemudian menyebar hingga ke sebelah Timur GPK. Memperhatikan minat masyarakat dan program perlindungan sumberdaya alam hayati, maka Pemerintah Daerah Wakatobi mencanangkan perairan pesisir GPK sebagai sentral produksi rumput kabupaten (PDKW 2006).

Potensi perairan pesisir GPK untuk budidaya rumput laut dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sesuai (KS) dan sangat sesuai (KSS). Kedua kawasan ini memiliki luas sekitar 4 500 dan 3 700 ha. Hal ini didasarkan atas parameter fisik kimia perairan seperti pH, salinitas, suhu permukaan laut, kecepatan arus, kecerahan, kekeruhan dan material dasar perairan dengan skor yang lebih tinggi bagi KSS (Manafi 2003). Dalam pemanfaatannya, Smart (2005) menunjukkan adanya perbedaan produksi di kedua kawasan. Namun demikian, keduanya belum mempertimbangkan peranan musim yang dapat berpengaruh terhadap perubahan produktivitas kawasan sebagaimana yang dibuktikan Sedana at al. (1985) di Pulau Serangan, Provinsi Bali.

Sedana at al. (1985) menyatakan bahwa selama kurun waktu Oktober-November (bulan kering) pertumbuhan rumput laut cenderung lebih cepat daripada Desember– Maret (bulan basah). Pengamatan setiap empat minggu tercatat laju pertumbuhan harian (LPH) antara 0.90–8.80% per hari. Romimohtarto (1985) dan Nontji (2005) bahwa udara basah memperkuat pendinginan, akibatnya tingkat penguapan menurun sehingga kadar salinitas rendah di lapisan permukaan. Dalam kondisi seperti ini, rumput laut mengalami proses osmoregulasi (mekanisme penyerapan air tawar terjadi) sehingga menyebabkan terhambatnya proses pertumbuhan. Selain itu, diperolah bahwa perubahan LPH rumput laut dipengaruhi oleh usia pemeliharaan. LPH tertinggi terdapat pada minggu-minggu awal, kemudian kecepatannya berkurang dan setelah dua bulan laju pertumbuhannya menurun. LPH yang diperoleh berkisar antara


(22)

4.00–6.00% per hari. Perubahan ini sangat penting artinya untuk mengetahui waktu optimal pemanfaatan kawasan selama satu kali proses produksi rumput laut.

Pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut yang tidak mempertimbangkan usia pemeliharaan optimal (panen lebih awal atau lebih lambat) akan diperhadapkan dengan beberapa kendala. Pertama, tidak terpetakannya fungsi kawasan penunjang (penyedia bibit) dan fungsi kawasan pembesaran. Biasanya, pelaku budidaya di GPK melakukan panen pada usia 45 hari untuk mengejar kepentingan pasar yang memberikan standar tersebut tanpa memperhatikan kemampuan kawasan dalam menunjang LPH rumput laut. Indikator biomasa dan karaginan dapat digunakan dalam menyatakan suatu kawasan sebagai penyedia bibit dan atau pembesaran. Sulistijo (1985) berpendapat bahwa tanaman Eucheuma dengan LPH 2% per hari pada pemeliharaan di Bali selama 35 hari sudah dapat dilakukan panenan karena tanaman sudah menjadi dua kali lipat biomasa semula. Demikian pula Sulistijo, Syafri (1991) menyatakan bahwa tanaman E. cottonii di Pulau Pari dengan LPH 3 hingga 5% per hari dapat mencapai kadar karaginan 35 hingga 45% pada usia pemeliharaan enam minggu. Pernyataan ini memberikan pendekatan bahwa ketika suatu kawasan hanya mampu menunjang LPH 2% per hari, maka usia pemeliharaan optimal dalam kawasan tersebut dapat memberikan keuntungan dari sisi biomasa (penyedia bibit). Ketika suatu kawasan mampu menunjang LPH 3% per hari, maka kuntungan dari pengguna kawasan tersebut dapat diperoleh dari kadar karaginan pada batas pemeliharaan optimal.

Kendala kedua adalah tidak terpetakannya mutu produksi dengan baik. Kualitas E. cottonii ditentukan oleh kadungan karaginan yang terbentuk pada dinding sel. Kandungan ini cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia pemeliharaan, namun demikian, pada usia tertentu sebagian kadar karaginan akan terurai menjadi cadangan energi bagi pembentukan cabang baru (Apriyana, 2006). Penambahan usia pemeliharaan yang lebih lama menyebabkan gel yang terbentuk dari kappa karaginan menjadi rapuh akibat efek ion potasium yang terus berlanjut (Guiseley diacu dalam Apriyana 2006). Dengan demikian, pemutusan rantai produksi yang lebih cepat dan atau lebih lambat akan berdampak pada kundungan karaginan yang tidak optimal. Tambahannya adalah harga yang dapat diperoleh selalu berada dibawah harga dasar (Rp 4 700 kg-1).


(23)

Ketiga, tidak terpetakannya insentifikasi harga yang dapat terjadi pada pasar di tingkat lokal (pasaran bibit). Dalam hal ini, terdapat pengalaman pelaku bahwa pergantian penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke lebih subur atau sebaliknya dapat memberikan pertumbuhan rumput laut yang lebih baik. Pola pemanfaatan seperti ini dapat menciptakan kondisi surplus dan defisit produksi bibit apabila tidak memperhatikan usia pemeliharaan yang optimal. Dalam kondisi surplus harga dapat berada di bawah harga dasar, sementara pada kondisi defisit, dapat melebihi harga atap. Akibatnya, insentif harga ditingkat pelaku tidak teratur dan perencanaan akan kebutuhan bibit baik untuk lokasi yang telah dimanfaatkan maupun bagi program pengembangan kawasannya tidak dapat berjalan dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, maka keterkaitan antara pengelolaan kawasan dan usia pemeliharaan rumput laut adalah terjadi dalam hubungan perencanaan bagi penentuan periode pemanfaatan kawasan (sekali proses produksi). Munculnya usia pemeliharaan optimal, memudahkan dalam pengorganisasian kawasan berdasarkan kemampuannya dalam menunjang produk rumput laut pada titik optimal pemeliharaan. Akhirnya indikator kontrol dalam pemanfaatan kawasan dapat ditentukan berdasarkan kualitas rumput laut pada titik pemeliharaan optimal.

Harapan hidup bagi masyarakat Kaledupa yang mengantungkan hidupnya pada pemanfaatan perairan pesisir GPK semakin terbuka. Sebagaimana UU No. 5 tahun 1990 yang menyatakan bahwa pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi, maka Pemda Wakatobi menetapkan zona penggunaan lokal sebesar 54% dari total wilayahnya. Harapan ini muncul pula dari UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggariskan hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dalam bentuk sertifikat. Namun demikian, ketentuan tersebut membutuhkan kelengkapan indikator pemanfaatan seperti nilai-nilai produksi dan biaya yang diperlukan bagi ketentuan pengalihan hak, beban tanggungan dan besarnya jaminan modal yang dapat diperuntukkan bagi pengguna kawasan.

Kriteria pemanfaatan perairan pesisir GPK sangat ditentukan oleh besarnya partisipasi masyarakat. Berdasarkan jumlah KK sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka pemanfaatan perairan pesisir GPK dapat didistribusikan berdasarkan persentase kawasan budidaya rumput laut (55% KS dan 45% KSS).


