Minyak Nilam sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) pada Buah Cabai

MINYAK NILAM SEBAGAI BIOFUNGISIDA UNTUK
MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby)
PADA BUAH CABAI

DESNI ROHA MIRIAM S.

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Minyak Nilam
sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum
capsici (Syd.) Butler & Bisby) pada Buah Cabai” adalah benar merupakan hasil
karya yang belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana
pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2013

Desni Roha Miriam S.
A34080104

ABSTRAK
DESNI ROHA MIRIAM S. Minyak nilam sebagai biofungisida untuk
mengendalikan penyakit antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler &
Bisby) pada buah cabai. Dibimbing oleh BONNY POERNOMO WAHYU
SOEKARNO.
Antraknosa merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai
di Indonesia yang disebabkan oleh C. capsici. Pengendalian yang banyak
dilakukan petani adalah menggunakan fungisida. Penggunaan fungisida yang
kurang bijaksana dapat berdampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji potensi minyak nilam sebagai biofungisida dalam
menekan pertumbuhan C. capsici penyebab penyakit antraknosa pada cabai.
Dalam penelitian ini dilakukan isolasi dan pemurnian C. capsici, uji in vitro
dengan cara isolat C. capsici ditumbuhkan pada media PDA yang dicampur

dengan minyak nilam (A dan B) dengan konsentrasi 10%, 5%, 2.5%, 1.25%, dan
0.625% yang dilakukan secara terpisah, isolat C. capsici ditumbuhkan pada media
PDA sebagai kontrol negatif (Kn) dan pada media PDA yang dicampur dengan
fungisida mankozeb sebagai kontrol positif (Kp). Diameter awal isolat C. capsici
yaitu 7 mm. Variabel yang diukur adalah pertumbuhan koloni C. capsici dan
persentase penghambatan pertumbuhan koloni C. capsici. Hasil pengujian
menunjukkan minyak nilam A efektif secara nyata menekan pertumbuhan C.
capsici dibandingkan minyak nilam B pada 10 HSP yaitu mencapai 91.15% pada
setiap konsentrasi kecuali pada konsentrasi 0.625% kemampuan penghambatan
sebesar 85.92%. Minyak nilam A dengan konsentrasi 2.5% digunakan pada uji in
vivo. Pada uji in vivo minyak nilam diaplikasi pada buah cabai secara preventif,
kuratif, dan induksi resisten. Variabel yang diukur yaitu masa inkubasi dan
intensitas serangan penyakit. Hasil pengujian menunjukkan masa inkubasi pada
uji kuratif yaitu 8 HSI, uji preventif dan induksi resisten 5 HSI, sedangkan
intensitas serangan C. capsici pada 10 HSI pada uji kuratif 4.80%, preventif
23.20%, dan induksi resisten 29.60%, dibandingkan dengan Kp 29.60% dan Kn
68.80%.
Kata kunci: Minyak nilam, biofungisida, antraknosa (Colletotrichum capsici),
buah cabai.


ABSTRACT
DESNI ROHA MIRIAM S. Patchouli oil as biofungicide to control
anthracnose disease (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) on the chilies.
Supervised by BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO.
Anthracnose is one of the caused of low chili productivity in Indonesian its
caused by C. capsici. Much farmer using a fungicide as a controlling. Using of
fungicide with uncontrolled could have a negative impact on the environment.
The aim of this study is to test the potential of patchouli oil as fungicide in
suppresses the growth of C. capsici causes anthracnose disease on chili. In this
study conducted the isolation and purification of C. capsici, test in vitro by
isolates C. capsici grown on PDA mixed with patchouli oil (A and B) with a
concentration of 10%, 5%, 2.5%, 1.25%, and 0.625% done separately, isolates of
C. capsici grown on PDA medium as a negative control (Kn) and PDA media
mixed with fungicides mankozeb as a positive control (Kp). Initial diameter
isolates C. capsici is 7 mm. The measured variable is growth of colonies of C.
capsici and percentage inhibition of colony growth of C. capsici. The results
showed that patchouli oil A effectively significant suppresed C. capsici growth
compare to patchouli oil B at 10 HSP in 91.15% at each concentration except
were concentration of 0.625% with inhibitory ability of 85.92%. The patchouli oil
A with a concentration of 2.5% used in the in vivo test. The in vivo test was

applicated of patchouli oil in chilies with preventive, curative, and resistance
induction. Variables which measured are the incubation period and intensity
disease. The results showed an incubation period on curative test was 8 HSI,
preventive and induction of resistant test was 5 HSI, while the intensity of the
attacks C. capsici at 10 HSI at test curative 4.80%, preventive 23.20%, and
resistance induction 29.60%, compared with Kp 29.60% and Kn 68.80%.
Key words: Patchouli oil, biofungicide, anthracnose (Colletotrichum capsici),
chilies.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

MINYAK NILAM SEBAGAI BIOFUNGISIDA UNTUK

MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby)
PADA BUAH CABAI

DESNI ROHA MIRIAM S.

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi :


Nama
NIM

Minyak Nilam sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler &
Bisby) pada Buah Cabai
Desni Roha Miriam S.
A34080104

Disetujui oleh

Dr. Ir. Bo

Tanggal Lulus:

-

11111111111

Poemomo Wah Soekamo M.Si.

Dosen Pembimbing

J 7 JUL 2.un

Judul Skripsi :

Nama
NIM

:
:

Minyak Nilam sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler &
Bisby) pada Buah Cabai
Desni Roha Miriam S.
A34080104

Disetujui oleh


Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno M.Si.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih M.Si.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
kasih anugrah dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Minyak Nilam sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) pada Buah
Cabai”. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Mikologi Departemen Proteksi Tanaman dari bulan Agustus 2012 sampai
Pebruari 2013. Pembuatan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan

masukan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis menyampaikan terimakasih
kepada Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno M.Si. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan pengetahuan
kepada penulis. Ucapan terimakasih juga kepada Dra. Dewi Sartiami M.Si. selaku
dosen penguji tamu serta kepada seluruh dosen dan staf pegawai Departemen
Proteksi Tanaman yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, motivasi dan
pengetahuan yang sangat luas kepada penulis. Tidak lupa juga penulis
menyampaikan terimakasih kepada bapak Dadang Surachman sebagai laboran di
Laboratorium Mikologi yang telah memberikan masukan dan membantu dalam
pelaksanaan penelitian ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada keluarga
tercinta khusunya kedua orang tua tercinta, ayah Juara Sakerebau dan ibu Ertina
Saleleubaja beserta kakak-kakak tersayang Evanirwati Sakerebau, Christiana
Sakerebau S.Th, Maya Rumantir Sakerebau S.Pd, abang-abang ipar diantaranya
Marius Saroro S.Pd, Paber Sapatadekat serta ponakan tersayang Enjelina Saroro
dan keluarga besar yang ada di Mangaungau serta saudara terkasih Radianus S.Pi
yang selalu memberi semangat, doa, dan kasih sayangnya kepada penulis. Tidak
lupa ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Kepulauan Mentawai yang telah membiayai kuliah dan kebutuhan selama
menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan teman-teman PTN 45, 46
dan 47 beserta rekan kerja di Laboratorium Mikologi dan teman-teman

seperjuangan Hans DW. Siritoitet S.P, Jon PT. Sakoikoi S.Pi, Helma HP.
Saleleubaja, Maria Sagulu, dan adek-adek tingkat dari Mentawai yang selalu
memberikan dukungan, semangat, dan doanya. Penulis menyadari karya ini
mungkin masih terdapat kekurangan, namun penulis berharap semoga karya
ilmiah ini dapat bermanfaat, sehingga dapat memberikan kontribusi positif
terhadap perkembangan pertanian berkelanjutan di Indonesia.

