Analisis Dukungan Sosial, Interaksi Suami-Istri, dan Kualitas Perkawinan pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Studi Kasus di Desa Padaasih, Kecamatan Cisaat, Sukabumi Jawa Barat).

ABSTRACT
ATIRAH. Analysis Social Support, Couple Interaction, and Marital Quality of
Female Migrant Workers Families in Sukabumi (Case Study in Padasih Vilagge,
Cisaat District, Sukabumi, West Java. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI.
The aim of the research was to analyze correlate of social support, couple
interaction, and marital quality of female migrant workers. The desain of this
research was using crosssectional study. Research location was selected
purposively. Sample of this research was family who has wife as female migrant
workers at least for six months and have children under eighteen years old.
Respondent of this research was husband who has wife as female migrant
workers at least for six months and have children under eighteen years old. This
research involved 60 family as samples which chosen by non probability
sampling method with snowball technique. There were real and positive
correlation between support which gave from neighbour with husband wife’s
interaction. Support which gave from extended family and neighbour have
correlation with husband and wife’s bonding. Social support which gave from
extended family, nuclear family, neighbour, and PJTKI to husband has a
correlation with husband and wife’s bonding. Marital quality observed from marital
happiness and satisfaction which showed there were no correlation with social
support. Husband wife’s interaction (communication and husband and wife’s
bonding) have correlation with marital quality (marital happiness and satisfaction).

Keywords: social support, couple interaction, and quality of marriage
ABSTRAK
ATIRAH. Analisis Dukungan Sosial, Interaksi Suami-Istri, dan Kualitas
Perkawinan pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Studi Kasus di Desa
Padaasih, Kecamatan Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh HERIEN
PUSPITAWATI.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan
sosial, interaksi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga Tenaga Kerja
Wanita (TKW). Desain dari penelitian ini dalah crosssectional study. Pemilihan
tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Contoh adalah keluarga
yang memiliki istri bekerja sebagai TKW di luar negeri minimal selama enam
bulan dan memiliki anak usia dibawah 18 tahun. Responden pada penelitian ini
adalah suami yang memiliki istri bekerja sebagai TKW di luar negeri minimal
selama enam bulan dan memiliki anak usia dibawah 18 tahun. Penarikan contoh
menggunakan metode non probability dengan teknik snowball dengan jumlah
contoh sebanyak 60 orang. Data diperoleh melalui wawancara dan kuesioner.
Terdapat hubungan yang nyata dan positif antara dukungan yang diberikan
tetangga kepada suami dengan interaksi suami-istri. Dukungan yang diberikan
oleh keluarga besar dan tetangga memiliki hubungan nyata dengan ikatan
bonding suami-istri. Dukungan sosial yang diberikan baik yang berasal dari

keluarga besar, keluarga inti, tetangga, dan PJTKI kepada suami memiliki
hubungan dengan ikatan bonding di antara suami-istri. Kualitas perkawinan
ditinjau dari kebahagiaan dan kepuasan perkawinan tidak memiliki hubungan
dengan dukungan sosial. Interaksi suami-istri (komunikasi dan bonding) memiliki
hubungan nyata dengan kualitas perkawinan (kebahagiaan dan kepuasan
perkawinan).
Kata kunci : dukungan sosial, interaksi suami-istri, dan kualitas perkawinan

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
 
Kemiskinan merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh suatu negara.
Berdasarkan data BPS tahun 2010, persentase kemiskinan saat ini mencapai
13,3 persen. Kemiskinan tersebut terjadi karena tingkat pendapatan yang
rendah. Pengangguran merupakan salah satu dampak kurangnya lapangan
pekerjaan yang menjadikan salah satu faktor kemiskinan semakin meningkat.
Tersedianya informasi mengenai tata cara bekerja di luar negeri, desakan

ekonomi, dan adanya keterkaitan sejarah sosial yang panjang di lingkungan
masyarakat dapat menentukan minat masyarakat untuk bekerja sebagai Tenaga
Kerja Indonesia (TKI). Namun rendahnya pendidikan dan keterampilan membuat
para Tenaga Kerja Wanita (TKW) hanya dapat bekerja disektor informal atau
lazim disebut sebagai pembantu rumahtangga (Pageh 2008).
Program penempatan tenaga kerja di luar negeri memberikan dampak
positif terhadap Negara Indonesia yaitu menumbuhkan remitansi (pengiriman
uang) dan devisa. Selain itu, penempatan tenaga kerja di luar negeri
menumbuhkan ekonomi keluarga, pendorong ekonomi masyarakat, menaikkan
tabungan,

mengurangi

pengangguran,

meningkatkan

pendidikan,

dan


masyarakat mendapatkan keterampilan baru. Dampak negatif yang dirasakan
oleh TKI yaitu pekerjaan tidak sesuai Perjanjian Kerja (PK), gaji tidak dibayar,
penganiayaan, pelecehan seksual, majikan bermasalah, komunikasi tidak lancar,
kecelakaan kerja, sakit akibat kerja, TKI hamil, PHK sepihak dan masalah
lainnya. Kekerasan yang dialami oleh TKI, sebagian besar terjadi pada TKI/TKW
yang bekerja di sektor informal yang jumlahnya 80 persen dari total TKI yang
telah diberangkatkan (Marzuki 2011). Dampak negatif yang timbul akibat
kepergian istri menjadi TKW yaitu menyebabkan terjadinya pergeseran peran
dalam keluarga dengan kondisi peran istri sebagai pencari nafkah utama serta
suami yang mengasuh dan merawat anak. Blood (1972) diacu dalam Luthfiyasari
(2004) menyatakan bahwa beberapa akibat yang mungkin terjadi dari
keterpisahan anggota keluarga dan perubahan keberfungsian keluarga antara
lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya ikatan kekerabatan,
goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral terhadap
budaya setempat. Parson dan Bales mengatakan bahwa peran orangtua di
dalam suatu keluarga meliputi peran instrumental (pencari nafkah) yang