(24)

Distribusi kepala keluarga (KK) pada masing-masing kawasan dapat mencapai 2 911 dan 2 382 KK. Peruntukan lokasi pemanfaatan bagi masing-masing KK dapat mencapai 1.54 dan 1.55 ha/KK. Dalam pandangan umum bahwa setiap KK akan lebih memilih KSS dari pada KS, namun demikian, Fox (2005) menyatakan bahwa masyarakat Kaledupa lebih memilih KS akibat faktor keamanan dari akses transportasi dan kedekatan dengan lokasi pemukiman. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat pemanfaatan KS (> 41 KK/lokasi), sedangkan lainnya masih berada dibawah 30 KK/lokasi.

Tingkat pemanfaatan kawasan yang tinggi dan terpusat pada satu lokasi dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas dan distribusi luasan pemanfaatan per KK. Hal tersebut dapat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengguna. Fox (2005) menilai bahwa kondisi tersebut cenderung membuat pengguna meninggalkan usaha budidaya rumput laut, terutama pada musim-musim tertentu. Menyadari hal tersebut, maka dalam pengelolaan perairan pesisir GPK perlu mempertimbangkan skala pengembalian usaha dan jumlah pengguna kawasan dalam perumusan strategi dan skenario untuk meningkatkan kepusan pelaku budidaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah yang diangkat adalah:

1. Bagaimanakah kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan kesesuaian kawasan dan musim?,

2. Bagaimanakah akses modal bagi optimalisasi pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut? dan

3. Bagaimanakah strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK untuk meningkatkan kepuasan pelaku budidaya?.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengkaji kondisi aktual pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut berdasarkan pertimbangan kesesuaian kawasan dan musim. (2) mengkaji parameter agunan kawasan budidaya rumput laut agar dapat dimanfaatkan secara optimal. (3) mengkaji strategi dan skenario pengelolaan perairan pesisir GPK untuk meningkatkan kepuasan pelaku budidaya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (1) basis data pemanfaatan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut sehingga pola pemanfaatannya dapat lebih terarah dan memiliki indikator nilai manfaat; (2)


(25)

landasan akses modal bagi pengembangan pemanfaatan kawasan dalam usaha budidaya rumput laut; dan (3) landasan strategis pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya rumput laut di GPK agar tetap menguntungkan dan menjamin kepuasan pelaku budidaya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian dibatasi pada perairan pesisir laut yang sesuai dan sangat sesuai untuk budidaya rumput laut menurut Manafi (2003) di Gugus Pulau Kaledupa (GPK), 2. Budidaya rumput laut dibatasi pada metode long line,

3. Parameter pertumbuhan rumput laut dibatasi pada pertambahan biomasa dan kadar karaginan rumput laut (E. cottonii) berdasarkan usia pemeliharaan pada Musim Timur, Barat dan Pancaroba dan

4. Kajian pengelolaan didasarkan pada pendekatan ekologi (luas ketersediaan & alokasi waktu pemanfaatan kawasan optimal), sosial (ketersediaan tenaga & alokasi waktu kerja serta demand capacity ratio), ekonomi (input: penggunaan bibit, fasilitas produksi, luas pemanfaatan kawasan, operasional, tenaga kerja & alokasi waktu kerja; output: nilai manfaat biomasa & keraginan).

Kerangka Pemikiran

Pengelolaan perairan pesisir GPK diperhadapkan pada dua hal pokok, yaitu kebijakan nasional dan daerah. Secara nasional, perairan pesisir GPK harus dilestarikan berdasarkan keaslian ekosistem sumberdaya hayati yang dimilikinya. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Wakatobi dituntut mensejahterakan masyarakatnya melalui pemanfaatan semua potensi daerah. Salah satu aplikasi pemanfaatan perairan pesisir GPK yang dapat mengadopsi kedua hal tersebut adalah budidaya E. cottonii dengan sistem zonasi. Hal ini disebabkan oleh berperanan E. cottonii sebagai produsen primer dalam lingkungan ekologi, penjalin hubungan yang erat antara masyarakat dan lingkungan perairan pesisir. Selain itu, diharapkan mampu menciptakan kondisi perekonomian yang mensejahterakan masyarakat. Dalam sistem zonasi, dimana wilayah perairan dibagi menjadi kawasan-kawasan tertentu seperti kawasan budidaya rumput laut berdasarkan karakteristik fisik kimia yang ada dapat memudahkan penentuan batas pengelolaan sektoral dan inter koneksi antar sektor sumberdaya.


(26)

Pengelolaan perairan pesisir untuk usaha budidaya rumput laut perlu mempertimbangkan dua hal yaitu kawasan budidaya dan populasi masyarakat GPK. Kawasan, dipertimbangkan melalui keberadaan KSS dan KS dalam skala luas (ha) berdasarkan parameter kualitas perairan laut dan pengaruh musim. Masuknya peranan musim kedalam pengklasifikasian KSS dan KS dapat memberikan gambaran tentang tingkat kestabilan kawasan dalam menunjang produksi rumput laut di semua musim. Dengan demikian, kondisi aktualnya dapat dibedakan berdasarkan produktivitas masing-masing kawasan di setiap musim.

Populasi masyarakat dipertimbangkan melalui ketersediaan tenaga kerja dan modal. Tenaga kerja mengandung dua asumsi yaitu kepala keluarga (KK) sebagai pemegang keputusan dan tenaga pendukung aktivitas KK dalam menjalankan usaha budidaya E. cottonii. Tenaga pendukung dapat berasal dari anggota keluarga dan luar keluarga yang didekati berdasarkan usia produktif secara ekonomi dan kebiasaan masyarakat dalam melibatkan tenaga kerja. Modal dibangun berdasarkan dua asumsi. (1) Alokasi waktu yang tersedia dalam satu keluarga untuk berpartisipasi dalam kegiatan budidaya. Asumsi ini memberikan batasan kerja setiap orang yang berpartisipasi pada suatu unit usaha sehingga sumbangsinya dapat berlangsung beberapa unit usaha. (2) Kemampuan finansial keluarga untuk membangun usaha tersebut. Asumsi ini memberikan batas terhadap kesediaan pelaku budidaya untuk meraih kepuasan melalui usaha budidaya E. cottonii.

Hubungan antara kedua pertimbangan pengelolaan tersebut membentuk karakteristik pemanfaatan yang tergabung kedalam skala pengembalian usaha. komponen-komponen penyusun dalam gabungan ini adalah luas penggunaan kawasan, bibit, fasilitas produksi, oprasional, tenaga dan alokasi waktu kerja (input) serta jumlah produksi (output). Masing-masing komponen selanjutnya diestimasi untuk merumuskan strategi pengelolaan perairan pesisir GPK untuk usaha budidaya E. cottonii berdasarkan pendekatan ekologi, sosial dan ekonomi.

Terdapat dua aspek yang digunakan sebagai atribut dimensi dalam pendekatan ekologi yaitu ketersediaan kawasan dan produksi E. cottonii. Ketersediaan merupakan perbandingan antara luas masing-masing kawasan dengan luas blok budidaya yang kemudian disesuaikan dengan koefisien budidaya efektif. Perbandingan ini manggambarkan kemampuan efektif suatu kawasan dalam


(27)

menunjang metoda budidaya (long line) yang digunakan. Aspek produksi (AP) merupakan produktivitas E. cottonii dalam mencapai titik optimal (TO) biomasa dan karaginan. Perhatian utama diantara keduanya adalah periode waktu pencapaian TO manfaat karaginan karena kualitas dari E. cottonii ditentukan oleh kandungan ini. Dengan demikian atribut AP memberikan batasan terhadap periode waktu optimal pemanfaatan kawasan dalam sekali proses produksi sehingga diharapkan dapat membantu proses perencanaan terutama penentuan fungsi kawasan.

