PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby) PADA BUAH CABAI (Capsicum annuum L.)
ABSTRAK
PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby)
PADA BUAH CABAI (Capsicum annuum L.)
Oleh Edy Sarwono
Salah satu kendala utama dalam usaha pengembangan dan budidaya tanaman cabai (Capsicum annuum L.) adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum capsici. Pemanfaatan kitosan dan Trichoderma sp. merupakan salah satu alternatif pengendalian yang ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa (C. capsici) pada buah cabai (C. annuum L.). Hipotesis yang diajukan ialah bahwa (1) aplikasi kitosan dan Trichoderma sp. dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, (2) terdapat perbedaan pengaruh antara perlakuan kitosan, dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai., (3) kitosan tidak berbeda jauh dengan fungisida berbahan aktif kaptan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei hingga Agustus 2012. Percobaan ini terdiri atas 5 perlakuan, yaitu kontrol (P1), kitosan (P2), kitosan+Trichoderma sp. (P3), Trichoderma sp. (P4), dan fungisida berbahan aktif kaptan (P5). Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap
(2)
(RAL) dengan masing-masing perlakuan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam kemudian untuk melihat perbedaan antar perlakuan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kitosan, kitosan+Trichoderma sp. dan fungisida sintetis berbahan aktif kaptan dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, (2)
Trichoderma sp. saja tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, (3) pengaruh kitosan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai sebanding dengan fungisida sintetis berbahan aktif kaptan.
(3)
PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP
KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum
capsici (Syd.) Butl. et Bisby) PADA BUAH CABAI (Capsicum
annuum L.)
(Skripsi)
Oleh
EDY SARWONO
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
(4)
PENGARUH KITOSAN DAN Trichoderma Sp. TERHADAP
KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum
capsici (Syd.) Butl. et Bisby) PADA BUAH CABAI (Capsicum
annuum L.)
Oleh
EDY SARWONO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Agroteknologi Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
(5)
i SANWACANA
Alhamdulillahirobbil „alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sebagai tugas akhir dan merupakan syarat menyelesaikan studi di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Kitosan dan Trichoderma sp. Terhadap Keparahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et Bisby) pada Buah Cabai (Capsicum annuum L.)” dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam hal penelitian penyakit Antraknosa pada buah cabai. Penulis menyadari bahwa sejak awal hingga akhir penulisan tugas akhir ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu atas bantuan, bimbingan, motifasi dan pengarahan serta inspirasi yang telah diberikan, setulusnya Penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Ir. Muhammad Nurdin, M.Si., Selaku pembimbing I, atas bimbingannya dan pembelajarannya yang telah diberikan.
2. Bapak Ir. Joko Prasetyo, M.P., selaku pembimbing II, motivator dan inspirator bagi penulis untuk mempelajari ilmu yang bernanfaat.
3. Ibu Ir. Titik Nur Aeny, M.Sc., selaku penguji, atas saran dan masukkan yang berarti dalam menyelesaikan skripsi ini.
(6)
ii
4. Seluruh Dosen dan karyawan Program Studi Agroteknologi atas ilmu dan pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.
5. Seluruh karyawan Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan
Agroteknologi dan Laboratorium Balai Proteksi Tanaman Gadingrejo yang membantu dalam melakukan penelitian.
6. Keluarga yang penulis sayangi dan kasihi, Bapak Seman, Mamak Tumi, mba‟ Isnani dan kakak Sofyan Budi Utomo. Beserta keluarga besar yang telah memberikan segalanya dalam keberhasilan dan kesuksesan Penulis.
7. Rekan-rekan mahasiswa Agroteknologi yang telah memberi motifasi dan semangatnya dalam menyelesaikan skripsin ini, khususnya, Arman Affandi, Nanang Setiawan, Bimo Wicaksono, Prasetyo, Sutrisno, Andreas, Darma Mendra, Ari Eko, Intan Rahayu Ningtyas, Devita Sari, Ayu Sekar Sari, Maya Puspita Sari, Weni Septiana, Sevy dan Yuktika.
8. Aisyah yang telah memberi semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT selalu memberikan yang terbaik, membalas semua kebaikan dan mempermudah segala urusan. Amin.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi Penulis pribadi khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin.
