Kualitas Silase Tanaman Jagung Pada Berbagai Umur Pemanenan

RINGKASAN
PUTRI HIDAYAH. D24080345. 2012. Kualitas Silase Tanaman Jagung Pada
Berbagai Umur Pemanenan. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Despal, S.Pt., M.Sc.Agr
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc
Tanaman jagung menghasilkan biji kaya kandungan energi dan hasil samping
yang berpotensi sebagai hijauan pakan. Ketersediaan tanaman jagung bergantung
pada musim sehingga perlu adanya teknik pengawetan yang dapat mengatasi
permasalahan akan ketersediaannya. Salah satu teknik pengawetan yang banyak
berkembang adalah silase. Salah satu faktor penentu kualitas silase adalah umur
tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas silase tanaman jagung
pada berbagai umur pemanenan berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif dan
utilitas silase.
Penelitian menggunakan tanaman jagung umur 60, 70, 80 dan 90 hari.
Perlakuan terdiri dari 5 yaitu SRK (Silase ransum komplit), SJ60 (Silase tanaman
jagung umur 60 hari), SJ70 (umur 70 hari), SJ80 (umur 80 hari) dan SJ90 (umur 90
hari). Peubah yang diamati meliputi karakteristik awal bahan (Proporsi tanaman,
kandungan BK, PK dan WSC awal), karakteristik fisik (aroma, warna, tekstur,
bagian terkontaminasi jamur), karakteristik fermentatif (pH, BK, kehilangan BK,
VFA, PK, NH3, kehilangan PK, residual dan kehilangan WSC dan nilai Fleigh) dan

karakteristik utilitas (konsentrasi NH3 dan VFA rumen, KCBK dan KCBO).
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dan rancangan
acak kelompok. Data yang berbeda nyata akan diuji lanjut menggunakan uji jarak
Duncan.
Hasil pengamatan karakteristik awal bahan menunjukkan tidak adanya
perbedaan pada aroma dan tekstur untuk ke empat silase tanaman jagung maupun
kontrol. Nilai pH setelah ensilasi menunjukkan SJ80 dan SJ90 lebih asam
dibandingkan silase lainnya. Kandungan BK setelah ensilasi menunjukkan SJ90
menghasilkan kandungan BK tertinggi sedangkan kandungan PK, SJ60
menghasilkan kandungan PK yang paling tinggi. Kandungan WSC setelah ensilasi
menunjukkan SJ60 menghasilkan residual WSC tertinggi. Pengukuran kualitas
berdasarkan nilai Fleigh (BK dan pH) menunjukkan SRK, SJ80 dan SJ90
dikategorikan sebagai silase yang berkualitas sangat baik.
Pada pengukuran karakteristik utilitas silase, konsentrasi NH3 rumen
menurun pada umur panen yang meningkat. Konsentrasi VFA rumen menghasilkan
konsentrasi yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antar perlakuan. Hasil pengukuran
nilai kecernaan menunjukkan silase tanaman jagung umur yang lebih tua memiliki
nilai kecernaan tertinggi namun lebih rendah dari kontrol.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa silase umur panen 80 hari
menghasilkan hasil yang paling optimal dilihat dari kandungan protein dan

karbohidrat silase yang dihasilkan.
Kata-Kata Kunci

: Silase tanaman jagung, umur panen, kualitas.
ii

ABSTRACT
Quality of Whole Plant Corn Silage in the Different Harvest Age
P. Hidayah, Despal and A. D. Lubis
The objective of this 5 months research was to determine the optimum
harvest time of corn, through the physical, fermentative, and utility characteristics of
its whole-plant corn silage. Corns (Zea mays L) with different age (60 d,70 d,80 d,
and 90 d) were respectively harvested and separated by each part (Leave, stalk, cob,
kernel, and husk). Those parts were chopped (± 2cm) and mixed afterwards. The
amount of 2 kg of total mixed corn-plants were placed in plastic silo then ensiled for
5 weeks. Whole plant corn silage would be compared with total mixed ration silage.
Descriptive analysis of physical characteristics resulted indifferent for each silage.
Completely randomized design was used to analyze the fermentative data, showed
DM content increase but CP and WSC concentrations decrease as age advanced.
After ensiling, silages produced less DM losses and ammonia nitrogen, indicated

fermentation run well. Lower concentration of VFA can be explained by lower
soluble fermentation of lactate acid bacteria during ensilage. In vitro technique were
used to evaluate silage as diets in rumen by measure the VFA & NH3 rumen, DM &
OM digestibility. Ammonia in rumen were greater at early age than advanced age
whereas VFA concentrations showed insignificant. DM and OM digestibility at 90d
silage resulted the highest digestibility. The results showed that 80d corn silage was
the optimum age of harvest.
Keyword