Bogor, Juli 2013
Desni Roha Miriam S.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN


xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Pembuatan Media PDA sebagai Media Tumbuh
Isolasi Patogen dari Tanaman Sakit
Penyediaan Minyak Nilam
Uji In Vitro
Uji In Vivo
Uji Preventif
Uji Kuratif
Uji Induksi Resisten
Rancangan Percobaan dan Analisis Data

4
4
4
4
4
4
5
5
5
5
6
6
7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen
Uji In Vitro
Uji In Vivo

8
8
9
11

PENUTUP
Simpulan
Saran

14
14
14

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

Hasil analisa kandungan minyak nilam
Rataan diameter koloni C. capsici pada media tumbuh PDA dengan
perlakuan minyak nilam (A dan B) secara in vitro pada 10 HSP
Daya hambat minyak nilam (A dan B) terhadap pertumbuhan koloni
C. capsici pada media tumbuh PDA pada 10 HSP
Data masa inkubasi buah cabai pada uji in vivo
Data intensitas serangan C. capsici pada buah cabai pada 10 HSI
dengan pengujian secara in vivo

10
11

11
12
13

DAFTAR GAMBAR

1
2
3

4

5

6

7

Gejala awal penyakit antraknosa (a) dan serangan lanjut antraknosa
pada buah cabai (b)
Koloni C. capsici pada media PDA berumur 10 hari
Morfologi cendawan C. capsici dibawah mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10 yaitu konidia (a), seta (b), aservulus (c) dan
konidia yang berkecambah (d)
Rataan diameter koloni cendawan C. capsici pada perlakuan minyak
nilam A (kiri) dan minyak nilam B (kanan) secara in vitro dari 1-10
HSP
Koloni C. capsici pada uji in vitro 10 HSP yaitu kontrol negatif (a),
kontrol positif (g), perlakuan minyak nilam A dengan konsentrasi
10% (b), 5% (c), 2.5% (d), 1.25% (e) dan 0.625% (f), dan perlakuan
minyak nilam B dengan konsentrasi 10% (h), 5% (i), 2.5% (j), 1.25%
(k) dan 0.625% (l)
Buah cabai pada 10 HSI dengan aplikasi minyak nilam A secara
preventif (a), kuratif (b), induksi resisten (c), kontrol positif (d) dan
kontrol negatif (e) pada uji in vivo
Intensitas serangan C. capsici pada buah cabai 1-10 HSI pada
pengujian in vivo

8
9
9

10

10

12

13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian, minyak nilam A
(kiri) dan minyak nilam B (kanan)
Kromotogram nilam A
Kromotogram nilam B
Rataan pertumbuhan C. capsici pada berbagai konsentrasi minyak
nilam A pada uji in vitro
Rataan pertumbuhan C. capsici pada berbagai konsentrasi minyak
nilam B pada uji in vitro
Data masa inkubasi penyakit antraknosa pada buah cabai pada uji in
vivo
Rataan intensitas serangan C. capsici pada buah cabai dari 1-10 HSI
pada uji in vivo

19
19
19
20
20
21
21

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang memiliki
nilai komersial tinggi, sehingga mendorongan petani untuk membudidayakan
cabai. Menurut Badan Pusat Statistik (2012), produktivitas cabai nasional
Indonesia tahun 2011 adalah 7.34 ton/ha dengan luas panen sebesar 121 063 ribu
hektar. Angka tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan potensi
produksinya yang dapat mencapai 12 ton/ha (Suryaningsih et al. 1996; Purwati et
al. 2000).
Salah satu masalah utama pada tanaman cabai adalah gangguan penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici dan C. gloeosporioides Pens di
pertanaman maupun di penyimpanan (Suryaningsih et al. 1996). Lebih lanjut
Widodo (2007) melaporkan bahwa C. acutatum J.H. Simmonds juga banyak
menyerang pertanaman cabai di Indonesia. Salah satu penyakit penting terbawa
benih cabai disebabkan oleh C. capsici dan infeksi patogen ini bersifat laten
dalam bentuk apresorium sampai pemasakan buah sehingga sukar untuk
dikendaliakan (Sinaga et al. 1992; Agrios 1997). Suryaningsih et al. (1996)
melaporkan kehilangan hasil akibat serangan antraknosa dapat mencapai 21%63% pada musim hujan, namun Widodo (2007) melaporkan bahwa kehilangan
hasil akibat serangan antraknosa pada cabai dapat mencapai 10%-80% dimusim
hujan dan 2%-35% dimusim kemarau.
Upaya pengendalian antraknosa sampai saat ini masih banyak dilakukan
dengan penggunaan fungisida berbahan aktif benomil, triabendazol, kaptan,
klorotalonil, dan kuintozen (Soesanto 2006). Penggunaan fungisida tersebut
menyebabkan resistensi terhadap beberapa jenis patogen pada tanaman serta
residu pestisida diatas batas aman buah cabai. Dengan demikian, pengendalian
alternatif yang lebih efektif, tetapi aman bagi konsumen dan lingkungan perlu
dikembangkan. Asie (2004) menjelaskan pestisida botani memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pestisida sintetik baik dari segi upaya pengendalian
penyakit pada tanaman maupun lingkungan. Salah satu upaya perlindungan
tanaman cabai dari infeksi C. capsici yaitu penggunaan minyak nilam yang
mempunyai efek fungisida.
Nilam merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri. Tanaman ini
termasuk famili Labiateae, ordo Lamiales, kelas Angiospermae, dan divisi
Spermatophyta dengan nama ilmiah Pogostemon sp. (Santoso 1990). Di
Indonesia, jenis nilam yang dibudidayakan ialah nilam Aceh (P. cablin Benth)
yang banyak ditanam di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, dan sebagian di Jawa. Jenis ini berasal dari Filipina, kemudian
berkembang ke Malaysia, Madagaskar, Paraguay, Brazilia, dan Indonesia
(Mangun 2006).
Minyak nilam banyak digunakan dalam bidang industri wewangian dan
kosmetik karena memiliki sifat-sifat yaitu sukar menguap dibanding dengan
minyak atsiri lainnya, sukar tercuci, dapat larut dalam alkohol, dan dapat
dicampur dengan minyak eteris lainnya. Karena sifat-sifat inilah minyak nilam
dipakai sebagai fiksatif (pengikat bau/aroma) untuk industri parfum, kosmetik,

