Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RS. ST Elisabeth Medan

(1)

HUBUNGAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERILAKU

CARING PERAWAT DI RUANG

RAWAT INAP RS ST ELISABETH

MEDAN

SKRIPSI

VERANDA PANJAITAN 111121079

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

(3)

ABSTRAK

Judul Penelitian : Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring

Perawat di Ruang Rawat Inap RS. ST Elisabeth Medan Peneliti : Veranda Panjaitan

NIM : 111121079

Jurusan : Fakultas Keperawatan Tahun Akademik : 2011/2012

Perawat harus dapat melayani klien dengan sepenuh hati dan memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring (Dwidiyanti,2010). Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara berfikir, merasa, dan mempunyai hubungan dengan sesama. Perilaku caring perawat dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap manusia. Salah satunya kecerdasan spiritua yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Penelitian bertujuan untuk menganalisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada bulan Nopember 2012 dengan desain penelitian deskriptif korelasi. Populasi dalam penelitian adalah perawat yang bertugas di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan sebanyak 108 perawat. Teknik pengambilan sampel adalah probability sampling yaitu jenis cluster

sampling, pada sampel 70 perawat. Instrumen berbentuk kuesioner terdiri dari data

demografi, kecerdasan spiritual, dan perilaku caring. Hasil penelitian kecerdasan spiritual perawat mayoritas baik dengan 97,1%. Hasil penelitian perilaku caring perawat mayoritas baik 87,1 %. Analisa pearson didapat arah hubungannya positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring responden dengan p<0,05 yaitu .000, dan tingkat hubungan yang sedang dengan r= 0,465. Rekomendasi dari hasil penelitian adalah diharapkan untuk memberikan pembekalan serta pembinaan bagi para perawat tentang pentingnya kecerdasan spiritual dalam mendorong perilaku caring pada perawat.


(4)

PRAKATA

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan kepada peneliti intuk menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “ Hubungan Keerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring di Ruang Rawat Inap RS ST Elisabeth Medan.

Selama proses pembuatan skripsi ini saya banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya ingin berterima kasih kepada: 1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Salbiah, S.Kp, M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya dengan penuh kesabaran dalam melaksanakan penelitian ini.

4. Bapak Setiawan,S.Kp, MNS, Ph.D selaku penguji validitas perilaku caring dan Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku penguji validitas kecerdasan spiritual yang telah membantu saya memvalidkan kuesioner penelitian.

5. Ibu Fatwa Imelda, S.Kp,Ns, M.Biomed selaku dosen penguji I skripsi dan Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen penguji II skripsi yang telah meluangkan waktunya dan memberikan saran atau masukan-masukan dalam penulisan skripsi tersebut.

6. Pemimpin RS ST Elisabeth Medan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan survei dan penelitian di rumah sakit tersebut.


(5)

7. Kepada seluruh kepala ruangan perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan yang telah membantu penulis membagikan kuesiner penelitian.

8. Kepada Ibu saya tercinta yaitu Rusmina Simanjuntak yang telah mendukung penulis dalam doa dan dana selama penulis mengerjakan skripsi tersebut.

9. Kepada Abang saya yaitu Fitmen Panjaitan, Martua Panjaitan, dan Simon Panjaitan serta Bottor Panjaitan yang telah memberikan dana selama saya melakukan penelitian 10. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Keperawatan Ekstensi Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada saya.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, baik dari segi isi maupun bahasa. Oleh karena itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun, agar menjadi lebih baik dan bermanfaat khususnya bagi saya sendiri dan semua pihak yang membaca.

Medan, Februari 2013


(6)

DAFTAR ISI

Halamam Judul………... i

Lembar Persetujuan………ii Abstrak……….iii Kata Pengantar………iv Daftar Isi………..vi Daftar Tabel………viii Daftar Skema………ix

BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar belakang……….1

1.2 Pertanyaan Penelitian………... 7

1.3 Tujuan Penelitian………. 8

1.3.1.Tujuan Umum... 8

1.3.2 Tujuan Khusus... 9

1.4 Manfaat Penelitian……….. 9

1.4.1. Bagi Praktek Keperawatan... 9

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan...s9 1.4.3 Bagi Penelitian Selanjutnya... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 10

2.1. Perilaku Caring... 10

2.1.1. Konsep Perilaku... 10

2.1.2. Teori Caring... 12

2.1.3. Pengukuran Perilaku Caring... 19

2.2. Kecerdasan……… 20

2.2.1. Definisi Kecerdasan... 20

2.2.2. Konsep Kecerdasan……… 21

2.3. Komponen Kecerdasan... 24

2.3.1 Kecerdasan Intelektual……… 24

2.3.2 Kecerdasan Emosi... 25

2.3.3 Kecerdasan Spiritual... 27

2.3.3.1 Definisi Spiritual... 27

2.3.3.2 Kecerdasan Spiritual……… 29

2.3.3.3 Pengukuran Kecerdasan Spiritual……… 35

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN... 36

3.1. Kerangka Konsep... 36

3.2. Definisi Operasional... 37

3.3. Hipotesa Penelitian... 39

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN... 40


(7)

4.3. Lokasi dan Waktu Penelitian... 42

4.4. Pertimbangan Etik... 42

4.5. Instrumen Penelitian... 44

4.6. Uji Validitas dan Reliabilitas... 47

4.7. Pengumpulan Data... 49

4.8. Pengolahan dan Analisa data... 50

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 54

5.1. Hasil Penelitian... 54

5.1.1. Karakteristik Responden... 54

5.1.2. Kecerdasan Spiritual Responden... 56

5.1.3.Perilaku Caring Responden... 56

5.1.4. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Responden... 57

5.2. Pembahasan... 58

5.2.1 Kecerdasan Spiritual... 58

5.2.2.Perilaku Caring Responden... 59

5.2.3 Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Responden... 60

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 62

6.1. Kesimpulan... 62

6.2. Saran... 63

DAFTAR PUSTAKA……….. 64

LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Responden 2. Instrumen Penelitian

3. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden 4. Hasil Reliabilitas

5. Hasil Analisa SPSS

6. Jadwal Defenitif Penelitian 7Biaya Penelitian

8. Surat Ijin Penelitian 9.Curiculum Vitae


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel4.1 Besar Sampel Tiap Perawat Di Ruangan……….. 42 Tabel4.3 Pedoman Koefisien Korelasi………... 53 Tabel5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik

Responden………. 55 Tabel5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Kecerdasan Spiritual

Responden………. 56 Tabel5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Perilaku Caring

Responden……….. 57 Tabel5.4 Hasil Analisa Hubungan Keerdasan Spiritual dan Perilaku


(9)

DAFTAR SKEMA

Halaman

Skema 3.1 Kerangka konsep Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RS ST Elisabeth Medan..36


(10)

ABSTRAK

Judul Penelitian : Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring

Perawat di Ruang Rawat Inap RS. ST Elisabeth Medan Peneliti : Veranda Panjaitan

NIM : 111121079

Jurusan : Fakultas Keperawatan Tahun Akademik : 2011/2012

Perawat harus dapat melayani klien dengan sepenuh hati dan memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring (Dwidiyanti,2010). Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara berfikir, merasa, dan mempunyai hubungan dengan sesama. Perilaku caring perawat dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap manusia. Salah satunya kecerdasan spiritua yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Penelitian bertujuan untuk menganalisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada bulan Nopember 2012 dengan desain penelitian deskriptif korelasi. Populasi dalam penelitian adalah perawat yang bertugas di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan sebanyak 108 perawat. Teknik pengambilan sampel adalah probability sampling yaitu jenis cluster

sampling, pada sampel 70 perawat. Instrumen berbentuk kuesioner terdiri dari data

demografi, kecerdasan spiritual, dan perilaku caring. Hasil penelitian kecerdasan spiritual perawat mayoritas baik dengan 97,1%. Hasil penelitian perilaku caring perawat mayoritas baik 87,1 %. Analisa pearson didapat arah hubungannya positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring responden dengan p<0,05 yaitu .000, dan tingkat hubungan yang sedang dengan r= 0,465. Rekomendasi dari hasil penelitian adalah diharapkan untuk memberikan pembekalan serta pembinaan bagi para perawat tentang pentingnya kecerdasan spiritual dalam mendorong perilaku caring pada perawat.