: Corn Silage, age of harvest, quality

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya hijauan yang melimpah tidak serta merta membuat penyediaan
hijauan berjalan tanpa kendala. Ketersediaan pakan hijauan tergantung pada
beberapa hal salah satunya adalah faktor musim. Hijauan akan berlimpah
ketersediannya ketika musim hujan, lalu mencapai titik sampai ketersediaannya
sangat rendah ketika musim kemarau. Fenomena ini menjadi alasan untuk

dilakukannya pengawetan pakan hijauan untuk memenuhi kebutuhan ternak serta
menjawab permasalahan kesinambungan penyediaan pakan.
Teknologi pengawetan pakan hijauan ternak yang banyak berkembang adalah
metode pengeringan dengan hasilnya yang disebut hay dan dengan fermentasi
anaerob dengan produknya yang dinamakan silase. Proses pembuatannya hay masih
bergantung pada musim karena membutuhkan sinar matahari berbeda dengan silase
yang kurang bergantung pada musim.
Proses pembuatan silase disebut ensilasi dengan menggunakan silo
(McDonald, 2002) yaitu wadah yang bisa dibuat dari tembok ataupun plastik yang
berlapis-lapis. Silase dibuat untuk meminimalisir kehilangan zat makanan dan
mengawetkan pakan sehingga dapat dimanfaatkan untuk waktu yang relatif lama.
Pengawetan pakan dengan silase dapat dilakukan untuk membantu peternak dalam
menyediakan hijauan pakan pada kondisi iklim yang tidak memungkinkan.
Pemanfaatan tanaman jagung sebagai bahan utama silase dapat dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan ternak. Jagung merupakan tanaman yang banyak
diproduksi di Indonesia selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan manusia juga
sangat bermanfaat bagi ternak sebagai sumber energi utama pakan ternak. Tanaman
jagung apabila dimanfaatkan bersama dengan biji sebagai silase akan menghasilkan
kandungan karbohidrat terlarut yang mencukupi untuk pertumbuhan bakteri selama
proses ensilasi.

Jumlah produksi jagung di Indonesia mencapai 17.230.172 ton pada tahun
2011 (Badan Pusat Statistik, 2011) dengan luas panen 3.869.855 ha. Sebagian besar
produksi tersebut digunakan untuk memenuhi konsumsi manusia dan ternak unggas
yang hanya memanfaatkan biji jagung.

1

Jagung mengandung hasil samping pertanian yang sangat bermanfaat bagi
ternak ruminansia. Hasil samping tanaman jagung meliputi daun, batang, klobot dan
tongkol. Tanaman jagung mengandung nilai nutrisi yang cukup baik terutama
karbohidratnya yang tinggi pada biji. Kandungan karbohidrat biji jagung dapat
memenuhi kebutuhan energi pada ternak sebagai konsentrat sedangkan daun, batang,
tongkol dan klobot merupakan sumber serat yang bisa dijadikan bahan alternatif
pengganti hijauan pakan ternak.
Penggunaan kombinasi bagian-bagian tanaman jagung menjadi bahan utama
pembuatan silase berpotensi menggantikan silase ransum komplit. Kualitas silase
tanaman jagung dan silase pada umumnya sangat dipengaruhi oleh jenis dan umur
tanaman, skala dan jenis silo.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas silase tanaman jagung