Bandar Lampung, 08 Maret 2013
(7)
iii DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Kerangka Pemikiran ... 3
1.4 Hipotesis ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Penyakit Antraknosa Cabai ... 5
2.2 Pengendalian Penyakit Antraknosa Cabai ... 7
2.3 Pengendalian Hayati ... 7
III. BAHAN DAN METODE ... 11
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11
3.2 Alat dan Bahan ... 11
3.3 Metode Peneltian ... 11
3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 12
3.4.1 Pembuatan Media PSA ... 12
3.4.2 Penyiapan Jamur Colletotrichum capsici sebagai Sumber Inokulum ... 12
3.4.3 Penyiapan Suspensi Trichoderma sp ... 13
3.4.4 Penyiapan Ekstrak Kitosan ... 13
3.4.5 Penyiapan Suspensi Fungisida Sintetis Berbahan Aktif Kaptan ... 14
3.4.6 Penyiapan Buah Cabai ... 14
3.4.7 Perlakuan ... 14
3.4.8 Pengamatan dan Pengumpulan Data ... 14
(8)
iv
4.1 Gejala Penyakit Antraknosa Cabai ... 16
4.2 Keparahan Penyakit Antraknosa Cabai ... 17
4.3 Perkembangan Penyakit Antraknosa ... 18
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 21
5.1 Kesimpulan ... 21
5.2 Saran ... 21
PUSTAKA ACUAN ... 22
(9)
v DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Skor gejala penyakit busuk buah pada buah cabai. ... 15
2. Nilai tengah keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai pada berbagai perlakuan (Uji BNT 5%). ... 17
3. Persentase keparahan penyakit antaknosa (7hsp). ... 28
4. Sidik ragam (7 hsp). ... 28
5. Persentase keparahan penyakit antaknosa (11 hsp). ... 28
6. Sidik Ragam (11 hsp). ... 28
7. Persentase keparahan penyakit antaknosa (15 hsp). ... 29
(10)
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan di Indonesia dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Namun dalam budidaya cabai tidak sedikit tantangan dan kendala yang dihadapi, khususnya masalah organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dapat menurunkan kuantitas maupun kualitas produksi, bahkan dapat menggagalkan panen. Dalam upaya menyelamatkan tanaman dari serangan OPT, tidak jarang petani menerapkan berbagai cara pengendalian OPT yang sebetulnya tidak sesuai dengan ketentuan yang telah dianjurkan, misalnya penggunaan fungisida dan bahan kimia lainnya secara berlebihan.
Penyakit antraknosa pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh cendawan
Colletotrichum acutatum, C. gloeosporioides, atau C. capsici (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2010). Namun di beberapa negara penyakit ini
dianggap sebagai dua penyakit, yang masing-masing disebabkan oleh satu jamur. Penyakit yang disebabkan oleh jamur Gloeosporium disebut antraknosa,
sedangkan penyakit yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum disebut busuk matang (“riperot”) (Semangun, 1989).
Penyakit antraknosa merupakan masalah serius bagi para petani cabai karena bisa menghancurkan panen hingga 20-90 % terutama pada saat musim hujan (Yusuf,
(11)
2
2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan BPTPH 2010 Provinsi Lampung, penyakit antraknosa yang menyerang tanaman cabai di Provinsi Lampung Tahun 2010 mencapai 511 ha (ringan – berat) .
Petani biasanya menggunakan fungisida sintetik untuk mengendalikan penyakit antraknosa. Sebagian petani menggunakan fungisida sintetik yang belum sesuai dengan ketentuan yang telah dianjurkan. Penggunaan fungisida sintetik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dianjurkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu penggunaan fungisida sintetik harus ditekan sekecil mungkin dan sebagai penggantinya harus dicari bahan fungisida tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan maupun manusia (Efri, 2010).
Kitosan dapat menghambat perkembangan spora, mengubah morfologi jamur, serta menginduksi enzim yang dapat digunakan sebagi pelindung buah. Kitosan dapat diaplikasikan pada buah dan sayur dengan cara dicelup atau disemprotkan (Yanti et al.,2009 dalam Widodo et al., 2013).