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latarbelakang

Perawat dalam pelayanan kesehatan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak jumlahnya dan paling banyak berinteraksi dengan klien. Pelayanan keperawatan menjadi salah satu tolok ukur pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena perawat yang melaksanakan tugas perawatan terhadap klien secara langsung (Rudyanto, 2010).

Rosalina (2008) menyatakan bahwa kenyataan yang ada dalam layanan jasa kesehatan pada klien belum memuaskan. Hal ini terbukti dengan masih banyak keluhan klien dan keluarganya terhadap perilaku perawat dalam memberikan layanan kesehatan. Ketidakpuasan yang disampaikan oleh klien antara lain adalah perawat yang kurang ramah dan kurang tanggap terhadap keluhan klien dan keluarganya, padahal 90% layanan kesehatan di rumah sakit terhadap klien adalah layanan keperawatan. Disinilah perawat harus memahami dan menyadari perannya dalam memberikan perawatan.

Perawat harus dapat melayani klien dengan sepenuh hati dan memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, teknikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring (Dwidiyanti, 2010). Benner (1989 dalam Potter dan Perry, 2009) menggambarkan inti dari praktik keperawatan yang baik adalah caring. Disamping itu, inti keperawatan adalah


(12)

adalah suatu proses interaktif yang bersifat individual dan proses tersebut individu menolong satu sama lain dan menjadi teraktualisasi (Clark, 1991 dalam Potter dan Perry, 2009).

Suatu elemen perawatan kesehatan berkualitas adalah menunjukkan kasih sayang pada klien sehingga terbentuk hubungan saling percaya (Potter dan Perry, 2005 ). Caring adalah fokus pemersatu dalam praktik keperawatan (Blais, 2007).

Caring dalam asuhan keperawatan merupakan bagian dari bentuk perilaku dan

kinerja perawat dalam merawat klien.

Perilaku caring dengan mengacu pada pengembangan dari carative factor Watson (1979 dalam Poter dan Perry, 2009) yang mencakup membentuk sistem nilai humanistic-altruistic, menanamkan keyakinan dan harapan, mengembangkan sensitifitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan saling percaya dan saling bantu, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif, menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental dan sosiokultural, membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia serta mengembangkan faktor eksistensial-fenomenologis dan dimensi spiritual.

Telah banyak penelitian diantaranya penelitian Sobirin (2006), Juliani (2007), dan Amelia (2009) yang melihat bahwa faktor motivasi baik internal dan eksternal mempengaruhi perilaku caring seorang perawat. Namun, dalam perkembangan pengetahuan, ditemukan bahwa perilaku caring perawat tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, namun juga dipengaruhi oleh kecerdasan dasar


(13)

yang dimiliki setiap manusia. Setiap manusia memiliki kecerdasan otak (intelligence quotient), kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). IQ berupa keahlian (skill) dan pengetahuan yang memiliki aspek-aspek diantaranya kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, dan lain sebagainya. EQ merupakan kemampuan untuk merasa, yang berpusat pada kejujuran suara hati sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal diri sendiri dan orang lain, mengendalikan emosi serta kemampuan berhubungan dengan orang lain. SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna, kecerdasan untuk menilai tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna (Zohar dan Marshall,2000).

Kecerdasan yang menentukan kesuksesan seseorang dalam kehidupan dan yang tertinggi adalah kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ) (Malini, 2009). Kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan dimana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif intelligence quotient (IQ) maupun emotional intelligence (EI) (Gunawan, 2004).

Hal yang senada dikemukakan oleh Yosef (2005) bahwa hasil penelitian para psikolog USA (United States of America) menyimpulkan bahwa kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sangat didukung oleh kecerdasan emotional (EQ), yaitu sekitar 80%, sedangkan peranan kecerdasan


(14)

kecerdasan spiritual (SQ), sehingga diyakini bahwa SQ yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang. Perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual tinggi mampu menjadi lebih bahagia dalam menjalani hidup dibandingkan mereka yang taraf kecerdasan spiritualnya rendah.

Kecerdasan spiritual berkaitan dengan masalah makna, nilai, dan tujuan hidup manusia. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan, kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna dan juga dapat menuntun manusia dalam meraih cita-citanya. Manusia dapat memberi makna melalui berbagai macam keyakinan. Pencarian makna bagi perawat seharusnya mampu mengaitkan pemberian pelayanan keperawatan atas dasar ibadah kepada Tuhan (Yosef, 2005).

Sehingga kemungkinan perawat yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja, tetapi ia menghubungkannya dengan makna spiritual sehingga ia juga akan berupaya memaknai bahwa mencari karunia Tuhan dengan memperhatikan klien dan meringankan beban klien (Yosef, 2005).

Dengan demikian, seiring perkembangan pengetahuan dalam memaknai karunia Tuhan, maka perilaku dipengaruhi oleh kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan serta mampu menyinergikan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara komprehensif (Suyanto, 2006) .


(15)

Kecerdasan spiritual yang sejati merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, tidak saja terhadap manusia tetapi juga di hadapan Tuhan (Suyanto, 2006). Jika dihubungkan dengan caring menurut Watson (2005 dalam Alligood dan Tomey, 2006) menyatakan bahwa caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki perawat dalam membina hubungan interpersonal dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga caring menjadi inti kemampuan perawat untuk mengenali klien, membuat perawat mengetahui masalah klien dan mencari serta melaksanakan solusinya.

Suyanto, (2006) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasaan untuk menghadapi persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat (Soemanto, 1983). Demikian pula seperti yang dikemukakan oleh Zuhri (Yosef, 2005) bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang memiliki hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusia pun akan baik pula. Pengukuran kecerdasan spiritual mengungkap berbagai aspek yang mengacu pada teori Emmons (dikutip dari Saifullah, 2005) yang menjelaskan bahwa


(16)

untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkatan kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan menggunakan sumber-sumber spiritual dalam menyelesaikan masalah untuk berbuat baik dan memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan.

Sehingga kecedasan spiritual mempunyai hubungan dengan perilaku caring perawat. Berdasarkan hasil beberapa peneliti sebelumnya, di RS Dr. M.Jamil Padang ditemukan bahwa perilaku caring perawat masih kurang (Efitra, 2004). Selanjutnya berdasarkan hasil observasi didapatkan bahwa perawat masih kurang ramah dalam melayani pertanyaan klien, berperilaku tidak bersahabat dan jarang tersenyum. Ini menunjukkan bahwa perilaku caring masih kurang ditunjukkan oleh perawat yang bekerja di rumah sakit.

Akan tetapi berbeda dengan RS ST Elisabeth Medan yang merupakan salah satu rumah sakit yang menganut nilai-nilai spiritual dan berdiri pada tanggal 23 Desember 1960 berlokasi di Jl. Haji Misbah No. 7. RS ST Elisabeth Medan menyatakan bahwa mereka mampu berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan atas dasar cinta kasih dan persaudaraan sejati di era globalisasi dengan moto “ Ketika Aku Sakit, Engkau Melawat Aku” (Matius 25:36).