Pendekatan sosial menggunakan dua atribut dari komponen skala pengembalian usaha yang dilengkapi dengan atribut demand capacity ratio (DCR) sebagai penghubung atau interaksi antara pendekatan sosial-ekologi. Dua atribut pertama adalah beban kerja budidaya dan penggunaan tenaga kerja dalam satu siklus produksi. Atribut ini menggambarkan tentang alokasi waktu yang perlu dikorbankan untuk menekuni kegiatan budidaya dan tingkat penyerapan tenaga kerja dalam satu unit usaha. Dalam hubungannya, kedua atribut memiliki keterkaitan dengan asumsi modal pertama sebagaimana disebutkan di atas. DCR menggambarkan tentang tingkat kepadatan pemanfaatan suatu kawasan. Dalam hal ini, peluang distribusi atau penambahan unit usaha (KK) adalah terdapat pada kawasan yang memiliki tingkat kepadatan rendah, sedangkan pada kepadatan tinggi perlu mendapat pertimbangan menurut pendekatan ekologi-ekonomi.

Pendekatan ekonomi didasarkan atas komponen-komponen skala pengembalian usaha yang dinyatakan dalam bentuk nilai tukar atau harga. Dalam hal ini, komponen luas penggunaan kawasan (LPK) terlebih dahulu dipisahkan untuk sementara akibat nilai tukarnya yang belum dapat dinyatakan. Selain LPK, komponen input merupakan kekuatan modal yang dialokasikan pelaku bagi usaha budidaya E. cottonii. Besarnya nilai-nilai atribut ini memberikan gambaran tentang skala biaya ditingkat pelaku yang dapat dinyatakan dalam indeks relatif rendah, sedang dan tinggi untuk kepemilikan masing-masing komponen input. Demikian pula dengan atribut output yang merupakan tingkat produksi sebagai penerimaan setelah dikonfersi dengan harga penjualan. Dengan demikian, pemetaan ekonomi berdasarkan indeks relatif diharapkan mampu memudahkan penentuan prioritas perencanaan dalam mendorong tingkat kepuasan pelaku budidaya E. cottonii.


(28)

Hubungan pendekatan ekologi-ekonomi diharapkan dapat menyatakan nilai agunan suatu kawasan pemanfaatan. Dalam hubungan ini, terdapat selisih antara biaya dan tingkat penerimaan yang merupakan nilai keuntungan dari bentuk usaha budidaya E. cottonii. Di sisi lain, usaha tersebut dilakukan pada sebidang kawasan dalam bentuk hektar (ha) yang menyatakan bahwa keuntungan tersebut diperoleh akibat komplementaritas antara input dalam pendekatan ekonomi dengannya. Dengan demikian, perbandingan antara nilai keuntungan dengan luas kawasan pemanfaatan diharapkan dapat menjadi nilai tukar yang diposisikan sebagai tawaran nilai agunan kawasan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hubungan antara dua pertimbangan pengelolaan adalah tergabung dalam skala pengembalian usaha, maka interaksi antara pendekatan ekologi-sosial-ekonomi juga terkait dengannya. Skala tersebut yang merupakan skala kerja beberapa faktor input untuk membentuk skala hasil, dimana perbandingannya dapat membentuk nilai pengembalian yang disebut dengan nilai manfaat dari suatu penggunaan input. Dalam penggunaan yang efisien terdapat komplementaritas penggunaan input yang membentuk skala pengembalian manfaat yang berjumlah satu. Kelebihan dan kekurangan dari total ini dapat memberikan arti bahwa skala tersebut telah berada dalam kondisi over limited dan belum efesien. Dengan demikian perencanaan pengelolaan suatu kawasan untuk usaha budidaya rumput laut didasarkan pada indikator ini.

Selanjutnya, interaksi antara ketiga dimensi pendekatan (ekologi-sosial-ekonomi), dapat memberikan keunggulan relatif pemanfaatan masing-masing kawasan budidaya rumput laut. Dalam hal ini, keunggulan relatif masing-masing atribut dimensi dapat mempengaruhi total nilai indeks dimensi yang mengambarkan aspek manfaat kawasan. Selisih antara indeks manfaat total dengan indeks kompetisi biaya pemanfaatan melahirkan indeks kepuasan pengguna kawasan. Dengan demikian, strategi pengelolaan dapat difokuskan pada kawasan yang dipersepsikan belum memberikan kepuasan kepada pelaku budidaya rumput laut.

Konsep pemikiran tersebut tersebut dapat disusun dalam bentuk bagan alir berikut (Gambar 1).


(29)

Keterangan:

(dokumen), (keputusan), (input keputusan), (penekanan keputusan), (proses keputusan), (multi dokumen), (interaksi)

Gambar 1 Bagan kerangka pikir penelitian.

Taman Nasional Laut Wakatobi Kebijakan Pemda Wakatobi

Pemanfaatan yang konservatif

Luas kawasan KSS & KS Populasi masyarakat GPK

Perubahan musim (Timur, Pancaroba, Barat)

Produksi Produktifitas

Modal (waktu kerja, finansial)

Tenaga kerja

Kriteria pemanfaatan kawasan

Pendekatan ekonomi (Input & output)

Pendekatan sosial (beban & tenaga kerja, DCR) Pendekatan ekologi

(luas & produksi kawasan)

Interaksi (return to scale)

Strategi pengelolaan terpadu Budidaya rumput laut


(30)

(31)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah pesisir membutuhkan definisi dan penentuan batas-batas wilayah. Sampai saat ini, belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Beatley et al. (1994) menyatakan bahwa kesepakatan internasional tentang wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Cakupan ke arah darat meliputi daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua.

Bengen (2005) memberikan batasan terhadap wilayah pesisir sebagai berikut: (1) Ke arah darat, meliputi bagian daratan kering maupun basah yang mendapat pengaruh sifat-sifat air seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. (2) Ke arah laut, mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar.

Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti karena adanya masalah-masalah di dalamnya. Masalah tersebut terjadi sedemikian rupa dan pada akhirnya membutuhkan penanganan, khususnya permasalahan sosial-ekonomi. Sejalan dengan itu, Bengen (2005) menyatakan bahwa penetapan batas-batas fisik suatu wilayah pesisir secara kaku kurang begitu penting untuk kepentingan pengelolaan. Lebih berarti jika penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut beserta segenap sumber daya yang ada di dalamnya.

Bengen (2005) melanjutkan pernyataannya bahwa batas-batas suatu wilayah pesisir bagi kepentingan pengelolaan lebih utama ditentukan berdasarkan tujuan dari pengelolaan itu sendiri. Dalam kepentingan tersebut, wilayah pesisir dapat ditetapkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu wilayah perencanaan dan pengaturan. Wilayah perencanaan merupakan seluruh daerah yang di dalamnya terdapat kegiatan manusia (pembangunan) dan dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Wilayah pengaturan adalah wilayah yang diberikan izin untuk kegiatan pembangunan.