2
 

dilakukan suami atau bapak serta peran emosional atau ekspresif (peran
pemberi cinta, kelembutan serta kasih sayang) yang biasanya diperankan oleh
istri atau ibu (Megawangi 1999).
William F. Ogburn dan Talcot Parsons menyatakan bahwa pendekatan
struktural fungsional mengakui adanya segala keberagaman dalam kehidupan
sosial serta masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi
yang terjadi dalam suatu keluarga tidak untuk memenuhi kepentingan individu
yang bersangkutan namun untuk mencapai tujuan bersama (Megawangi 1999).
Perubahan peran dan fungsi yang terjadi pada keluarga TKW dikarenakan
adanya tujuan yang diharapkan oleh keluarga TKW yaitu untuk memperoleh
nasib yang lebih baik dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam segi
materi. Adanya perubahan peran dan fungsi dalam anggota keluarga menjadi
tantangan bagi keluarga TKW karena perlu melakukan penyesuaian dan
adaptasi atas perubahan tersebut.
Kepergian istri juga berpengaruh terhadap komunikasi di antara suamiistri dan keluarga. Saat suami-istri berpisah dan tidak bersatu dalam satu atap
dalam waktu berkepanjangan akan menimbulkan kesenjangan komunikasi dua
arah, baik fisik dan non fisik. Adanya kegagalan dalam komunikasi dan afeksi
kemungkinan dapat menyebabkan menurunnya kebahagiaan dan kepuasan
perkawinan (Nurcahyanti 2010). Oleh karena itu, komunikasi yang baik dan
efektif merupakan hal yang sangat penting dalam memecahkan masalah

kesenjangan komunikasi. Powers dan Hutchinson 1979 dalam Rice 1983
menyatakan bahwa komunikasi yang baik sebagai kunci dalam interaksi keluarga
dan hubungan perkawinan. Hal ini sependapat dengan penelitian Setioningsih
(2010) bahwa kualitas perkawinan memiliki hubungan dengan interaksi suamiistri yang ditinjau dari komunikasi dan ikatan bonding antara suami-istri karena
tingginya interaksi di antara suami-istri menyebabkan semakin tingginya kualitas
perkawinan keluarga.
Selama istri pergi menjadi TKW dalam jangka waktu yang relatif cukup
lama, suami memerlukan dukungan keluarga agar tetap dapat menjalankan
fungsi keluarga dengan baik serta dapat bertahan hidup meskipun tanpa
kehadiran istri. Cutrona (1996) menyatakan bahwa pemenuhan dukungan sosial
sangat diperlukan pada saat seseorang mengalami peristiwa kehidupan yang
sangat menegangkan atau saat kondisi pribadi dan lingkungan dalam keadaan
buruk atau merugikan. Dukungan yang telah diberikan keluarga besar dapat

3
 
membantu meringankan beban ayah dan meminimalisir dampak kepergian istri.
Adanya dukungan yang diberikan akan membuat ayah dapat lebih baik dalam
memberikan pengasuhan kehangatan kepada anak, interaksi yang terjalin
diantara seluruh anggota keluarga akan semakin baik, serta kualitas perkawinan

juga semakin kokoh (Setioningsih 2010).
Perumusan Masalah
 

Kabupaten Sukabumi memiliki luas wilayah sebesar kurang lebih 419.970

Ha (BPS 2010) dengan jumlah penduduk yang relatif banyak. Hal ini memberikan
tantangan

kepada

Pemerintah

Daerah

Kabupaten

Sukabumi

untuk


meminimalkan tingkat pengangguran yang meningkat seiring dengan makin
bertambahnya jumlah penduduk. Jumlah pengangguran di Kabupaten Sukabumi
hingga 2011 masih terbilang tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Tenaga
Kerja Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Sukabumi lebih dari 28.000 warga
masih belum memiliki pekerjaan.
Ketidakmampuan penguasaan keahlian yang diperlukan sektor industri
merupakan faktor warga tidak bekerja. Hal itu berdampak terhadap ekonomi
keluarga. Rendahnya tingkat pendapatan, mendorong wanita untuk ikut
berpartisipasi dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Banyak istri yang rela
berpisah dengan suami demi meningkatkan kehidupan dan memperbaiki nasib.
Tersedianya informasi mengenai tata cara bekerja di luar negeri dan keterkaitan
sejarah sosial masyarakat yang panjang, juga menentukan minat masyarakat
bekerja di luar negeri. Faktor pendorong lainnya seperti struktur persediaan
tenaga kerja di negara asal, mendorong minat masyarakat untuk bekerja sebagai
TKI. Hal inilah yang memicu para istri untuk ikut berpartisipasi menjadi TKI.
Namun rendahnya pendidikan dan keterampilan membuat para istri hanya dapat
bekerja disektor informal atau lazim disebut sebagai pembantu rumah tangga.
Jumhur (2011) menyatakan bahwa data dari Pusat Penelitian dan
Informasi (PUSLITFO) BNP2TKI menyebutkan jumlah penempatan TKI ke luar

negeri daerah Sukabumi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun
2008 sebanyak 644.731 orang terdiri atas 212.413 TKI formal (33%) dan 432.318
TKI informal (67%) tahun 2010 melonjak menjadi 575.804 orang terdiri atas
158.363 TKI formal (28%) dan 417.441 TKI informal (72%). Disisi lain, kepergian
istri menjadi TKW berdampak terhadap kehidupan keluarga yaitu beban suami
semakin besar karena selain dituntut untuk bekerja setiap hari dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan mengatur pekerjaan di dalam rumah, suami juga

4
 
harus mampu untuk mendidik, mengasuh serta mengawasi anak-anaknya (LPPM
UMP 2009).
Dampak dari kepergian istri menjadi TKW terhadap keluarga yang
ditinggalkan terlihat dari banyaknya peristiwa-peristiwa yang negatif terhadap
keluarga yaitu suami yang harus berjuang sebagai penopang ekonomi tunggal
demi menghidupi kedua anaknya saat istrinya memutuskan untuk menjadi TKW
diluar negeri terlebih lagi istri hilang tanpa kabar yang pasti (Rimanews 2010),
suami kehilangan komunikasi dengan istri dan sudah banyak menghabiskan
banyak biaya dan waktu untuk mencari istrinya harus kecewa karena istri
selingkuh lagi dengan laki-laki lain (Fatkhulmuin 2011), suami yang mengalami

kecemasan yang berlebihan, sakit yang terlampau parah, dan rumah tangga
yang tidak harmonis sehingga berujung pada perceraian yang terjadi dengan istri
saat istri yang dicintai pergi menjadi TKW keluar negeri (Suryaputra 2011), dan
peristiwa yang cukup berat saat suami yang ditinggalkan istri yang menjadi TKW
telah melakukan perbuatan yang dilarang agama yaitu memperkosa anak
tetangga dan anak kandung dengan alasan tidak kuat menahan nafsu birahi
karena ditinggal istri yang bekerja di luar negeri sebagai TKW (Dimas 2010 dan
Wahid dan Aristianti 2011). Selain itu, terjadinya peningkatan kasus perceraian di
kota Sukabumi sebagai dampak dari kepergian istri menjadi TKW di luar negeri.
Hal ini terlihat dari pada tahun 2008 kasus perceraian yang telah berhasil
disidangkan mencapai 266 sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 346
kasus. Pada tahun 2010 meningkat menjadi 415 kasus dan pada tahun 2011
hingga bulan juni perkara yang berhasil disidangkan mencapai 213 kasus (Radar
Sukabumi 2011).
Hasil penelitian Setioningsih (2010) menyatakan bahwa kepergian istri
menjadi TKW dalam waktu yang relatif lama membuat komunikasi dan ikatan
bonding di antara suami-istri semakin melemah begitu pula untuk ikatan bonding
yang terjalin di antara ibu dan anak akan semakin melemah mengakibatkan
menurunnya kondisi anak hingga semakin stres, keterampilan sosial melemah,
dan prestasi akademik yang menurun. Selain itu, semakin lemah komunikasi dan

