KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI PERAIRAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG TESIS

Oleh ROSMANIAR 067030020/BIO KOLA C ASARJ A SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI PERAIRAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh ROSMANIAR 067030020/BIO SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

Judul Tesis : KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI PERAIRAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG

Nama Mahasiswa

: Rosmaniar

Nomor Pokok

Program Studi

: Biologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, MSc) (Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Dwi Suryanto, M.S) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)

Tanggal lupus : 17 September 2008

Telah diuji pada Tanggal 17 September 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D 3. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc

ABSTRAK

Penelitian mengenai Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang telah dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2008. Sampel diambil dari tiga stasiun pengamatan dan setiap stasiun dilakukan 30 kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan bubu dan indentifikasi dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian didapatkan kepiting bakau sebanyak 2 spesies yakni Scylla oceanica dan Scylla serrata yang berasal dari 1 genus. Nilai kepadatan tertinggi

terdapat pada spesies Scylla serrata sebesar 4,70 ind/m 2 (stasiun III) dan terendah sebesar 2,32 ind/m 2 (stasiun II).

Nilai indeks keanekaragaman kepiting bakau berkisar antara 0,52 – 0,61 dan keseragaman (ekuitabilitas) (E) berkisar 0,74 – 0,88. Indeks distribusi Scylla oceanica berkelompok dan Scylla serrata berkelompok. Hasil analisis korelasi dengan uji Pearson, antara kepadatan kepiting bakau dengan faktor fisik kimia, orthofosfat, koefisien korelasi searah sangat nyata (+) 1,000**. Sedangkan salinitas berkorelasi berlawanan (-) 0, 995.

Dengan mengacu kepada baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan dengan Surat Keputusan No. 51 Tahun 2004 didapatkan bahwa hasil pengukuran parameter faktor fisika kimia air ini masih berada dalam ambang batas ditolerir dan layak untuk kehidupan kepiting mangrove.

Kata kunci: Kepiting bakau, Faktor fisik kimia, Ekosistim pantai.

ABSTRACT

The research of “The Density and Distribution of Mangrove Crab’s (Scylla spp) and its correlation to chemical and physic water factors in Pantai Labu Estuary, Deli Serdang District, Pantai Labu Sub district was done on January until March 2008. The sample was taken in three ways research system, each system is holding in

30 times. The taking sample system decided by using Purposive Random Sampling. Sampling was taken by using Crab’s net 30’s and identified in laboratory of Natural and Environmental Resources Management Mathematic and Natural Science Faculty of North Sumatra University.

The result showed by getting two species of mangrove crab found. Those species are: Scylla oceanica and Scylla serrata comes from one gent. Scylla serrata

had the highest density in 4,70 ind/m 2 and getting in third way system while the lowest density in 2,32 ind/m 2 getting in second way system.

The diversity index prints of mangrove crabs between 0,52 – 0,61 and equitabilities (E) is between 0,74-0,88. The final result of correlation analysis of Pearson test between density of Scylla seratta and chemical factor. The comrades of correlation of orthofosfat coefficient is clear (+) 1,000**, while salinity of contrast correlation (-) 0,995.

Dealing to basic quality of water the sea which decided by the minister of environment in decree No. 51/2000. In this statement get the result of parameter measurement of the chemical and physic water factor is still tolerant rate and appropriate for the life of mangrove crabs.

Key word: Mangrove Crab, Chemical and physic water factor, Ecosystem shore

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang, atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Kepadatan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Hubungannya dengan Faktor Fisik dan Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc sebagai dosen pembimbing I, dan Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian sampai selesainya penyusunan hasil penelitian ini:

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan dan Dosen Penguji.

2. Prof. Dr. Zulkifli Nasution, M.Sc, Ph.D sebagai Dosen Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan hasil penelitian ini.

3. Seluruh Dosen dan Pengajar di Sekolah Pascasarjana Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara Medan yang telah membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.

4. Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Bappeda Sumatera Utara Medan yang telah memberikan beasiswa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Suami Jonatas Marpaung yang tercinta, dan anak-anak tersayang David Junior, Bronson, Puji Aprilia dan Tommy Clinton.

6. Ayahanda Lettu Pol (Purn) MB. Siallagan dan Ibunda E. Br Hutapea dan abang Salmon Marpaung SH, Dr. Bolovian Siallagan yang mewakili semua abang dan adik Ipda Pol Agusman Siallagan, Pince Marpaung.

7. Bapak Drs. H. Paimin, Kepala SMA Negeri 19 Medan dan semua guru keluarga besar SMA Negeri 19 Medan yang telah memberikan dorongan kepada penulis.

8. Teman-teman dalam tim penelitian dan adik-adik mahasiswa S1 Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberi kasih-Nya dalam kita mengejar ilmu dan semoga hasil ini bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih

Medan, Juli 2008 Penulis

Rosmaniar 067030020

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Padang Sidimpuan, Sumatera Utara pada tanggal 12 Februari 1961. Adapun riwayat pendidikan penulis adalah sebagai berikut:

1. Sekolah Dasar (SD) Negeri Bangun Bandar Dolok Masihul Kabupaten Deli Serdang dari tahun 1967-1973.

2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang dari tahun 1973-1976.

3. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang, dari tahun 1976-1980.

4. Tingkat Sarjana (S1) Jurusan Biologi IKIP Negeri Medan, dari tahun 1980-1984 (Memperoleh gelar Dra).

5. Tahun 2006 mendapat kesempatan belajar pada Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Biologi, dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Medan.