(32)

Bengen (2005) menyatakan pula bahwa dalam pengelolaan wilayah pengaturan, pemerintah (pihak pengelola) memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Kewenangan semacam ini diluar batas wilayah pengaturan, sehingga menjadi tanggung jawab bersama antara instansi pengelolaan wilayah pesisir dalam zona pengaturan dengan instansi yang mengelola daerah hulu atau laut lepas. Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa wilayah kesatuan unit-unit koordinasi atau pengelolaan yang terfokus pada tujuan dan penyelesaian masalah tertentu disebut sebagai wilayah perencanaan.

Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa dalam sistem perencanaan wilayah pesisir dilandasi oleh entitas wilayah. Entitas tersebut terdiri dari komponen-komponen yang merupakan satu kesatuan, memiliki keterkaitan, ketergantungan dan interaksi satu dengan lainnya. Komponen-komponen ekosistem wilayah pesisir dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah baik sifat alamiah maupun non alamiah.

Budiharsono (2005) menyatakatan bahwa sifat-sifat yang ada di wilayah pesisir didasarkan atas pendekatan homogen, nodal, administratif dan perencanaan. Dalam konteks homogen, Pesisir merupakan penghasil ikan dan memiliki kepadatan penduduk yang tergolong dibawah garis kemisikinan. Dalam konteks nodal, pesisir merupakan wilayah belakang (plasma) dari perkotaan (inti). Kenyataannya adalah pesisir sebagai penyedia input bagi inti dan merupakan pasar barang-barang jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administratif, pesisir merupakan wilayah yang relatif kecil, dapat berupa kecamatan atau desa dan kabupaten atau kota yang berupa pulau kecil. Dalam konteks perencanaan, pesisir merupakan wilayah yang memiliki hubungan keterkaitan berdasarkan kriteria ekologis.

Menurut Bengen (2005) bahwa wilayah pengelolaan sehari-hari harus dimasukkan ke dalam wilayah perencanaan. Penerapan wilayah homogen menjadi wilayah perencanaan sangat dipengaruhi oleh potensi sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Rustiadi et al. (2007) mengemukakan bahwa penerapan lebih jauh konsep wilayah homogen menjadi wilayah perencanaan sangat bermanfaat dalam aktifitas:

1. Penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi atau daya dukung utama yang ada.


(33)

2. Pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.

Konsep Ruang dan Kawasan Budidaya Rumput Laut

Penggunaan istilah ruang di Indonesia termuat dalam UU No. 26/2007 tentang penataan ruang. Istilah tersebut dinyatakan sebagai wadah yang meliputi daratan, perairan (laut dan air tawar) dan udara. Kesatuan wadah ini disebut sebagai wilayah tempat manusia dan mahluk lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Berpedoman pada UU tersebut, maka ruang merupakan suatu informasi penting tentang keberadaan suatu wadah secara komprehensif dalam kaitannya dengan keterlibatan manusia yang melakukan aktifitas didalamnya.

Rustiadi et al. (2007) menyatakan bahwa penekanan suatu ruang kedalam fungsi tertentu untuk menunjang aktifitas manusia disebut dengan kawasan. Istilah kawasan muncul dari adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah atau ruang. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub kawasan memiliki fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan.

Johnston (1976) menyatakan bahwa pengklasifikasian ruang kedalam kawasan tertentu memiliki dua manfaat dasar yakni : (1) sebagai alat penyederhanaan fenomena dunia nyata, dan (2) sebagai alat pendeskripsian. Rustiadi et al. (2007) menambahkan bahwa hal ini juga memberikan manfaat terhadap penjelasan yang sederhana terhadap keragaman dan perbedaan karakteristik sumberdaya-sumberdaya serta perilaku dan cara-cara manusia memanfaatkannya.

Terkait dengan pernyataan di atas, maka fenomena pengklasifikasian dunia nyata dapat disederhanakan menjadi faktor-faktor ekologi yang meliputi substrat perairan, kualitas air, iklim, dan geografis dasar perairan. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah faktor kemudahan (aksesibilitas), resiko (masalah keamanan) dan konflik kepentingan (pariwisata, perhubungan, dan taman laut nasional) (Anggadiredja et al. 2006). Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa faktor-faktor tersebut dapat mendeskipsikan suatu perairan menjadi kawasan budidaya Eucheuma sp ketika memenuhi kriteria sebagai berikut:


(34)

a. Faktor fisika perairan: terlindung dari ombak besar, pergerakan air (arus) 0.2-0.4 m/detik, suhu perairan antara 20-30 0C dengan fluktuasi harian maksimum 4 0C, tingkat transparansi 2-5 meter, dasar perairan yang stabil terdiri dari patahan karang mati dan pasir kasar serta bebas dari lumpur, kedalaman air minimal 0.4 m hingga batas daya tembus sinar matahari dan pelaku budidaya mampu memanfaatkannya.

b. Faktor kimia perairan: salinitas 28-33 o/oo, DO 3-8 mg/l, pH 6.5-8, kandungan fosfat antara 0.10-0.20 mg/l, kandungan nitrat antara 0.01-0.7 mg/l (Joshimura

dalam Wardoyo 1978; Ditjenkan 1982; Anggadiredja et al. 2006).

Terkait dengan peranan suhu dan salinitas, Apriyana (2006) menyatakan bahwa salinitas yang tinggi (lebih dekat dengan batas baku mutu tertinggi yaitu 35 o

/oo) dapat menunjang laju pertumbuhan yang lebih baik. Demikian pula GESAMP

(1984) diacu dalam Romimohtarto (1985) bahwa kisaran suhu di daerah tropis sedemikian rupa sehingga banyak organisme hidup lebih baik dekat dengan batas suhu tertinggi (30 oC).

Sejalan dengan pernyataan di atas, Manafi (2003) mendeskripsikan kawasan budidaya rumput laut GPK ke dalam bentuk matriks kesesuaian dengan skor tertinggi pada kisaran yang mendekati batas optimal (Tabel 1). Dalam hasil analisisnya diperoleh bahwa potensi kawasan budidaya rumput laut di perairan tersebut terdapat seluas 8 200 ha dengan rincian 3 700 haberada dalam kategori sangat sesuai (KSS) dan 4 500 ha dalam kategori sesuai (KS).

Tabel 1 Matriks kesesuaian fisik kimia perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk budidaya rumput laut

Parameter Kelas Skor Kelas Skor Bobot

pH 7.5 - 8 8 7 - <7,5 6 10

Salinitas (o/oo) 32 - 35 8 30 - <32 6 10

Suhu permukaan laut (oC) 24 - 30 8 20 - <24 6 10

Kecepatan arus 13m (m/s) 0.3 – 0.4 8 >0.2 – 0.3 6 20

Kekeruhan (JTU) ≤ 28 8 >28 – 30 6 10

Material dasar perairan Pasir Karang 8 Pasir, batuan Karang 6 20

Sumber: Manafi 2003

Sebagaimana tabel di atas dapat dilihat bahwa kecepatan arus dan material dasar perairan merupakan dua parameter yang diberi bobot tertinggi. Hal ini dikarenakan arus sebagai faktor ekologis utama yang mengontrol kondisi komunitas alga akibat pengaruhnya terhadap aerasi, transpotasri nutrien dan pengadukan air


(35)

untuk menghindari fluktuasi suhu. Dinyatakan pula bahwa arus dapat menghindarkan

thallus dari akumulasi benda-benda asing yang melekat padanya serta mempercepat metabolisme dan perpanjangan thallus sehingga menambah kemampuannya dalam menyerap nutrien (Sulistidjo 1985, Sinaga 1999, Apriyana 2006, Anggdiredja et al.