Pemanfaatan Trichoderma sp. diharapkan dapat membantu pengendalian penyakit tanpa mengganggu kondisi lingkungan. Pengendalian hayati dengan
menggunakan agensia hayati seperti Trichoderma sp. diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap fungisida sintetik dan dapat mengatasi dampak negatif dari pemakaiannya untuk pengendalian penyakit tanaman di Indonesia (Purwantisari dan Hastuti, 2009 dalam Ismail dan Tenrirawe, 2012).
(12)
3
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. et
Bisby) pada buah cabai (Capsicum annuum L.).
1.3 Kerangka Pemikiran
Trichoderma sp. adalah jenis cendawan yang tersebar luas di tanah, dan
mempunyai sifat mikoparasitik. Mikoparasitik adalah kemampuan untuk menjadi parasit cendawan lain. Sifat inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol
terhadap jenis-jenis cendawan fitopatogen (Djatmiko dan Rohadi, 1997 dalam Ismail dan Tenrirawe, 2012).
Belum ada laporan bahwa penggunaan kitosan dapat mengendalikan penyakit antraknosa pada buah cabai. Namun dilaporkan bahwa aplikasi kitosan dari ekstrak cangkang kepiting dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan penyakit antraknosa pada buah pisang Ambon Curup (Pamekas, 2007).
Dilaporkan juga bahwa perlakuan kitosan 2,5% secara nyata mampu
memperpanjang masa simpan buah jambu biji „Crystal‟ 2,83 dan 6,12 hari lebih lama dibandingkan perlakuan air dan asam asetat 0,5% (Widodo et al., 2013). Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa kitosan juga mampu menghambat pertumbuhan dan perkembangan penyakit antraknosa pada buah cabai.
Koloidal kitin merupakan salah satu substrat (sumber karbon) yang dapat digunakan untuk menginduksi kitinase pada bakteri, cendawan, dan
(13)
4
aktinomisetes. Kitinase berguna dalam produksi kitooligosakarida.
Kitooligosakarida berperan sebagai pertahanan tanaman. Kitinase digunakan dalam pertanian sebagai pengendalian cendawan patogen tanaman.
(Patil, 1999 dalam Sugipriatini 2009).
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Aplikasi kitosan dan Trichoderma sp. dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.
2. Terdapat perbedaan pengaruh antara perlakuan kitosan dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.
3. Kitosan tidak berbeda jauh dengan fungisida berbahan aktif kaptan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.
(14)
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Antraknosa Cabai
Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan
Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat Perlindungan Hortikultura, 2010). Namun di beberapa negara penyakit ini dianggap sebagai dua penyakit, yang masing-masing disebabkan oleh satu jamur. (Semangun, 1989).
C. capsici semula disebut C. nigrum yang diduga juga sama dengan Vermicularia capsici. Jamur ini mempunyai banyak aservulus, tersebar, di bawah kutikula atau pada permukaan. Seta coklat tua, bersekat, kaku, meruncing ke atas. Konidium hilain, berbentuk tabung (silindris), ujung-ujungnya tumpul, atau bengkok seperti sabit (Semangun, 1989).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Tahunan BPTPH 2010, OPT yang menyerang tanaman cabe di Provinsi Lampung Tahun 2010 ada 17 jenis terdiri dari 8 jenis hama dan 9 jenis penyakit. Penyakit cabai yang dominan yaitu antraknosa 511 ha (ringan – berat) dan virus kuning 262,5 ha (ringan – berat).
Siklus penyakit antraknosa diawali dari jamur pada buah masuk ke dalam ruang biji dan menginfeksi biji. Jamur tersebut dapat menginfeksi semai yang tumbuh dari biji sakit. Kemudian jamur menyerang daun, batang dan akhirnya
(15)
6
tumbuh, tetapi menggunakan tanaman ini untuk bertahan sampai terbentuknya buah hijau. Selain itu jamur dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit, seterusnya konidium disebarkan oleh angin (Semangun, 1989).
Gejala antraknosa sangat mudah dikenali dengan gejala awal pada buah cabai berupa bercak kecil dan berair. Ukuran luka tersebut dapat mencapai 3 – 4 cm pada buah cabai yang berukuran besar. Pada serangan lanjut yang sudah parah, gejala luka tersebut lebih jelas tampak seperti luka terbakar matahari dan
berwarna antara merah tua sampai coklat menyala hingga warna hitam. Pada saat sudah parah, penyakit ini akan sangat merusak, dapat menyebabkan nekrosis dan bercak pada daun, cabang atau ranting. Penyebab penyakit memencar melalui percikan air dan jarak pemencaran akan lebih jauh jika disertai adanya hembusan angin. Penyakit antarknosa telah menyebar luas di daerah-daerah pertanaman cabai yang kondisinya sangat lembab atau daerah dengan curah hujan tinggi (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2010).