ikatan bonding di antara suami-istri akan membuat semakin menurunnya kualitas
perkawinan yang dirasakan pasangan. Kepergian istri menjadi TKW memberikan
dampak positif yaitu pendapatan yang diperoleh selama bekerja sebagai TKW
dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, termasuk dalam investasi untuk
pendidikan anak, namun dampak negatif yang ditimbulkan saat istri menjadi TKW

5
 
yaitu adanya ketidakseimbangan ekosistem keluarga TKW yang beresiko
menurunkan kualitas perkawinan, menurunkan keterampilan sosial anak,
meningkatkan stres anak, serta menurunkan prestasi akademik anak akibat tidak
adanya perhatian ibu terhadap anak. Oleh karena itu, benefit dan cost rasio
akibat kepergian istri menjadi TKW tidaklah seimbang. Dampak negatif yang
ditimbulkan lebih besar dari pada dampak positif yang didapatkan. Akibat
ketidakseimbangan yang terjadi dalam kehidupan keluarga maka diperlukan
dukungan sosial yang dapat meringankan beban ayah dan dapat membantu
meminimalisir dampak kepergian istri. Dukungan yang diberikan dapat membuat
ayah lebih baik dalam memberikan pengasuhan kehangatan kepada anak,
interaksi yang terjalin di antara seluruh anggota keluarga semakin baik, serta
kualitas perkawinan juga semakin kokoh. Pentingnya peran PJTKI sebagai
penghubung antara ibu dengan anak sehingga dapat meminimalisir stres anak.
Dengan demikian, sangat menarik untuk diteliti mengenai interaksi suami-istri
dan dukungan sosial yang memiliki peran penting dalam menentukan kualitas
perkawinan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan penelitian ini
adalah: (1) Bagaimana

karakteristik keluarga TKW, (2) Seberapa besar

dukungan sosial yang diterima dari keluarga TKW, interaksi yang terjadi di antara
suami-istri, dan kualitas perkawinan selama istri bekerja di luar negeri?, (3)
Apakah terdapat hubungan antara karakteristik keluarga TKW dengan dukungan
sosial, interaksi suami-istri dan kualitas perkawinan?, (4) Apakah terdapat
hubungan antara dukungan sosial, interaksi suami-istri, dan kualitas perkawinan
pada keluarga TKW?.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial,
interaksi suami-istri dan kualitas perkawinan pada keluarga Tenaga Kerja Wanita
(TKW).
Tujuan Khusus:
1. Mengetahui karakteristik contoh keluarga TKW
2. Mengidentifikasi dukungan sosial, interaksi suami-istri, dan kualitas
perkawinan pada keluarga TKW.

6
 
3. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga TKW dengan
dukungan sosial, interaksi suami-istri dan kualitas perkawinan.
4. Menganalisis hubungan antara dukungan sosial, interaksi suami-istri dan
kualitas perkawinan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
bagi masyarakat mengenai hubungan dukungan sosial dan interaksi suami-istri
terhadap kualitas perkawinan pada keluarga yang istrinya bekerja sebagai TKW
sehingga dapat menentukan keputusan yang tepat sebelum menjadi TKW. Bagi
penulis, penelitian ini pun diharapkan dapat menambah wawasan khususnya
dibidang ilmu keluarga.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
sumbangan pemikiran bagi pemerintah, lembaga konsultasi keluarga, dan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam upaya pengembangan usaha
peningkatan kualitas perkawinan. Penelitian dengan topik dukungan sosial,
interaksi suami-istri, dan kualitas perkawinan ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu keluarga (family studies) khususnya di Institut Pertanian
Bogor dan pada umumnya di Indonesia.

7
 

TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Definisi Keluarga
Berdasarkan

undang-undang

Nomor

10

Tahun

1992,

keluarga

merupakan suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang telah disatukan
oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi satu sama lain
yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, anak
laki-laki dan perempuan saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan
pemelihara kebudayaan bersama.
Menurut Kertamuda (2011) bahwa keluarga merupakan bagian dari
masyarakat kecil yang penting dalam membentuk kepribadian serta karakter bagi
para anggota keluarganya. Keluarga juga merupakan tempat seseorang untuk
bergantung, baik secara ekonomi maupun dalam kehidupan sosial lainnya, serta
berperan secara dominan dalam menentukan dan mengambil keputusan.
Megawangi (1999) mengartikan keluarga sebagai sebuah sistem sosial yang
memiliki tugas atau fungsi agar sistem tersebut dapat berjalan. Adapun tugas
tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas serta
pemeliharaan keluarga. Keluarga mempunyai fungsi ekonomi, sosialisasi atau
pendidikan, peran seksual dan reproduksi.
Keluarga adalah suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang telah
dipersatukan oleh kelahiran, adopsi, perkawinan, dan hidup bersama dalam
sebuah rumah tangga (Saxton 1990). Menurut Knox (1985), keluarga merupakan
karakteristik dari group sosial di suatu tempat tinggal umum (pasangan hidup
bersama), kerja sama ekonomi (pasangan berbagi uang dan tugas-tugas), dan
reproduksi seksual (pasangan memiliki atau mengadopsi anak). Burgess Locke
(1960) menyatakan bahwa keluarga memiliki empat karaktyeristik keluarga yaitu
(1) Keluarga disatukan oleh ikatan perkawinan, darah atau adopsi, (2) Seluruh
anggota keluarga hidup bersama di bawah satu atap, (3) Keluarga saling
berinteraksi dan berkomunikasi yang menghasilkan peran-peran sosial, dan (4)
Keluarga merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama yang diperoleh dari
kebudayaan umum.