2006). Dengan demikian, parameter ini mendapat bobot yang setingkat lebih tinggi dalam kelipatan angka 10 jika banding parameter lainnya.

Mubarak dan Wahyuni (1981) menyatakan bahwa jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur, dan pecahan karang. Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan banyak dijumpai jenis-jenis alga Halimeda sp., Caulerpa sp., Gracillaria sp., dan

hypnea. Pada dasar perairan yang bersubstrat keras seperti karang hidup, batu karang dan pecahan karang akan banyak dijumpai jenis-jenis alga Sargasum sp., Turbinaria sp., Ulva sp., dan Enteromorpha sp. Nontji (2005) menyatakan bahwa alga laut

Eucheuma sp. Paling baik pertumbuhannya pada pasir berkarang. Jenis ini, membutuhkan benda-benda keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya. Dengan demikian material dasar perairan dalam pengklasifikasian kawasan bagi kegiatan budidaya Eucheuma sp. diberikan bobot yang sama dengan arus.

Scharwz et al. (1976) diacu dalam Notohadinegoro (1999) menyatakan bahwa kondisi suatu kawasan memiliki ambang batas kesanggupan bertahan terhadap dampak penggunaan atau pemanfaatannya. Dahuri et al. (1996), Dahuri (2000) menambahkan bahwa ambang batas ini tidaklah mutlak (obsolute) melainkan luwes (flexible) bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi atas pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang yang hendaknya diarahkan bagi terjaminnya keberlangsungan ekosistem yang ada sebagai penyangga kehidupan di wilayah tersebut.

Legalitas Pemanfaatan Kawasan Bagi Usaha Budidaya Rumput Laut Tata ruang

Dalam UU No. 26/2007 tentang penataan ruang dinyatakan bahwa tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan. Darwanto (2000) mengartikan konsep ini sebagai aktivitas untuk mengarahkan kegiatan


(36)

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Sugandhy (1999), Prayitno (1999) menambahkannya dengan ukuran kualitas tata ruang ditentukan oleh terwujudnya harmonisasi antara kegiatan mengeksploitasi dengan kegiatan memelihara yang mengindahkan kekhasan ekologis.

Dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya dinyatakan bahwa pengelolaan tanam nasional bagi usaha budidaya dilakukan dengan sistem zonasi. Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang diantaranya adalah budidaya perikanan termasuk E. cottonii dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud sehingga membentuk suatu mosaik yang harmonis. Dengan demikian, pemanfaatan suatu kawasan bagi usaha budidaya E. cottonii dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan mendukung secara sosekbud serta tidak mengesampingkan kekhasan ekologis.

Sebagai daerah kepulauan, maka Pemda Wakatobi menjabarkan sistem zonasi yang konsisten dengan penataan ruang secara terpadu dan prinsip pembangunan berkelanjutan kedalam satuan wilayah pulau (SWP). Dalam hal ini, GPK ditetapkan sebagai SWP-II dengan salah satu sektor basis perikanan tangkap dan budidaya. Komoditas unggulan dalam pemanfaatan kawasan bagi sektor ini adalah E. cottonii

yang dihasilkan dari kegiatan memelihara (PDKW 2006). Kebijakan pembangunan perikanan

Salah satu ketentuan yang memuat kebijakan pembangunan perikanan adalah UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan (termasuk rumput laut) dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.

Penjelasan berikutnya adalah pembudidayaan ikan (rumput laut) yang dinyatakan sebagai kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. Kegiatan tersebut dinyatakan pula secara implisit di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.02/MEN/2004 tentang perizinan usaha pembudidayaan ikan dan Peraturan


(37)

Pemerintah No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha perikanan. Selanjutnya disebutkan bahwa setiap warga negara Republik Indonesia atau badan hukum termasuk koperasi yang melakukan usaha pembudidayaan yang dilakukan secara terpisah maupun terpadu dan wajib memiliki izin usaha perikanan (IUP).

IUP di bidang usaha budidaya rumput laut dapat dikeluarkan oleh: (1) Dirjen Perikanan Budidaya, apabila usaha dilakukan di laut lepas dengan batas di atas 12 mil laut; (2) Gubernur, apabila usaha dilakukan di laut dengan batas antara 4 mil s/d 12 mil laut; (3) Bupati/walikota, apabila usaha dilakukan dengan batas kurang dari 4 mil laut.

Usaha budidaya yang dibebaskan tanpa IUP adalah: (1) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode lepas dasar dengan jumlah unit tidak lebih dari 8 unit, masing-masing unit berukuran 100x5 m2. (2) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode rakit apung dengan jumlah unit tidak lebih dari 20 unit, masing-masing unit terdiri dari 20 rakit dan masing-masing rakit berikuran 5x2.5 m2. (3) Budidaya rumput laut yang menggunakan metode long line dengan jumlah unit tidak lebih dari dua unit, masing-masing unit berukuran 1 ha.

Setiap usaha budidaya rumput laut yang telah memiliki IUP wajib: (1) melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam IUP; (2) memohon persetujuan tertulis apabila akan memindahtangankan IUP-nya; (3) menyampaikan laporan kegiatan usaha setiap enam bulan sekali; (4) menyesuaikan rencana usaha apabila melakukan perluasan usaha.

Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pembudidayaan rumput laut dilakukan oleh Dirjen Perikanan Budidaya, gubernur, bupati atau walikota secara teratur dan berkesinambungan. Kepada perusahaan budidaya rumput laut yang melakukan pelanggaran ketentuan diberikan peringatan atau teguran tertulis, pembekuan sementara IUP sampai dengan pencabutan IUP.

UU RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dinyatakan bahwa hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3 kepada pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. HP-3 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. Hal ini memberikan harapan bagi pelaku budidaya potensial atau pemilik modal rendah untuk mendapatkan akses modal


(38)

dalam mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Ditjenkan Budidaya (2005) menambahkan bahwa hal itu juga memberikan harapan bagi arahan alokasi investasi pembangunan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.

Sektor perikanan merupakan matapencaharian utama masyarakat Wakatobi, terutama pada ekosistem terumbu karang dan lamun. PDKW (2006) menyatakan bahwa untuk menunjang hal tersebut, kebijakan pengembangan perikanan kelautan Wakatobi diarahkan pada:

a.Peningkatan kemampuan nelayan dalam menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi,

b.Peningkatan skala produksi produk perikanan,

c.Peningkatan daya saing dan nilai tambah produk perikanan,

d.Penyediaan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produktif seperti permodalan, pasar dan informasi,

e.Peningkatan keberdayaan serta peran lembaga perikanan kelautan dan pariwisata,

f. Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar Kabupaten Wakatobi yang efisien & efektif dan

g.Peningkatan nilai tambah produk perikanan kelautan dan komoditas unggulan lainnya guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya dinyakatan pula bahwa arah kebijakan dalam rangka meningkatkan pengembangan perikanan kelautan Wakatobi dijabarkan dalam program pembangunan peningkatan kesejahteraan nelayan dalam bentuk kegiatan: a) Pengembangan budidaya laut khususnya bagi komoditas unggulan Wakatobi, b) Peningkatan pengolahan hasil dan pasca panen,

c) Peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber produksi seperti permodalan, pasar dan informasi,

d) Pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia perikanan dan pariwisata, e) Pengembangan sistem penyuluhan perikanan,

f) Pengembangan jaringan distribusi pemasaran dari dan keluar kabupaten yang efisien & efektif dan