Moto dari “Ketika Aku Sakit, Engkau Melawat Aku” mengandung pengertian bagi peneliti sendiri yakni mengasihi atau caring dengan memperhatikan serta merawat klien agar sembuh dari sakitnya. Moto ini diambil dari salah satu ayat Kitab Suci yaitu Alkitab dan dijadikan dasar pelayanan kasih


(17)

umat nasrani terhadap sesama makhluk Tuhan. Demikian juga RS ST Elisabeth Medan memiliki misi yaitu meningkatkan derajat kesehatan melalui sumber daya manusia yang professional, sarana, prasarana yang memadai dengan memperhatikan masyarakat lemah dengan semangat cinta kasih sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam menuju masyarakat sehat. Sumber daya manusia yang professional di RS ST Elsabeth Medan diantaranya adalah perawat.

Perawat dalam pelayanan kesehatan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak jumlahnya dan paling banyak berinteraksi dengan klien, yang diantaranya adalah perawat di ruang rawat inap. Maka, peneliti tertarik untuk memilih perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan sebagai tempat peneltian bagi peneliti.

Sehingga peneliti berasumsi apakah setiap perawat di ruang rawat inap memiliki moto tersebut sehingga peneliti dapat mengidentifikasi adakah kecerdasan spiritual dan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan dan peneliti kemudian menghubungkan kedua hal untuk mencari hipotesa penelitian yang sebenarnya yaitu apakah ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat.

2. Pertanyaan Penelitian

2.1 Bagaimana kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap R.S ST Elisabeth Medan.


(18)

2.3 Apakah ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST

Elisabeth Medan ?

3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan.

3.2. Tujuan Khusus

3.2.1 Mengetahui kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan.

3.2.2 Mengetahui perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh carative factor dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan.

4. Manfaat Penelitian

4.1. Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perawat mengenai pentingnya kecerdasan spiritual dalam meningkatkan perilaku caring perawat. Bagi pengelola rumah sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat


(19)

digunakan sebagai masukan untuk memberikan pembekalan serta pembinaan bagi para perawat tentang pentingnya kecerdasan spiritual dalam mendorong munculnya perilaku caring pada perawat.

4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi perawat pendidik untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran terkait dengan kecerdasan spiritual dan perilaku caring.

4.3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan dan pertimbangan maupun perbandingan bagi penelitian selanjutnya.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PERILAKU CARING

2.1.1. Konsep Perilaku

Perilaku adalah cara-cara seseorang menampilkan diri untuk mencapai tujuan (Maramis, 2006). Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil akhir jalinan yang saling mempengaruhi antara berbagai gejala seperti perhatian, pengamatan, pikiran, ingatan, dan fantasi. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Perilaku juga dapat dimaksudkan sebagai semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Seorang ahli psikologi, Skiner (1938 dalam Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus tersebut, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua .

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.


(21)

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Jadi, perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun secara tidak langsung (Sunaryo, 2004). Bloom (1968 dalam Notoatmodjo, 2003) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu kedalam tiga domain, ranah atau kawasan yaitu:

a. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004).

b. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dan juga merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap juga merupakan suatu


(22)

kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan motif tertentu.

c. Tindakan atau praktek (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2003).

2.1.2. Teori Caring

Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara berfikir, merasa, dan mempunyai hubungan dengan sesama. Sejak Florence Nightingle, perawat harus mempelajari pelayanan dari berbagai filosofi dan persepsi etik. Sejumlah ahli keperawatan membuat teori caring karena penting dalam praktek keperawatan. Caring menjadi inti kemampuan perawat untuk bekerja dengan semua klien, memfasilitasi kemampuan perawat untuk mengenali klien, membuat perawat mengetahui masalah klien dan mencari serta melaksanakan solusinya. Menurut Watson (2006 dalam Potter dan Perry, 2009) merupakan sentral praktek keperawatan.

Caring juga merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana

perawat bekerja untuk lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap klien. Caring, oleh Swanson (1991 dalam Potter dan Perry, 2009) didefenisikan sebagai suatu


(23)

cara pemeliharaan yang berhubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki tanggung jawab.

Selanjutnya Benner (1984 dalam Potter dan Perry, 2009) menggambarkan inti dari praktek keperawatan yang baik adalah caring. Caring, menurut Watson (Asmadi, 2008) merupakan intisari keperawatan dan mengandung arti responsif antara perawat dan klien. Caring dapat membantu seseorang lebih terkontrol, lebih berpengetahuan, dan dapat meningkatkan kesehatan. Caring sebagai bentuk dasar dari praktek keperawatan dan juga sebagai struktur mempunyai implikasi praktis untuk mengubah praktek keperawatan (Potter dan Perry, 2009).

Menurut Watson (1979, 1988 dalam Potter dan Perry, 2009) caring adalah model holistik keperawatan yang bertujuan untuk mendukung proses penyembuhan secara total. Sedangkan Mayeroff (1972 dalam Morrison, 2008) memandang caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang lain berkembang dan mengaktualisasikan diri.

Leininger (1984, 1988, 1991 dalam Blais, 2007) menyatakan bahwa caring penting untuk tumbuh kembang dan kelangsungan hidup manusia. Perilaku caring mencakup memberi kenyamanan, kasih sayang, perhatian, menfasilitasi koping, empati, memandirikan, fasilitasi, minat, perilaku membantu, cinta, pengasuhan, perilaku protektif, perilaku restoratif, berbagi, perilaku menstimulasi, pertolongan, dukungan, pengawasan, kelembutan, tindakan konsultasi kesehatan, tindakan instruksi kesehatan, dan pemeliharan kesehatan. Perilaku caring juga meliputi


(24)

menghormati klien, memberikan sentuhan pada klien, kehadiran, dan membina kedekatan dengan klien (Creasia dan Parker, 2001).

Watson (2005 dalam Alligood dan Tomey, 2006) menyatakan bahwa

caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki perawat

dalam membina hubungan interpersonal dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu Watson (1979 dalam Morrison, 2008) juga mengungkapkan caring sebagai jenis hubungan dan transaksi yang diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk meningkatkan dan melindungi klien sebagai manusia, dengan demikian mempengaruhi kesanggupan klien untuk sembuh. Caring melibatkan keterbukaan, komitmen, dan hubungan perawat klien (Poter dan Perry, 2009).

Watson (1979 dalam Basford dan Slevin, 2006) juga mengungkapkan tujuh asumsi utama dalam menampilkan caring, yaitu:

a. Caring dapat didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif hanya secara interpersonal.

b. Caring terdiri dari carative factor yang mengarah pada kepuasan terhadap kebutuhan manusia tertentu.

c. Caring yang efektif meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan keluarga


(25)

d. Respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dirinya saat ini, namun juga sebagai seseorang di masa yang akan datang.

e. Lingkungan caring yaitu yang menawarkan potensi perkembangan yang memungkinkan seseorang untuk memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri pada suatu waktu.

f. Caring lebih berorientasi pada kesehatan daripada penyembuhan, dimana caring mengintegrasikan pengetahuan bio-fisik dengan pengetahuan perilaku manusia untuk meningkatkan kesehatan dan memberikan pertolongan bagi mereka yang sedang sakit.

g. Praktik caring merupakan sentral bagi keperawatan.

Fokus utama dalam keperawatan menurut Watson (1979 dalam Tomey dan Alligood, 2006) adalah pada carative factor yang bermula dari perspektif humanistic yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah. Perawat juga perlu memiliki berbagai pengetahuan mengenai budaya supaya memahami budaya klien sehingga dapat mengembangkan filosofi humanistik dan sistem nilai.

Filosofi humanistic dan sistem nilai memberi fondasi yang kokoh bagi ilmu keperawatan. Dasar dalam praktek keperawatan menurut Watson (1979 dalam Tomey dan Alligood, 2006) dibangun dari sepuluh carative factor, yaitu:


(26)

a. Membentuk sistem nilai humanistic-altruistic.

Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistic dapat dibangun dari pengalaman, belajar, dan upaya-upaya mengembangkan sikap humanis. Pengembangannya dapat ditingkatkan dalam masa pendidikan. Melalui sistem nilai ini perawat dapat merasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien dan juga penilaian terhadap pandangan diri seseorang. Menurut Potter dan Perry (2009) perawat harus memberikan kebaikan dan kasih sayang, bersikap membuka diri untuk mempromosikan persetujuan terapi dengan klien.

b. Menanamkan keyakinan dan harapan (faith-hope).

Menggambarkan peran perawat dalam mengembangkan hubungan perawat dan klien dalam mempromosikan kesehatan dengan membantu meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan. Perawat menfasilitasi klien dalam membangkitkan perasaan optimis, harapan, dan rasa percaya dan mengembangkan hubungan perawat dengan klien secara efektif. Faktor ini merupakan gabungan dari nilai humanistic dan altruistic, dan juga menfasilitasi asuhan keperawatan yang holistik kepada klien.

c. Mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain.

Perawat belajar memahami perasaan klien sehingga lebih peka, murni, dan tampil apa adanya. Pengembangan kepekaan terhadap diri sendiri dan dalam berinteraksi dengan orang lain. Perawat juga harus mampu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengekspresikan perasaan mereka.


(27)

d. Membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping- trust).

Hubungan saling percaya akan meningkatkan dan menerima perasaan positif dan negatif. Untuk membina hubungan saling percaya dengan klien perawat menunjukkan sikap empati, harmonis, jujur, terbuka, dan hangat serta perawat harus dapat berkomunikasi terapeutik yang baik.

e. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif.

Perawat harus menerima perasaan orang lain serta memahami perilaku mereka dan juga perawat mendengarkan segala keluhan klien. Blais (2007) juga megemukakan bahwa perawat harus siap untuk perasaan negatif, berbagi perasaan duka cita, cinta, dan kesedihan yang merupakan pengalaman yang penuh resiko.

f. Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan.

Perawat menerapkan proses keperawatan secara sistematis memecahkan masalah secara ilmiah dalam menyelenggarakan pelayanan berfokus klien. Proses keperawatan seperti halnya proses penelitian yaitu sistematis dan terstruktur. g. Meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal.

Faktor ini merupakan konsep yang penting dalam keperawatan untuk membedakan caring dan curing. Bagaimana perawat menciptakan situasi yang nyaman dalam memberikan pendidikan kesehatan. Perawat memberi informasi


(28)

kepada klien, perawat menfasilitasi proses ini dengan memberikan pendidikan kesehatan yang didesain supaya dapat memampukan klien memenuhi kebutuhan pribadinya, memberikan asuhan yang mandiri, menetapkan kebutuhan personal klien.

h. Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental, sosiokultural, dan spiritual.

Perawat harus menyadari bahwa lingkungan internal dan eksternal berpengaruh terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. Konsep yang relevan dengan lingkungan internal meliputi kepercayaan, sosial budaya, mental dan spiritual klien. Sementara lingkungan eksternal meliputi kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan yang estetik. Oleh karena itu, Potter dan Perry (2009) menekankan bahwa perawat harus dapat menciptakan kebersamaan, keindahan, kenyamanan, kepercayaan, dan kedamaian.

i. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.

Perawat membantu memenuhi kebutuhan dasar klien meliputi kebutuhan biofisik, psikofisik, psikososial, dan kebutuhan intrapersonal klien. Dan perawat melakukannya dengan sepenuh hati.

j. Mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomenologis. dan dimensi spiritual.

Fenomenologis menggambarkan situasi langsung yang membuat orang

memahami fenomena tersebut. Watson menyadari bahwa hal ini memang sulit dimengerti. Namun hal ini akan membawa perawat untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga perawat dapat membantu seseorang untuk


(29)

memahami kehidupan dan kematian dengan melibatkan kekuatan spiritual. Dari kesepuluh caractive factor tersebut, caring dalam keperawatan menyangkut upaya memperlakukan klien secara manusiawi dan utuh sebagai manusia yang berbeda dari manusia lainnya. Caractive factor ini perlu dilakukan perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan yang profesional dan bermutu dapat diwujudkan (Nurachmah, 2006 dalam Dwidiyanti, 2010).

2.2.3. Pengukuran Perilaku Caring

Pengukuran perilaku caring dengan mengacu pada pengembangan dari carative factor Watson (1979 dalam Poter dan Perry, 2009) yang mencakup membentuk sistem nilai humanistic-altruistic, menanamkan keyakinan dan harapan, mengembangkan sensitifitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan saling percaya dan saling bantu, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif, menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental dan sosiokultural, membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia serta mengembangkan faktor eksistensial-fenomenologis dan dimensi spiritual.


(30)

2.2. KECERDASAN

2.2.1. Definisi Kecerdasan

Walters dan Gardner (1985 dalam Safaria, 2005) mendefinisikan bahwa kecerdasan adalah sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu. Pernyataan yang senada juga disampaikan Wechsler (1985 dalam Safaria, 2005) yang memandang kecerdasan sebagai suatu kumpulan atau totalitas kemampuan individu untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. Binet (dalam Safaria, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan mengarahkan pikiran maupun tindakan, kemampuan untuk mengubah arti tindakan bila dituntut demikian, dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.

Sedangkan menurut Maramis (2006) kecerdasan adalah gambaran abstrak yang disaring dari observasi perilaku dalam bermacam-macam keadaan atau suatu konstruksi hipotesis dan hanya dapat diduga dari tanda-tanda perilaku. Sehingga bagaimanapun juga, kecerdasan ada hubungannya dengan kemampuan untuk menangkap hubungan yang abstrak dan rumit, serta kemampuan memecahkan masalah dan belajar dari pengalaman. Kemudian berkembanglah pemahaman tentang jenis-jenis kecerdasan yang lain selain kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan lain sebagainya. Pada umumnya kecerdasan dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang berubah, dengan keadaan di luar


(31)

dirinya yang biasa maupun yang baru. Jadi dengan kata lain perbuatan cerdas dapat dicirikan dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap berbagai situasi. Kecerdasan bekerja dalam suatu situasi yang berlainan tingkat kesukarannya. Kecerdasan tidak bersifat statis tetapi kecerdasan manusia selalu mengalami perkembangan. Berkembangnya kecerdasan sedikit banyak sejalan dengan kematangan seseorang (Ahmadi, 2009). Gardner (Saifullah, 2005) juga berpendapat bahwa setiap manusia memiliki kemampuan mengembangkan kecerdasannya sampai pada tingkat tinggi yang memadai apabila memperoleh cukup dukungan, dan pembelajaran.

2.2.2. Konsep Kecerdasan

Hasil penelitian para psikolog USA (United States of America) menyimpulkan bahwa kesuksesan dan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sangat didukung oleh kecerdasan emotional (EQ), yaitu sekitar 80%, sedangkan peranan kecerdasan intelektual (IQ) hanya 20% saja. Dimana ternyata pusatnya IQ dan EQ adalah kecerdasan spiritual (SQ), sehingga diyakini bahwa SQ (Spiritual Quotient) yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang. Perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual (Yosef ,2005).

Kecerdasan intelektual adalah kemampuan intelektual, analisa, logika dan rasio. Orang yang kecerdasan intelektualnya baik, baginya tidak ada informasi yang sulit, semuanya dapat disimpan dan diolah, untuk waktu yang tepat dan


(32)

dan mengolah kembali informasi, baik informasi yang didapat lewat pendengaran, penglihatan atau penciuman biasa disebut berfikir. Berfikir adalah media untuk menambah perbendaharaan atau khazanah otak manusia. Manusia memikirkan dirinya, orang-orang di sekitarnya dan alam semesta. Dengan daya pikirnya, manusia berupaya mensejahterakan diri dan kualitas kehidupannya (Soemanto,1983).

Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik kecerdasan emosi yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra (Soemanto,1983).

Selain itu, substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang kecerdasan emosinya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal (Soemanto,1983).

Salah satu bentuk kecerdasan lain yang saat ini tengah popular adalah kecerdasan sipiritual. Kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk berpikir kreatif, berwawasan jauh, membuat atau bahkan mengubah aturan, yang


(33)

membuat orang tersebut dapat bekerja lebih baik. Secara singkat kecerdasan spiritual mampu mengintegrasikan dua kemampuan lain yang sebelumnya telah disebutkan yaitu IQ dan EQ (Idrus, 2002).

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yakni kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas. Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat juga dikatakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah- langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah dalam upaya menggapai kualitas

hanif dan ikhlas. SQ (Spiritual Quotient) adalah suara hati Ilahiyah yang

memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat (Soemanto,1983).

Zohar dan Marshall (2000 dalam Suyanto, 2006) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual mampu menjadikan manusia sebagai mahluk yang lengkap secara intelektual, emosional dan spiritual. Hal tersebut seperti juga yang dikemukakan oleh Mudali (2002) bahwa menjadi pintar tidak hanya dinyatakan dengan memiliki IQ yang tinggi, tetapi untuk menjadi sungguh-sungguh pintar seseorang haruslah memiliki kecerdasan spiritual (SQ).

2.3. KOMPONEN KECERDASAN 2.3.1. Kecerdasan Intelektual


(34)

intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Istilah ini dipopulerkan kembali pertama kali oleh Francis Galton, seorang ilmuwan dan ahli matematika yang terkemuka dari Inggris (Joseph, 1978). Inteligensi adalah kemampuan kognitif yang dimiliki organisme untuk menyesuaikan diri secara efektif pada lingkungan yang kompleks dan selalu berubah serta dipengaruhi oleh faktor genetik ( Joseph, 1978).

Para peneliti menemukan bahwa tes untuk mengukur kemampuan kognitif tersebut, yang utama adalah dengan menggunakan tiga pengukuran yaitu kemampuan verbal, kemampuan matematika, dan kemampuan ruang (Moustafa dan Miller, 2003). Pengukuran lain yang termasuk penting seperti kemampuan mekanik, motorik dan kemampuan artistik tidak diukur dengan tes yang sama, melainkan dengan menggunakan alat ukur yang lain. Hal ini berlaku pula dalam pengukuran motivasi, emosi dan sikap (Moustafa dan Miller, 2003).

2.3.2. Kecerdasan Emosi

Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan, sehingga kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk sukses dalam bekerja dan menghasilkan kinerja yang menonjol dalam pekerjaan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Patton (1998) bahwa orang yang memiliki kecerdasan emosi akan mampu menghadapi tantangan dan menjadikan seorang manusia yang penuh tanggung jawab, produktif, dan optimis dalam menghadapi dan


(35)

menyelesaikan masalah, dimana hal-hal tersebut sangat dibutuhkan di dalam lingkungan kerja (Nuryanti, 2008).

Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain secara positif. Menurut Salovey dan Mayer (1999) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi, menerima dan membangun emosi dengan baik, memahami emosi dan pengetahuan emosional sehingga dapat meningkatkan perkembangan emosi dan intelektual. Salovey (1999) juga memberikan definisi dasar tentang kecerdasan emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang kain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain (Nuryanti, 2008).

Seorang ahli kecerdasan emosi, Goleman (Nuryanti, 2008)) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya termasuk kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif.

Purba (1999) berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan di bidang emosi yaitu kesanggupan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semangat optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain atau empati (Nuryanti, 2008).


(36)

Kecerdasan Emosi dapat diukur dari beberapa aspek-aspek yang ada. Goleman (Nuryanti, 2008) mengemukakan lima kecakapan dasar dalam kecerdasan Emosi, yaitu:

a. Self awareness

Merupakan kemampuan sesorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya dan efeknya serta menggunakannya untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis, atau kemampuan diri dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat lalu mengkaitkannya dengan sumber penyebabnya. b. Self management

Yaitu merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.

c. Motivation

Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.

d. Empati (social awareness)

Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu


(37)

e. Relationship management

Merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menciptakan serta mempertahankan hubungan dengan orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim.

2.3.3 Kecerdasan Spiritual 2.3.3.1. Definisi Spiritual

Spiritual berasal dari kata spirit. Spirit mengandung arti semangat atau sikap yang mendasari tindakan manusia. Spirit sering juga diartikan sebagai ruh atau jiwa yang merupakan sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata. Meskipun tidak kelihatan oleh mata biasa dan tidak mempunyai badan fisik seperti manusia, spirit itu ada dan hidup. Spirit bisa diajak berkomunikasi sama seperti kita bicara dengan manusia yang lain. Interaksi dengan spirit yang hidup itulah sesungguhnya yang disebut spiritual. Oleh karena itu spiritual berhubungan dengan ruh atau spirit. Spiritual mencakup nilai-nilai yang melandasi kehidupan manusia seutuhnya, karena dalam spiritual ada kreativitas, kemajuan, dan pertumbuhan (Widi, 2008). Nilai-nilai spiritual yang umum mencakup antara lain kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, kepedulian, kerjasama, kebebasan,


(38)

integritas, rasa percaya, kebersihan hati, kerendahan hati, kesetiaan, kecermatan, kemuliaan, keberanian, kesatuan, rasa syukur, humor, ketekunan, kesabaran, keadilan, persamaan, keseimbangan, ikhlas, hikmah, dan keteguhan (Suyanto, 2006).

Taylor (1997) menjelaskan spiritual adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan seseorang dengan kehidupan nonmaterial atau kekuatan yang lebih tinggi. Kemudian Brien (1999 dalam Blais, 2007) mengatakan bahwa spiritual mencakup cinta, welas asih , hubungan dengan Tuhan, dan keterkaitan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Spiritual juga disebut sebagai keyakinan atau hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, kekuatan Pencipta, Ilahiah, atau sumber energi yang tidak terbatas .

Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat. Selanjutnya Burkhardt (1993 dalam Blais, 2007) menguraikan karakteristik spiritual yang meliputi hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Tuhan. 1. Hubungan dengan diri sendiri. Bersifat kekuatan dalam diri seseorang seperti pengetahuan tentang siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan sikap percaya pada diri sendiri.

2. Hubungan dengan alam. Bersifat harmonis seperti mengetahui tentang

tanaman, pohon, margasatwa, iklim, dapat berkomunikasi dengan alam (jalan kaki), mengabdikan dan melindungi alam.


(39)

3. Hubungan dengan sesama. Dapat bersifat harmonis seperti berbagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik dengan orang lain, mengasuh anak, orang tua, orang sakit, melayani kehidupan dan kematian, mengunjungi, melayat dan lainnya. Bersifat tidak harmonis seperti konflik dengan orang lain. 4. Hubungan dengan Tuhan. Bersifat mengekspresikan kebutuhan ritual, berbagi keyakinan dengan orang lain dan merasa bersyukur atas anugerah yang telah dilimpahkan oleh Tuhan. Dengan menjalin hubungan yang positif dan dinamis dengan Tuhan melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta akan mamberikan perilaku adaptif pada seseorang individu

2.3.3.2. Kecerdasan Spiritual

Selama ini, yang namanya kecerdasan sering dikonotasikan dengan kecerdasan intelektual atau yang lazim kita kenal dengan IQ (Intelligence Quotient). Namun pada saat ini, anggapan bahwa kecerdasan manusia hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak relevan lagi. Selain kecerdasan intelektual, manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya diantaranya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) (Yosef, 2005). Potensi kecerdasan yang kini ramai dibicarakan orang yakni kecerdasan spiritual (Saifullah, 2005).