Cendawan penyebab penyakit antraknosa berkembang dengan sangat pesat bila kelembaban udara cukup tinggi yaitu bila lebih dari 80 % RH dengan suhu 320C. Serangan jamur C. capsici pada biji cabai dapat menimbulkan kegagalan
berkecambah atau bila telah menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah, sedangkan pada tanaman dewasa dapat menimbulkan mati pucuk, infeksi lanjut ke bagian lebih bawah yaitu daun dan batang yang menimbulkan busuk kering warna cokelat kehitam-hitaman (Yusuf, 2010).
(16)
7
2.2 Pengendalian Penyakit Antraknosa Cabai
Tindakan untuk membersihkan benih (sanitasi) serta pergiliran tanaman bukan inang adalah bagian terpenting bagi pencegahan penyakit ini. Pemakaian
fungisida yang tepat dan akurat dapat digunakan untuk mengurangi penyakit ini. Tindakan kultur teknis lainnya yang disarankan adalah menanam cabai pada musim kemarau, menghindari penanaman pada musim banyak hujan, perbaikan drainase, membuat bedengan searah angin, sanitasi pertanaman dengan
membuang rumput-rumputan dan buah cabai yang terserang penyakit busuk buah, dan penggunaan varietas tahan seperti “Hot Beauty” (Semangun, 1989).
2.3 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan menggunakan organisme selain OPT itu sendiri. Karena itu pengendalian hayati dapat dikatakan suatu proses menekan, mengurangi atau meniadakan penyebab penyakit atau patogen baik yang telah aktif menyerang maupun yang berada pada stadia dormansi.
Ada banyak cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat serangan jamur patogen tersebut, diantaranya perbaikan sistem budidaya tanaman, penggunaan bahan tanam yang bebas penyakit, pengendalian dengan fungisida, dan pengendalian secara hayati (Rompas, 1997).
Dalam rangka konsep pengendalian penyakit terpadu, penggunaan bahan kimia merupakan alternatif terakhir dan sebagai pelengkap saja. Pengendalian secara
(17)
8
biologi lebih mengutamakan pemanfaatan musuh alami atau agen pengendali hayati sebagai komponen utama (Rompas, 1997).
Keberhasilan penerapan pengendalian hayati sangat ditentukan dengan ketepatan pemilihan agen pengendali, untuk itu perlu pengetahuan tentang ekologi dan biologi patogen sebelum menentukan agen pengendali yang digunakan. Diantara sifat yang harus dimiliki agen pengendali hayati adalah : (1) mampu tumbuh lebih cepat dibanding patogen ; (2) bersifat sebagai pesaing (kompetitor) terhadap patogen ; (3) mampu menghasilkan senyawa antibiosis, enzim dan toksin yang mampu menghambat pertumbuhan patogen ; (4) mudah dibiakkan pada media buatan; (5) tidak menimbulkan penyakit pada tanaman (Rompas, 1997).
Kitosan dapat diperoleh dengan mengkonversi kitin, sedangkan kitin sendiri dapat diperoleh dari kulit udang. Multiguna kitosan tidak terlepas dari sifat alaminya, sifat alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar, yaitu sifat kimia dan sifat biologi. Sifat kimia kitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain adalah polimer poliamin berbentuk linier, mempunyai gugus amino aktif dan mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam. Sedangkan sifat biologi kitosan antara lain adalah bersifat biokompatibel (sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna dan mudah
diuraikan oleh mikroba) dan dapat berikatan dengan sel mamalia dan sel mikroba secara agresif (Rismana, 2001 dalam Winan, 2008).
Dilaporkan bahwa pelapisan kitosan dapat menunda pemasakan dan
memperpanjang masa simpan buah mangga pada suhu 15±1°C dan 85-90% RH selama 35 hari. Perlakuan buah mangga dengan kitosan (2%) efektif dalam
(18)
9
mengurangi timbulnya kebusukan dan kerusakan berat, dan menunda perubahan warna, pH dan keasaman hasil titrasi saat penyimpanan sehingga dapat
meningkatkan mutu mangga (Wang, 2007 dalam Sugipriatini 2009).
Kitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan kopopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk diasetilase kitin melalui proses kimia menggunakan enzim kitin diacetilase (Rismana, 2001 dalam Winan, 2008).
Kitosan memiliki gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba. Kitosan dapat berikatan dengan sel mamalia dan sel mikroba secara agresif sehingga kitosan mampu menghambat pertumbuhan mikroba (Hardjito, 2001 dalam Winan, 2008).
Trichoderma spp. banyak diteliti dan diaplikasikan dalam pengendalian jamur-jamur patogen tanah. Kemampuan Trichoderma spp. menghasilkan antibiotik menyebabkan terhambatnya petumbuhan jamur patogen disekitarnya, disamping itu keberadaan Trichoderma spp. dapat membuat keasaam tanah (pH) menjadi tidak optimum bagi patogen, sehingga terjadi ketidak seimbangan konsentrasi nutrisi dan selanjutnya tidak dapat dimanfaatkan oleh patogen dan pada akhirnya mampu menekan infeksi (Rompas, 1997).
Trichoderma spp. mempunyai sifat antagonis yaitu mikroorganisme yang mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang
tumbuh dan berasosiasi dengannya. Antagonis meliputi (a) kompetisi nutrisi atau sesuatu yang lain dalam jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b)
(19)
10
antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT, dan (c) predasi, hiperparasitisme, dan mikoparasitisme atau bentuk yang lain dari eksploitasi langsung terhadap OPT oleh mikroorganisme yang lain (Istikorini, 2002 dalam Ismail dan Tenrirawe, 2012).
Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan C. capsici pada media PSA maupun pada buah Cabai. Salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan C. capsici terhambat karena cendawan Trichoderma spp. dapat mengeluarkan toksin yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
(20)
11
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan
Agroteknologi Bidang Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei sampai Agustus 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah cabai sehat dan buah cabai yang terserang penyakit antraknosa, kentang, gula (sukrosa), agar batang, kitosan, asam asetat, Trichoderma sp., fungisida, aquades, larutan klorok dan alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, jarum ose, beaker glass, otoklaf, plastik tahan panas, alumunium foil, kertas saring, Bunsen, bor gabus, korek api, spidol, Erlenmeyer, kaca preparat, cover glass, spatula, gelas ukur, tissue, Laminar Air Flow, oven, timbangan, karet, nampan, toples, panci, dan kertas label.
3.3 Metode Penelitian
Perlakuan pada penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan termasuk kontrol dengan masing-masing tiga ulangan, setiap ulangan terdapat 5 buah cabai sehingga terdapat 15 satuan percobaan. Perlakuan terdiri atas: (1) kontrol (air steril), (2) aplikasi kitosan,
(21)
12
(3) aplikasi Trichoderma sp., (4) aplikasi kitosan+Trichoderma sp. dan aplikasi fungisida sintesis berbahan aktif kaptan (pembanding). Kemudian data diuji menggunakan Uji F atau ANOVA. Jika hasil yang didapat nyata kemudian dilakukan uji lanjut dengan BNT taraf 5% untuk melihat perbedaan pengaruh antar perlakuan.
3.4Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pembuatan Media PSA
Untuk membuat media PSA sebanyak 1 liter, dibutuhkan 20 gr agar batang yang telah dipotong-potong, 20 gram gula pasir, dan 200 gr kentang. Kentang dipotong kecil-kecil lalu direbus di dalam 1 liter air kemudian ditambah gula pasir sambil diaduk, setelah itu rebusan disaring ke dalam tabung erlenmeyer ukuran 1 liter. Selanjutnya tabung erlenmeyer berisikan PSA tersebut disterilkan dengan otoklaf pada suhu 1210C dan tekanan 1 atm selama ±30 menit. Setelah sterilisasi selesai, media PSA didiamkan sampai hangat kuku kemudian ditambah 0,7 ml asam laktat kemudian dituang ke dalam cawan petri secara aseptik.