(39)

g) Pengembangan sarana dan prasarana penangkapan laut dalam untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pelestarian terumbu karang Wakatobi. Peraturan desa

Desa Darawa, Lentea, Sama Bahari dan Sombano merupakan desa-desa percontohan dalam pengelolaan dan pemanfaatan PERAIRAN PESISIR GPK. Duncan (2005) dalam laporannya menyatakan bahwa kendala yang dihadapi oleh masyarakat desa tersebut adalah menurunnya hasil produksi sektor perikanan baik dari segi jumlah, ukuran maupun spesies. Hal ini disebabkan oleh pola pemanfaatan kawasan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan sianida. Dinyatakan bahwa 70 dan 61% penggunaan kedua alat tangkangkap ini berasal dari nelayan luar dan 38 & 34% berasal dari nelayan lokal. Pembahasan kedua hal ini di tingkat kecataman diperoleh simpulan bahwa setiap kepala desa sepakat untuk membentuk aturan penomoran atau registrasi perahu bermotor demi menjamin daya kontrol terhadap pemanfaatan kawasan.

Setelah memperoleh persetujuan akan diadakannya registrasi ini, maka dua nelayan dari setiap desa tersebut dipekerjakan untuk penulisan nomor dibawah pengawasan kepala desa. Keduanya memberikan nomor khusus kepada setiap sampan bermotor, mencatat pemiliknya serta rincian dari perahu bermotor tersebut. Kode ini tersusun atas tiga komponen yaitu kode untuk mengidentifikasi nama pulau (K=Kaledupa), kemudian tiga digit angka sebagai kode khusus pada setiap perahu bermotor di desa tersebut dan terakhir adalah kode desa dengan mengacu pada kode administratif pemerintah kecamatan dimana M = Darawa, J = Lentea, O = Sombano dan P = Sama Bahari.

Kebijakan lokal

Budidaya rumput laut merupakan istilah baru bagi masyarakat Kaledupa. Namun demikian, kegiatan memelihara rumput laut telah lama dikenal oleh masyarakat ini. Dalam era tahun 1970-an rumput laut dijadikan sebagai salah satu indikator pemanfaatan kawasan bagi penempatan sero untuk mendapatkan ikan target baronang. Ketika itu, rumput laut yang ada di sekitarnya dikumpulkan kemudian ditebar di dalam sero sebagai umpan untuk memancing ikan masuk ke dalamnya. Jenis rumput laut yang banyak digunakan untuk hal ini adalah Caulerpa sp. atau


(40)

dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Garangga kanse. Sebagian hasil panennya dijadikan sebagai bahan konsumsi makanan terutama dari jenis Latu (C. Lentillifera).

Sebagaimana diketahui bahwa E. cottonii bukan merupakan plasma nutfah lokal, namun dapat memberikan sumbangsi kesejahteraan yang lebih besar (56%) dibanding unit-unit ekonomi lainnya seperti penangkapan (36.50%) dan pertanian (7.50%) (Duncan 2005). Dalam era usaha budidaya E. cottonii (1993 hingga sekarang), masyarakat pelaku budidaya mengenal pola pemanfaatan kawasan dengan menggilir penggunaan bibit dari kawasan kurang subur ke kawasan lebih subur. Demikian pula sebaliknya, komoditas basah kawasan lebih subur sebagian dijadikan bibit pada kawasan kurang subur. Menurut pelaku budidaya, dikatakan bahwa pola pemanfaatan seperti ini memberikan manfaat terutama bagi pertumbuhan rumput laut yang lebih baik di kedua kawasan dan tingkat kegagalan panen yang berkurang.

Integrasi Masyarakat dalam Kawasan Budidaya Rumput Laut

White et al. (2006) menyatakan bahwa pemanfaatan ruang wilayah pesisir bagi pengembangan budidaya rumput laut merupakan salah satu alternatif pemberdayaan masyarakat. Keunggulan dari pengembangan ini adalah: (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang beragam, (2) lokasi budidaya tersedia cukup luas serta (3) teknologi budidaya tersedia.

Cahyono (1993) menyatakan bahwa sasaran dibangunnya suatu usaha adalah: (1) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam dan sumber daya manusia yang memperhatikan keseimbangan dan kelestarian bagi lingkungan, (2) meningkatkan keikutsertaan masyarakat golongan ekonomi lemah agar berperan secara aktif dalam pembangunan, (3) memperluas dan meratakan kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan peran koperasi.

Effendi (2004) menyatakan bahwa campur tangan masyarakat untuk memproduksi biota (rumput laut) melalui pemeliharaan akan meningkatkan produktivitas perairan dan mendatangkan keuntungan secara ekonomi. Smart (2005) menyatakan bahwa kegiatan seperti ini dikenal sebagai phycoculture.

Bardach et al. (1972) menyatakan bahwa pemanfaatan lokasi untuk budidaya rumput laut harus memenuhi persyaratan dan fasilitas tertentu, terutama persediaan air


(41)

yang sangat cukup, suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai. Kenyataannya faktor-faktor tersebut sulit untuk diatasi oleh manusia sehingga menyebabkan senjang produktivitas dalam budidaya rumput laut (Sedana et al. 1985).

Soekartawi (2002) mengenal dua jenis perbedaan produktivitas yaitu yield gap I dan yield gap II. Yield gap I merupakan perbedaan dari hasil eksperimen dengan hasil dari potensi suatu usaha tani. Yield gap ini disebabkan oleh adanya teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungan. Sebagai contoh, Ditjenkan Budidaya (2005) menyatakan bahwa teknologi budidaya dengan metode kantong jaring merupakan solusi budidaya rumput laut dalam mengatasi serangan hama ikan (baronang) dan penyu. Kenyataannya, teknologi ini tidak dapat diterapkan pada suatu perairan yang lebih subur seperti perairan GPK. Hal ini dikatakan oleh pelaku budidaya lokal bahwa tidak berhasilnya penerapan teknologi kantong jaring disebabkan oleh adanya biota penempel yang cepat penutupi mata jaring sehingga menghalangi pergerakan air yang dibutuhkan rumput laut. Dalam kondisi tersebut, rumput laut cepat terserang penyakit yang ditandai dengan perubahan warna menjadi cokelat kehitam-hitaman dan akhirnya mati.

Yield gap II merupakan perbedaan produktivitas dari suatu potensi usaha tani dengan yang dihasilkan oleh pelaku. Dalam usaha budidaya rumput laut, terdapat dua faktor utama penyebab yield gap II yaitu: (1) karena kendala biologi seperti perbedaan spesies, serangan hama dan penyakit, perbedaan parameter fisik kimia perairan dan sebagainya); (2) karena kendala sosial-ekonomi seperti perbedaan besarnya biaya yang muncul dari faktor jarak sehingga meningkatkan biaya operasional, faktor kedalaman perairan yang dapat meningkatkan penggunaan tali jangkar, harga produksi akibat kebiasaan dan sikap pelaku budidaya yang tidak memperhatikan kualitas rumput laut, adanya faktor ketidakpastian, dan sebagainya.