berdasarkan karakteristik fisik, fermentatif dan utilitas silase untuk menentukan umur
panen optimum dalam pembuatan silase.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jagung
Tanaman jagung atau Zea mays termasuk ke dalam famili graminiae atau
rerumputan, kelas monokotiledon, genus Zea dan termasuk golongan spesies Zea
mays. Tanaman ini adalah tanaman C4 yang lebih produktif dibandingkan dengan
tanaman C3. Tanaman C4 dapat memanfaatkan energi matahari dengan efisiensi
yang lebih tinggi dibandingkan C3 sehingga dapat mensintesis karbohidrat lebih
baik. Tanaman jagung merupakan tumbuhan tropis namun dapat beradaptasi pada
iklim tropis maupun subtropis. Fase pertumbuhan tanaman jagung dibagi menjadi 3
tahap yaitu fase vegetatif (V), reproduksi (R) dan matang fisiologis (Lee, 2012).
Tanaman jagung akan optimal pertumbuhannya pada temperatur lingkungan
berkisar antara 23-27 ˚C dengan besaran kelembaban rata-rata 80%. Curah hujan
yang normal untuk menunjang pertumbuhan tanaman jagung adalah berkisar antara
80-200 mm. Pertumbuhan tanaman jagung dan perkembangan biji jagung juga
dipengaruhi oleh kedapatan akan sinar matahari yang optimal (Departemen

pertanian, 2011).
Di Indonesia produksi jagung tahun 2011 sebanyak 17.230.172 ton, dengan
sentra terbesar berada di propinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 5.010.626 ton atau
berkisar 29,08% (Badan Pusat Statistik, 2011). Data produksi jagung di Indonesia
dari tahun 2007 sampai 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data statistik Produksi dan Luas panen Tanaman Jagung di Indonesia.
Tahun

Luas Panen (ha)

Produksi (ton)

2007

3.630.324

13.287.527

2008


4.001.724

16.317.252

2009

4.160.659

17.629.748

2010

4.131.676

18.327.636

2011

3.869.855


17.230.172

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Tanaman jagung merupakan tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk
kebutuhan manusia dan ternak. Tanaman jagung merupakan tumbuhan pangan kedua
setelah padi (Umiyasih dan Wina, 2008). Biji jagung sampai saat ini masih dijadikan
3

bahan penyusun utama pakan ternak terutama dalam pemenuhan karbohidrat pada
ternak unggas. Umumnya penggunaan biji jagung pada ruminansia tanpa batasan,
tetapi jagung mengandung kadar protein yang rendah sehingga perlu disuplementasi
oleh bahan pakan berprotein tinggi dalam ransum (McDonald et al., 2002).
Hasil samping tanaman jagung yaitu daun, tongkol, batang dan klobot juga
dapat dimanfaatkan untuk pengganti hijauan pakan ruminansia (Parakkasi, 1995;
Umiyasih dan Wina, 2008). Daun jagung yang masih muda sudah banyak
dimanfaatkan peternak sebagai hijauan pakan ternak dan berpotensi sebagai
pengganti sumber serat hijauan khususnya pada saat ketersediaan rumput lapang
berkurang (Putra, 2011). Klobot dan tongkol jagung adalah sumber serat yang lebih
disukai ternak dibanding biji jagung (Parakkasi, 1995). Komposisi zat makanan hasil

samping tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Hasil Samping Tanaman Jagung
Bagian

Komposisi Kimia
Dauna

Batangb

Klobotc

Tongkolb

Bijib

BK

81,43

80,00


91,41

90,00

88,00

TDN

48,51

59,00

54,29

48,00

88,00

PK

9,00

5,00

7,84

3,00

9,00

SK

29,44

35,00

32,25

36,00

2,00

Abu

17,00

7,00

3,23

2,00

2,00

Ca

-

0,35

0,21

0,12

0,02

P

-

0,04

0,30

(%BK)

0,19
a

0,44
b

c

Sumber: Anggraeny et al (2006) ; Preston (2006) ; Furqaanida (2004) .