2
kebutuhan industri makanan (untuk penambah rasa), pembuatan insektisida,
pembuatan pestisida, kebutuhan farmasi (untuk pembuatan obat antiradang,
antifungi, antiseptik, antijerawat, anti-inflamasi, antidepresi, antiflogistik, serta
dekongestan), dan sebagai aromaterapi (Santoso 1990; Mangun 2006; Nuryani et
al. 2007; Sukamto 2009; Rusli 2010).
Minyak nilam tersusun atas komponen utama yaitu patchouli alkohol
(C15H26o), patchoulen (C15H24), kariofilen, dan norpatchoulenol yang berfungsi
sebagai zat pengikat (fiksatif) serta belum dapat digantikan oleh zat sintesis.
Komponen lain diantaranya eugenol (C10H12O2), patchouli camphor, kadinen,
benzaldehida (C7H6O6), sinnamaldehida, α-pinen (C10H16),
-pinen, αpatchoulene, -Patchoulene, aristolone, nookatone, -Vetivone, α-Vetivone,
Corymbolone, dan seskuiterpena lainnya (Mangun 2006; Purwati 2011; Sariadi
2012).
Purwati (2011) menjelaskan bahwa minyak nilam mengandung komponen
seskuiterpena gugus fungsional diantaranya patchouli alkohol, kariofilen oksida,
aristolone, nookatone, -Vetivone, α-Vetivone, dan Corymbolone. Patchouli
alkohol merupakan komponen utama penyusun minyak nilam dan digunakan
sebagai indikator kualitas minyak nilam terutama dari karakteristik bau yang
dihasilkan, dan merupakan senyawa seskuiterpen trisiklik yang tidak larut dalam
air, tetapi larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik yang lain memiliki titik
didih 280.37 oC serta bentuk kristal berwarna putih dengan titik leleh 56 ºC.
Patchoulen, α-patchoulene, -patchoulene, -patchoulene, norpatchoulenol, αguaiane, α-bulnesene, seychellene dan germacrene A termasuk ke dalam
komponen seskuiterpena (Purwati 2011; Sariadi 2012).
Eugenol termasuk dalam komponen oxygenated monoterpen yang
merupakan suatu senyawa fenol yang dapat bereaksi dengan basa kuat dan bersifat
anti fungi, berupa cairan berbentuk minyak, tidak berwarna atau sedikit
kekuningan, dan akan menjadi coklat jika kontak dengan udara, sulit larut dalam
air tetapi larut dalam pelarut organik, larut dalam 5:6 dengan alkohol 50%, larut
dalam 2:3 dengan alkohol 60% dan larut dalam 1:2 dengan alkohol 70%
(Guenther 2006; Purwati 2011). Benzaldehida merupakan cairan tidak berwarna,
memiliki kemampuan untuk mengkondensasi dengan beberapa macam aldehida
untuk membentuk nilai tinggi pada parfum (Guenther 2006). Sinnamaldehida
merupakan senyawa aldehida aromatik, dapat teroksidasi pada gugus aldehidanya
sehingga pada ikatan rangkap akan terbentuk asam sinamat, yang pada akhirnya
akan membentuk asam benzoat serta benzaldehida. Senyawa α-pinen dan -Pinen
merupakan komponen yang termasuk ke dalam monoterpen. Senyawa α-pinen
bersifat larut dalam alkohol pekat dan tidak larut dalam air. -pinen merupakan
senyawa yang larut dalam alkohol pekat dan sukar larut dalam alkohol encer
(Guenther 2006; Purwati 2011).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi antifungal dari minyak nilam
untuk menekan pertumbuhan C. capsici penyebab penyakit antraknosa pada buah
cabai.

3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui potensi antifungal dari
minyak nilam sebagai agens hayati dalam usaha pengendalian penyakit
antraknosa pada buah cabai dan dapat menjadi referensi bagi masyarakat
khususnya petani cabai untuk mengendalikan penyakit antraknosa.

4

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor untuk pengujian secara in
vitro dan in vivo, sampel buah cabai diperoleh dari lahan pertanaman cabai di
daerah Kampung Gede, Desa Gunung Bunder II, Kecamatan Pamijahan,
Kabupaten Bogor. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2012 sampai
bulan Pebruari 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah buah cabai merah keriting
(C. annum) yang menunjukan gejala penyakit antraknosa, buah cabai merah
keriting yang sehat, isolat murni C. capsici, minyak nilam (A dan B), media
tumbuh Potato Dextrose Agar (PDA), akuades steril, fungisida mankozeb 80 WP,
tween 80%, alkohol 70%, dan alkohol 90%. Alat yang digunakan antara lain
nampan, plastik bening, aluminium foil, cawan petri, labu erlenmeyer, gelas ukur,
cork borer, sarung tangan, plastik wrap, spidol, label dan sprayer.
Metode
Pembuatan Media PDA sebagai Media Tumbuh
Sebanyak 200 g kentang yang sudah dikupas dan dipotong kecil direbus
dengan akuades 1000 ml selama ± 30 menit. Setelah masak, disaring untuk
diambil ekstraknya, kemudian ditambah akuades hingga mencapai volume 1000
ml dan dimasak kembali sambil ditambahkan 20 g dektrosa dan tepung agar
sebanyak 15 g lalu diaduk. Setelah bercampur sempurna dan masak, dituangkan
kedalam labu erlenmeyer (250 ml), lalu disterilisasi dengan autoklaf pada suhu
121 oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit (Navitasari 2007).
Isolasi Patogen dari Bahan Tanaman Sakit
Sampel buah cabai yang menunjukkan gejala terserang patogen C. capsici
diperoleh dari lahan pertanaman cabai di daerah Kampung Gede, Desa Gunung
Bunder II, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Sterilisasi permukaan buah
cabai dilakukan dengan cara mencuci buah cabai yang terinfeksi, kemudian
direndam dalam NaOCl 1% selama 3 menit, kemudian ditiriskan dan selanjutnya
direndam dalam akuades steril selama 3 menit. Perendaman buah cabai dalam air
steril dilakukan sebanyak 3 kali dengan waktu tiap perendaman 3 menit,
kemudian buah cabai diangkat dan dikeringanginkan pada cawan petri yang telah
dialasi kertas saring steril. Isolasi patogen dilakukan dengan menggunakan
metode pemotongan jaringan, yaitu jaringan buah cabai yang menunjukkan gejala
dan sebagian lagi tidak menunjukkan gejala dipotong-potong dengan ukuran 0.5
cm x 0.5 cm. Potongan jaringan buah cabai tersebut ditumbuhkan pada media
tumbuh PDA dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruang. Miselium C.
capsici yang tumbuh pada media tumbuh PDA diambil dengan menggunakan cork
borer dan jarum isolasi dan ditumbuhkan kembali pada media PDA baru untuk
dimurnikan. Isolat murni C. capsici yang telah diperoleh, diremajakan sesuai