Integrasi masyarakat dalam kawasan budidaya rumput laut idealnya memperhatikan daya dukung dalam tatanan pemanfaatan yang berkelanjutan. De Santo (1978) diacu dalam Susilo (2006) mendefinisikannya sebagai satuan jumlah binatang, manusia atau industri yang secara terus menerus pada sumberdaya yang tersedia. Turner (1988) diacu dalam Rustam (2005) menyatakan bahwa ukuran integrasi dalam tatanan tersebut adalah jumlah populasi yang dapat didukung oleh suatu kawasan atau areal (volume perairan) tanpa mengalami penurunan


(42)

kualitasnya. Susilo (2006) menambahkan bahwa jumlah manusia dalam konsep ini terkait dengan dua aspek, yaitu aspek produksi lingkungan (dalam pengertian barang dan jasa) yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dan aspek penyerapan limbah yang dikeluarkan oleh aktivitas manusia.

Anggadiredja et al. (2006) menyatakan bahwa potensi pemanfaatan ruang untuk usaha budidaya E. cottonii bagi satu kepala keluarga adalah sekitar 0,20 ha. Pada luasan tersebut, dapat mendukung delapan blok atau sekitar 48 rentang tali ris. Analisis usaha budidaya E. cottonii dalam luasan tersebut (Tabel 2) dapat mencakup anggota keluarga sebanyak tiga hingga empat orang.

Tabel 2 Analisis budidaya E. cottonii sistem long line: satu KK (tiga hingga empat orang anggota), delapan blok (0.20 ha)

Uraian Jumlah Harga satuan (Rp) Jumlah (Rp)

A. Modal tetap

Tali 8 mm (kg) 72 20 000 1 440 000

Tali 9-10 mm (kg) 32 20 000 640 000

Jangkar 32 10 000 320 000

Pelampung utama 48 5 000 240 000

Botol air mineral 1 600 100 160 000

Tali rafia (kg) 168 3 000 504 000

Bibit E. cottonii (kg) 960 1 000 960 000

Pisau 8 500 4 000

Maker/snorkel 4 25 000 100 000

Timbangan 2 50 000 100 000

Karung 500 500 250 000

Perizinan 1 100 000 100 000

Sampan 1 250 000 250 000

Total modal tetap 5 068 000

B. Modal kerja

Upah tanam per panen 448 10 000 4 480 000

C. Total pengeluaran 9 548 000

D. Pendapatan 7 467 4 500 33 600 000

E. Keuntungan 24 052 000

F. Profit margin (%) 251.9

G. B/C ratio 4

Sumber: Anggadiredja at al. 2006

Soekartawi (2002) menyatakan bahwa tenaga kerja yang perlu diitegrasikan ke dalam proses produksi, sebaiknya dipilih dari masyarakat yang bertempat tinggal di dekat lokasi usaha tani terutama pelaku atau nelayan lokal. Penggunaan tenaga kerja tersebut dapat menghemat biaya produksi dan sekaligus membuka peluang atau kesempatan kerja. Rahim dan Hastuti (2007) menyatakan bahwa tenaga kerja harus mempunyai kualitas berpikir yang maju seperti pelaku yang mampu


(43)

mengadopsi inovasi-inovasi baru, terutama dalam menggunakan teknologi untuk pencapaian komoditas yang bagus dan bernilai jual tinggi.

Soekartawi (2002) menyatakan pula bahwa analisis ketenagakerjaan diperlukan standarisasi satuan tenaga kerja yang biasa disebut hari kerja setara pria (HKSP). Penggunaan tenaga kerja dinyatakan sebagai curahan tenaga kerja yang didefiniskan sebagai besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Ukuran tenaga kerja ini dinyatakan dalam hari orang kerja (HOK) atau hari kerja orang (HKO).

Pendekatan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Perairan pesisir Menurut Bengen (2005) bahwa terdapat dua pendekatan dalam pengelolaan wilayah pesisir. Pertama pengelolaan secara sektoral. Pengelolaan ini, pada dasarnya berkaitan hanya dengan satu jenis sumberdaya atau ekosistem. Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk memenuhi kepentingan sektor tertentu seperti perikanan, pariwisata, perhubungan dan sebagainya. Dampaknya adalah ”cross-sectoral” atau cross-regional” sering terabaikan sehingga model perencanaan dan pengelolaan sektoral ini menimbulkan kerusakan lingkungan dan mematikan sektor lain.

Pendekatan kedua adalah pengelolaan secara terpadu. Penerapan pengelolaan ini dilakukan berdasarkan penilaian sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut secara menyeluruh. Merencanakan tujuan dan sasaran serta melaksanankan segenap kegiatan pemanfaatannya merupakan upaya pencapaian pembangunan optimal dan berkelanjutan sebagai dimensi pengelolaan terpadu. Kontrol dan Pelaksanaan pengelolaan terpadu perlu dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya. Aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir, konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada menjadi titik kontrol dalam pengelolaan secara terpadu.

Bengen (2005) mengemukakan bahwa ada empat aspek dalam keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Aspek-aspek tersebut meliputi:

1. Keterpaduan ekologis. Wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan perairan laut. Oleh karena proses-proses alami yang terjadi di darat seperti aliran air tawar dan sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran, maka pengelolaan wilayah pesisir tidak lepas dari pengelolaan lingkungan dari kedua sistem ekologi tersebut.


(44)

2. Keterpaduan sektoral. Konsekwensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam bidang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Akibatnya sering terjadi tumpang-tindih pemanfaatan antara satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan tersebut dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam pelaksanaan perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektor.

3. Keterpaduan disiplin ilmu. Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karaktersitik ekosistem maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Dengan demikian dibutuhkan disiplin ilmu khusus yang dapat dibagi secara umum kedalam ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosial.

4. Keterpaduan stakeholder. Keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di kawasan pesisir merupakan kunci keberhasilan dari ketiga keterpaduan di atas. Oleh karena itu, peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola perairan laut pesisir.

Widodo (2008) menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyalir memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan adalah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM). PBM tersebut menempatkan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek semata agar masyarakat berpartisipasi dan berperan serta aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi. Apabila pendekatan pengelolaan dilakukan dengan semangat lokalitas, maka masyarakat lokal menjadi bagian yang paling memahami keadaan daerahnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka PBM dapat dipandang sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdayanya sendiri. Kebutuhan awal dalam pengelolaan seperti ini adalah pendefinisian kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasi masyarakat. Pemberian tanggung jawab ini menjadikan masyarakat dapat mengambil keputusan sehingga menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka.


(45)

Carter (1996) diacu dalam Widodo (2008) menyatakan bahwa konsep PBM dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan perairan pesisir dari beberapa aspek memiliki kemampuan pisitif. Kemampuan tersebut meliputi: (1) mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) memotivasi masyarakat lokal untuk mengelola secara berkelanjutan.

Menurut Widodo (2008) bahwa konsep PBM mengalami perubahan dengan dikembangkannya satu konsep yang disebut “Co-Management”. Konsep tersebut adalah pengelolaan lingkungan perairan pesisir tidak hanya melibatkan unsur masyarakat lokal, tetapi juga melibatkan unsur pemerintah. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi adanya tumpang tindih kepentingan pemanfaatan di wilayah perairan pesisir.

Pomeroy (1994) menyatakan bahwa penerapan Co-Management berbeda-beda tergantung pada kondisi spesifik lokasi. Co-management hendaknya tidak dipandang sebagai strategi tunggal untuk menyelesaikan seluruh permasalahan dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Perlu juga dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Penerapan Co-management yang baik dan sukses memerlukan waktu, biaya dan upaya bertahun-tahun.