Hasil samping tanaman jagung bukan merupakan pakan yang berkualitas
tinggi dan tidak dapat mengoptimalkan pertumbuhan, produksi dan performa ternak
terkecuali ditunjang dengan ketersediaan bahan pakan sumber nutrisi lainnya.
Proporsi botani hasil samping tanaman jagung berdasarkan berat kering terdiri dari
50% batang, 20% daun, 20% tongkol dan 10% klobot (McCutcheon dan Samples,
2002). Batang jagung merupakan bagian yang paling sukar dicerna. McCutcheon dan
Samples (2002) melaporkan bahwa batang jagung memiliki kecernaan bahan kering

4

in vitro yaitu sebesar 51% dibandingkan dengan klobot, tongkol dan daun masingmasing 68%, 60% dan 58%.
Silase
Silase adalah salah satu teknik pengawetan pakan atau hijauan pada kadar air
tertentu melalui proses fermentasi mikrobial oleh bakteri asam laktat yang disebut
ensilasi dan berlangsung di dalam tempat yang disebut silo (McDonald et al., 2002).
Silase biasa digunakan untuk pakan sapi perah namun pemanfaatannya kini dapat
diterapkan pada sapi penggemukan (Parakkasi, 1995). Silase sudah diterapkan di
banyak negara khususnya negara beriklim subtropis, di mana musim menjadi kendala
utama ketersediaan hijauan dan penerapan pengawetan dengan metode pengeringan
sulit dilakukan (Saun dan Heinrichs, 2008). Pemanfaatan silase sebagai pakan telah
berkembang di negara-negara Eropa dan menyebar ke negara lain sejak 50-60 tahun
yang lalu (Church, 1991).
Berbagai tanaman atau hijauan yang berkadar air tinggi atau hasil samping
tanaman sering dijadikan bahan utama pembuatan silase. Tujuan utama pembuatan
silase adalah mengawetkan pakan dengan meminimalisir kehilangan nutrisi. Prinsip
kerja atau proses ensilasi merupakan proses fermentasi yang berlangsung secara
anaerob. Karbohidrat terlarut difermentasi oleh bakteri asam laktat untuk
memproduksi asam dan menurunkan pH sehingga kondisi anaerob dapat cepat
tercapai dan kehilangan komposisi kimia nutrisi dapat ditekan.
Silase tidak bersifat statis namun dinamis. Perubahan dapat lebih buruk
meskipun pada kondisi yang baik sekalipun (Saun dan Heinrichs, 2008). Silase pada
prinsipnya tidak akan meningkatkan nilai nutrisi dari pakan karena akan banyak
mengalami kehilangan selama ensilasi. Silase kurang ekonomis dan sulit untuk
dibawa dengan jarak yang jauh, namun fermentasi yang dilakukan dapat menurunkan
kadar antinutrisi, kandungan nitrat dan racun.
Silase dapat dibuat pada berbagai bentuk silo yaitu bunker silo, drum silo
ataupun plastik silo. Mekanisme pembuatan silase pada prinsipnya sama untuk ke
semua jenis silo selama pengeluaran atau pembatasan suplai oksigen optimal. Tiga
hal yang berperan penting dalam proses ensilasi di dalam silo meliputi produk
bakteri asam laktat dan produk fermentasinya, pencapaian kondisi anaerob yang
maksimal dan penurunan pH yang cepat (Muck, 2011).
5