Riwayat pekerjaan adalah sebagai berikut:

1. Dari Tahun 1985-1987 sebagai pengajar di SMP dan SMA Swasta Mariana Medan.

2. Dari tahun 1988-1990 sebagai CPNS/PNS guru pada SMA Negeri Indrapura, Kabupaten Asahan.

3. Dari tahun 1990-2004 sebagai guru PNS pada SMA Negeri 9 Medan.

4. Dari tahun 2004 sampai sekarang sebagai PNS guru SMA Negeri 19 Medan.

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) ................................. 10

4.1. Satuan dan Tempat Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan ............................................................................. 31

5.1. Faktor Fisik Kimia Perairan, Rata-rata, Nilai yang Diperoleh pada Setiap Sasiun Penelitian di Perairan Muara Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang......................................................... 35

45

5.2. Klasifikasi Kepiting Bakau Hasil Penelitian ..........................

5.3. Hasil Penangkapan Kepiting Bakau........................................ 47

2 5.4. Nilai Kepadatan Populasi (KP ind/m ), Kepadatan Relatif (KR%) dan Frekuensi Kehadiran (FK%) di Setiap Stasiun

Pengamatan Penelitian ........................................................... 48

5.5. Nilai KR dan FK dan Nilai Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran yang Terdapat pada Masing-masing Stasiun Penelitian ............................................................................. 51

5.6. Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E’) pada Setiap Pengamatan Penelitian ................................................

52

54

5.7. Indeks Similaritas (IS) Antar Stasiun Penelitian ....................

5.8. Nilai Indeks Distribusi Morista pada Seluruh Pengamatan pada Ketiga Stasiun Penelitian ............................................... 54

5.9. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Kepadatan Populasi Kepiting Bakau dengan Faktor-faktor Lingkungan................

55

I. PENDAHULUAN

1.5 Latar Belakang Kawasan Pantai Labu, merupakan daerah estuaria dengan zona transisi antara dua lingkungan perairan, air asin dari laut selat Malaka dan air tawar dari sungai Pantai Labu. Lingkungan muara sungai dari pantai tersebut terdiri dari vegetasi mangrove.

Pada daerah tertentu di muara Pantai Labu didapati areal pemukiman penduduk dan aktivitas perekonomian diantaranya kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya), pertanian dan pariwisata. Selain dimanfaatkan untuk perekonomian, wilayah pesisir juga digunakan sebagai tempat membuang limbah dari berbagai aktivitas manusia, baik dari darat maupun di kawasan pesisir itu sendiri. Kegiatan tersebut memberikan dampak yang tidak diharapkan dari kondisi biofisik pesisir yang dikenal sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Namun wilayah pesisir juga kerap mendapat tekanan ekologis berupa pencemaran yang bersumber dari aktivitas manusia. Melimpahnya bahan pencemar tersebut di wilayah pesisir merupakan ancaman yang serius terhadap kelestarian perikanan laut.

Akibat penangkapan ikan oleh nelayan juga memberikan sumbangan bahan pencemaran yaitu karena tumpahan minyak dari tambatan kapal nelayan. Menurut Miller (1995) buangan yang mengandung minyak, baik disengaja maupun tidak disengaja akibat penambangan dan pengangkutan menimbulkan penurunan kualitas Akibat penangkapan ikan oleh nelayan juga memberikan sumbangan bahan pencemaran yaitu karena tumpahan minyak dari tambatan kapal nelayan. Menurut Miller (1995) buangan yang mengandung minyak, baik disengaja maupun tidak disengaja akibat penambangan dan pengangkutan menimbulkan penurunan kualitas

Ditinjau dari sudut pandang ekologi, kawasan pesisir merupakan sebuah ekosistem alami yang terbentuk puluhan tahun yang silam. Di samping fauna juga terdapat berbagai flora seperti bakau (Rhizophora sp), api-api (Avicenna sp), pedada (Sonneratia sp), tanjang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), tengar (Ceriops sp), buta-buta (Exoecaria sp) yang umumnya dijumpai di pesisir Indonesia. Adanya tumbuhan mangrove memberi perlindungan dan dukungan bagi kehidupan fauna di dalamnya (Dahuri, 2004).

Fauna mangrove hidup pada substrat dengan cara berendam dalam lubang lumpur, berada di permukaan substrat, ataupun menempel pada perakaran pepohonan. Ketika air surut mereka turun untuk mencari makan. Peristiwa pasang surut membantu terjadinya proses dekomposisi melalui pelapukan.

Menurut Kasry (1996), hutan mangrove adalah merupakan tempat berpijah (spawning ground), mencari makan (feeding ground), pembesaran (nursery ground), dan tempat perlindungan. Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan spesies yang khas di kawasan hutan mangrove (Soim, 1999). Menurut Macnae (1968) dalam Sulaeman et al. (1993), kepiting bakau hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi mangrove.

Ketersediaan berbagai jenis biota laut seperti kepiting, ikan, udang, kerang dan berbagai jenis lainnya terdapat pada ekosistem hutan tropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara serta dipengaruhi oleh pasang surut dengan variasi lingkungan yang besar dari hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dan berpotensi tinggi untuk dimanfaatkan. Telah disadari bahwa kawasan hutan mangrove bukan sekedar penghasil sumberdaya hutan, tetapi juga sangat berperan dalam menunjang sumberdaya perikanan. Nontji (2005) dan Mulya (2000) menyatakan salah satu hasil perikanan pantai bernilai ekonomi tinggi dan mendiami ekosistem mangrove adalah kepiting bakau (Scylla spp).