5
kebutuhan. Semua kegiatan isolasi C. capsici dilakukan dalam kondisi aseptik di
laminar air flow.
Penyediaan minyak nilam
Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu minyak
nilam yang diperoleh dari pasar (A) dan minyak nilam yang dihasilkan oleh suatu
lembaga penelitian (B). Minyak nilam tersebut akan diuji keefektifannya dalam
menekan pertumbuhan cendawan C. capsici secara terpisah dengan uji in vitro di
laboratorium.
Uji In Vitro
Isolat murni C. capsici yang berumur 10 hari dipotong dengan diameter 7
mm ditumbuhkan pada medium PDA yang telah dicampur dengan tween 80% dan
masing-masing minyak nilam (A dan B) dengan konsentrasi 10%, 5%, 2.5%,
1.25%, dan 0.625% secara terpisah (Wiratno et al. 2011). Kontrol yang digunakan
adalah kontrol positif (Kp), yaitu isolat yang ditumbuhkan pada medium PDA
yang telah dicampur fungisida mankozeb dengan konsentrasi 0.02% (v/v), dan
kontrol negatif (Kn) yaitu isolat yang ditumbuhkan pada medium PDA tanpa
perlakuan minyak nilam. Tiap perlakuan masing-masing diulang 10 kali.
Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengukur pertumbuhan diameter koloni
C. capsici menggunakan penggaris sampai pertumbuhan koloni C. capsici pada
kontrol menutup seluruh permukaan media tumbuh. Keefektifan minyak nilam
menekan pertumbuhan koloni C. capsici dihitung dengan rumus:
DK - DP
X 100%
DK
DK = Diameter koloni C. capsici pada kontrol negatif (mm)
DP = Diameter koloni C. capsici pada perlakuan (mm)
Daya hambat =

Uji In Vivo
Konsentrasi efektif yang dihasilkan dalam uji in vitro digunakan sebagai
konsentrasi perlakuan pada uji in vivo. Pada uji in vivo, sampel buah cabai yang
telah diperoleh dari lahan pertanaman cabai, dicuci dengan air bersih kemudian
ditiriskan dan dikeringanginkan. Sterilisasi permukaan buah cabai dilakukan
dengan merendaman buah dalam alkohol 70% selama 3 menit, kemudian
dikeringkanginkan. Setelah itu, buah cabai dicuci kembali dengan akuades steril
kemudian dikeringanginkan di atas meja laminar yang telah dialasi kertas saring.
Aplikasi minyak nilam terpilih pada buah cabai dilakukan secara preventif,
kuratif, dan uji induksi resistensi. Setiap perlakuan diulang 5 kali dan setiap
ulangan terdiri 5 buah cabai.
a. Uji Preventif
Pengujian ini dilakukan dengan pencelupan buah cabai pada minyak nilam
dengan konsentrasi terpilih yang telah dicampur dengan akuades steril dan tween
80% dengan konsentrasi 0.02% (v/v) selama 30 detik, kemudian ditiriskan dan
dikeringanginkan. Setelah itu, buah cabai dimasukkan ke dalam nampan yang
dialasi dengan kertas lembab dan sedotan. Untuk Kp, buah cabai dicelupkan pada
fungisida mankozeb dengan konsentrasi rekomendasi dan untuk Kn, buah cabai

6
dicelupkan pada akuades steril. Setelah metode pencelupan selesai, buah cabai
pada masing-masing perlakuan diinkubasi selama 48 jam pada suhu dan
kelembaban ruang. Setelah inkubasi 48 jam, buah cabai diinokulasi secara buatan
dengan suspensi C. capsici konsentrasi 107 spora/ml, selanjutnya diinkubasi
kembali (Prayogo 2006).
b. Uji Kuratif
Pengujian ini dilakukan dengan cara menginkubasi buah cabai selama 48
jam di suhu ruang, yang sebelumnya sudah disterilisasi permukaan. Setelah
inkubasi 48 jam, cabai diinokulasi secara buatan dengan suspensi C. capsici
konsentrasi 107 spora/ml kemudian diinkubasi kembali sampai muncul gejala
pertama pada salah satu buah cabai. Apabila salah satu buah cabai menunjukkan
gejala penyakit antraknosa, dilakukan aplikasi minyak nilam dengan metode
pencelupan sampel pada minyak nilam dengan konsentrasi terpilih yang telah
dicampur dengan akuades steril dan tween 80% dengan konsentrasi 0.02% (v/v)
selama 30 detik, kemudian ditiriskan dan dikeringanginkan. Untuk Kp, buah cabai
dicelupkan pada fungisida mankozeb dengan konsentrasi rekomendasi dan untuk
Kn, buah cabai dicelupkan pada akuades steril. Selanjutnya, buah cabai pada
masing-masing perlakuan diinkubasi selama 48 jam pada suhu dan kelembaban
ruang. Setelah inkubasi 48 jam, dilakukan inokulasi buatan suspensi C. capsici
konsentrasi 107 spora/ml pada buah cabai, selanjutnya diinkubasi kembali.
c. Uji Induksi Resisten
Pengujian ini dilakukan dengan pencelupan buah cabai pada minyak nilam
dengan konsentrasi terpilih yang telah dicampur dengan akuades steril dan tween
80% dengan konsentrasi 0.02% (v/v) selama 30 detik, kemudian ditiriskan dan
dikeringanginkan. Setelah itu, buah cabai dimasukkan kedalam nampan yang
dialasi dengan kertas lembab dan sedotan. Untuk Kp, buah cabai dicelupkan pada
fungisida mankozeb dengan konsentrasi rekomendasi dan untuk Kn buah cabai
dicelupkan pada akuades steril. Setelah inkubasi 48 jam, selain kontrol, buah
cabai yang diberi perlakuan minyak nilam dicuci dengan akuades steril,
dikeringanginkan, kemudian diinokulasi secara buatan suspensi C. capsici
konsentrasi 107 spora/ml, kemudian diinkubasi kembali pada suhu ruang.
Pada uji in vivo ini, suspensi cendawan C. capsici konsentrasi 107 spora/ml
yang akan diinokulasi pada buah cabai, untuk mengetahui jumlah spora dihitung
menggunakan haemocytometer. Pada pengujian ini, pengamatan dilakukan setiap
hari sampai akhir percobaan yaitu hari kesepuluh. Variabel yang diamati pada
setiap metode pengujian yaitu menghitung (a) masa inkubasi yaitu munculnya
gejala pertama penyakit antraknosa pada masing-masing buah cabai (b)
menghitung tingkat keparahan penyakit pada setiap perlakuan dengan rumus :
Intensitas serangan =

∑(n × V)
X 100%
Z×N

Keterangan:
N = Jumlah buah setiap kelas bercak
V = Nilai skor setiap kelas bercak
N = Jumlah buah yang diamati
Z = Nilai skor kelas luas bercak yang tertinggi

7
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Percobaan dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Pada uji in vitro terdapat 5 perlakuan konsentrasi minyak nilam (A dan B)
yang dilakukan secara terpisah, kontrol positif, dan kontrol negatif. Setiap
perlakuan terdapat 10 ulangan. Pada uji in vivo dilakukan tiga cara aplikasi
minyak nilam, masing-masing aplikasi terdapat 5 ulangan dan setiap ulangan
terdapat 5 buah cabai. Data yang diperoleh dari uji in vitro dan in vivo diolah
dengan Microsoft Office Excel 2010 dan dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3.
Setiap perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Duncan pada
taraf α= 0.05 (Mattjik, Sumertajaya 2006).