Proses ensilasi secara garis besar terbagi atas 4 fase yaitu (1) fase aerob, (2)
fase fermentasi, (3) fase stabil dan (4) fase pemberian pada ternak (Moran, 2005).
Proses aerob terjadi pada saat pemasukan bahan ke dalam silo di mana bakteri dari
permukaan hijauan akan mengkonsumsi oksigen sampai oksigen habis. Proses ini
sangat diinginkan pada proses pembuatan silase, di mana dengan penghabisan
oksigen secara optimal kondisi anaerob dapat segera tercapai. Saat waktu yang
bersamaan pula bakteri-bakteri tersebut akan memanfaatkan karbohidrat terlarut
yang seharusnya digunakan bakteri asam laktat (BAL) untuk membentuk asam laktat
menjadi CO2, H2O dan panas. Proses ini menyebabkan kehilangan energi dan bahan
kering (Muck, 2011).
Saat fase aerob ini pula terjadi perubahan kimiawi yang meliputi perombakan
protein menjadi ammonia. Lamanya fase aerob ini bergantung pada seberapa cepat
silase mendapatkan suasana yang kedap udara secara optimal. Fase kedua merupakan
fase di mana oksigen telah habis dan aktivitas bakteri asam asetat dan bakteri asam
laktat meningkat, kemudian pH menurun hingga akhirnya aktivitas bakteri asam
asetat terhenti.
Berhentinya aktivitas bakteri asam asetat akan meningkatkan aktivitas bakteri
asam laktat. Bakteri asam laktat menyebabkan konsentrasi asam laktat meningkat
dan pH semakin menurun. Besaran pH akan semakin menurun hingga akhirnya
mencapai besaran optimal. Kondisi ini mengakibatkan aktivitas berbagai macam
bakteri terhenti dan akhirnya bahan sudah mulai terawetkan dan tidak ada lagi proses
penguraian. Proses ini menandakan fase fermentasi telah berhenti dan memasuki fase
stabil.
Fase stabil akan berjalan optimal selama tidak adanya suplai oksigen. Fase
terakhir adalah fase pembukaan silase atau disebut dengan fase aerob. Fase ini sangat
rentan terhadap kontaminasi jamur yang nantinya akan mempengaruhi stabilitas
aerob silase yang dapat menyebabkan kehilangan energi dan bahan kering (Nussio,
2005).
Bakteri Asam Laktat (BAL)
Bakteri asam laktat merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri ini dapat
hidup di kondisi terpapar oksigen maupun tanpa oksigen (McDonald et al., 2002).
Bakteri ini dibagi menjadi 2 kategori yaitu homofermentatif (Lactobacillus
6

plantarum,

Pediococcus

pentosaceus,

dan

Enterococcus

faecalis)

dan

heterofermentatif (Lactobacillus brevis dan Leuconostoc mesenteroides).
Bakteri asam laktat akan memfermentasikan karbohidrat terlarut menjadi
beberapa produk fermentasi tergantung tipe bakterinya (Muck, 2011). Produk
fermentasi bakteri asam laktat seperti asam laktat dan asam asetat dapat berfungsi
sebagai penghambat beberapa mikroorganisme seperti asam asetat dan listeria.
Bakteri asam laktat pada tanaman berfungsi untuk melindungi tanaman dari
serangan mikroorganisme patogen dengan memproduksi antagonistik komponen
seperti asam, bakteriosin dan agen anti fungal. Bakteri asam laktat memiliki toleransi
yang baik pada pH, suhu dan udara. BAL dapat bertahan hidup pada pH hingga 3,5
(Muck, 2011). Kisaran suhu hidup BAL sangat luas dan beragam pada kisaran 5-50
˚C Minimal populasi optimum BAL adalah 105 cfu/g bahan.
Silase Tanaman Jagung
Tanaman jagung dapat dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam pembuatan
silase. Tanaman jagung menghasilkan hasil samping yang dapat dimanfaatkan
sebagai hijauan dan bijinya merupakan sumber energi utama dalam penyusunan
bahan pakan ternak. Tanaman jagung apabila dimanfaatkan seluruh bagian dari daun
hingga biji sebagai silase maka akan menyumbang kandungan karbohidrat terlarut
yang mencukupi untuk pertumbuhan bakteri pada proses ensilasi.
Pemanfaatan jerami jagung dan daun jagung harus ditambahkan sumber
karbohidrat terlarut seperti molases (Umiyasih dan Wina, 2008) atau menggunakan
berbagai bakteri inokulan (Nussio, 2005). Silase tanaman jagung mengandung energi
tinggi dengan kandungan bahan kering yang relatif sama dengan hijauan potongan
(Bal et al., 2000).
Silase tanaman jagung merupakan silase yang banyak digunakan di banyak
negara. Silase tanaman jagung lebih banyak dipilih dibandingkan silase tebu dan
silase singkong karena silase jagung lebih optimal dalam menghasilkan nutrisi yang
mudah dicerna (Church, 1991). Silase tanaman jagung dapat meningkatkan performa
dari ruminansia baik sapi penggemukan (Keady, 2005) maupun sapi perah. Pada sapi
perah laktasi pemberian silase tanaman jagung meningkatkan produksi susu (Ouellet
et al., 2003).