Kepiting bakau mempunyai nilai ekonomi tinggi karena sangat digemari masyarakat dan termasuk salah satu diantara komoditas perikanan penting di wilayah Indo Pasifik. Hewan ini memiliki daging dan telur dengan kandungan protein yang cukup tinggi (Delman, 1972 dalam Noor et al, 1992).

Selain itu pada kawasan Pantai Labu ini terjadi konflik kepentingan berupa pengkonversian lahan, menyebabkan terjadinya perubahan peruntukan kawasan hutan mangrove, sehingga berdampak terjadinya perubahan fungsi ekologis maupun ekonomisnya. Berkembangnya pangsa pasar kepiting bakau baik di dalam maupun di luar negeri adalah suatu tantangan untuk meningkatkan produksi secara berkesinambungan. Bila hal ini terus berlangsung tanpa dicari alternatif pencegahannya, akan berakibat terjadinya degradasi kawasan yang secara tidak langsung berdampak terhadap penurunan populasi kepiting bakau di kawasan muara Pantai Labu sehingga akan susah dicari dan ditemukan di masa mendatang.

Penelitian mengenai kepiting bakau masih sedikit dilakukan, informasi mengenai keberadaannya seolah hilang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan informasi dan data-data mengenai aspek ekologis terutama menyangkut kehidupan kepiting bakau yang terkait dengan aspek budidaya di masa depan. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisik kimia di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.

1.6 Permasalahan

1. Bagaimana hubungan berbagai aktifitas masyarakat terhadap kepadatan dan distribusi kepiting bakau di perairan Pantai Labu, khususnya di daerah aliran tambak, muara, dan mangrove.

2. Bagaimana hubungan sifat fisik kimia perairan, terhadap kepadatan dan distribusi kepiting bakau khususnya di daerah aliran tambak muara dan mangrove.

1.7 Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kepadatan dan distribusi kepiting bakau (Scylla spp) serta hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan.

1.8 Manfaat Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Sebagai informasi awal mengenai kepadatan kepiting bakau (Scylla spp) dan distribusinya serta hubungannya dengan faktor fisik dan kimia air di kawasan muara Pantai Labu.

2. Sebagai masukan bagi instansi terkait dalam mengelola hutan mangrove dan usaha budidaya kepiting bakau (Scylla spp)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp) Kepiting bakau (Scylla spp) di berbagai daerah dikenal dengan berbagai nama.

Masyarakat Jawa mengenalnya dengan nama kepiting saja, sedangkan Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal dengan nama kepiting batu, kepiting cina dan kepiting hijau. Kepiting bakau juga lebih dikenal dengan nama kepiting lumpur (Kasry, 1996).

2.1.1 Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla spp)

Famili Portunidae merupakan famili kepiting bakau yang mempunyai lima pasang kaki. Pasangan kaki kelima berbentuk pipi dan melebar pada ruas terakhir. Klasifikasi kepiting bakau (Scylla spp) menurut (Kasry, 1996) adalah sebagai berikut: Filum

Sub Ordo

Sub Famili

: Scylla spp

2.1.2 Ciri-ciri Morfologi Kepiting Bakau

Deskripsi kepiting bakau (Scylla spp) menurut Moosa et al. (1985), karapas pipih atau agak cembung berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatan, tepi anterolateral bergigi lima sampai sembilan buah. Dahi lebar terpisah dengan jelas dari sudut intra orbital, bergigi dua sampai enam buah, sungut kecil (antennulae) terletak melintang atau menyerong, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama dua ruas terakhir, dan mempunyai tiga pasang kaki jalan. Morfologi kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2.

Carapace

Sumber: www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm

Gambar 2.1. Morfologi Kepiting Bakau (Dilihat dari Dorsal)

Sumber: www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm

Gambar 2.2. Morfologi Kepiting Bakau (Dilihat dari Ventral)

2.1.3 Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp)

Moosa, et al, (1985) membagi genus Scylla spp dalam tiga spesies dan satu varian, antara lain Scylla serrata (First crab), Scylla oceanica (dana), Scylla transquabarica (Fatricius) dan Scylla serrata var paramamosin.

a. Scylla serrata, warna hijau coklat sampai kemerah-merahan seperti karat.

b. Scylla oceanica, warna kehijauan menuju keabu-abuan hampir seluruh bagian tubuh kecuali bagian perut.

c. Scylla transquebarica, berwarna kehijauan buah zaitun agak hitam dengan sedikit garis coklat pada kaki renangnya.

d. Scylla serrata varparamamosain warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keungu-unguan/keabu-abuan.

Ketiga spesies dan satu varian dapat dilihat pada Gambar 2.3 sebagai berikut:

Scylla oceanica Scylla serrata

Scylla tranquebarica Scylla serrata var paramamosin

Gambar 2.3. Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp)

Dalam membedakannya, Estampador (1949) dalam Watanabe, et al, (1996) mempergunakan warna, bentuk seperti huruf H pada karapas, bentuk bergigi depan karapas, bentuk duri pada fingerjoint dan berbentuk rambut (setae) sebagai faktor pembeda utama. Kasry (1996) membuat ciri-ciri kepiting bakau adalah karapas berwarna sedikit kehijauan, di antara kiri kanan tungkai matanya terdapat enam buah duri, capit kanannya lebih besar dari capit kiri dan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki pejalan dan satu pasang kaki perenang yang terdapat pada ujung abdomen, dilengkapi alat pendayung. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp)

