Waktu pelepasliaran Teknik Pelepasliaran

35 1 Menerapkan pengaturan penangkapan kepiting bakau melalui ukuran, kondisi bertelur atau tidak dan jadwal penangkapan pada bulan tertentu dalam satu tahun; 2 Membuat tambak berbasis pasang surut untuk tempat pembesaran kepiting; 3 Melakukan budidaya penggemukan kepiting bakau menggunakan sistem keramba di muara sungai; 4 Mengenal dan memahami kepiting berukuran besar yang berpotensi ekonomi seperti kepongok Cardisoma sebagai sumber protein alternatif untuk memberi jeda waktu panen kepiting bakau; 5 Menjaga kelestarian vegetasi mangrove yang menjadi habitat fauna dan mencegah penebangan berlebih untuk pembukaan lahan ataupun pengambilan kayu untuk kebutuhan indutri dan rumah tangga; dan 6 Menjaga kebersihan kawasan pesisir agar ekosistem mangrove terhindar dari polusi berlebih. Sebagian besar masyarakat pesisir memahami fungsi hutan mangrove sebagai pelindung area pesisir agar daratan tidak tergerus akibat arus air laut. Pemahaman hutan mangrove sebagai tempat tinggal berbagai organisme hanya sebatas pengetahuan saja, sedangkan secara implementasi masih rendah. Berbagai sumber daya alam yang ada di dalam hutan mangrove di eksploitasi secara besar, namun pemulihannya kurang menjadi perhatian. Oleh karena itu, keberadaan kelompok masyarakat pengawas Pokmaswas dan pemimpin adat sangat penting dalam memantau dan menerapkan aturan secara tegas. Kedua komponen masyarakat ini juga berperan dalam memberikan pemahaman mengenai fungsi setiap bagian penyusun hutan mangrove, mulai dari mikroorganisme hingga vegetasi dan fauna berukuran besar. Pada akhirnya, kelestarian hutan mangrove dan isinya menentukan kelangsungan perputaran ekonomi masyarakat pesisir. 36 DAFTAR PUSTAKA Agus M. 2008. Analisis Carring Capacity Tambak pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau Scylla sp.di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro, Semarang. Avianto I, Sulistiono, I Setyobudiandi. 2013. Karakteristik Habitatdan Potensi Kepiting Bakau Scylla serrata, S.transquaberica, dan S.olivacea di Hutan Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya perairan. Aquasains. 97-106 p. Carpenter, Kent E., and Volker H. Niem. 1998. The Living Marine Resources Of The Western Central Pacific Volume 2: Cephalopods, crustaceans, holothurians and shark. Food And Agriculture Organization of the United States. Roma. Dell, Johann D., J.E. Johnson A.J. Hobday. 2011. Vulnerability of Tropical Pacific Fisheries and Aquaculture to Climate Change. Secretariat of the Pacific Community. Auckland. 386 pages. Estampador, E. P . 1949. Studies on Scylla Crustacea: Portunidae I. Revision of the genus. Philipp. J. Sci.781: 95-108. pls.1-3. Hubatsch H.A., Lee S.Y., Meynecke J.O., Diele K., Nordhaus I., Wolff M. 2015. Life-history, movement, and Habitat use of Scylla serrata Decapoda, Portunidae: Current Knowledge and Future Challenges. Journal of Hydrobiologia 2016 763:5-21. http:rajakepiting.comcara-pengiriman Ikhwanuddin, M., G. Azmie, H.M. Juariah, M.Z. Zakaria M.A. Ambak. 2011. Biological information and population features of mud crab, genus Scylla from mangrove areas of Sarawak, Malaysia. Fisheries Research 1082011: 299-306. Indonesian Wetlands. http:indonesia.wetlands.org InfolahanbasahSpesiesMangrovetabid2835languageid- IDDefault.aspx. Retrieved on October 21, 2016 Islam, M.S., K. Kodama H. Kurokura. 2010. Ovarian development of the mud crab Scylla paramamosain in a tropical mangrove swamps, Thailand. Journal of Scientific Research 22: 380-389. Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau: Pembenihan dan Pembesaran. Kanisius. Yogyakarta