8
 
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional
Pendekatan struktural fungsional merupakan salah satu pendekatan teori
sosiologi yang telah diterapkan dalam institusi keluaraga. Selain pendekatan ini,
adapula pendekatan teori lain seperti teori interaksi simbolik, teori pertukaran
sosial, teori ekologi keluarga, teori sitem, teori konflik sosial, dan teori
perkembangan keluarga (Klein and White 1996). Megawangi (1999) menyatakan
bahwa pendekatan struktural fungsional merupakan pendekatan teori sosiologi
yang diterapkan dalam suatu institusi keluarga, Pendekatan ini telah mengakui
banyaknya keragaman di dalam suatu kehidupan sosial. Keragaman ini adalah
sumber yang utama yang merupakan bagian dari struktur masyarakat yang pada
akhirnya muncullah keragaman dalam fungsi sesuai dengan posisi seseorang
dalam struktur sebuah sistem. Struktur dan fungsi ini dipengaruhi oleh budaya,
norma, serta nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat itu.
Menurut Megawangi (1999), pendekatan teori ini mengakui adanya
keragaman dalam suatu kehidupan sosial lalu diakomodasi kedalam fungsi yang
sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem. Pada pendekatan
struktural fungsional lebih menekankan pada kesimbangan sistem sosial dalam
masyarakat serta keseimbangan sistem yang stabil dalam suatu keluarga. Pada
konteks keluarga, penerapan teori struktural fungsional dalam konteks keluarga
dapat terlihat dari struktur dan aturan yang telah diterapkan. Struktur di dalam
sebuah keluarga dapat menjadikan institusi keluarga sebagai suatu sistem
kesatuan. Maka dari itu, terdapat beberapa elemen penting dan utama dalam
struktur internal keluarga yang saling berhubungan, diantaranya yaitu:
1. Status sosial: Keluarga inti memiliki tiga struktur utama yakni suami/bapak
(pencari nafkah), istri/ibu (ibu rumahtangga), dan anak-anak (balita, anak
sekolah, remaja, dll).
2. Fungsi sosial: Konsep dari peran sosial yaitu mendeskripsikan peran dari
masing-masing individu atau kelompok berdasarkan status social.
3. Fungsi instrumental: Secara primer terdapat hubungan yang sangat
berkaitan antara keluarga dengan situasi eksternal serta penetapan
hubungan keluarga.
4. Fungsi ekspresif: Berkaitan dengan solidaritas keluarga, hubungan
internal antar anggota keluarga, serta pemenuhan kebutuhan emosionalafeksional anggota keluarga.

9
 
5. Norma

sosial:

Sebuah

peraturan

yang

menjelaskan

bagaimana

seharusnya seseorang bertingkah laku dengan sebaiknya dalam
kehidupan sosial.
Selain itu, terdapat pula prasyarat dalam teori struktural fungsional yang
sangat diperlukan untuk mencapai keseimbangan sistem baik dalam tingkat
masyarakat maupun ditingkat keluarga. Menurut Levy (Megawangi, 1999),
persyaratan struktural yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh keluarga agar
dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yakni meliputi :
1. Diferensiasi peran, yakni pembagian atau pengalokasian tugas serta
aktivitas yang harus dilakukan dalam sebuah keluarga. Terminologi
diferensiasi peran dapat mengacu pada umur, generasi, gender, serta
posisi status politik dan ekonomi dari masing-masing aktor.
2.

Alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi relasi antar anggota
keluarga berdasarkan cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta
atau kepuasan mendeskripsikan hubungan antar anggota. Misalnya
keterikatan emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan
mengacu pada keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya.
Misalnya hubungan antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama
daripada hubungan suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas
adalah kedalaman relasi antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian,
ataupun ketakutan.

3. Alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa antar
anggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Diferensiasi tugas
juga terdapat dalam hal ini terutama hal produksi, distribusi, serta
konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4. Alokasi politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam keluarga.
Agar

keluarga

dapat

berfungsi

dengan

baik,

maka

diperlukan

pendistribusian kekuasaan pada tingkat tertentu seperti distribusi
kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas
setiap tindakan anggota keluarga.
5. Alokasi integrasi dan ekspresi, yaitu meliputi teknik atau cara sosialisasi
internalisasi serta pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap
anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
 
 

10
 
Peran dan Fungsi Keluarga
Menurut Kammeyer (1987), peran merupakan persepsi tingkah laku
interpersonal yang dikaitkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang.
Peran juga diartikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan oleh
seseorang yang sesuai dengan kedudukan atau jabatannya.
Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin dicapai agar dapat
terwujudnya keluarga yang sejahtera baik sejahtera lahir ( fisik dan ekonomi) dan
batin (sosial, psikologi, spritual, dan mental). Menurut Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996) mengemukakan ada delapan fungsi yang
harus dijalankan oleh keluarga yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik dan
nonfisik yang terdiri atas fungsi:
a) Fungsi Keagamaan, keluarga diharuskan memberikan dorongan kepada
seluruh anggota keluarga agar dalam kehidupan keluarga bersemai nilainilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa satu sama lain yang dapat
membentuk diri menjadi insan-insan agamais yang bertakwa dan beriman
Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b) Fungsi Sosial Budaya yaitu dengan memberikan kesempatan keluarga
dan seluruh anggotanya agar dapat mengembangkan kebudayaan dan
kekayaan bangsa yang beraneka dalam satu kesatuan.
c) Fungsi Cinta Kasih, dimana keluarga dapat memberikan landasan yang
kokoh terhada hubungan suami dengan istri, orang tua dengan anaknya,
anak dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antar generasi
sehingga menjadikan keluarga sebagai wadah yang paling utama
bersemainya kehidupan yang dipenuhi rasa cinta kasih lahir serta batin.
d) Fungsi Melindungi, bertujuan untuk menumbuhkan rasa kehangatan dan
rasa aman.
e) Fungsi Reproduksi adalah suatu mekanisme yang direncanakan untuk
melanjutkan keturunan yang dapat menunjang terciptanya kesejahteraan
umat manusia di dunia yang penuh iman dan takwa.
f)

Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memiliki peran dalam keluarga untuk
mendidik keturunan agar dapat menyesuaikan dengan alam kehidupan
dimasa depan.

g) Fungsi

Ekonomi,

merupakan

kemandirian keluarga.