3.4.2 Penyiapan Biakan Colletotrichum capsici sebagai Sumber Inokulum
Biakan murni jamur C. capsici disiapkan dengan cara memotong jaringan buah cabai yang sakit berikut jaringan sebelahnya yang masih sehat berbentuk segi empat berukuran 3-5 mm. Potongan-potongan jaringan tersebut direndam dalam larutan NaOCl 0,5% selama 15-30 detik lalu dibilas dengan aquades steril
sebanyak tiga kali kemudian dikeringanginkan. Potongan buah cabai tersebut diletakkan pada media PSA secara aseptik, kemudian diinkubasi dalam suhu kamar. Biakan murni diperoleh setelah umur 3-5 hari, koloni jamur yang tumbuh
(22)
13
dipotong bagian pinggirnya, selanjutnya diletakkan secara aseptik pada media PSA dan diinkubasi. Setelah didapat biakan murni jamur C. capsici kemudian dilakukan pengenceran untuk memperoleh kerapatan spora yang diperlukan untuk perlakuan, yaitu sebanyak 4 cawan biakan murni jamur C. capsici dicampur dengan 100 ml aquades steril ke dalam gelas piala sehingga didapat kerapatan spora mencapai 1,37 x 106 spora/ ml.
3.4.3 Penyiapan Suspensi Trichoderma sp.
Langkah pertama membuat biakan murni Trichoderma sp. dengan cara
mengambil biakan jamur Trichoderma sp. secara aseptik dari tabung reaksi yang diperoleh dari Laboratorium Balai Proteksi Tanaman Gadingrejo, kemudian diletakkan pada media PSA, selanjutnya diinkubasi dalam suhu kamar. Suspensi
Trichoderma sp. diperoleh dengan cara menambahkan 100 ml aquades steril ke dalam gelas piala ditambah satu cawan petri jamur Trichoderma sp. sehingga didapat kerapatan spora mencapai 37 x 106 spora/ ml. Suspensi Trichoderma sp. dibagi menjadi 2, satu bagian untuk perlakuan Trichoderma sp. dan satu bagian lagi untuk perlakuan kitosan+Trichoderma sp.
3.4.4 Penyiapan Ekstrak Kitosan
Pembuatan larutan kitosan 2,5% dibuat dengan cara melarutkan 2,5 gram kitosan ke dalam 5 ml asam asetat 0,5% ditambah akuades hingga 100 ml. Larutan asam asetat 0,5% dibuat dengan cara melarutkan 5 ml asam asetat kedalam akuades hingga diperoleh volume 100 ml larutan ( Widodo et al.,2013 ). Selanjutnya larutan kitosan dibagi menjadi 2, satu bagian untuk perlakuan kitosan dan satu bagian lagi untuk perlakuan kitosan+Trichoderma sp.
(23)
14
3.4.5 Penyiapan Suspensi Fungisida Berbahan Aktif Kaptan
Bubuk fungisida kaptan 1,5 gram dicampur dengan 100 ml air aquades (sesuai dengan dosis yang tercantum pada kemasan fungisida).
3.4.6 Penyiapan Buah Cabai
Buah cabai varietas keriting yang digunakan diperoleh dari pasar dalam keadaan bersih, sehat dan dikemas dalam plastik, kemudian cabai tersebut dicuci dengan air steril sampai bersih dan siap untuk digunakan penelitian.
3.4.7 Perlakuan
Aplikasi dilakukan dengan cara merendam/melumuri buah cabai sehat dengan masing-masing perlakuan kitosan, Trichoderma sp., kitosan+Trichoderma spp., dan fungisida berbahan aktif kaptan. Buah cabai yang telah dilumuri dengan masing-masing bahan tersebut kemudian diinokulasi dengan jamur C. capsici
dengan cara melumurkannya ke buah cabai tersebut. Buah cabai kemudian
diinkubasi dalam toples yang diberi tisu yang dibasahi dengan air steril 10 ml dan dialasi pipet/sedotan.