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen
Isolasi patogen dilakukan dari sampel buah cabai yang menunjukkan gejala
antraknosa yang berasal dari lahan pertanaman cabai petani di daerah Kampung
Gede, Desa Gunung Bunder II, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Secara geografis Desa Gunung Bunder II terletak membujur di sebelah
utara dan selatan dengan ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut dengan
suhu antara 20 ºC–28 ºC dengan topografi wilayah yang sebagian besar (60%)
berupa bukit sampai bergunung (Rokhmah 2009).
Berdasarkan pengamatan secara visual di lapang, gejala antraknosa pada
tanaman cabai di lapang berupa bintik-bintik kecil yang berwarna hitam yang
merupakan konidia dan sedikit melekuk pada buah cabai (Gambar 1A). Serangan
lebih lanjut mengakibatkan buah mengerut, kering, membusuk, dan terlihat jelas
adanya bintik-bintik hitam kecil di permukaan buah cabai dan jika diraba akan
terasa titik-titik hitam kecil (Gambar 1B), di bawah mikroskop akan tampak
rambut-rambut halus berwarna hitam. Hal ini juga dinyatakan oleh Agrios (1997)
bahwa gejala penyakit antraknosa dicirikan dengan adanya bercak kehitaman pada
permukaan buah kemudian meluas menjadi busuk lunak, pada bagian tengah
bercak terdapat kumpulan titik-titik hitam yang merupakan kelompok seta dan
konidium cendawan. Wiyono (2007) menyatakan bahwa ekspresi gejala
antraknosa cabai tidak hanya menimbulkan busuk pada buah tetapi juga mati
ranting. Cendawan penyebab antraknosa ini berkembang dengan optimum pada
suhu 32 oC dengan kelembaban udara lebih dari 80% rH (Hafsah 2007).

A

B
Gambar 1 Gejala awal penyakit antraknosa (a) dan serangan lanjut antraknosa pada buah cabai (b)

Pengamatan secara makroskopis pada media PDA, koloni patogen ini
berwarna hitam dengan bentuk dasar koloni terlihat seperti cincin seiring
bertambahnya masa inkubasi dan hifa berwarna putih (Gambar 2). Sangdee et al.
(2011) juga menjelaskan bahwa koloni C. capsici pada media PDA berwarna
hitam dengan hifa berwarna putih keabu-abuan. Pengamatan secara mikroskopis
cendawan ini mempunyai konidia hialin, ujungnya runcing dan membengkok
seperti sabit, bersel tunggal, tidak bersekat, konidia dihasilkan diujung konidiofor
dan mengelompok, memiliki banyak seta yang berwarna coklat, bersekat 1-5,
kaku, panjang serta meruncing keatas, aservulus banyak dan berbentuk lonjong
berwarna hitam serta terlihat konidia yang berkecambah (Gambar 3). Elizabet et

9
al. (1967) juga melaporkan bahwa C. capsici mempunyai banyak aservulus
berbentuk bulat atau lonjong berwarna hitam dengan diameter 70-120 µ, dan
memiliki banyak seta yang berwarna coklat muda sampai coklat tua yang
merupakan aservulus, bersekat 1-5, kaku serta meruncing ke atas dan panjang seta
250 µ, lebar 5-8 µ. Semangun (2000) menyatakan bahwa konidia cendawan ini
hialin, berbentuk tabung (silindris), ujungnya tumpul atau bengkok seperti sabit,
bersel tunggal, tidak bersekat, panjang konidia 16-30 µ x 2.5-4 µ, dan konidia
dihasilkan diujung konidiofor. Lebih lanjut Sangdee et al. (2011) menjelaskan
rata-rata panjang dan lebar konidia C. capsici bervariasi antara 23.5-35 µ dan 2.53.75 µ tergantung pada tempat pengambilan sampel tanaman sakit yang di isolasi.

Gambar 2 Koloni C. capsici pada media PDA berumur 10 hari

a

b

c

d

Gambar 3 Morfologi cendawan C. capsici dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 x 10 yaitu
konidia (a), seta (b), aservulus (c) dan konidia yang berkecambah (d)

Uji In Vitro
Hasil uji in vitro menunjukkan penambahan minyak nilam (Lampiran 1)
pada medium tumbuh PDA dengan beragam konsentrasi mampu menekan
pertumbuhan koloni C. capsici secara signifikan dibanding kontrol negatif
(Gambar 4 dan 5). Salah satu penyebab mampunya minyak nilam menekan
pertumbuhan C. capsici yaitu adanya senyawa eugenol yang memiliki sifat anti
fungi. Pleczar et al. (2008) menyatakan bahwa fenol atau eugenol yang berasal
dari tumbuhan mempunyai sifat sebagai anti fungi. Manohara et al. (1994)
menjelaskan eugenol dari minyak cengkeh dengan konsentrasi 300 ppm dapat
menghambat pertumbuhan Phytophthora sp. mencapai 83%-95% dan Rigidoporus
lignosus mencapai 100%. Lebih lanjut Febriyati (2010) melaporkan bahwa
senyawa kariofilen, pachouli alkohol dan fenol mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus epidermis dan Streptococcus mutan melalui degradasi
dinding sel. Senyawa-senyawa tersebut merupakan bagian dari komponen
penyusun minyak nilam.
Hasil uji in vitro juga menunjukkan minyak nilam A lebih efektif menekan
pertumbuhan koloni C. capsici dibanding miyak nilam B (Tabel 2), namun
berdasarkan hasil uji kandungan patchouli alkohol dan eugenol pada minyak
nilam A lebih rendah dari pada minyak nilam B (Tabel 1, Lampiran 2 dan 3). Hal
ini diduga adanya senyawa lain pada minyak nilam yang bersifat anti fungi selain
patchouli alkohol dan eugenol.

10

Gambar 4 Rataan diameter koloni cendawan C. capsici pada perlakuan minyak nilam A (kiri) dan
minyak nilam B (kanan) secara in vitro dari 1-10 HSP

a

b

c

d

e

f

g

h

i

j

k

l

Gambar 5 Koloni C. capsici pada uji in vitro 10 HSP yaitu kontrol negatif (a), kontrol positif (g),
perlakuan minyak nilam A dengan konsentrasi 10% (b), 5% (c), 2.5% (d), 1.25% (e)
dan 0.625% (f), dan perlakuan minyak nilam B dengan konsentrasi 10% (h), 5% (i),
2.5% (j), 1.25% (k) dan 0.625% (l)

Tabel 1 Hasil analisa kandungan minyak nilam
Hasil pengujian
minyak nilam
Jenis contoh
Jenis pengujian
A
B
38.21
 Kadar
patchouli 30.62
Minyak
alkohol (%)
nilam/0.2 µl
2
6
 Total eugenol (%)
a

Metode pengujian
Gas chromatography
Cassia

Analisa kandungan minyak nilam dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat (BALITRO).

Berdasarkan hasil uji in vitro, pertumbuhan diameter koloni C. capsici pada
perlakuan minyak nilam A hanya konsentrasi 0.625% yang mengalami
pertumbuhan yaitu dari 8-10 HSP, sedangkan pada minyak nilam B setiap
konsentrasi minyak nilam yang diuji mengalami pertumbuhan diameter koloni C.
capsici yang berbeda-beda mulai 3-10 HSP (Lampiran 4 dan 5).