unsur

pendukung

ketahanan

dan

11
 
h) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang
sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
Selain itu, menurut Kertamuda (2010) terdapat lima fungsi keluarga yaitu:
1. Mengatur aktivitas seksual.
2. Tempat bersoasialisasi (bermasyarakat) bagi anak. Keluarga merupakan
sarana dan tempat pertama anak belajar bersosialisasi.
3. Jaminan dan keamanan secara ekonomi. Keluarga banyak berperan
dalam pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan keamanan serta kebutuhan
finansial seperti makanan, pakaian, perlindungan serta sumber-sumber
materi untuk kelangsungan hidup.
4. Pemberi dukungan emosional. Keluarga merupakan kelompok utama
yang memiliki peranan penting karena dapat memberikan cinta,
dukungan, dan kebutuhan emosional sehingga membuat anggota
keluarga merasa terpenuhi kebutuhannya dan pada akhirnya dapat
membuat mereka sehat, bahagia, serta aman.
5. Tempat status sosial. Kelas sosial dapat dikategorikan dengan tingkat
dalam kemasyarakatan yang memiliki keterkaitan dengan pendidikan,
kekayaan, prestise dan sumber nilai-nilai.
Fungsi keluarga mempengaruhi terwujudnya keluarga yang sehat, adapun tujuh
fungsi instrumen keluarga menurut pandangan Soemarno dan Soedarsono
(1997), yaitu
1. Fungsi ekonomi sangat penting demi tercapainya kelangsungan dan
kesinambungan hidup suatu keluarga.
2. Fungsi sosialisasi dan pendidikan memberikan peran terhadap suatu
keluarga untuk mendidik keturunan agar dapat melakukan adaptasi
dan penyesuaian dengan kehidupannya dimasa depan.
3. Fungsi keagamaan mendorong dan mengembangkan keluarga dan
anggotanya dalam kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian
nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa agar menjadi
insan-insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
4. Fungsi Sosial Budaya dapat memberikan kesempatan kepada
keluarga dan anggotanya untuk mengembangkan budaya bangsa
yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.

12
 
5. Fungsi cinta kasih dalam suatu keluarga akan memberikan landasan
kokoh terhadap hubungan suami dengan istri, orangtua dan anaknya,
anak dan anak serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga
keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan penuh cinta
kasih lahir dan batin.
6. Fungsi melindungi untuk menumbuhkan rasa aman serta kehangatan.
7. Fungsi reproduksi yaitu sebuah mekanisme untuk melanjutkan
keturunan

yang

telah

direncanakan

yang

dapat

menunjang

terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan
takwa.
8. Fungsi

pembinaan

lingkungan

yaitu

memberikan

keluarga

kemampuan agar dapat menempatkan diri secara selaras, serasi, dan
seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang
berubah secara dinamis.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
 
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan sebutan untuk warga negara
Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam status hubungan kerja untuk jangka
waktu

tertentu

dengan

menerima

upah.

Namun

seringkali

istilah

TKI

dikonotasikan sebagai pekerja kasar (Marzuki 2011). Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Kerja dan Transmigrasi nomor
KEP. 104A/MEN/ 2002 tentang penempatan TKI ke luar negeri adalah Warga
Negara Indonesia (WNI) baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di luar
negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja melalui
prosedur tertentu.

Gender dan Peran Perempuan
Konsep Gender
Handayani dan Sugiarti (2002) mengatakan bahwa gender merupakan
faktor yang berpengaruh dalam menentukan persepsi serta kehidupan
perempuan, membentuk kesadaran, keterampilannya, dan membentuk pula
hubungan kekuasan antara laki-laki dan perempuan. Gender adalah istilah dari
psikologis atau budaya bukan konotasi biologis. Jika istilah yang tepat untuk sex
adalah laki-laki dan perempuan, yang tepat untuk jenis kelamin adalah maskulin
dan feminisme yang mungkin cukup independen dari sex (biologis). Berdasarkan

13
 
model teori Parsons dan Bales dalam Laswell dan Laswell (1987), laki-laki
memperoleh memperoleh kekuasan melalui harta sedangkan perempuan
memperoleh kekuasan melalui sex (hubungan intim). Konsep gender dari
keperempuanan dan kejantanan dan memiliki tiga basis yaitu biologi, perilaku,
dan identifikasi diri (Saxton 1990).
Menurut Puspitawati (2009), gender merupakan perbedaan peran, sifat,
tugas, fungsi, serta tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang telah dibentuk,
dibuat serta dikonstruksikan oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman. Konsep gender berdasarkan feminisme bukanlah suatu
yang alami atau kodrat namun sebagai hasil konstruksi sosial dan kultural yang
berproses sepanjang sejarah manusia. Secara sosiologis, terdapat dua konsep
yang mengakibatkan terjadinya perbedaan perempuan dan laki-laki yaitu
pertama konsep nurture yang dimana perbedaan perempuan dan laki-laki
merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya sehingga menghasilkan peran
serta tugas yang berbeda dan kedua konsep nature yaitu perbedaan perempuan
dan laki-laki merupakan kodrat dan harus diterima.

Dukungan Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial karena selalu membutuhkan
pertolongan orang lain dan tidak dapat berdiri sendiri. Ketika orang lain
memberikan pertolongan hal tersebut dapat dikatakan sebagai dukungan sosial.
Menjalin hubungan dengan orang lain adalah kunci dalam memperoleh
dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan sosial ((Bowlby 1969, Weiss
1974), diacu dalam Cutrona 1996). Dukungan sosial dapat diperoleh melalui
keluarga, masyarakat, maupun dari lembaga-lembaga masyarakat yang berada
di lingkungan sekitar. Menurut Firestone dan Weinstein (2008) mengatakan
bahwa dalam situasi tertentu keluarga memerlukan tambahan dukungan.
Dukungan yang diberikan dapat membantu individu untuk mengelola perubahan
yang terjadi pada keluarga mencakup pelayanan seperti bantuan perlindungan,
perawatan, serta konseling dan pelatihan. Dukungan sosial merupakan tempat
pertukaran pertukaran informasi pada tingkat interpersonal mencakup: (1)
Emotional support yaitu mengarahkan individu agar percaya bahwa dirinya
dikasihi serta diperhatikan, (2) Esteem support, mengarahkan individu agar
percaya bahwa dirinya dihargai dan bernilai, (3) Network support yaitu
mengarahkan individu agar percaya bahwa dirinya sebagai bagian dari jaringan