3.4.8 Peubah yang Diamati
Pengamatan terhadap keparahan penyakit dilakukan pada 7,11, dan 15 hari setelah perlakuan (hsp). Diperkirakan setelah 15 hari setelah perlakuan, buah cabai membusuk secara utuh. Menurut Karyatiningsih (1980), pengamatan intensitas penyakit (keparahan penyakit) yang disebabkan oleh cendawan yang menyerang tanaman
(24)
15
dihitung menggunakan metode Townsend dan Heuberger, dengan rumus sebagai berikut:
K P = ∑
x 100%
Keterangan:
KP : Keparahan penyakit
n :Jumlah buah tiap kelas luas gejala v : Nilai skor tiap luas gejala
N : Jumlah buah yang diamati V : Skor tertinggi
Tabel 1. Skor gejala penyakit busuk buah pada buah cabai.
skor Penyakit Antraknosa (%)
0 Tanpa serangan
1 > 0-20%
2 > 20-40%
3 > 40-60%
4 > 60-80%
5 > 80-100%
Gambar 1. Panduan untuk melihat skor gejala penyakit antraknosa buah cabai.
(25)
21
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Kitosan dan kitosan+ Trichoderma sp. dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.
2. Trichoderma sp. saja tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai,
3. Kitosan sebanding dengan fungisida berbahan aktif kaptan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa.
5.2 Saran
Masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut tentang dosis kitosan dan
Trichoderma sp. yang paling efektif dalam menurunkan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.
(1)
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan
Agroteknologi Bidang Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei sampai Agustus 2012.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah cabai sehat dan buah cabai yang terserang penyakit antraknosa, kentang, gula (sukrosa), agar
batang, kitosan, asam asetat, Trichoderma sp., fungisida, aquades, larutan klorok
dan alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, jarum ose, beaker glass, otoklaf, plastik tahan panas, alumunium foil, kertas
saring, Bunsen, bor gabus, korek api, spidol, Erlenmeyer, kaca preparat, cover
glass, spatula, gelas ukur, tissue, Laminar Air Flow, oven, timbangan, karet, nampan, toples, panci, dan kertas label.
3.3 Metode Penelitian
Perlakuan pada penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan termasuk kontrol dengan masing-masing tiga ulangan, setiap ulangan terdapat 5 buah cabai sehingga terdapat 15 satuan percobaan. Perlakuan terdiri atas: (1) kontrol (air steril), (2) aplikasi kitosan,
(2)
(3) aplikasi Trichoderma sp., (4) aplikasi kitosan+Trichoderma sp. dan aplikasi
fungisida sintesis berbahan aktif kaptan (pembanding). Kemudian data diuji
menggunakan Uji F atau ANOVA. Jika hasil yang didapat nyata kemudian dilakukan uji lanjut dengan BNT taraf 5% untuk melihat perbedaan pengaruh antar perlakuan.
3.4Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pembuatan Media PSA
Untuk membuat media PSA sebanyak 1 liter, dibutuhkan 20 gr agar batang yang telah dipotong-potong, 20 gram gula pasir, dan 200 gr kentang. Kentang dipotong kecil-kecil lalu direbus di dalam 1 liter air kemudian ditambah gula pasir sambil diaduk, setelah itu rebusan disaring ke dalam tabung erlenmeyer ukuran 1 liter. Selanjutnya tabung erlenmeyer berisikan PSA tersebut disterilkan dengan otoklaf
pada suhu 1210C dan tekanan 1 atm selama ±30 menit. Setelah sterilisasi selesai,
media PSA didiamkan sampai hangat kuku kemudian ditambah 0,7 ml asam laktat kemudian dituang ke dalam cawan petri secara aseptik.
3.4.2 Penyiapan Biakan Colletotrichum capsici sebagai Sumber Inokulum
Biakan murni jamur C. capsici disiapkan dengan cara memotong jaringan buah
cabai yang sakit berikut jaringan sebelahnya yang masih sehat berbentuk segi empat berukuran 3-5 mm. Potongan-potongan jaringan tersebut direndam dalam larutan NaOCl 0,5% selama 15-30 detik lalu dibilas dengan aquades steril
sebanyak tiga kali kemudian dikeringanginkan. Potongan buah cabai tersebut diletakkan pada media PSA secara aseptik, kemudian diinkubasi dalam suhu kamar. Biakan murni diperoleh setelah umur 3-5 hari, koloni jamur yang tumbuh
(3)
dipotong bagian pinggirnya, selanjutnya diletakkan secara aseptik pada media
PSA dan diinkubasi. Setelah didapat biakan murni jamur C. capsici kemudian
dilakukan pengenceran untuk memperoleh kerapatan spora yang diperlukan untuk
perlakuan, yaitu sebanyak 4 cawan biakan murni jamur C. capsici dicampur
dengan 100 ml aquades steril ke dalam gelas piala sehingga didapat kerapatan
spora mencapai 1,37 x 106 spora/ ml.