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna kehidupan, nilai-nilai, dan keutuhan diri yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna


(40)

hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Seseorang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar dan bertanya, bahkan saat menghadapi masalah atau penderitaan. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jiwa yang membantu menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ (Intelligence Quotient) dan EQ (Emotional Quotient) secara efektif. Bahkan, SQ (Spiritual Quotient) merupakan kecerdasan tertinggi (Suyanto,2006).

Sementara Sinetar dan Khavari (Suyanto, 2006) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi dari penghayatan Ketuhanan dimana kita menjadi bagian di dalamnya. Kecerdasan spiritual yang sejati merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, tidak saja terhadap manusia, tetapi juga dihadapan Tuhan.

Menurut Khavari (Saifullah, 2005) bahwa kecerdasan spiritual juga merupakan dimensi nonmaterial manusia atau ruh manusia. Demikian pula seperti yang dikemukakan oleh Zuhri (Yosef, 2005) bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang yang memiliki hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan bahwa hubungannya dengan sesama manusia pun akan baik pula (Iman,2004).


(41)

mengarahkan cara berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada Sang Maha Suci dan Maha Meliputi. Kecerdasan spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu telah mampu mewujudkannya dan terefleksi dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya sikap-sikap hidup individu mencerminkan penghayatannya akan kebajikan dan kebijaksanaan yang mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada Sang Pencipta (Safaria, 2007).

Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient) secara komprehensif (Agustian, 2007). Yang paling sempurna kecerdasan spiritual harus bersumber dari ajaran agama yang dihayati sehingga seseorang yang beragama sekaligus akan menjadi orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi (Suyanto, 2006).

Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dengan berbagai cara yaitu dengan merenungi keterkaitan antara segala sesuatu atau makna dibalik peristiwa yang dialami, lebih bertanggung jawab terhadap segala tindakan, lebih menyadari akan

diri sendiri, lebih jujur pada diri sendiri, dan lebih berani ( Suyanto,2006). Sementara Safaria (2007) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual dapat

dikembangkan dengan terus senantiasa menanamkan kecenderungan Ilahiah atau

Rabbaniyah (kecenderungan yang positif) dan menekan kecenderungan


(42)

mata uang dimana yang satu cenderung kepada kebajikan dan sisi yang lainnya cenderung kearah yang berlawanan.

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap segala perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik serta didasari karena Tuhan. Menurut Gunawan (2004) manusia dapat merasa memiliki makna dari berbagai hal, agama (religi) mengarahkan manusia untuk mencari makna dengan pandangan yang lebih jauh. Bermakna di hadapan Tuhan. Inilah makna sejati yang diarahkan oleh agama, karena sumber makna selain Tuhan tidaklah kekal.

Menurut Emmons (Saifullah, 2005) menjelaskan lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual yaitu :

a. Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material.

Pengalaman yang membawa seseorang keluar dari fisik seperti duka dan suka, dan material seperti seseorang yang mengukur hidupnya dengan mengandalkan materi. Seseorang menyadari bahwa kehadiran dirinya di dunia merupakan anugerah dan kehendak Tuhan dan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupannya dan bukan mengandalkan kekuatannya sendiri.

b. Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak.

Seseorang menyadari bahwa ada dunia lain di luar dunia kesadaran yang ditemuinya sehari-hari sehingga ia meyakini bahwa Tuhan pasti akan


(43)

membantunya dalam menyelesaikan setiap tantangan yang sedang dihadapinya. Dengan demikian, ia terhubung dengan kesadaran kosmis di luar dirinya.

c. Kemampuan mensakralkan pengalaman sehari-hari.

Ciri ketiga ini, terjadi ketika seseorang meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung dan mulia. Maksudnya seseorang yakin bahwa nilai-nilai spiritual hidupnya akan membangun semangat hidupnya dengan selalu mensyukuri karunia Tuhan dalam segala hal yang dialaminya. Dengan selalu berpegangan pada wejangan ayat-ayat Kitab Suci dan berdoa, juga mendukung seseorang dalam meningkatkan kopingnya sehingga membuat seseorang menjadi lebih bersyukur dan keterikatan dengan diri sendiri dengan Tuhan menjadi lebih baik. d. Kemampuan menggunakan sumber-sumber spiritual dalam menyelesaikan masalah untuk berbuat baik.

Orang yang cerdas secara spiritual, dalam memecahkan persoalan hidupnya selalu menghubungkannya dengan kesadaran nilai yang lebih mulia daripada sekadar menggenggam kalkulasi untung rugi yang bersifat materi.

e. Memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan.

Seseorang menyadari bahwa tujuan hidupnya bukan hanya bagaimana ia dapat menghasilkan yang baik bagi dirinya tetap juga dapat bermanfaat buat orang lain dengan menebarkan rasa kasih pada sesama makhluk Tuhan. Dengan sikap yang


(44)

menjalin dan mengembangkan hubungan antar manusia yang positif melalui keyakinan, rasa percaya dan cinta kasih. Teman dan keluarga dekat dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional. misalnya Memberi maaf, bersyukur atau mengungkapkan terimakasih, bersikap rendah hati, menunjukkan kasih sayang dan kearifan.

Sedangkan menurut Zohar dan Marshal (2001), karakteristik seseorang yang kecerdasan spiritualnya telah berkembang dengan baik adalah seseorang yang memiliki kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), memiliki tingkat kesadaran yang tinggi (self awareness), memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; memiliki kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, selalu berusaha untuk tidak menyebabkan kerugian bagi diri sendiri, orang lain dan alam sekitar; berpandangan holistik dalam menghadapi suatu permasalahan hidup.

2.3.3.3. Pengukuran Kecerdasan Spiritual

Pengukuran kecerdasan spiritual mengungkap berbagai aspek yang mengacu pada teori Emmons (Saifullah, 2005) yang menjelaskan bahwa karakteristik orang yang cerdas secara spiritual adalah yang memiliki kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkatan kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan menggunakan sumber-sumber spiritual


(45)

dalam menyelesaikan masalah untuk berbuat baik dan memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan.


(46)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep

Variabel Dependen / Terikat

Variabel Independen / Bebas

Sepuluh faktor carative perilaku caring perawat menurut Watson, meliputi:

a. Sistem nilai humanistik-altruistik b. Keyakinan dan harapan (faith-hope)

c. Sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain

d. Hubungan saling percaya dan membantu (helping-trust) e. Ekspresi perasaan positif dan negatif

f. Problem solving dalam mengambil keputusan g. Belajar mengajar interpersonal

h. Lingkungan fisik, mental, sosiokultural, spiritual i. Pemenuhan kebutuhan manusia

j. Eksistensial fenomenologikal - dimensi spiritual

Kecerdasan spiritual menurut Emmons meliputi: a. Mentrasendesikan yang fisik dan material b. Tingkatan kesadaran memuncak

c. Mensakralkan kehidupan sehari-hari

d. Sumber-sumber spiritual dalam pemecahan masalah e. Rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan


(47)

Skema : Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat Dalam Pelayanan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RS ST Elisabeth Medan Keterangan : Variabel yang diteliti