11
Tabel 2 Rataan diameter koloni C. capsici pada media tumbuh PDA dengan
perlakuan minyak nilam (A dan B) secara in vitro pada 10 HSP
Perlakuan
Diameter koloni C. capsici (mm)
Minyak nilam A
Minyak nilam B
Kontrol negatif
80a
80a
Kontrol positif
7c
7f
Minyak nilam konsentrasi 10%
7c
12.5e
Minyak nilam konsentrasi 5%
7c
11.4e
Minyak nilam konsentrasi 2.5%
7c
24d
Minyak nilam konsentrasi 1.25%
7c
36.8c
Minyak nilam konsentrasi 0.625%
11.3b
40.5b
a

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan DMRT α = 5%.

Tabel 3 Daya hambat minyak nilam (A dan B) terhadap pertumbuhan koloni C.
capsici pada media tumbuh PDA pada 10 HSP
Daya hambat (%)
Perlakuan
Minyak nilam A
Minyak nilam B
Kontrol positif
91.15a
91.15a
Minyak nilam konsentrasi 10%
91.15a
85.48b
Minyak nilam konsentrasi 5%
91.15a
84.49c
Minyak nilam konsentrasi 2.5%
91.15a
69.66d
Minyak nilam konsentrasi 1.25%
91.15a
53.48e
Minyak nilam konsentrasi 0.625%
85.92b
48.83f
Catatan kaki seperti pada Tabel 2.

Pada akhir pengamatan (10 HSP), minyak nilam A mampu menekan
pertumbuhan koloni C. capsici sebesar 85.92%-91.15%, sedangkan minyak nilam
B mampu menghambat 48.83%-85.48% (Tabel 3). Minyak nilam merupakan
salah satu minyak atsiri yang mengandung senyawa eugenol seperti halnya pada
minyak cengkeh. Mugiono (2002) menyatakan daya hambat minyak cengkeh pada
konsentrasi 0.1%, 0.2%, 0.4%, dan 0.8% mampu menekan pertumbuhan
Aspergillus flavus (Link.) dan Fusarium oxysporum (Schl.) mencapai 100% pada
benih kedelai. Lebih lanjut Asie (2004) melaporkan bahwa minyak daun cengkeh
dengan konsentrasi 0.06% mampu menghambat pertumbuhan C. capsici hingga
100% secara in vitro.
Uji In Vivo
Berdasarkan hasil uji in vitro, aplikasi minyak nilam A dengan konsentrasi
2.5% selanjutnya digunakan pada uji in vivo. Masa inkubasi penyakit antraknosa
(munculnya gejala awal penyakit antraknosa) pada buah cabai dengan aplikasi
minyak nilam secara preventif tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif tetapi
berbeda nyata dengan kontrol positif, sedangkan aplikasi minyak nilam secara
induksi resisten tidak berbeda nyata dengan setiap perlakuan (Tabel 4). Meskipun
demikian ada kecenderungan yang menunjukkan aplikasi minyak nilam pada buah
cabai mampu memperpanjang masa inkubasi C. capsici (Gambar 6). Hal ini

12
bermakna minyak nilam dapat memperpanjang masa simpan buah cabai. Oleh
karena itu perlu dikaji ulang konsentrasi minyak nilam yang digunakan untuk
aplikasi pada buah cabai. Aplikasi minyak nilam secara kuratif pada uji in vivo
dilakukan setelah munculnya gejala awal serangan C. capsici pada buah cabai
(Lampiran 6).
Tabel 4 Data masa inkubasi buah cabai pada uji in vivo
Masa inkubasi (HSI)
Perlakuan
1
2
3
4
Preventif
3.20
7.00
4.20
5.20
Induksi resisten
4.80
6.40
5.60
6.60
Kontrol negatif
1.20
5.80
6.00
5.80
Kontrol positif
9.00
9.60
8.60
5.80

Rata-rata
(HSI)
4.56b
6.28ab
4.68b
7.88a

5
3.20
8.00
4.60
6.40

Catatan kaki seperti pada Tabel 2; HSI: hari setelah inokulasi.

Aplikasi minyak nilam dengan konsentrasi 2.5% pada buah cabai mampu
menekan intensitas serangan C. capsici secara nyata dibandingkan dengan kontrol
negatif (Tabel 4 dan Gambar 7).
a

b

c

d

e

Gambar 6 Buah cabai pada 10 HSI dengan aplikasi minyak nilam A secara preventif (a), kuratif
(b), induksi resisten (c), kontrol positif (d) dan kontrol negatif (e) pada uji in vivo

Aplikasi minyak nilam secara preventif maupun induksi resisten mampu
menekan intensitas serangan C. capsici secara nyata dibandingkan dengan kontrol
negatif, tetapi tidak berbeda nyata dengan kontrol positif, kecuali pada perlakuan
kuratif (Lampiran 7). Hal tersebut menunjukkan minyak nilam sangat efektif
menekan intensitas serangan C. capsici sebanding dengan fungisida sintetik. Asie
(2004) juga melaporkan bahwa pestisida botani dalam bentuk minyak lebih efektif
menekan pertumbuhan patogen dibandingkan dalam bentuk tepung. Aplikasi
minyak nilam pada buah cabai mempunyai efek induksi resistensi. Hal ini sangat
bermanfaat untuk meningkatkan ketahanan buah cabai.
Berdasarkan hasil pengujian in vivo pada aplikasi minyak nilam secara
kuratif memiliki intensitas serangan terendah dari perlakuan lainnya dengan
intensitas serangan penyakit hingga 10 HSI mencapai 4.80%, sedangkan pada
aplikasi minyak nilam secara preventif mencapai 23.20%, dan aplikasi minyak
nilam secara induksi resisten mencapai 29.60% (Tabel 5).

13

Gambar 7 Intensitas serangan C. capsici pada buah cabai 1-10 HSI pada pengujian in vivo

Tabel 5 Data intensitas serangan C. capsici pada buah cabai pada 10 HSI dengan
pengujian secara in vivo
Perlakuan
Intensitas serangan C. capsici (%)
Kontrol negative
68.80a
Kontrol positif
29.60b
Preventif
23.20b
Kuratif
4.80c
Induksi resisten
29.60b
Catatan kaki seperti pada Tabel 2.

Pada aplikasi minyak nilam A dengan konsentrasi 2.5% pada buah cabai
secara kuratif lebih efektif menghambat serangan C. capsici pada buah cabai. Hal
ini diduga bahwa aktivitas dari senyawa-senyawa yang terkandung pada minyak
nilam yang diaplikasikan pada buah cabai mampu menghambat pertumbuhan dan
perkembangan C. capsici yang gejalanya baru muncul. Mugiono (2002)
melaporkan bahwa pengaruh eugenol pada aplikasi minyak cengkeh pada
konsentrasi 0.1%, 0.2%, 0.4% dan 0.8% pada benih kedelai dengan metode
perendaman benih mampu menekan pertumbuhan patogen terbawa benih kedelai.
Kuratif merupakan tahap pegendalian organisme pengganggu tanaman
(OPT) setelah tahap pencegahan atau preventif untuk mengurangi kerugian selama
tanaman terganggu. Terdapat enam cara pelaksanaan dan lima prinsip
perlindungan tanaman terhadap OPT untuk mengurangi kerugian pada tanaman
diantaranya cara budidaya, penggunaan tanaman tahan, cara fisik, cara mekanik,
peraturan dan penggunaan bahan kimia, dan lima prinsip tersebut yaitu eksklusi,
eradikasi, ketahanan, proteksi, dan penghindaran (Purnomo 2006).

