Tahapan Konflik dan Rekonsiliasi

R e k o n s i l a s i K o n f l i k A n t a r p e r g u r u a n . . . | 106 yang menghasilkan struktur-struktur yang mengkondisikan tindakan baik individu maupun kolektif mengarah ke kejahatan.

C. Tahapan Konflik dan Rekonsiliasi

Konflik berkembang dari fase latensi, eskalasi, terjebak, perbaikan, dan transformasi. Pada fase latensi perbedaan yang ada dapat diterima. Pada fase eskalasi komunikasi terhambat, kelompok-kelompok mengeras, dan sumber-sumber dikerahkan. Pada fase terjebak komunikasi putus, kekerasan meletus, terjadi segregasi sosial, pemenuhan kebutuhan dasar terhambat dan krisis terjadi. Pada fase perbaikan kejenuhan terhadap kekerasan dan kerinduan akan masa damai. Dan pada fase transformasi perdamaian dinilai mem- berikan penyelesaian masalah yang tidak cukup memuaskan. Tindakan rekonsiliatif tergantung fase konfliknya. Jika fase konfliknya masih laten, maka perlu dilakukan peace building dengan kegiatan-kegiatan pencegahan konflik. Di dalamnya setiap usaha menciptakan keadilan sosial menjadi sangat penting. Saat konflik memanas bereskalasi, maka pencegahan konflik harus ditingkatkan dengan berbagai kegiatan lintas komunitas. Jika konflik sudah mencapai puncaknya, terjebak atau entrapment, maka program humanitarian bisa dipergunakan untuk mengawali upaya-upaya rekonsiliasi seiring dengan tindakan keamanan untuk penghentian kekerasan. Gambar 1: Intensitas Konflik Sumber: Diadaptasi dari Craig Arendse, Robert Evans dan John C Nelson, Advanced Training for Mediation, SPP UKDW, Yogyakarta, 2000. Sasaran rekonsiliasi harus mencakup partisan tingkat elite, menengah dan grass roots dari kalangan pihak-pihak, stake- holder, pihak netral dan pihak yang rawan karena adanya konflik vulnerable groups. Kelompok terakhir ini perlu diperhatikan INTENSITAS PERBAIKAN Improvement TERJEBAK Entrapment ESKALASI Escallation LATENSI Latency TRANSFORMASI TRANSFORMASI Transformation WAKTU 107 | A g a s t y a V o l . 0 2 N o . 0 1 J a n u a r i 2 0 1 2 lebih serius untuk menarik mereka ke posisi netral. Yang berada di posisi netral dikem- bangkan menjadi kelompok inti rekonsiliasi untuk memperluas zona damai. Pengembangan kelompok inti bisa dilakukan dengan core group development approach. Kelompok inti adalah kelompok yang berisikan warga yang bisa menjadi peng- gerak. Kelompok ini dimampukan terlebih dahulu dalam porsi yang lebih besar, meskipun jumlah mereka biasanya sedikit saat konflik mencapai fase keterjebakan. Pembekalan yang lebih baik bagi kelompok inti dilakukan agar kompetensi dan kepercayaan pada diri mereka tumbuh agar yakin bahwa mereka dapat berbuat untuk memperbaiki keadaan. Setelah masyarakat jenuh karena jebakan konflik, maka upaya yang penting adalah pramediasi, yaitu mengajak partisan untuk menyelesaikan masalah bersama partisan lainnya di meja perundingan dalam bentuk negosiasi dan mediasi. Keduanya mempersyaratkan adanya kerjasama. Negosiasi adalah bertemu dan berunding- nya para partisan untuk menyelesaikan konflik mereka tanpa kehadiran mediator. Mediasi adalah bertemu dan berundingnya para partisan untuk menyelesaikan konflik mereka melalui seorang mediator dengan tanggung jawab penyelesaian tetap pada masing-masing partisan dan mediator lebih sebagai fasilitator bagi pihak-pihak tersebut. Negosiasi dan mediasi membutuhkan diubahnya perbincangan tentang posisi partisan yang semula berhadapan ke arah pembicaraan kepentingan yang sama. Jika kesamaan kepentingan tidak tercapai, maka pembicaraan ditarik ke arah kebutuhan yang sama, yang meliputi kebutuhan primer, yaitu pangan, sandang, papan, keamanan dan identitas. Cara mediasi bisa pula melalui sebuah diplomasi ulang alik yang dilakukan oleh mediator. Bisa pula dengan cara merancang sebuah naskah tunggal untuk didiskusikan oleh masing-masing partisan secara terpisah. Cara ini bisa dikombinasi dengan mengundang konferensi besar yang dihadiri oleh partisan, stakeholder partisan, dan pihak netral. Konferensi itu bisa diselenggarakan oleh pihak ketiga yang cakap dan memahami permasalahan konflik Judo Poerwowidagdo, 2001. Tujuan konferensi besar, seminar dan semacamnya adalah memperluas persepsi para pihak untuk melihat persoalan konfliktual dalam bingkai kepercayaan, paradigma dan pengalaman yang lebih luas.

D. Model Teoretik Rekonsiliasi

Dokumen yang terkait

PERAN PENDIDIKAN SEJARAH DALAM PENGEMBANGAN PENGAJARAN PENDIDIKAN MULTIKULTUR DI LPTK | Soebijantoro | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 121 215 1 SM

0 1 11

Tinjauan Teori Rekrutmen Pimpinan Daerah Dalam Dimensi Historis | Setiawati | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 709 1290 1 SM

0 0 16

RITUAL LARUNG SESAJI TELAGA NGEBEL PONOROGO (STUDI HISTORIS DAN BUDAYA) | Mitanto | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 1459 3071 1 SM

4 42 18

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KAMPUNG PECINAN DI KOTA MADIUN MASA ORDE HINGGA REFORMASI (STUDI SOSIAL-EKONOMI) | Putro | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 1467 3087 1 SM

1 9 24

CERITA SEJARAH DAN PENANAMAN NILAI-NILAI MORAL (STUDI KASUS DI DESA PANDEAN KECAMATAN MEJAYAN KABUPATEN MADIUN) | Ristiana | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 821 1515 1 SM

0 0 29

KEHIDUPAN DEMOKRASI INDONESIA DAN MASALAH GENDER (PERSPEKTIF SOSIO-HISTORIS) | Rahayu | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 826 1525 1 SM

0 1 8

SUA DARA SEBAGAI ALTERNATIF MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH IKIP PGRI MADIUN | Triana Habsari | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 886 1637 1 SM

0 1 18

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN SEJARAH LOKAL DI SMA KOTA MADIUN | Wibowo | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 880 1625 1 SM

0 1 12

SITUS NGURAWAN KECAMATAN DOLOPO KABUPATEN MADIUN (LATAR SEJARAH DAN UPAYA PELESTARIANNYA) | Fuadillah | AGASTYA: JURNAL SEJARAH DAN PEMBELAJARANNYA 1041 1925 1 SM

0 6 22

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KONFLIK ANTAR OKNUM PERGURUAN SILAT (Studi Fenomenologi Mengenai Konflik Antar Oknum Perguruan Silat di Kabupaten Madiun) | Firmansyah | SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant 8303 17394 1 SM

0 0 13