14
 
komunikasi yang melibatkan kewajiban dan pemahaman bersama (Cobbs’s 1976
dalam McCubbin dan Thompson 1988).
Banyaknya dukungan sosial yang diterima anggota keluarga ketika krisis
tergantung pada seberapa banyak dukungan yang telah mereka berikan dari satu
orang ke orang lain terutama pada saat mengalami krisis. Pasangan yang telah
memberikan sangat banyak dukungan pada anak mereka selama dalam proses
pengasuhan akan mendapatkan lebih banyak bantuan saat mereka tua (Lee et
al. 1994 dalam Galvin et al. 2003). Komunikasi sebagai jalan penting yang
digunakan untuk berbagi serta menerima kenyamanan atau kesenangan hidup
(Galvin et al. 2003), dan sebagai suatu cara dalam mendapatkan dukungan dari
anggota kelompok (Cawyer et al. 1995 dalam Galvin et al. 2003).
Menurut McCubbin dan Thompson (1988) bahwa anggota keluarga
memperoleh dukungan dari satu sama lain sedangkan unit keluarga dan
anggotanya dapat memperoleh dukungan dari kerabat, teman, tetangga, asosiasi
kerja, kelompok sosial serta jaringan yang lebih formal lain. Keluarga dan teman
berperan dalam memberikan dukungan seoptimal mungkin saat individu
membutuhkan dukungan yang lebih banyak. Seseorang yang merasa memiliki
banyak dukungan lebih baik dalam penanggulangan terhadap stress, sakit, serta
pengalaman yang menyulitkan lainnya (Antonnucci 2001).
Fungsi Dukungan Sosial
Terdapat enam fungsi yang berbeda dari hubungan antara sesama
manusia yang disebut “the social provision scale” (Weiss 1974 dalam Cutrona
1996), yaitu :
1. Emotional attachment
Hubungan yang dekat atau karib menyediakan perlindungan serta
keamanan.
2. Sosial integration
Perasaan saling memiliki dalam suatu kelompok atau masyarakat
yang memiliki kesamaan ketertarikan dan perhatian.
3. Reassurance of worth
Pengenalan keahlian serta kecakapan dari seseorang.
4. Guidance
Sebagai penyediaan nasehat dan informasi.

15
 
5. Reliable alliance
Pengetahuan mengenai orang lain dapat menawarkan bantuan tanpa
syarat ketika dibutuhkan.
6. Opportunity to provide nurturing
Perasaan dibutuhkan untuk kesejahteraan orang lain.

Bentuk Dukungan Sosial
Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996)
terdiri dari:
1. Dukungan Emosional (Emosional Support), seperti rasa cinta dan
kasih sayang dari orang-orang yang berada di sekitar individu.
2. Dukungan Instrumen (Instrumental Support). Bentuk dukungan ini
berupa bantuan langsung seperti bantuan finansial atau bantuan
dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu.
3. Dukungan Penghargaan (Esteem Support). Dukungan ini seperti
pujian, penilaian positif terhadap ide-ide orang lain, menghargai
perasaan, pikiran, serta tingkah laku orang lain.

4. Dukungan

Informasi

(Informational

Support)

seperti

informasi

mengenai nasihat, kenyataan, serta penilaian terhadap situasi. Adanya
dukungan informasi membuat individu dapat memperoleh dan memiliki
pengetahuan dari orang lain.

Komunikasi dan Interaksi
Definisi Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi atau bisa juga
merupakan interaksi antara dua individu atau lebih. Komunikasi dapat dikatakan
juga sebagai jembatan penghubung antar individu sehingga dapat menciptakan
efisiensi dan efektivitas kerja Surbakti (2008). Komunikasi yang terbuka dan jelas
di antara dua orang dalam suatu hubungan tergantung pada beberapa kualitas.
Pola dasar dari mendengarkan dan ekspresi mempengaruhi keterbukaan,
kepercayaan,

kemampuan

untuk

percaya,

empati

dan

kemampuan

mendengarkan (Laswell dan Laswell 1987). Komunikasi antar manusia dapat
didefinisikan satu orang pengirim pesan dan yang lain menerima pesan (Rice
1983). Komunikasi diperlukan dalam lingkungan masyarakat tertentu untuk dapat
bertahan hidup karena adanya perubahan dan stabilitas. Komunikasi mengacu

16
 
pada pengirim dan penerima pesan baik melalui kata-kata dan perilaku non
verbal yang terjadi dalam konteks sosial (Smart dan Smart 1980). Komunikasi
diperlukan dalam suatu keluarga. Proses pengambilan keputusan dan interaksi
dalam suatu keluarga sangat memerlukan komunikasi yang baik (Muladsih
2011). Guhardja et al. (1989) menyatakan bahwa komunikasi adalah proses
penyampaian pesan, dari sipemberi pesan kepada sipenerima pesan dengan
cara mempengaruhi individu untuk saling mengerti satu dengan yang lain.
Komunikasi dalam Keluarga
Menata komunikasi dalam kehidupan keluarga dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan yang berbeda-beda. Pendekatakan komunikasi
dibedakan menjadi empat komponen yang saling berhubungan dan menunjang
keharmonisan suatu keluarga, yaitu: (1) Komunikasi pribadi dengan Tuhan.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang beriman dan bertaqwa, menjalin
komunikasi yang baik dengan Tuhan merupakan suatu kebutuhan yang harus
dilaksanakan setiap waktu dan dimanapun dalam menjalani kehidupan keluarga.
Komunikasi dengan Tuhan merupakan dasar utama dan penting dalam
membentuk dan menata keluarga yang sakinah; (2) Komunikasi antar anggota
keluarga inti. Keluarga terdiri dari anggota keluarga (ayah, ibu, anak, dan
kerabat), fasilitas (rumah, makanan, minuman, kendaraan, uang, dll) serta ajaran
agama yang telah dianut secara turun-temurun dari keluarga sebelumnya; (3)
Komunikasi antar keluarga besar. Salah satu dari bentuk komunikasi keluarga
yang harus terus dipertahankan yaitu menjalin komunikasi dan silaturahmi
dengan anggota keluarga besar. Hal itu perlu dilakukan agar hubungan keluarga
inti dengan keluarga besar semakin erat dan harmonis; dan (4) Komunikasi
dengan masyarakat luas. Hubungan komunikasi tidak hanya terbatas kepada
hubungan komunikasi antar anggota keluarga saja tetapi adapula hubungan
komunikasi dengan masyarakat yang ada di sekitar keluarga. Hubungan
komunikasi ini sangat kompleks karena melibatkan banyak orang yang dimana
memiliki karakteristik yang sangat beragam. Hubungan komunikasi dengan
masyarakat dapat terjalin harmonis apabila suatu keluarga dapat memahami
karakteristik serta memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Keharmonisan yang
terjadi dalam masyarakat bergantung pada keharmonisan yang terjadi dalam
keluarga (Sauri 2008).
Guhardja et al. (1989) menyatakan bahwa keluarga memiliki sistem
jaringan interaksi yang bersifat hubungan interpersonal sebab masing-masing

17
 
anggota keluarga memiliki intensitas hubungan satu sama lain dan saling
tergantung. Komunikasi yang efektif memberikan kontribusi besar dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari dan pemecahan masalah serta dalam
mengambil keputusan.
Interaksi Suami dan Istri
Komunikasi yang terjalin dengan baik antara suami dan istri adalah
elemen penting dari kualitas perkawinan. Terdapat tiga jenis komunikasi yang
sangat penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open and Honest
Communication, dimana pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat
serta tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi dengan tipe ini berkontribusi
terhadap

hubungan

kualitas

perkawinan,

(2)