Scylla serrata Spesifikasi

Warna Hijau Hijau buah Hijau coklat Coklat abu-abu menuju hijau zaitun

merah

keabu-abuan

seperti karat

Bentuk seperti Dalam Dalam Tidak begitu Tidak begitu huruf H pada

dalam karapas

dalam

Sedang depan karapas

Bentuk gerigi -

Tumpul

Bentuk duri pada Kedua duri

- fingerjoint

Kedua duri

Duri tidak

jelas dan

jelas dan satu ada berubah

satu agak

agak tumpul

Bentuk Melimpah - Hanya pada - rambut/setae

pada karapas

daerah hepetik

2.1.4 Perbedaan Morfologi Jantan dan Betina Kepiting Bakau (Scylla spp)

Menurut Moosa et al. (1985), dalam membedakan jenis kelamin kepiting bakau jantan dan betina dapat dilakukan dengan mengamati bentuk luar tubuhnya. Pada kepiting jantan tempat di mana organ kelamin menempel pada bagian perutnya berbentuk segi tiga agak meruncing, dan kepiting betina bentuk organ kelaminnya cenderung berbentuk segi tiga yang relatif lebar dan bagian depannya agak tumpul. Selain dengan memperhatikan bentuk perutnya, untuk membedakan antar kepiting jantan dan kepiting betina dapat dilakukan dengan melihat ruas-ruas abdomennya, pada kepiting jantan ruas abdomennya sempit sedangkan pada kepiting betina lebih lebar, seperti pada Gambar 2.4. berikut:

Betina Jantan

Sumber: www.hk-fish.net/eng/database.crabs/stovetural-htm

Gambar 2.4. Perbedaan Kepiting Jantan dan Kepiting Betina

2.2 Habitat dan Perkembangannya Kepiting Bakau

Menurut Kasry (1996) kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari perairan pantai keperairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya berusaha kembali ke perairan pantai, muara, sungai, atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri. Arriola (1940) dan Hill (1974) dalam Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan bakau dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya yang betina akan beruaya ke laut menjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, sedang kepiting jantan yang melakukan perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, sela-sela akar bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian perairan berlumpur yang makanannya berlimpah.

Menurut Kordi (1997) kepiting diperkirakan menghasilkan dua ribu sampai delapan ribu telur tergantung dari ukuran dan umur dari kepiting betina yang memijah. Pemijahan kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, namun kegiatan bertelur pada setiap perairan tidak semua pemijahan berlangsung pada dasar Menurut Kordi (1997) kepiting diperkirakan menghasilkan dua ribu sampai delapan ribu telur tergantung dari ukuran dan umur dari kepiting betina yang memijah. Pemijahan kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, namun kegiatan bertelur pada setiap perairan tidak semua pemijahan berlangsung pada dasar

2.3 Siklus Hidup Kepiting Bakau Menurut Budiraharjo, et al. (1991), pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun. Pada umur 12-14 bulan kepiting sudah dianggap dewasa dan dapat dipijahkan. Sekali memijah kepiting mampu menghasilkan jutaan telur.

Menurut Boer, et al. (1993) kepiting bakau (Scylla spp) terjadi beberapa fase dalam pertumbuhannya, antara lain fase zoea, megalopa, kepiting muda dan selanjutnya kepiting dewasa. Selain itu, jenis kepiting ini juga mengalami beberapa kali proses pergantian kulit (moulting). Setiap proses tubuhnya akan tumbuh menjadi lebih besar. Selama siklus hidupnya kepiting bakau menempati dua macam habitat yaitu air payau masa juvenil (kepiting muda) sampai dewasa, dan air laut masa pemijahan sampai megalova, seperti Gambar 2.5 berikut ini:

Sumber: www.dpi.qld.gov.au/extra/pdf/fishweb/mudcrab.pdf

Gambar 2.5. Siklus Hidup Kepiting Bakau

Menurut Kasry (1996) berdasarkan daur hidup kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya diperkirakan melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat

pertama kali kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25 O C-27 C dan

0 salinitas 29 0 /

00 -33 / 00 dan secara gradual salinitas dan suhu air ke arah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru berganti kulit dari megalova yang

memasuki muara sungai dapat mentolerir salinitas air yang rendah (10-24 0 /

00 ). Tingkat zoea berlangsung lebih kurang 3-4 hari berganti kulit sebelum menjadi tingkat selanjutnya. Tingkat megalova berlangsung selama 11-12 hari pada salinitas 29-33% sebelum berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Bila salinitas air

0 lebih rendah (21 0 /

00 -27 / 00 ), periode megalova di alam bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau (brackish water).

2.4 Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) Menurut Kasry (1996), kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi tropis. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari pantai Selatan dan Timur Afrika Selatan. Mozambik, terus ke Iran, Pakistan, India, Srilanka, Bangladesh, pulau-pulau di Lautan Hindia, negara-negara ASEAN, Kamboja, Vietnam, Cina, Jepang, Taiwan, dan Philipina. Juga ditemukan di Lautan Pasifik mulai dari kepulauan Hawai di Utara sampai ke Selandia Baru dan Australia di Selatan.

Pada umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan mangrove sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau atau mangrove Pada umumnya kepiting ini banyak ditemukan di daerah hutan mangrove sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau atau mangrove

2.5 Makanan dan Kebiasaan Makan Dalam hutan mangrove biasanya kepiting bakau yang lebih besar menyerang

kepiting yang lebih kecil, dan melumpuhkannya dengan merusak umbai-umbai, kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan dan mengambil bagian- bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Menurut Arriola (1940) dalam Moosa et al. (1985) kepiting bakau adalah organisme pemakan segala bangkai (omnivorous – scavenger) dan pemakan sesama jenis (cannibal).