3.2 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi

Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala 1. perilaku

caring (variabel depende n) Tindakan perawat dengan menujukkan rasa kasih kepada klien. Tindakan ini mengarah kepada pandangan Watson (Potter dan Perry, 2009) dibangun

dari sepuluh carative factor, yaitu

pendekatan

humanistik dan

altruistik, menanamkan keyakinan dan harapan, mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan

saling percaya dan saling membantu, meningkatkan dan

Kuesioner yang terdiri dari 20 pernyataan dengan pilihan jawaban yaitu:

selalu = 4 sering = 3

kadang-kadang = 2 tidak pernah = 1

skor 20-80


(48)

problem solving dalam mengambil keputusan, peningkatan belajar mengajar interpersonal, menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, spiritual yang mendukung, memberi bantuan dalam pemenuhan kebutuhan manusia, serta terbuka pada eksistensial fenomenologikal dan dimensi spiritual penyembuhan 2. Kecerdas

an spiritual (variabel bebas) Kemampuan perawat untuk bertindak diluar keterbatasan dengan mengandalkan Tuhan. Kemampuan ini mengaarah kepada Teori Emmons yang menjelaskan bahwa karakteristik perawat yang cerdas secara spiritual menurut Emmons (Saifullah, 2005) adalah yang memiliki kemampuan untuk mentransendensika n yang fisik dan material,

Kuesioner yang terdiri dari 20 pernyataan dengan pilihan jawaban yaitu:

selalu = 4 sering = 3

kadang-kadang = 2 tidak pernah = 1

skor 20-80


(49)

mengalami tingkatan

kesadaran yang memuncak,

kemampuan untuk mensakralkan

pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk

menggunakan sumber-sumber

spiritual buat menyelesaikan

masalah untuk berbuat baik,dan memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan

3.3 Hipotesa Penelitian Hipotesa dalam penelitian ini :

Ha: terdapat hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan.


(50)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi korelasi yang bertujuan untuk mengungkapkan hubungan antar variabel, meliputi variabel independen (kecerdasan spiritual menurut Emmons) dan variabel dependen (perilaku caring menurut sepuluh carative fator menurut Watson).

4.2. Populasi dan Sampel 4.2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti (Arikunto, 2002:). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang bertugas di ruang rawat inap St.Melania, St.Theresia, St.Maria, St.Fransiskus, St.Antonius di RS ST Elisabeth Medan sebanyak 108 orang perawat.


(51)

4.2.2. Sampel

Rumus Slovin untuk mendapatkan sampelnya (Setiadi, 2007) adalah d=50% dari populasi yaitu:

N n =

1 + N (d)2

Dengan keterangan : Sample (n) didapat dari 108/1+ 108 (0,05) sama dengan 85 dan dikurangi menjadi 70 orang. Maka untuk kelima ruangan didapatkan tiap ruangan diambil secara acak dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah probability sampling yaitu jenis cluster sampling (sampel secara kelompok atau gugus menentukan sampel daerah kemudian randomisasi/menentukan orang /unit yang ada diwilayahnya dari populasi cluster yang terpilih (Hidayat, 2008)) dan pembagian kuesioner secara aksidental (berpapasan dengan tidak sengaja/ kebetulan bertemu dengan respondennya).

Pengambilan sampel perawat ini di ruang rawat inap St.Melania, St.Theresia, St.Maria, St.Fransiskus, St.Antonius di RS ST Elisabeth Medan.


(52)

Tabel 4.1. Besar Sampel Tiap Perawat Ruangan Rawat Inap RS ST.Eisabeth Medan, Populasi : 108, Sampel : 70

No

Ruangan Jumlah Populasi Jumlah Sampel 1 St.Melania 19 orang 13 orang 2 St.Theresia 24 orang 14 orang

3 St.Maria 19 orang 14 orang

4 St.Fransiskus 21 orang 14 orang 5 St.Antonius 25 orang 15 orang Total 108 orang 70 orang

4.3. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini rencana akan dilakukan pada bulan Nopember 2012 di RS ST.Elisabeth Medan.

4.4.Pertimbangan Etik Penelitian

Alasan penelti memilih RS ST. Elisabeth Medan sebagai tempat penelitian, karena RS ST Elisabeth adalah salah satu rumah sakit di bidang keagamaan di kota Medan. Hasil survey awal peneliti mendapatkan informasi dari


(53)

beberapa kepala ruangan bahwa setiap pergantian shift, tiap perawat berkumpul membaca dan merenungkan ayat Kitab Suci yaitu Alkitab dan berdoa sebelum melakukan pelayanan keperawatan kepada klien. Demikian juga, perawat banyak berinteraksi dengan klien khususnya dalam memberikan pelayanan keperawatan dengan menunjukkan perilaku caring perawat dari diri perawat sendiri kepada klien.

Penelitian ini dilakukan setelah proposal disetujui oleh institusi pendidikan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, dan sebelum dilakukan penelitian atau pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengurus prosedur penelitian mulai dari izin dari pihak RS ST Elisabeth Medan. Karena peneliti menggunakan manusia yaitu perawat sebagai subjek penelitian, maka hakekatnya sebagai manusia harus dilindungi dengan memperhatikan prinsip–prinsip dalam pertimbangan etik yaitu responden mempunyai hak untuk memutuskan apakah ia bersedia menjadi subjek atau tanpa ada sanksi apapun dan responden tidak mengalami kerugian. Maka untuk itu peneliti harus memberikan penjelasan dan informasi secara lengkap dan rinci serta bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada perawat sebagai responden.

Jika responden bersedia diteliti maka harus terlebih dahulu menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak berhak untuk memaksa dan tetap menghormati hak–hak responden. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama


(54)

responden pada lembar pengumpulan data yang telah diisi oleh responden. Lembar tersebut hanya diberi kode tertentu. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian (Nursalam, 2008).

4.5. Instrumen Penelitian

4.5.1. Data demografi responden

Kuesioner data demografi meliputi usia, jenis kelamin, suku bangsa, pendidikan, status pernikahan, dan penghasilan. Data demografi responden sebagai kuesoiner pembuka.

4.5.2. Kuesioner perilaku caring

Kuesioner perilaku caring perawat dimodifikasi oleh peneliti yang berisi sepuluh carative factor caring perawat menurut Watson mewakili dari isi tinjauan pustaka. Kuesioner ini menggunakan skala likert yang terdiri dari 20 pernyataan positif dengan empat pilihan, yaitu jawaban “SL” atau selalu dengan skor 4”, “S atau sering” dengan skor 3, “K atau kadang – kadang” dengan skor 2, dan “TP atau tidak pernah” dengan skor 1.Berdasarkan rumus statistika (Hidayat 2007), bahwa panjang kelas (i):

rentang kelas i = ___________ banyak kelas


(55)

Dengan demikian skor yang maksimum yang dapat diperoleh yaitu 20 x 4 = 80 dan nilai minimum yang dapat diperoleh yaitu 20 x 1 = 20.

Rentang kelas = nilai maksimum- nilai minimum = 80 – 20

= 60

Banyak kelas = 3 dari kelompok selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah. Panjang kelas = 60/3 = 20 , sehiggga hasi ukur yaitu dari 20-80 dan dibagi

1. 61-80 2. 41-60 3. 20-40

Ada sepuluh dari carative factor perilaku caring yaitu humanistik dan altruistic dengan 2 pernyataan, menanamkan sikap penuh harapan dengn 2 pernyataan, kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain dengan 2 pernyataan, hubungan saling percaya dan saling membantu dengan 2 pernyataan, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif dengan 2 pernyataan, menggunakan problem solving dalam mengambil keputusan dengan 2 pernyataaan, peningkatan belajar mengajar interpersonal dengan 2 pernyataan , menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural dan spiritual yang mendukung dengan 2 pernyataan, memberi bantuan dalam pemenuhan kebutuhan manusia dengan 2 pernyataan, dan terbuka pada eksistensial fenomenologikal dan dimensi spiritual dengan 2 pernyataan.