7

Kualitas Berdasarkan Umur Tanaman Jagung
Kualitas silase ditentukan oleh beberapa faktor yaitu jenis dan skala silo,
bahan pakan yang digunakan, umur tumbuhan, pengolahan mekanik dan
penambahan zat aditif atau inokulan. Umur dan tingkat kematangan tanaman akan
memberikan efek yang lebih besar terhadap kualitas fermentatif silase dibandingkan
pengolahan mekanis dan penambahan zat aditif maupun inokulan (Johnson et al.,
2003).
Kualitas tanaman dapat dipengaruhi oleh varietas benih, kelembaban tanah,
iklim, pengolahan dan pemupukan. Faktor-faktor ini juga nantinya akan dapat
mempengaruhi kualitas silase. Bal et al. (2000) melaporkan bahwa terjadi
peningkatan kandungan bahan kering pada silase tanaman jagung seiring dengan
bertambahnya umur panen, hal tersebut juga diperkuat oleh pernyataan Darby dan
Lauer (2002). Kadar air tanaman jagung pada fase belum masak akan menghasilkan
kandungan air sebesar 80%-85%.
Peningkatan umur panen juga mempengaruhi kandungan pati pada jagung di
mana pati terakumulasi optimal pada biji umur tua (Bal et al., 2000; Marco et al.,
2002). Menurut Johnson dan McClure (1968), Chase (2011) dan Weiss (2012)
kandungan BK tanaman jagung fase Silking (R1) dan blister (R2) kurang dari 20%.
Besarnya kandungan bahan kering juga dipengaruhi oleh cuaca, cekaman hara dan
air, varietas bahan, pemupukan dan interval dan waktu pemotongan.
Kandungan protein kasar tanaman jagung masa vegetatif akan lebih tinggi
akibat masih terjadinya perkembangan bagian-bagian vegetatif seperti daun dan
batang sebagai hasil proses fotosintesis dan belum tumbuhnya biji. Tanaman akan
berkurang kandungan protein, mineral dan karbohidratnya dengan meningkatnya
umur tanaman namun kandungan serat kasar dan ligninnya bertambah.
Tingginya serat umumnya didominasi oleh komponen lignoselulosa yang
sulit dicerna sehingga menurunkan kecernaan. Kandungan protein yang rendah pada
umur panen tua juga disebabkan karena menurunnya fraksi daun. Daun pada
tanaman muda memiliki kandungan protein kasar lebih tinggi dibandingkan daun
umur tanaman tua (Tarigan et al., 2010).

8

Kualitas Silase
Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fisik
Salah satu pengujian kualitas silase adalah dengan pengamatan fisik silase.
Beberapa faktor menjadi faktor utama dalam penentuan kualitas fisik silase yaitu
bau, warna, tekstur dan kontaminasi jamur. Silase yang berkualitas baik adalah silase
yang akan menghasilkan aroma asam di mana aroma asam tersebut menandakan
bahwa proses fermentasi di dalam silo berjalan dengan baik (Elfrink et al., 2000).
Silase yang beraroma seperti cuka diakibatkan oleh pertumbuhan bakteri asam asetat
(Bacili) di mana produksi asam asetat tinggi. Produksi etanol oleh yeast atau kapang
dapat mengakibatkan silase beraroma seperti alkohol. Aroma tembakau dapat terjadi
pada silase yang memiliki suhu yang tinggi dan mengalami pemanasan yang cukup
ekstrim (Saun dan Heinrichs, 2008).
Silase berkualitas baik akan menghasilkan warna yang hampir menyamai
warna tanaman atau pakan sebelum diensilasi. Saun dan Heinrichs (2008)
menambahkan bahwa warna silase dapat menggambarkan hasil dari fermentasi.
Dominasi asam asetat akan menghasilkan warna kekuningan sedangkan warna hijau
berlendir dipicu oleh tingginya aktivitas bakteri Clostridia yang menghasilkan asam
butirat dalam jumlah yang cukup tinggi.
Warna kecoklatan bahkan hitam dapat terjadi pada silase yang mengalami
pemanasan cukup tinggi atau terlampau ekstrim. Warna gelap pada silase
mengindikasikan silase berkualitas rendah (Despal et al., 2011). Warna coklat muda
diakibatkan karena hijau daun dari klorofil akan hancur selama proses ensilasi
(Umiyasih dan Wina, 2008) sedangkan warna putih mengindikasikan pertumbuhan
jamur yang tinggi.
Jamur yang sering ditemukan pada tanaman jagung yaitu Aspergilus dan
Fusarium. Mikotoksin yang sering ditemukan adalah Aflatoksin oleh jamur
Aspergilus flavus dan Fumonisin oleh jamur Fusarium. (Trung et al., 2008;
Tangendjaja et al., 2008). Nilai optimum bagian terkontaminasi jamur pada silase
menurut Davies (2007) sebesar 10%. Pertumbuhan jamur pada silase disebabkan
oleh belum maksimalnya kondisi kedap udara. Jamur-jamur akan aktif pada kondisi
aerob dan tumbuh dipermukaan silase (McDonald et al., 2002). Pembatasan suplai
oksigen yang kurang optimal berkaitan dengan ukuran partikel dari bahan.
9