Hill (1976) dan Hutching dan Sesanger (1987) menyatakan kepiting bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan krustase. Selanjutnya Hutching dan Sesanger (1987) mengatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumathphore). Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkan menyerang musuh dengan ganas dan merobek makanannya. Menurut Kasry (1996) sobekan-sobekan makanan Hill (1976) dan Hutching dan Sesanger (1987) menyatakan kepiting bakau dewasa juga merupakan pemakan organisme bentos atau organisme yang bergerak lambat seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing, jenis-jenis gastropoda dan krustase. Selanjutnya Hutching dan Sesanger (1987) mengatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumathphore). Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkan menyerang musuh dengan ganas dan merobek makanannya. Menurut Kasry (1996) sobekan-sobekan makanan

Sirait (1997) mengatakan larva kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva tingkat zoea. Makanan terdiri dari berbagai jenis organisme planktonik seperti diatom, chlorella, rotifer, larva echinodermata, larva berbagai moluska dan cacing.

2.6 Ekologi Wilayah Pesisir Menurut Supriharyono (2000) batasan wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia yaitu batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atas batasan terluar dan daerah paparan benua. Ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi oleh erosi aliran air tawar maupun proses kegiatan manusia baik berupa penggundulan hutan dan pencemaran.

Nybakken (1992) mengatakan, perbedaan antara pesisir pantai dengan perairan lepas pantai benar-benar mencolok. Produktivitas perairan pantai sepuluh kali produktivitas perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan terutama oleh tingginya kadar zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan perairan lepas pantai.

Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal. Kawasan pesisir pantai merupakan sebuah habitat peralihan antara darat dan perairan laut maupun sungai. Pada kawasan ini terdapat Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal. Kawasan pesisir pantai merupakan sebuah habitat peralihan antara darat dan perairan laut maupun sungai. Pada kawasan ini terdapat

Dari sebagian besar garis pesisir pantai Sumatera merupakan hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan nama kolektif untuk vegetasi pohon yang menempati pantai berlumpur. Fauna dalam endapan berlumpur menunjukkan keragaman yang cukup besar. Makhluk yang paling banyak terdapat pada hamparan lumpur adalah kepiting bakau (Mackinnon, et al. 2000).

2.7 Parameter Fisik, Kimia Air dan Substrat terhadap Perkembangan Kepiting

Bakau

Kepiting bakau di hutan mangrove menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia pertumbuhan dan penyebaran hidupnya. Untuk dapat mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau perlu diketahui pertumbuhan kepiting bakau dari parameter fisik kimia air dan substrat dimana organisme itu berada, antara salinitas, suhu (suhu air), derajat keasaman (pH), kandungan oksigen terlarut (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), dan kandungan bahan organik (Kasry, 1996).

2.7.1 Salinitas

Salinitas acapkali disebut kadar garam atau kegaraman yang maksudnya ialah jumlah berat semua garam yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan

satuan 0 /

00 (permil, garam per mil) (Nontji, 2005). Menurut Hill (1976), salinitas 00 (permil, garam per mil) (Nontji, 2005). Menurut Hill (1976), salinitas

Queensland Departement of Primary Industries (1989), melaporkan walaupun kisaran salinitas ideal untuk pertumbuhan kepiting bakau, belum dapat ditentukan, namun diketahui bahwa larva zoea sangat sensitif dengan kondisi perairan yang bersanilitas rendah. Kasry (1996), mengatakan sebaliknya kepiting bakau dewasa

kawin dan mematangkan telurnya pada perairan yang mempunyai salinitas 15 0 /

00 walaupun belum diketahui pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya. Queesland Departement of Primary Industries (1989) menyebutkan perubahan salinitas mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme kepiting bakau (Scylla spp) dan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas. (Anwar et al. 1984) menyatakan, kepiting bakau akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. (Soim,

1999) kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 0 /

00 atau digolongkan ke dalam air payau.

2.7.2 Derajat Keasaman (pH)

Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral (Odum, 1998). Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai pH yang netral (Odum, 1998). Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan

2.7.3 Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO)

Silih bergantinya masuknya air laut dan air tawar ke dalam perairan estuaria, bersama-sama dengan kedangkalannya, pengadukannya dan pencampurannya oleh angin, biasanya menyebabkan persediaan oksigen cukup di dalam perairan tersebut (Nybakken, 1992). Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali, dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh suhu. Kelarutan maksimum oksigen dalam air terdapat pada suhu

2 (Barus, 2001). Menurut Kordi (1997), kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 4 mg/liter.

0 o C, yaitu sebesar 14,6 mg/liter O

2.7.4 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang dihasilkan dalam waktu lima hari. Jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen yang dihasilkan dalam waktu lima hari. Jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah

oksigen selama periode lima hari berkisar sampai 5 mg/liter O 2 . Apabila konsumsi oksigen berkisar antara 10-20 mg/liter O 2 menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik tinggi (Bower, et al. 1990).

2.7.5 Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik di perairan. Pengukuran COD dilakukan karena dalam bahan sering ditemukan bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara biologis dan hanya dapat diuraikan secara kimiawi. Kadar COD yang tinggi dapat mempengaruhi berkurangnya mikroorganisme perairan (Bower, 1990).

2.7.6 Nitrit (NO 2 – N)

Stickney (1979) berpendapat bahwa nitrit merupakan bentuk nitrogen yang tidak disukai setelah amoniak dalam sistem budidaya perairan. Perairan yang tercemar biasanya mengandung nitrit hingga 2 mg/l, selain itu kadar nitrit antara 0,5 –

5 mg/l membahayakan kehidupan organisme.