Supportiveness,

yaitu

memperlakukan orang yang sedang berbicara dengan memberikan perhatian
penuh dan respect. Komunikasi dapat berjalan dengan baik tergantung pada
jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara positif), dan studi menunjukkan
ketika pasangan yang sudah menikah memperhatikan kualitas komunikasi
mereka, kepuasan serta kualitas pernikahan mereka lebih besar (Montgomery
1981 dalam Kammeyer 1987); (3) Self- Disclosure, self-disclosure sama dengan
open and honesty, namun terdapat beberapa elemen perasaan serta emosi yang
lebih kuat. Berbicara mengenai ketakutan, harapan, serta keinganan kepada
orang lain merupakan inti dari self-disclosure (Kammeyer 1987). Penelitian
Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menyatakan bahwa secara umum
adanya hubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.
Terdapat suatu kesepakatan, yang didukung oleh banyak bukti penelitian, bahwa
komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan sebuah elemen penting
dalam menentukan kualitas sebuah pernikahan. Sejumlah peneliti telah
menunjukan bahwa komunikasi yang efektif mengarah pada kualitas pernikahan
yang lebih baik (Lewis and Spanier 1979 dalam Laswell dan Laswell 1987).
Pasangan yang memiliki kecakapan berkomunikasi yang baik dapat memerbaiki
hubungan mereka. Seiring hubungan yang membaik, pasangan tersebut akan
lebih termotivasi untuk memerbaiki komunikasi mereka (Montgomery 1981 dalam
Kammeyer 1987).
Kualitas Perkawinan
Menurut Tati (2004), perkawinan adalah perwujudan formal antara
pasangan laki-laki dan perempuan yang akan membina suatu rumah tangga dan

18
 
merupakan kodrat yang alami antara dua insan manusia yang berlawanan jenis,
serta adanya ketertarikan satu sama lain untuk tujuan. Selain itu perkawinan juga
merupakan suatu komitmen terhadap tugas kewajiban dan hak yang harus
dilaksanakan oleh suami atau istri. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dengan wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan
membentuk dan membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia serta kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan merupakan proses institusional dimana secara seremonial
laki-laki dan perempuan saling memberi, dan umumnya mempertahankan,
hubungan timbal balik yang cocok untuk tujuan mendirikan dan mempertahankan
keluarga (Hoult 1969 dalam Laswell dan Laswell 1987). Perkawinan menyiratkan
upacara, suatu persatuan dengan sanksi sosial, pengakuan kewajiban kepada
masyarakat diasumsikan oleh mereka memasuki hubungan (Burgess dan Locke
1960). Schwartz dan Scott (1994) dalam Tati (2004) mengemukakan bahwa
perkawinan sebagai kontrak hukum yang dimana perkawinan diartikan dari dua
sudut pandang yang berbeda yaitu dalam konteks hukum dan konteks sosial.
Secara hukum, perkawinan adalah perjanjian yang diikat secara hukum atau
suatu hubungan kontrak antara dua orang yang telah diakui serta disahkan oleh
hukum agama dan hukum Negara. Sedangkan secara sosial, perkawinan adalah
hubungan pasangan yang berperilaku untuk hidup bersama tanpa menikah dan
sepakat atau setuju menikah yang dimana esensinya sama dengan perkawinan
secara hukum.
Kualitas Perkawinan. Elder et al. (1991), menilai kualitas perkawinan
dalam batas-batas kepuasan dan kebahagiaan serta ketidakstabilan perkawinan
dalam batasan pemikiran, perceraian atau aksi. Kualitas perkawinan dibagi ke
dalam tiga bagian, yakni kebahagiaan yang diukur dari besarnya rasa cinta,
pengertian, serta hubungan seksual. Kedua, interaksi diukur berdasarkan
banyaknya interaksi yang dilakukan bersama pasangan, misalnya makan malam
bersama, berekreasi, mengunjungi teman, dan berbelanja. Ketiga, diukur dari
konflik yang ada, berkenaan dengan pertengkaran yang terjadi serta disebabkan
frekuensi ketidaksepakatan, jumlah aktivitas fisik yang dilakukan pasangan ketika
marah (tamparan, dorongan, pukulan), serta tidak adanya pembagian kerja
dalam rumahtangga. Maka dari itu, dimensi kualitas perkawinan dibedakan
berdasarkan proses dan tujuan.

19
 
Konsep dari dimensi kualitas perkawinan itu sendiri yaitu perbedaanperbedaan yang ada pada masing-masing individu yang perlu disesuaikan, yang
dimana

penyesuaian

dilakukan

untuk

mencapai

keharmonisan.

Apabila

keharmonisan telah tercapai maka asumsi kebahagiaan tercapai. Dengan kata
lain, penyesuaian dan keharmonisan merupakan proses dalam mencapai satu
tujuan perkawinan yaitu kebahagiaan dalam kehidupan perkawinan. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan keberhasilan perkawinan yaitu latar belakang masa
kanak-kanak, usia saat menikah, persiapan yang kosong, kematangan
emosional, munculnya kepentingan dan nilai, pertunangan yang panjang, dan
pendidikan

seks

yang

memadai.

Selain

faktor-faktor

tersebut,

yang

mempengaruhi keberhasilan perkawinan juga yaitu faktor yang homogen dan
beragam (ras, kelompok etnis, kelas sosial, dominasi, penyerahan, dll) semua
berhubungan dengan keberhasilan perkawinan (Saxton 1990).
Kebahagiaan Perkawinan. Kebahagiaan merupakan keadaan subyektif
pikiran, perasaan, kondisi serta pengalaman personal. Kebahagiaan perkawinan
akan tumbuh terhadap pasangan suami istri apabila dilandasi dengan adanya
perasaan cinta dari kedua pasangan, saling menghargai dan menghormati, kasih
sayang, adanya kebersamaan, serta adanya pengorbanan untuk pasangan dan
keluarga (Ritongga 2007). Olson (2002) mengatakan bahwa kebahagiaan terdiri
dari dua faktor yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi
kecocokan, komunikasi, kepribadian, seksualitas dan penyelesaian masalah atau
konflik. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi sikap religius, waktu luang, anak,
teman, keuangan dan kecenderungan stress.
Susmayanti (1995) menyatakan bahwa skor kebahagiaan perkawinan
akan meningkat seiring dengan meningkatnya alokasi pribadi serta waktu luang
di dalam keluarga sehingga terdapat perbedaan kebahagiaan perkawinan antara
istri yang tidak bekerja dengan istri yang bekerja. Istri yang bekerja sebagai
buruh relatif kurang bahagia dibandingkan dengan istri yang tidak bekerja.
Namun, istri yang bekerja di bidang jasa relatif lebih bahagia dibandingkan
dengan istri yang tidak bekerja.
Kepuasan Perkawinan. Menurut Duvall dan Miller (1985), karakteristik
kepuasan perkawinan meliputi: (1) Ekspresif afeksi yang terbuka satu sama lain,
(2) Komunikasi yang bebas dan terbuka antara pasangan, (3) Terjalinnya rasa
saling percaya, (4) Tidak ada dominasi antara satu terhadap yang lain,
keputusan dibuat bersama (bermusyawarah), (5) Tempat tinggal relatif stabil, (6)