Ukuran partikel yang lebih kecil akan menyediakan karbohidrat terlarut yang
lebih banyak sehingga bakteri asam laktat dapat lebih aktif dalam memproduksi asam
laktat sehingga konsentrasi asam laktat ikut meningkat (McDonald et al., 1991).
Akhirnya penurunan pH optimal dan pengawetan pakan lebih cepat tercapai.
Pencacahan dilakukan untuk mengurangi partikel bahan. Partikel yang lebih kecil
dapat mengubah pola fermentasi dengan mengubah laju kerusakan jaringan tanaman
dan memperbaiki proses fermentasi, melalui pengepakan yang lebih mudah dan
teratur sehingga lebih mudah dipadatkan. Kondisi ini akan meningkatkan area kontak
substrat dan mikroorganisme (Church, 1991).
Kualitas Berdasarkan Karakteristik Fermentatif
Nilai pH optimum silase yang berkualitas baik adalah 5,2 (Haustein, 2003). Saun dan Heinrichs (2008) menyatakan
bahwa silase tanaman jagung berkualitas baik akan menghasilkan pH pada kisaran
3,8-4,2. Tingginya kandungan karbohidrat terlarut dan rendahnya protein dapat
memicu penurunan pH. Kandungan protein tanaman yang rendah menyebabkan
kapasitas penyangga rendah sehingga pengasaman lebih mudah terjadi (Despal et al.,
2011). Cherney et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antar
karbohidrat larut air dan pH. Karbohidrat larut air dibutuhkan oleh bakteri asam
laktat hingga menyebabkan penurunan pH sampai 3,5 (Muck, 2011).
Nilai pH yang rendah akan menghambat pertumbuhan bakteri merugikan
seperti Clostridia dan juga menghentikan aktivitas enzim proteolitik tanaman yang
menyebabkan perombakan protein. Saat kondisi asam, asam laktat dan asam asetat
lebih mampu membatasi pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Muck, 2011).
Tingginya pH dapat dipicu oleh terpaparnya silase terhadap oksigen yang terlalu
lama, menyebabkan fermentasi aerob kembali terjadi. Saat kondisi aerob bakteri
asam laktat dan kapang (yeast) lebih banyak memfermentasi karbohidrat terlarut
menjadi CO2, H2O dan panas dibandingkan produksi asam sehingga menyebabkan
terjadinya pemanasan sekunder dan peningkatan suhu (Tabbaco et al., 2011).
Pertumbuhan Clostridia akan memfermentasikan karbohidrat terlarut menjadi
asam butirat yang akan menaikan derajat keasaman atau pH. Nilai pH yang tinggi
pada bahan berkadar air tinggi akan mengakibatkan perombakan protein yang cukup
10

tinggi akibat aktivitas proteolisis yang tinggi (Saun dan Heinrichs, 2008).
Perombakan protein yang tinggi menyebabkan menyebabkan pembusukan (Muck,
2011). Penurunan pH maksimal tidak hanya ditunjang oleh ketersediaan karbohidrat
terlarut namun juga oleh kandungan bahan kering bahan yang optimal (Johnson et
al., 2003).
Kandungan bahan kering yang mengindikasikan silase berkualitas baik
adalah silase yang terbuat dari bahan dengan kisaran BK 35%-40%. Kandungan
bahan kering