2.7.7 Nitrat (NO 3 – N)

Nitrat adalah zat nutrisi yang merupakan produk akhir dari penguraian mikroorganisme. Mikroorganisme mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan akhirnya menjadi nitrat, penguraian ini dikenal sebagai nitrifikasi (Borneff, 1982)

2.7.8 Fosfat

Fosfat merupakan nutrient yang paling penting dalam menentukan produktivitas perairan. Keberadaan fosfat di perairan dengan segera dapat diserap oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita (Stickney, 1979).

2.7.9 Suhu

Menurut Nontji (2005), suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan. Data suhu dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik di dalam laut serta kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Menurut Hill et al. (1989) dan Queensland Department of Primary Industries (1989), suhu mempengaruhi pertumbuhan, aktivitas dan nafsu makan

kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20 o C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau turun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan

berhenti. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu untuk dewasa menjadi singkat. Menurut Hill berhenti. Apabila suhu di permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu untuk dewasa menjadi singkat. Menurut Hill

didapatkan pada kisaran suhu 24 o C-28

C, di perairan hutan mangrove ujung Alang,

Cilacap kepiting bakau didapatkan pada kisaran suhu 26,5 o C-35 C (Hutasoit, 1991).

2.7.10 Kecerahan

Selama periode pasang surut maupun pada periode pasang naik menunjukkan bahwa adanya perbedaan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu, di mana pada waktu pasang surut pengaruh daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih rendah sedangkan pada waktu pasang naik laut memiliki kecerahan lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi perairan, juga dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi permukaan perairan sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya (Nontji, 2005).

2.7.11 Pasang Surut

Pasang surut terjadi karena interaksi antara gaya tarik (gravitasi) matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi dan sistem bulan. Akibat gaya-gaya ini, air samudera tertarik ke atas, naik turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal (Nybakken, 1992).

2.7.12 Padatan Terlarut Total atau Total Dissolved Solid (TDS)

Nilai Padatan Terlarut Total mencerminkan banyaknya zat-zat padat yang terlarut dalam suatu contoh air, semakin tinggi jumlah zat padat yang terlarut dalam air maka sifat transparansi air akan berkurang sehingga menurunkan produktivitas air (Levinton,1982). Semakin tinggi zat-zat padat terlarut dalam air akan mengakibatkan kekeruhan. Kekeruhan dapat terjadi karena organisme, bahan-bahan tersuspensi yang berwarna dan ekstrak senyawa-senyawa organik, serta tumbuh-tumbuhan (Barus, 1996).

2.7.13 Kadar Minyak dan Lemak

Menurut Miller (1995) tinggi-rendahnya kadar minyak di perairan dipengaruhi oleh arus air laut dan banyaknya pencemaran yang terjadi di sekitar pantai dari hutan mangrove. Bila diperhatikan kadar minyak yang ditemukan baik pada periode pasang surut maupun pada periode pasang naik berfluktuasi.

2.7.14 Kandungan Bahan Organik

Substrat di sekitar hutan mangrove didominasi oleh lumpur. Hal ini kemungkinan ada hubungan dengan sifat kepiting, di mana pada substrat ini kepiting lebih mudah membenamkan diri. Di samping substrat lumpur kemungkinan lebih banyak mengandung sumber makanan, seperti jenis-jenis organisme sesil (Gunarto, 1987).

Menurut Anwar et al. (1984) hutan mangrove merupakan ekosistem produktivitas yang cukup tinggi. Noor et al. (1992) menyatakan kebanyakan produktivitas mangrove masuk ke dalam sistem energi sebagai bahan pelapukan atau bahan organik yang mati. Substrat mangrove memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sekitar 62% di samping itu juga menghasilkan detritus yang banyak.

III. DISKRIPSI AREA

3.3 Deskripsi Area Kawasan Muara Pantai Labu terletak di Desa Pantai Labu Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara secara geografis berada

30 o 40,9” LU dan 98 54’30,7” BT. Sebelah Utara Muara Pantai Labu, berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pantai Cermin

Kabupaten Sergai, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Beringin, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Batang Kuis (Badan Pusat Statistik, 2005).

Penelitian ini dilakukan di kawasan Muara Pantai Labu, sebagian besar di Muara Sungai dan di daerah perairan mangrove di mana sepanjang pantai ditumbuhi vegetasi mangrove. Perairan ini banyak dipergunakan untuk kegiatan masyarakat seperti tempat permukiman, pertambakan, dan tempat pertambatan kapal- kapal nelayan (Peta Lokasi dapat dilihat di Lampiran A).

3.4 Diskripsi Stasiun Pengamatan Titik olah (objek) penelitian ditentukan di kawasan Perairan Pantai Labu. Ditetapkan 3 stasiun pengamatan, antara lain:

1. Stasiun I, tambak dijadikan sebagai aliran dari pembuangan limbah tambak udang dan tempat pemberhentian kapal-kapal nelayan dan tempat pemukiman penduduk. Tipe substrat dasarnya berlumpur.

2. Stasiun II, berada di sekitar muara Sungai Pantai Labu, tepatnya berada pada sekitar daerah pariwisata, dengan tipe substrat dasarnya berlumpur dan pasir halus.

3. Stasiun III, berada di sekitar kawasan mangrove yang tepatnya pada perairan hutan mangrove di sepanjang pantai yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Tipe substrat dasarnya berlumpur.

IV. BAHAN DAN METODE

4.6 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Perairan Pantai Labu Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai bulan Maret 2008.

4.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk penentuan lokasi dan dalam pengambilan sampel dengan menggunakan Purposive Random Sampling pada tiga stasiun pengamatan antara lain: Stasiun I di daerah aliran tambak dan pemukiman dan penambatan kapal nelayan, Stasiun II di kawasan muara sungai, Stasiun III di kawasan hutan mangrove.