3.4.3 Penyiapan Suspensi Trichoderma sp.
Langkah pertama membuat biakan murni Trichoderma sp. dengan cara
mengambil biakan jamur Trichoderma sp. secara aseptik dari tabung reaksi yang
diperoleh dari Laboratorium Balai Proteksi Tanaman Gadingrejo, kemudian diletakkan pada media PSA, selanjutnya diinkubasi dalam suhu kamar. Suspensi Trichoderma sp. diperoleh dengan cara menambahkan 100 ml aquades steril ke
dalam gelas piala ditambah satu cawan petri jamur Trichoderma sp. sehingga
didapat kerapatan spora mencapai 37 x 106 spora/ ml. Suspensi Trichoderma sp.
dibagi menjadi 2, satu bagian untuk perlakuan Trichoderma sp. dan satu bagian
lagi untuk perlakuan kitosan+Trichoderma sp.
3.4.4 Penyiapan Ekstrak Kitosan
Pembuatan larutan kitosan 2,5% dibuat dengan cara melarutkan 2,5 gram kitosan ke dalam 5 ml asam asetat 0,5% ditambah akuades hingga 100 ml. Larutan asam asetat 0,5% dibuat dengan cara melarutkan 5 ml asam asetat kedalam akuades
hingga diperoleh volume 100 ml larutan ( Widodo et al., 2013 ). Selanjutnya
larutan kitosan dibagi menjadi 2, satu bagian untuk perlakuan kitosan dan satu
(4)
3.4.5 Penyiapan Suspensi Fungisida Berbahan Aktif Kaptan
Bubuk fungisida kaptan 1,5 gram dicampur dengan 100 ml air aquades (sesuai dengan dosis yang tercantum pada kemasan fungisida).
3.4.6 Penyiapan Buah Cabai
Buah cabai varietas keriting yang digunakan diperoleh dari pasar dalam keadaan bersih, sehat dan dikemas dalam plastik, kemudian cabai tersebut dicuci dengan air steril sampai bersih dan siap untuk digunakan penelitian.
3.4.7 Perlakuan
Aplikasi dilakukan dengan cara merendam/melumuri buah cabai sehat dengan
masing-masing perlakuan kitosan, Trichoderma sp., kitosan+Trichoderma spp.,
dan fungisida berbahan aktif kaptan. Buah cabai yang telah dilumuri dengan
masing-masing bahan tersebut kemudian diinokulasi dengan jamur C. capsici
dengan cara melumurkannya ke buah cabai tersebut. Buah cabai kemudian
diinkubasi dalam toples yang diberi tisu yang dibasahi dengan air steril 10 ml dan dialasi pipet/sedotan.
3.4.8 Peubah yang Diamati
Pengamatan terhadap keparahan penyakit dilakukan pada 7,11, dan 15 hari setelah perlakuan (hsp). Diperkirakan setelah 15 hari setelah perlakuan, buah cabai
membusuk secara utuh. Menurut Karyatiningsih (1980), pengamatan intensitas
penyakit (keparahan penyakit) yang disebabkan oleh cendawan yang menyerang tanaman
(5)
dihitung menggunakan metode Townsend dan Heuberger, dengan rumus sebagai berikut:
K P = ∑
x 100%
Keterangan:
KP : Keparahan penyakit
n :Jumlah buah tiap kelas luas gejala
v : Nilai skor tiap luas gejala
N : Jumlah buah yang diamati
V : Skor tertinggi
Tabel 1. Skor gejala penyakit busuk buah pada buah cabai. skor Penyakit Antraknosa (%)
0 Tanpa serangan
1 > 0-20%
2 > 20-40%
3 > 40-60%
4 > 60-80%
5 > 80-100%
(6)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Kitosan dan kitosan+ Trichoderma sp. dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.
2. Trichoderma sp. saja tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai,
3. Kitosan sebanding dengan fungisida berbahan aktif kaptan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa.
5.2 Saran
Masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut tentang dosis kitosan dan
Trichoderma sp. yang paling efektif dalam menurunkan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai.