Kontribusi kebijakan. Konsep laba komprehensif mendasari spirit totalitas akuntansi untuk
merepresentasikan realitas ekonomik perusahaan secara utuh, tunggal, ideal dan universal. Tetapi, realitas ekonomi yang dikonsepsikan akuntan melalui totalitas itu mungkin tidak selalu
sejalan dengan realitas ekonomi yang dipersepsikan oleh non-akuntan. Jika hal ini yang terjadi, maka para pengambil kebijakan – khususnya penyusun standar akuntansi – perlu
mempertimbangkan aspek-aspek ”pragmatisme” dalam persepsi non-akuntan, dan tidak hanya mengutamakan aspek ”idealisme” akuntan dalam penyusunan standar akuntansi.
Kontribusi teoritis. Walaupun penelitian ini tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi atas
temuan, tetapi temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada tataran teoritis, yaitu melengkapi literatur-literatur akuntansi, khususnya yang berkaitan dengan
makna laba dalam ruang komunikasi. Jika penelitian ini menemukan bukti bahwa laba tidak memiliki referen pada realitas objektif, tetapi terbatas pada realitas konseptual atau bahkan
tidak merepresentasikan realitas apa pun pure simulacrum, maka tentu ada argumentasi lain yang perlu diungkap mengapa investor, kreditor serta pengguna lain masih memerlukan infor-
masi laba akuntansi dari waktu ke waktu.
2. PROBLEMA TEKS DAN PEMBACA TEKS AKUNTANSI Readability dan Understandability
Efek komunikatif merupakan sasaran penyampaian informasi dari penyedia informasi kepada pengguna informasi, sehingga ungkapan bahasa harus tepat sehingga maknanya dapat ditafsir-
kan sama persis dengan makna yang dimaksudkan. Oleh karena itu, teori akuntansi perlu dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek semantik makna bahasa ini. Aspek
semantik penting untuk dipertimbangkan karena informasi keuangan secara ideal harus memiliki kandungan infor-masi atau mengacu pada ”realitas” yang disepakati oleh penyedia
maupun pemakai informasi. Sehubungan dengan hal tersebut, Li 1972, 105 menyatakan bahwa sebagai sebuah sis-
tem bahasa, kandungan fakta factual content dari informasi akuntansi merupakan hal yang harus diutamakan, dan untuk itu, akuntansi harus membatasi kegiatannya pada deskripsi peris-
tiwa bisnis yang dapat diuji kebenarannya, yang disebut sebagai referents – yaitu peristiwa bisnis yang keberadaan dan besaran nilai keuangan yang menyertainya harus jelas batasannya.
Hal ini konsisten dengan harapan Lee 1982, 155 bahwa jangan sampai simbolisasi peristiwa dan objek yang semula dimaksudkan untuk menyederhanakan dan memudahkan proses ko-
6
munikasi, justru menimbulkan kesulitan dalam mengkomunikasikan informasi akuntansi tersebut lihat juga Preston et al. 1996, 121.
Problema semantik dalam pengkomunikasian informasi akuntansi seperti dikhawatirkan oleh Li 1972 dan Lee 2982 tersebut sebenarnya telah dibuktikan oleh Haried 1972.
Menurut Haried, problema semantik terjadi karena dua faktor, yaitu: 1 kata-kata words yang menjadi simbol bahasa teknis akuntansi ternyata memiliki makna berbeda dalam bahasa
sehari-hari atau memiliki makna yang berbeda dalam bidang lain di luar akuntansi; dan 2 standarisasi istilah terms yang digunakan dalam laporan keuangan kurang memadai untuk
merepresentasikan realitas. Smith dan Taffler 1992 serta Courtis 1998 mendukung temuan Haried 1972. Mereka
menemukan fakta bahwa akuntansi sebagai bahasa bisnis masih mengandung setidaknya dua problema utama, baik yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri maupun yang bersumber
dari pembaca teks akuntansi. Dengan ungkapan lain, Jones 1996, 86 menyebut dua pro- blema tersebut tersebut sebagai kemudahan untuk dibaca readability dan kemampuan untuk
memahami understandability
6
. Jones 1996, 86 menjelaskan, bahwa readability merupakan problema komunikasi infor-
masi akuntansi yang bersumber dari teks akuntansi itu sendiri, terutama karena adanya kom- pleksitas simbol kata maupun angka yang digunakan selama proses akuntansi hingga peng-
komunikasian laporan keuangan. Sebaliknya, understandability terfokus pada pembaca teks akuntansi, yang berarti bahwa kemampuan untuk memahami bahasa akuntansi tergantung
pada karakteristik pembaca, baik dalam hal latar belakang, pengetahuan yang dimiliki, tujuan membaca, kepentingan, serta kemampuan melakukan pembacaan secara umum.
Reifikasi dan Pygmalion Syndrome
Dalam praktik akuntansi, konsep laba komprehensif dijalankan berdasarkan asumsi akrual. Implikasi dari asumsi dasar akrual ini adalah, bahwa suatu transaksi atau peristiwa dibukukan
pengaruhnya terhadap aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan atau beban pada saat transaksi atau peristiwa itu terjadi tanpa mempertimbangkan apakah kas atau setara kas telah diterima
atau dibayarkan. Dengan berbasis akrual, catatan akuntansi tidak hanya merekam fakta terja- dinya arus kas sekarang, tetapi juga merekam potensi terjadinya arus kas di masa depan, serta
6
Adelberg 1983, 163 menganggap bahwa kata readability dan understandability memiliki makna yang sama, dan karenanya, ia menggunakan kedua kata itu secara bergantian. Jones 1996, 86 berpendapat bahwa meskipun kata
readability dan understandability dapat dimaknai sama dan digunakan secara bergantian, tetapi masing-masing kata ter- sebut terfokus pada dua hal yang berbeda, sehingga kedua kata itu masih dapat dibedakan maknanya. Kata readability
terfokus pada teks akuntansi, sedangkan understandability terfokus pada pembaca teks akuntansi.
7
konsekuensi dari arus kas di masa lalu. Fakta, potensi, dan konsekuensi tersebut seluruhnya dicatat sekarang, sehingga angka-angka yang tercantum dalam laporan keuangan sebagai
produk akuntansi – kecuali laporan aliran kas – seringkali menjadi sulit untuk dimengerti Chambers 1989, 7.
Pencatatan fakta, potensi dan konsekuensi dalam akuntansi akrual tersebut, yang secara keseluruhan diartikan sebagai realitas ekonomik, dijustifikasi terutama oleh prinsip ”substansi
mengungguli bentuk”. Substansi ekonomi lebih diunggulkan daripada bentuk hukum, karena substansi ekonomi dianggap dapat menggambarkan realitas ekonomik suatu transaksi, dan
dengan demikian, informasi akuntansi dianggap meyajikan secara jujur transaksi atau pe- ristiwa lain yang seharusnya disajikan.
Dampak dari spirit akuntansi akrual untuk merepresentasikan realitas ekonomik perusa- haan secara jujur serta menyajikan apa yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan
tersebut adalah timbulnya pygmalion syndrome Heath 1987, 1
7
. Dalam konteks akuntansi, istilah pygmalion syndrome sebenarnya bukan istilah baru, karena istilah ini merupakan idiom
dari istilah ”reifikasi” Heath 1987, 1. Ansari dan Euske 1987 menggunakan istilah reifi- kasi reification
8
untuk merujuk pada makna yang sama dengan makna pygmalion syndrome. Sebagai contoh reifikasi dalam akuntansi adalah cara berfikir tentang laba earnings. Dalam
konteks akuntansi berbasis akrual, akuntan seringkali mereifikasi laba. Misalnya, baik secara lisan maupun melalui tulisan, akuntan membuat pernyataan-pernyataan berikut: mendistribu-
sikan laba, menahan laba, menginvestasikan kembali reinvestment laba, membiayai pembe- lian peralatan pabrik dengan bagian laba, dan lain-lain. Implisit dalam pernyataan tersebut
adalah bahwa akuntan membayangkan seolah-olah ”laba” merupakan suatu benda things yang secara fisis dapat dibagi-bagikan, didistribusikan, disimpan, atau dibelanjakan. Dalam
akuntansi akrual, laba atau rugi hanyalah sebuah model konseptual, dan tidak dapat diobservasi atau diukur secara langsung.
7
Istilah pygmalion syndrome pada awalnya terdapat dalam ilmu fisika, khususnya dalam teori relativitas. Pygmalion syndrome menunjukkan kecenderungan seseorang untuk mengacaukan confuse antara model konseptual tentang sesuatu
atau peristiwa di dunia nyata dengan sesuatu atau peristiwa itu sendiri. Model konseptual adalah deskripsi, perhitungan dan persamaan matematis, atau analogi yang digunakan untuk menggambarkan secara sederhana tentang sesuatu atau peristiwa
yang tidak dapat diobservasi secara langsung Heath 1987, 1. Sebagai contoh, kalau suatu surat kabar memberitakan bahwa pada tahun 2007 jumlah kelahiran bayi di Indonesia rata-rata adalah 200 orang per hari, maka angka 200 merupakan
hasil perhitungan matematis sebagai penjelasan sederhana tentang jumlah kelahiran bayi yang sebenarnya tidak dapat diobservasi secara langsung setiap harinya. Jika seseorang berfikir bahwa benar-benar terjadi kelahiran bayi 200 orang per
hari, seolah-olah ia mengobservasi langsung kelahiran itu, maka ia dikatakan mengidap gejala pygmalion syndrome.
8
Secara etimologis, reification berasal dari bahasa latin “res” yang berarti “benda” atau “objek”, sehingga reify berarti ”membendakan” thingify lihat Heath 1987, 1. Reifikasi reification adalah berbicara atau berfikir tentang sesuatu
secara konseptual, tetapi membayangkan bahwa sesuatu itu adalah benda yang ada secara fisis dan dapat diobservasi secara langsung di dunia nyata.
8
Reifikasi atau pygmalion syndrome atas laba dapat menimbulkan problema dalam komu- nikasi informasi akuntansi. Problema ini mungkin tidak akan terjadi jika komunikasi dila-
kukan oleh mereka yang memahami rerangka konseptual akuntansi. Misalnya, ketika A ber- kata kepada B, ”Tahun lalu, PT X mendistribusikan 40 persen labanya”, tidak berarti bahwa
komunikasi ini bermasalah atau tidak efektif. Meskipun laba telah direifikasi oleh A, tetapi B faham bahwa laba yang tampak sebagai bottom-line dalam laporan laba-rugi tidak merepre-
sentasikan suatu benda kas yang dapat didistribusikan. B menyadari bahwa A hanyalah berbicara secara metaforis, yang bermaksud menyingkat ucapannya untuk mengatakan bahwa
PT X membagikan dividen tunai yang jumlahnya setara dengan 40 persen dari laba yang dilaporkan.
Jika akuntan mereifikasi laba pada saat berkomunikasi dengan pihak-pihak yang tidak memahami rerangka konseptual akuntansi, problema komunikasi akan terjadi. Tetapi,
problema komunikasi yang ditimbulkan oleh reifikasi atau pygmalion syndrome atas laba ternyata tidak hanya terjadi dalam berkomunikasi dengan non-akuntan, tetapi juga terjadi pada
diri akuntan sendiri Heath 1987, 3. Meskipun akuntan merepresentasikan peristiwa dalam dunia nyata melalui model akuntansi, tetapi mereka sendiri sering mengacaukan model
akuntansi tersebut dengan peristiwa yang ingin mereka representasikan. Heath 1987, 4 memberikan ilustrasi melalui sebuah cerita yang disebutnya sebagai old story tentang sebuah
perusahaan yang membeli mesin tulis typewriter berikut ini:
Ketika mesin tulis yang lama telah didepresiasi penuh, perusahaan ingin membeli lagi sebuah mesin tulis yang sama. Karena tipe mesin tulis yang lama tidak tersedia lagi di pasaran, maka terpaksa dibeli
sebuah mesin tulis bekas pakai dengan tipe dan kondisi yang persis sama dengan mesin tulis lama. Ketika ruangan kantor ditata kembali untuk mengakomodasi keberadaan mesin tulis ”baru” ini,
ternyata ruangan kantor terkesan makin sempit dan suasana dalam ruangan menjadi kurang sedap dipandang. Oleh karena itu, sebuah dari mesin tulis yang memiliki tipe dan kondisi sama tersebut
dibuang dibesituakan dan dimasukkan gudang oleh pegawai kantor. Akuntan terkejut ketika menge- tahui sebuah mesin tulis dibuang, kemudian ia bertanya, ”Mesin tulis mana yang kau buang?”. Setelah
memperoleh jawaban bahwa mesin tulis lama yang dibuang, akuntan berkata, ”Syukurlah kalau begitu, berarti saya tidak harus melaporkan kerugian bagi perusahaan”.
Dalam konteks old story di atas, akuntan telah gagal untuk menggunakan model atau konsepnya dalam merepresentasikan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Peristiwa yang
gagal direpresentasikan adalah ”kerugian” akibat membuang mesin tulis lama yang sebe- narnya masih memberikan manfaat bagi perusahaan. Dengan gejala pygmalion syndrome-nya,
akuntan telah mereifikasi kerugian sebagai kehilangan uang, bukannya kehilangan aset perusahaan berupa mesin tulis yang masih bermanfaat.
9
3. METODA PENELITIAN Hermeneutika Sebagai Pendekatan