4.8 Pengambilan Sampel Untuk mendapatkan data-data yang dibutuhkan terlebih dahulu ditetapkan sampel. Pengambilan sampel kepiting bakau dilaksanakan dengan memakai perangkap kepiting bakau yang disebut dengan bubu, dengan ukuran tinggi 14 cm dan

garis menengah lingkaran 42 cm (luas bubu 0,4884 m 2 ). Gambar sketsa bubu pada Lampiran G. Dasar umpannya berupa ikan belanak. Pada setiap stasiun pengamatan,

masing-masing stasiun dipasang 30 bubu sebagai ulangan. Pemasangan bubu masing-masing stasiun dipasang 30 bubu sebagai ulangan. Pemasangan bubu

4.9 Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan dan Substrat Setelah diperoleh sampel kepiting bakau (Scylla spp), pengukuran parameter fisik kimia perairan dan substrat dilakukan di lapangan. Untuk fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil sampel substrat, lalu di kering anginkan, dan dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dianalis berdasarkan persentase ukuran butiran. Pengukuran dilakukan sesuai komposisi penempatan bubu.

1. Suhu

Sampel air diambil dari dasar perairan dengan menggunakan ember, dituang ke dalam erlenmeyer dan diukur suhu dengan menggunakan termometer air raksa dengan memasukkannya ke dalam air selama ± 10 menit kemudian skalanya dibaca.

2. Kecerahan

Kecerahan diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping seechi tidak kelihatan dan diukur panjang talinya yang masuk ke dalam air.

3. Jenis Substrat

Jenis Substrat ditentukan dengan cara mengambil sampel substrat dari dasar perairan, dibawa ke Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk ditentukan fraksi substratnya.

4. pH (Derajat Keasaman)

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.

5. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (DO) diukur dengan menggunakan metode winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler, dilakukan pengukuran oksigen terlarut (Lampiran B).

6. BOD 5 Pengukuran BOD 5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Analisis BOD 5 dilakukan di Laboratorium PSDAL Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara (Lampiran C).

7. Chemical Oxygen Demand (COD)

Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

8. Kandungan Organik Substrat

Diukur dengan menggunakan metoda analisis abu, substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 g dan dimasukkan ke dalam oven suhu 45 o C sampai

beratnya konstan (2-3 hari). Substrat yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu 45 o C

agar substrat benar-benar kering. Substrat ditimbang 25 g dan diabukan dalam tanur dengan suhu 700 o C selama 3,5 jam. Substrat yang tertinggal ditimbang berat

akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:

KO =

dengan : KO

= Kandungan Organik

A = Berat Konstan Substrat

B = Berat Abu Analisis di Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara.

9. TDS (Total Disolved Solute)

Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan ember, lalu air diukur dengan menggunakan Conductivity meter.

10. Kandungan Amoniak (N-NH 3 )

Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran amoniak dilakukan dengan metoda spektofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

11. Kandungan Nitrat (N-NO 3 )

Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran nitrat dilakukan dengan metoda spektofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

12. Kandungan Nitrit (N-NO 2 )

Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran nitrit dilakukan dengan metoda spektofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

13. Kandungan Klorida (Cl) Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran klorida dilakukan dengan metoda titrimetri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

14. Kandungan Minyak dan Lemak Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Pengukuran kandungan minyak dan lemak dilakukan dengan metoda Partisi- ravitimetri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

15. Kandungan Fosfat Sampel air diambil dari perairan dengan menggunakan botol sampel. Kandungan fosfat diukur dengan metoda spektrofotometri di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan.

Satuan dan tempat pengukuran parameter fisik kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Satuan dan Tempat Pengukuran Parameter Fisik Kimia Perairan

Lokasi Fisik

Parameter

Metode dan Alat Ukur

1. o Suhu ( C)

Potensiometer, Thermometer

Lapangan

2. Kecerahan (cm) Visual (Keping Seechi)

Lapangan

Kimia

4. pH (mg/l) pH meter/kertas indikator

Lapangan

5. DO (mg/l)

Metode Winkler/Trimetri

Laboratorium

6. BOD (mg/l) Metode Winkler/Tirimetri

Laboratorium

7. COD (mg/I) Refluks-Titrimetri

Laboratorium

8. Klorida (Cl-) Titrimetri

Laboratorium

9. Minyak (mg/l)

Partisi-Gravimetri

Laboratorium

10. N-NH 3 (mg/l)

Spektrofotometri

Laboratorium

11. N-NO 2 (mg/l)

Spektrofotometri

Laboratorium

12. N-NO 3 (mg/l)

Spektrofotometri

Laboratorium

13. TDS (mg/l) Timbangan elektronik

Laboratorium

14. KO Substrat (%)(w/w) Gravimetri

Laboratorium

15. Ortofosfat (mg/l) Spektrofotometri

Laboratorium

4.10 Analisis Data

Jenis kepiting bakau dan masing-masing jenis dihitung kepadatan, kepadatan relatif, frekwensi, kehadiran, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas, analisis korelasi dan indeks distribusi Morista sebagai berikut:

1. Kepadatan

ni K =

A Dengan : K = Kepadatan suatu jenis Ni = Jumlah Individu suatu jenis

A = Luas Area (Brower et al. 1990)

2. Kepadatan Relatif

ni KR = × 100 % N

Dengan : ni = Jumlah individu N = Total seluruh individu

(Brower et al. 1990)