14

PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan hasil percobaan in vitro dan in vivo, minyak nilam efektif
menekan pertumbuhan C. capsici sebanding dengan fungisida sintetik. Aplikasi
minyak nilam A pada konsentrasi 2.5% pada uji in vivo mampu menekan tingkat
serangan C. capsici pada buah cabai serta dapat memperpanjang masa simpan
buah cabai.
Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
mengetahui senyawa yang terkandung dalam minyak nilam yang bersifat
antifungi selain eugenol dan patchouli alkohol, perlu dilakukan pengujian aplikasi
minyak nilam terhadap masa simpan buah cabai untuk mengetahui mekanisme
minyak nilam menekan C. capsici serta pengujian aplikasi minyak nilam di lapang
sehingga dapat diketahui kemampuan minyak nilam nenekan C. capsici pada buah
cabai dilapang.

15

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Fourth edition. Tokyo (JP). Academic Press.
Asie KV. 2004. Matriconditioning plus pestisida botani untuk perlakuan benih
cabai terinfeksi Colletotrichum capsici: evaluasi mutu benih selama
peyimpanan [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Komoditas Indonesia: produktivitas cabai
nasional naik tahun 2011 [Internet]. [diunduh 2013 Maret 24]. Tersedia
pada:
http://komoditasindonesia.com/2012/08/bps-produktivitas-cabai
nasional-naik-1012.
Elizabeth JMM, Suhr BC, Waterston JM. 1976. Description on Pathogenic Fungi
and Bacteri. London (GB): CMI.
Febriyati. 2010. Analisis komponen kimia fraksi minyak atsiri daun sirih (Piper
betle Linn.) dan uji aktivitas antibakteri terhadap beberapa jenis bakteri
gram positif [skripsi]. Jakarta (ID): Program Study Farmasi, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Guenther E. 2006. Minyak Atsiri. Ketaren S, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press.
Terjemahan dari: The Essential Oils.
Hafsah S. 2007. Penapisan genotipe dan analisis genetik ketahanan papaya
terhadap penyakit antraknosa di Tajur dan Gunung Geulis Bogor [disertasi].
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Manohara D, Wahyono D, Sukamto. 1994. Pengaruh tepung dan minyak cengkeh
terhadap Phytophthora sp., Rigidoporus sp. dan Sclerotium sp. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati;
1994 Desember 1-2; Bogor. Bogor (ID): Research and Development Centre
for Biology (RDCB). hlm 19-27.
Mugiono. 2002. Pengujian potensi minyak sereh wangi dan minyak cengkeh
untuk mengendalikan cendawan patogenik terbawa benih kedelai (Glycine
Max (L.) Merr.): Aspergillus flavus (Link.) dan Fusarium oxysporum (Schl.)
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mangun HMS. 2006. Nilam: Hasilkan Minyak Berkualitas Mulai dari Teknik Budi
daya hingga Proses Penyulingan. Cetakan ke-2. Jakarta (ID): Penebar
Swadaya.
Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Press.
Navitasari L. 2007. Aplikasi ekstrak tumbuhan untuk perlakuan benih padi dan
kedelai [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nuryani Y, Emmyzar, Wahyudi A. 2007. Teknologi Unggulan Nilam: Perbenihan
dan budidaya pendukung varietas unggul. Bogor (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan.
Pleczar MJ, Chan ECS. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Ed ke-1. Hadioetomo
RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. Jakarta (ID): UI press. Terjemahan
dari: Elements of Microbiology.
Purwati E, Jaya B, Duriat AS. 2000. Penampilan beberapa varietas cabai dan uji
resistensi terhadap penyakit virus kerupuk. Jurnal Hortikultura. 10(2): 8894.

16
Prayogo Y. 2006. Upaya mempertahankan keefektifan cendawan entomopatogen
untuk mengendalikan hama tanaman pangan. Jurnal Litbang Pertanian.
25(2): 47-54.
Purnomo B. 2006. Dasar-dasar perlindungan tanaman: konsepsi dan cara
perlindungan tanaman. [Internet]. [diunduh 2013 Juli 3]. Tersedia pada:
http://id.scribd.com/doc/73175828/perlindungan-tanaman.
Purwati Y. 2011. Komposisi aroma minyak nilam komersial dari beberapa daerah
di Indonesia [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rokhmah MK. 2009. Peningkatan pengetahuan peternak tentang tatalaksana
usaha ternak domba melalui media cetak leaflet: Kasus peternak Desa
Gunung Bunder II Kecamatan Pamijahan, Desa Cigudeg Kecamatan
Cigudeg dan Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rusli MS. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. Jakarta (ID): Agro Media
Pustaka.
Santoso HB. 1990. Bertanam Nilam. Bahan Industri Wewangian. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Sinaga MS, Supramana, Widodo, Soekarno BWP. 1992. Kemungkinan
pengendalian hayati bagi Colletotrichum capsici (Syd) Butl. et Bisby
penyebab antraknosa pada cabai. Laporan Akhir Penelitian Pendukung PHT
dalam Rangka Pelaksanaan Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu.
Kerjasama Proyek Prasarana Fisik Bappenas dengan Fakultas Pertanian.
IPB. Bogor.
Suryaningsih Er, Sutarya R, Duriat AS. 1996. Penyakit tanaman cabai merah dan
pengendaliannya. Di dalam: Duriat AS, Widjaja W, Hadisoeganda A,
Soetiarso TA, Prabaningrum L, editor. Teknologi Produksi Cabai Merah.
Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta (ID): Gajah Mada Universitas Press.
Soesanto L. 2006. Penyakit Pascapanen: Sebuah Pengantar. Yogyakarta (ID):
Kanisius.
Sukamto. 2009. Prospek tanaman nilam penghasil minyak atsiri;
pengembangannya melalui sistim pola tanam. Jurnal Perkembangan
teknologi TRO. 21(2): 48-55.
Sangdee A, Sachan S, Khankhum S. 2011. Morphological, pathological and
molecular variability of Colletotrichum capsici causing anthracnose of chilli
in the North-east of Thailand. African Journal of Microbiology Research
[Internet].
5(25):4368-4372.
Tersedia
pada:
http://www.academicjournals.org/ajmr/pdf/pdf2011/9Nov/Sangdee%20et%
20al.pdf. DOI: 10.5897/AJMR11.476.
Sariadi. 2012. Pemurnian minyak nilam dengan proses adsorpsi menggunakan
bentonit. Jurnal Teknologi. 12(2):100-104.
Widodo. 2007. Status of chili anthracnose in Indonesia. First International
Symposium on Chili Anthracnose; 2007 September 17-19; Seoul. Seoul
(KR): Seoul National University.
Wiyono S. 2007. Perubahan iklim dan ledakan hama dan penyakit tanaman.
Seminar Sehari tentang Keanekaragaman Hayati Ditengah Perubahan

17
Iklim: Tantangan Masa Depan Indonesia, Diselenggarakan Oleh KEHATI;
2007 Juni 28; Jakarta. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Wiratno, Siswanto, Luluk, Suriati S. 2011. Efektivitas beberapa jenis tanaman
obat dan aromatik sebagai insektisida nabati untuk mengendalikan
Diconocoris hewetti Dist (Hemiptera: Tingidae). Buletin Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. 22(2): 198-204.