20
 
Hubungan intim yang saling terbuka antara pasangan, (7) Melakukan kegiatan
bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, dan (8) Penghasilan yang memadai.
Rifai mengatakan bahwa adanya pandangan lain yang menyatakan keluarga
yang bahagia merupakan keluarga yang memiliki iklim hidup psikologis yang
telah memberikan nilai-nilai kepuasan yang sangat mendalam kepada para
anggota keluarga, sehingga dirasakan bahwa kepuasan itu diperolehnya dalam
situasi yang penuh kehangatan, kegembiraan, nyaman serta penuh rasa aman
dan merasa terlindung. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa jika
kepuasan terpenuhi maka kebahagiaan pun dapat tercapai (Tati 2004). Tingkat
pendapatan dapat mempengaruhi kepuasan perkawinan karena semakin tinggi
pendapatan akan membuat semakin tinggi pula kepuasan perkawinan. Lebih
lanjut, semakin tinggi konflik yang terjadi dalam suatu keluarga maka akan
semakin menurunkan tingkat kepuasan yang dicapai keluarga (Fitasari 2004).

21
 

KERANGKA PEMIKIRAN
Keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang
telah disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan adopsi serta berkomunikasi
satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah
dan ibu, anak laki-laki dan perempuan saudara laki-laki dan perempuan serta
merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Undang-undang Nomor 10 Tahun
1992). Dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga menjalankan berbagai fungsi
agar dapat bertahan di lingkungan masyarakat. Pada dasarnya, suami adalah
pemberi nafkah bagi keluarganya. Namun karena desakan ekonomi, banyak istri
yang rela berpisah dengan suami demi meningkatkan kesejahteraan keluarga
dalam segi materi. Lapangan kerja yang sempit dan pendidikan yang rendah
mengakibatkan istri memutuskan untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita
(TKW) di luar negeri (Pageh 2008).
Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) adalah keluarga yang telah
mengalami perpisahan dengan istri dalam jangka waktu yang relatif lama. Pada
keluarga TKW, istri berperan sebagai pencari nafkah demi memperbaiki nasib
keluarganya. Puspitawati (2009) menyatakan bahwa perempuan mampu menjadi
penyelamat keluarga dimasa krisis ekonomi dengan keuletan perempuan dalam
berakreatifitas mencari tambahan uang demi keluarganya. Namun, kepergian istri
menjadi TKW memberikan dampat negatif terhadap kehidupan keluarga yang
ditinggalkan yaitu adanya perubahan fungsi dimana suami harus berperan ganda
yaitu sebagai pencari nafkah, merawat anak, dan mengasuh anak.
Parson dan Bales mengatakan bahwa peran orangtua di dalam suatu
keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan suami atau bapak serta
peran emosional atau ekspresif yang biasanya diperankan oleh istri atau ibu.
Peran instrumental telah dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk
keberlangsungan hidup seluruh keluarga. Peran emosional ekspresif yaitu peran
pemberi cinta, kelembutan serta kasih sayang (Megawangi 1999). William F.
Ogburn dan Talcot Parsons adalah sosiolog ternama yang mengembangkan
pendekatan struktural fungsional dalam kehidupan keluarga. Pendekatan ini
mengakui adanya segala keberagaman dalam kehidupan sosial serta masingmasing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan fungsi yang terjadi dalam
suatu keluarga tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan
namun untuk mencapai tujuan bersama (Megawangi 1999). Perubahan peran
dan fungsi yang terjadi pada keluarga TKW dikarenakan adanya tujuan yang

22
 
diharapkan oleh keluarga TKW yaitu untuk memperoleh nasib yang lebih baik
dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dalam segi materi. Adanya
perubahan peran dan fungsi dalam anggota keluarga menjadi tantangan bagi
keluarga TKW karena perlu melakukan penyesuaian dan adaptasi atas
perubahan tersebut.
Kepergian istri menjadi TKW memberikan perubahan juga terhadap pola
komunikasi yang terjadi di antara suami dan istri serta keluarga besar. Ketika istri
berada di rumah, suami dan istri dapat berinteraksi secara langsung. Namun saat
istri sudah menjadi TKW hingga ke luar negeri interaksi di antara suami dan istri
semakin berkurang. Namun, masalah ini tidak akan menjadi hambatan apabila
suami dan istri tetap menjaga komunikasi mereka dengan baik. Komunikasi yang
baik sebagai kunci dalam interaksi keluarga dan hubungan perkawinan (Powers
dan Hutchinson 1979 dalam Rice 1983). Komunikasi yang tetap terjaga dengan
baik antara suami dan istri akan membuat ikatan batin atau perasaan antara
suami dan istri tetap merasa dekat dan harmonis. Dengan adanya komunikasi,
hubungan antara suami dan istri dapat tetap terjalin dan bahkan mempererat
hubungan suami-istri agar tetap bertumbuh, serta dengan komunikasi maka
kebutuhan masing-masing dapat tersalurkan (Kuntaraf dan Kuntaraf 1999).
Selama istri pergi menjadi TKW, keluarga dapat memberikan dukungan
sosial kepada suami. Dukungan sosial yang diberikan kepada keluarga TKW
akan meringankan peran ganda yang harus dijalankan oleh suami sehingga
suami dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik dan tujuan keluarga yang
diinginkan pun dapat tercapai dengan baik. Dalam situasi tertentu keluarga
memerlukan tambahan dukungan. Dukungan yang diberikan dapat membantu
individu untuk mengelola perubahan yang terjadi pada keluarga mencakup
pelayanan seperti bantuan perlindungan, perawatan, serta konseling dan
pelatihan (Firestone dan Weinstein 2008). Selain itu, pemenuhan kebutuhan
dukungan sosial sangat diperlukan pada saat seseorang mengalami peristiwa
kehidupan yang sangat menegangkan atau saat keadaan priba