3. Frekwensi Kehadiran (FK)

Jumlah Individu Suatu Jenis FK =

Jumlah Plot yang Ditempati Suatu Jenis Dengan : FK 0 – 25%

= Sangat Jarang

25 – 50% = Jarang

50 – 75% = Banyak > 75%

= Sangat Banyak

(Krebs, 1985)

4. Indeksi Keanekaragaman Shanon – Wienner (H’)

H ' = pi ln pi ∑

Dengan : H = Indeks Keanekaragaman Shannon – Wienner Pi

= ni/N (Perbandingan Jumlah Individu suatu Jenis dengan Seluruh Jenis)

Ln = Logaritma Natural

5. Indeks Ekuitabilitas (E)

H max

Dengan : H 1 = Indeks Keanekaragaman Shannon – Wienner (H )

H max = Indeks Keanekaragaman Maximum (Odum, 1998)

6. Indeks Similaritas (IS)

2 C IS = × 100 %

a + b Dengan : IS = Indeks Similaritas

A = Jumlah Spesies pada Lokasi A

B = Jumlah Species pada Lokasi B

C = Jumlah Spesies yang sama pada Lokasi A dan B

7. Indeks Distribusi Morista

Dengan : N

= Jumlah Seluruh Plot

X = Jumlah Individu pada Setiap Plot 1–0 = Distribusi Spesies tersebut Random/Acak

1>0 = Distribusi Spesies tersebut Berkelompok 1<0 = Distribusi Spesies tersebut Seragam

Bengen, 1998 dalam Mulya, 2000

8. Analisis Korelasi (r)

Analisis korelasi (r) dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi pearson dengan metode program SPSS VER 14.00

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Analisis Faktor Fisik Kimia Perairan

Hasil yang diperoleh dari data-data penelitian yang telah dilakukan bahwa rata-rata nilai faktor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada Tabel 5.1. berikut:

Tabel 5.1. Faktor Fisik Kimia Perairan, Rata-rata, Nilai yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Muara Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

Baku No Parameter Satuan

Stasiun

I II III Mutu

Fisika

1 Suhu 0 c 29,6

2 Kecerahan cm 3,5 12,6 11,6 3-5 Kimia

3 COD mg/l 122,6 74,4 52,8 <80

4 BOD 5 mg/l 4,4 4,1 4,2 20

5 N – NH 3 mg/l 1,0685 1,6887 1,0300 -1

6 N – NO 2 mg/l 1,1656 0,0824 0,0423 -1

7 N – NO 3 mg/l 12,0388 5,5090 4,3920 0,008

8 Orthofosfat mg/l 0,2039 0,1875 0,2599 0,015

9 Klorida mg/l 17,963 19,241 18,034 -

10 Minyak + Lemak

- Organik Substrat

%(w/w) 10,04 0,80 12,50

15 Oksigen Terlarut

16 Tipe Substrat Lumpur Pasir Lumpur

Lumpur

Keterangan: Stasiun I di sekitar kawasan aliran tambak; Stasiun II di kawasan muara; Stasiun III di kawasan mangrove

5.1.1 Suhu

0 Suhu pada ketiga stasiun berkisar antara 29,6 0 c – 32,1 c. Tingginya suhu pada Stasiun II disebabkan adanya aktivitas penduduk seperti penggunaan kapal

bermesin yang digunakan sebagai sarana transportasi, di samping itu di stasiun tersebut terdapat sedikit kanopi sebagai naungan dari vegetasi mangrove, sehingga panas matahari langsung ke badan air. Rendahnya suhu pada Stasiun I disebabkan adanya angin laut dan pasang surut. Perubahan suhu cenderung untuk mempengaruhi biota secara keseluruhan karena berkaitan dengan tingkat kelarutan oksigen. Suhu pada ketiga stasiun penelitian sesuai bagi kehidupan biota pada perairan tersebut. Kisaran suhu ini umumnya berada di daerah tropis. Odum (1994) menyatakan suhu ekosistem aquatik dipengaruhi intensitas matahari, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutup vegetasi) dari pepohon yang tumbuh di sekitarnya.

5.1.2 Kecerahan

Kecerahan dari hasil penelitian pada ketiga stasiun berkisar antara 3,5 cm- 12,6 cm. Rendahnya kecerahan pada Stasiun I disebabkan terjadinya pembuangan limbah domestik dari pemukiman dan lalu lintas/penambatan kapal-kapal nelayan dan kawasan tersebut dekat dengan budidaya pertambakan yang kondisi substratnya berlumpur, apabila terjadi pengadukan terjadi pengeruhan. Tingginya kecerahan pada Stasiun II disebabkan percampuran air tawar dan air laut yang cepat. Nybakken (1992) menyatakan adanya zat-zat yang tersuspensi dalam perairan akan menimbulkan kekeruhan.

5.1.3 Chemical Oxygen Demand (COD)

Nilai COD yang didapatkan pada ketiga stasiun penelitian berkisar antara 52,8 mg/l–122,6 mg/l. Tingginya kadar COD pada Stasiun I dipengaruhi oleh degradasi bahan organik maupun anorganik yang berasal dari aktivitas masyarakat yang berupa buangan domestik dan tambatan kapal nelayan. Limbah yang dihasilkan tersebut tidak terolah dengan baik. Hasil degradasi mikroba yang terakumulasi di perairan akibat COD yang berlebihan pada perairan akan berpengaruh terhadap menurunnya kandungan oksigen terlarut (DO) sehingga akan berpengaruh terhadap menurunnya kualitas air Peavy (1986). Rendahnya nilai COD pada Stasiun III karena jauh dari pemukiman dan masih bersifat alami.

5.1.4 Biochemical Oxygen Demand (BOD 5 )