Widodo (2008) menyatakan bahwa masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang masih murni oleh masyarakat menjadi embrio dari penerapan konsep Co-Management.

White (1989) menyatakan bahwa tidak ada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam dan lingkungan tersebut. Sejalan dengan itu, Schaduw (2008) menyatakan bahwa Desa Blongko merupakan salah satu desa di provinsi Sulawesi Utara yang mendapat program pelestarian mangarove. Program ini diprakarsai oleh pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dibantu LSM dan Perguruan Tinggi setempat. Pelaksanaan program ini terkesan dipaksakan


(46)

yang dapat dilihat dari partisipasi kehadiran masyarakat pada tahap sosialisasi, perencanan, dan pelatihan yang hanya berasal dari masyarakat di dekat kantor desa ataupun rumah kepala desa. Disamping itu, masyarakat akan mendapatkan imbalan uang dari pihak pelaksana kegiatan apabila hadir dan mengisi daftar hadir. Akibatnya, timbul kecemburuan sosial diantara masyarakat karena kurang melibatkan masyarakat yang tinggal jauh dari pusat desa. Disamping itu, timbul opini masyarakat bahwa kegiatan ini kurang begitu penting untuk diikuti dan membuat masyarakat selalu berpikir bahwa usaha pelestarian itu hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan demikian, pelaksanaan program ini kurang begitu berhasil.

Berbeda dengan hal di atas, upaya pelestarian ekosistem karang GPK dilakukan berdasarkan pendekatan manfaat yang dicapai oleh setiap pengguna kawasan. Penurunan hasil tangkapan nelayan disetiap penggunaan alat tangkap tradisional sebagaimana Duncan (2005) yang disosialisasikan melalui kontak person dengan setiap pengguna mampu membangkitkan semangat masyarakat untuk mencari solusi penanganannya. Hal ini dapat dilihat pada tingginya antusias masyarakat untuk menghadiri setiap pertemuan baik ditingkat desa maupun kecamatan dalam membahas perkembangan sumberdaya perairan pesisir GPK. Salah satu indikatornya adalah pertemuan dalam membahas penomoran perahu di tingkat kecamatan yang dihadiri oleh masyarakat GPK dengan rata-rata persentase kehadiran 127.40% dari jumlah nelayan yang ada di setiap desa.

Indikator berikutnya adalah munculnya Forum Komunikasi Masyarakat Toudani (Forkani) yang terbentuk dari aspirasi masyarakat setempat sebagai wadah komunikasi dan penampungan laporan hasil produksi setiap nelayan. Hasil laporan tersebut bisa dibandingkan dengan nilai perikanan lain yang ada di dunia untuk menentukan tingkat korelasi dari pengeksploitasian perikanan Kaledupa. Sebagai contoh, hasil pancing tangan GPK terdapat sekitar 1.46 kg/jam (nilai CPUE), sementara pada kondisi pengelolaan habitat yang baik seperti di New Caledonia terdapat sekitar 3.37 kg/jam. Demikian pula hasil senapan panah terdapat sekitar 1.19 kg/jam, sementara pada kondisi pengelolaan habitat yang dinyatakan buruk terdapat sekitar 1.10 kg/jam sebagaimana yang terjadi di Pulau Malalison Philippines. Contoh tersebut memberikan transparansi pengelolaan ekosistem perairan pesisir


(47)

GPK yang muncul dari masyarakat pengguna untuk memperoleh masukan dalam menjamin tingkat keberlanjutan matapencaharian mereka.

Pomeroy (1994) mengemukakan sembilan kunci kesuksesan dari model Co-Management, yaitu (i) batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi, (ii) kejelasan keanggotaan, (iii) keterikatan dalam kelompok, (iv) manfaat harus lebih besar dari biaya, (v) pengelolaan yang sederhana, (vi) legalisasi dari pengelolaan, (vii) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (viii) desentralisasi dan pendelegasian wewenang, serta (ix) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan landasan pengelolaan perairan pesisir. Konsep ini pertama kali dipublikasikan oleh World Conservation Strategy pada tahun 1980. Lahirnya konsep tersebut merupakan babak baru dari teori pembangunan dan sekaligus mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan penyelamatan lingkungan.

Menurut Munasinghe (1993) bahwa pembangunan berkelanjutan menekankan pada tiga pilar yaitu ekonomi, ekologi dan sosial (Gambar 2). Pilar ekonomi menekankan perolehan pendapatan yang berbasis efisiensi penggunaan sumberdaya. Secara ekologi menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem. Secara sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya yang meliputi antara lain penghindaran konflik keadilan baik antara generasi maupun dalam satu generasi.

Gambar 2 Trade-off tujuan antar komponen pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993).

Ekologi Ekonomi

Pertumbuhan dan efisiensi

Sosial Distribusi pendapatan, kesempatan

kerja Internalisasi, AMDAL, Valuasi

Kemiskinan dan keadilan Degradasi sumberdaya alam Partisipasi, Konsultasi, Pluralisme


(48)

Serageldin (1993) menyatakan bahwa keberlanjutan ekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan modal dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan modal. Keberlanjutan ekologi meliputi kesatuan ekosistem, daya dukung, perlindungan keanekaragaman jenis dan sumberdaya alam. Keberlanjutan sosial adalah adanya kesejahteraan, keadilan, pemberdayaan, partisipasi dan kelembagaan.

Implementasi pembangunan berkelanjutan yang pertama kali diperhatikan adalah aspek sosial, karena berperan sebagai pusat dari pembangunan yang mementingkan pendekatan kesejahteraan dan pemberdayaan. Kelompok masyarakat yang harus diutamakan adalah masyarakat marginal dan kelompok miskin. Antara kedua kelompok tersebut, peranan wanita mendapat posisi yang sangat penting. Pemberdayaan dapat dilakukan melalui pembukaan akses kelompok masyarakat ke sumber modal, penyuluhan, pelatihan usaha, kesempatan usaha dan kesempatan kerja (Serageldin 1993).


(1)

v

v

produksi budidaya; (2) pembentukan dan penguatan fungsi kelompok pelaku budidaya; (3) pemberian jaminan akses modal melalui gabungan fitur perjanjian bank & grameen, dan insentif harga bagi komoditas rumput laut.


(2)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(3)

PENGELOLAAN PERAIRAN PESISIR

GUGUS PULAU KALEDUPA

UNTUK USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT

AKHMAD MANSYUR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(4)

Judul Tesis : Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut

Nama Mahasiswa : Akhmad Mansyur

NIM : C251060051

Program Studi : Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Ir. Irzal Effendi, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(5)

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian sejak Juni hingga Desember 2008 ini adalah pengelolaan perairan pesisir, dengan judul Pengelolaan Perairan pesisir Gugus Pulau Kaledupa untuk Usaha Budidaya Rumput Laut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Ir. Irzal Effendi, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada Penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta stafnya dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. selaku Ketua Program Studi Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi secara baik. Demikian juga penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc. selaku penguji dosen penguji luar komisi yang telah memberikan sumbangsi positifnya. Ucapan ini, tidak lupa disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor terutama mahasiswa pada Program Studi SPL yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat bermanfaat dalam penulisan karya ini. Lebih khusus, ungkapan terima kasih dihaturkan kepada ayah, ibu, istri dan anaku, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga laporan ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010