18

LAMPIRAN

19

A

B

Lampiran 1 Minyak nilam yang digunakan dalam penelitian, minyak nilam A (kiri) dan minyak
nilam B (kanan)

Lampiran 2 Kromatogram nilam A

Lampiran 3 Kromatogram nilam B

20
Lampiran 4 Rataan pertumbuhan C. capsici pada berbagai konsentrasi minyak nilam A pada uji in vitro
Perlakuan
Kontrol negatif
Kontrol positif
Minyak nilam konsentrasi 10%
Minyak nilam konsentrasi 5%
Minyak nilam konsentrasi 2.5%
Minyak nilam konsentrasi 1.25%
Minyak nilam konsentrasi 0.625%
a

1 HSP
12.5a
7b
7b
7b
7b
7b
7b

2 HSP
20.7a
7b
7b
7b
7b
7b
7b

Diameter koloni C. capsici (mm)
3 HSP 4 HSP 5 HSP 6 HSP 7 HSP
29.3a 37a
46.3a 54.4a 62.2a
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b
7b

8 HSP
69.4a
7b
7b
7b
7b
7b
7.8b

9 HSP
75.2a
7b
7b
7b
7b
7b
9.3b

10 HSP
80a
7c
7c
7c
7c
7c
11.3b

9 HSP
75.2a
7e
12.1d
11.1d
22.3c
33.7b
36.1b

10 HSP
80a
7f
12.5e
11.4e
24d
36.8c
40.5b

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%.

Lampiran 5 Rataan pertumbuhan C. capsici pada berbagai konsentrasi minyak nilam B pada uji in vitro
Perlakuan
Kontrol negatif
Kontrol positif
Minyak nilam konsentrasi 10%
Minyak nilam konsentrasi 5%
Minyak nilam konsentrasi 2.5%
Minyak nilam konsentrasi 1.25%
Minyak nilam konsentrasi 0.625%
Catatan kaki seperti pada Lampiran 4.

Diameter koloni C. capsici (mm)
1 HSP 2 HSP 3 HSP 4 HSP 5 HSP
6 HSP
7 HSP
12.5a 20.7a 29.3a 37a
46.3a
54.4a
62.2a
7b
7b
7d
7e
7e
7e
7e
7b
7b
7.4d
8d
8.9d
9.6d
10.2d
7b
7b
7d
7.2de 8de
8.8d
9.4d
7b
7b
7d
9.1c
11.7c
14.2c
16.4c
7b
7b
10.1b 13.9b 18b
22.1b
25.8b
7b
7b
9.4c
14.1b 18.5b
22.8b
27.5b

8 HSP
69.4a
7e
11.3d
10.2d
19.4c
29.8b
31.9b

0

a

2

Lampiran 6 Data masa inkubasi penyakit antraknosa pada buah cabai pada uji in vivo
Masa inkubasi buah cabai ke-n (HSI)
Perlakuan
Ulangan ke- 1
2
3
4
1 2
3
4
5 1
2
3
4 5 1 2 3 4 5 1
Kontrol negatif
6 - 6
6
5
6 6 5 5 7 5 8 5
Kontrol positif
6 10 10 10 9 10 10 10 9 9 8 8 9 9 9 5
Preventif
8 8
- 7
7
7
7 7 6 5 - 5 5 5
Kuratif
- - 9 - - - - - 8 Induksi resisten - 9
7
8 7
7
4
6 8 - 6 8 8 6 6

2
7
6
7
6

3
5
6
6
10
7

4
5
6
8
7

5
7
6
10
7

5
1
6
6
5
8

2
6
6
8

3
6
6
6
8

4
6
8

5
5
8
5
8

Ke-n: Ke-1, 2, 3, 4, 5 merupakan jumlah ulangan buah cabai pada setiap ulangan perlakuan.

Lampiran 7 Rataan intensitas serangan C. capsici pada buah cabai dari 1-10 HSI pada uji in vivo
Perlakuan
1 HSI
2 HSI
3 HSI
4 HSI
5 HSI
6 HSI
7 HSI
8 HSI
Kontrol negatif
Kontrol positif
Preventif
Kuratif
Induksi resisten

0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a

0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a

0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a

0.00a
0.00a
0.00a
0.00a
0.00a

6.40a
0.80b
4.80ab
0.00b
0.80b

19.20a
8.00b
8.80b
0.00b
5.60b

32.00a
8.00bc
16.00b
0.00c
11.20b

20

44.80a
20.00b
20.00b
0.80c
22.40b

9 HSI

10 HSI

56.80a
22.40b
20.00b
1.60c
27.20b

68.80a
29.60b
23.20b
4.80c
29.60b

Catatan kaki seperti pada Lampiran 4.

21

22

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kecamatan Sikakap Kepulauan Mentawai pada tanggal
10 Mei 1988 dari ayah Juara Sakerebau dan ibu Ertina Saleleubaja. Penulis
merupakan putri keempat dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SD ST. Vincentius Sikakap pada tahun 2000; pendidikan
lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Pagai Utara Selatan Kepulauan
Mentawai pada tahun 2003; dan pendidikan lanjutan tingkat atas di SMA Negeri 1
Pagai Utara Selatan pada tahun 2006. Pada tahun 2007, penulis lulus seleksi
masuk IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah. Pada tahun yang sama, penulis
mengikuti program Pra Universitas selama satu tahun dan pada tahun 2008 masuk
Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan diterima pada program studi Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh
pendidikan, penulis aktif dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan
merupakan anggota komisi kesenian PMK. Pada periode 2009/2010, penulis
mengikuti Kuliah Kerja Profesi bekerja sama dengan rekan-rekan dari Fakultas
Pertanian dan Fakultas Ekologi Manusia di Desa Batursari, Kecamatan Sirampog,
Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Sebagai syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana di Institut Pertanian Bogor, penulis membuat tugas akhir yang
berju

Dokumen yang terkait

Uji Efektifitas Daun Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) Dan Daun Serai (Adropogon nardus L.) Terhadap Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd) Butler dan Bisby) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) Di Lapangan

4 80 94

KETAHANAN KULTIVAR CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

1 20 32

PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby) PADA BUAH CABAI (Capsicum annuum L.)

1 17 25

KETAHANAN KULTIVAR CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA

8 110 31

UJI DAYA BIOFUNGISIDA EKSTRAK UMBI KEMBANG SUNGSANG (Gloriosa superba L.) TERHADAP PERKEMBANGAN JAMUR Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby PADA BUAH CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

0 2 18

Keefektifan Kitosan dan Aktinomiset dalam Pencegahan Busuk Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butler & Bisby) Buah Cabai Merah

0 3 41

Potensi Jamur Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)

0 0 16

Potensi Jamur Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)

0 0 2

Potensi Jamur Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)

0 0 4

Potensi Jamur Endofit dalam Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai (Capsicum annum)

0 0 9