(56)

4.5.3. Kuesioner kecerdasan spiritual

Kuesioner kecerdasan spirirtual dimodifikasi oleh peneliti menurut teori Emmons mewakili teori-teori lain mengenai kecerdasan sipiritual yang ada pada isi tinjauan pustaka, dengan skala likert terdiri dari 20 pernyataan meliputi pernyataan positif dengan empat pilihan, yaitu jawaban “selalu” skornya 4“, sering” skornya 3, “kadang-kadang” skornya 2, dan “tidak pernah”skornya 1 pernyataan, dan sebaliknya pernyataan negatif dimulai dari skor 4 yaitu tidak pernah, skor 3 yaitu kadang-kadang, skor 2 yaitu sering, skor 1 yaitu selalu. Berdasarkan rumus statistika menurut Hidayat (2007), panjang kelas ( i ) : rentang kelas

i = ___________ banyak kelas

Dengan demikian skor yang maksimum yang dapat diperoleh yaitu 20 x 4 = 80 dan nilai minimum yang dapat diperoleh yaitu 20 x 1 = 20.

Rentang kelas = nilai maksimum- nilai minimum = 80 – 20


(57)

Banyak kelas = 4 dari kelompok selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah. Panjang kelas = 60/3 = 20, sehiggga hasi ukur yaitu: 20-80 dan dibagi:

1) 61-80 2) 41-60 3) 20-40

Masing-masing komponen: menstrasendensikan yang fisik dan material dengan skor tertinggi 4 x 4 = 16 dan terendah 4 x 1 = 4, tingkatan kesadaran yang memuncak dengan skor tertinggi 4 x 4 = 16 dan terendah 4 x 1 = 4, mensakralkan kehidupan sehari-hari dengan skor tertinggi 4 x 4 = 16 dan terendah 4 x 1 = 4, sumber-sumber spiritual dalam memecahkan masalah dengan skor tertinggi 4 x 4 = 16 dan terendah 4 x 1 = 4, kemampuan berbuat baik dengan skor tertinggi 4 x 4 = 16 dan terendah 4 x 1 = 4. Dan untuk pernyataan negative dengan skor tertinggi 4 pada tidak pernah, skor 3 pada kadang-kadang, skor 2 pada sering dan skor 1 pada sangat sering.

4.6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen 4.6.1. Validitas instrumen

Dikatakan hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang


(58)

diteliti. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2006).

Kuesioner yang akan dibagikan kepada responden dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan isi tinjauan pustaka sehingga perlu dilakukan uji validitas. Kuesioner ini ( Sugiyono, 2006). Konsultasi dengan menggunakan pendapat ahli (jugment experts) memvalidkan instrument berupa kuesioner sepuluh caractive

factor caring perawat menurut Watson dan instrument berupa kuesioner

kecerdasan spiritual menurut Teori Emmons sesuai lingkup yang diteliti (Sugiyono, 2006).

Kegiatan yang dilakukan dengan mengajukan kuesioner , dan proposal penelitian kepada penguji validitas. Ahli akan diminta untuk mengamati secara cermat semua item dalam tes yang hendak divalidasi. Kemudian mengoreksi semua item yang telah dibuat. Pada akhir perbaikan, ahli diminta untuk memberikan pertimbangan tentang bagaimana tes tersebut menggambarkan cakupan isi yang akan diukur. Dan data yang didapatkan bahwa instrumen berupa kuesioner memiliki nilai 0,8 secara keseluruhan oleh penguji vailiditas dengan memakai content validity.

4.6.2. Reliabilitas instrumen

Setelah pengujian kuesioner oleh ahli, peneliti melakukan pengujian kuesioner kepada contoh sampel berdasarkan pengalaman empiris di lapangan selesai, maka diteruskan pada sampel yang digunakan 30 orang yang merupakan reliabilitas eksternal (Sugiyono, 2006). Dan pengujian reliabilitas


(59)

internal pada instrumen adalah dengan menggunakan metode Alpha-Cronbach. Standar yang digunakan dalam menentukan reliabel atau tidaknya suatu instrumen penelitian adalah dengan perbandingan antara nilai r hitung diwakili dengan nilai Alpha dengan r tabel pada taraf kepercayaan 95 % atau tingkat significant 5 %. Tingkat reliabilitas dengan metode Alpha – Cronbach diukur berdasarkan skala alpha 0 sampai dengan 1. Pernyataan yang reliabel diberi nilai lebih dari 0,7 (Sugiyono, 2006).

4.7. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara yaitu mengajukan surat permohonan izin reliabel dan melakukan penelitian pada institusi pendidikan Fakultas Keperawatan USU pada bulan September 2012 dengan persetujuan dosen pembimbing skripsi. Dan diproses selama lebih kurang 4 hari. Setelah mendapatkan surat permohonan izin tersebut, peneliti mengirim surat permohonan izin reliabel dan penelitian dari Fakultas Keperawatan USU ke RS ST Elisabeth Medan. Setelah mendapatkan izin reliabel dan penelitian dari pihak RS ST Elisabeth Medan, peneliti bekerjasama dengan pegawai administrasi untuk pengumpulan data dan menentukan contoh responden sebanyak 30 orang dan calon responden sebanyak 70 orang. Peneliti menjelaskan kepada contoh responden untuk membantu mereliabelkan instrument berupa kuesioner dan calon responden tentang tujuan, manfaat, dan prosedur penelitian. Peneliti


(60)

penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Namun peneliti melakukan reliabel data terlebih dahulu kepada contoh responden sebanyak 30 orang. Lalu setelah mendapatkan izin dan kemudian telah mengisi kuesioner tersebut, maka peneliti memasukan data ke program komputerisasi tiap pernyataan yang telah diisi, setelah itu peneliti mendapatkan hasil reliabel melebihi nilai lebih dari 0,7. Kemudian peneliti melanjutkan proses penelitian kepada responden aslinya yaitu calon responden, peneliti membagi kuesioner dan menjelaskan cara mengisi kuisioner. Kuesioner yang akan terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama kuesioner data demografi perawat, bagian kedua sepuluh carative factor caring perawat, dan bagian ketiga kuesioner kecerdasan spiritual. Setelah kuisioner diisi oleh responden, peneliti memeriksa kuisioner untuk memastikan apakah responden sudah mengisi semua pernyataan dan menyesuaikannya dengan jumlah kuesioner yang terkumpul. Setelah kuesioner telah terkumpul, peneliti menganalisa data.

4.8. Pengolahan dan Analisa Data

4.8.1 Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut (Hidayat, 2007):

1) Editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan data. Apabila

data belum lengkap ataupun ada kesalahan data, maka peneliti harus mengumpulkan data lagi dengan mencari responden baru yang masih dalam


(61)

2) Tabulating, memindahkan data dari daftar pertanyaan ke dalam tabel – tabel yang telah dipersiapkan.

3) Processing, memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputerisasi

4) Cleaning, memeriksa atau mengecek kembali data yang telah dimasukkan (entry)

untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak. 5) Analisa data

4.8.2. Analisa Data

Selanjutnya peneliti melakukan analisa data. Metode statistik data untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Statistik univariat

Analisa data dengan metode statistik univariat dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisa data demografi, variabel independen (sepuluh carative factor caring perawat) dan variabel dependen (kecerdasan spiritual). 1. Data demografi akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

2. Data sepuluh carative factor caring perawat akan disajikan dalam bentuk skala ordinal, data ini merupakan jenis data kategorik yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penilaian data kuisioner sepuluh carative factor caring perawat didistribusikan menjadi:


(62)

3. Data kecerdasan spiritual disajikan dalam bentuk skala ordinal, data ini merupakan jenis data kategorik yang akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Hasil penilaian data kuisioner kecerdasan spiritual ke didistribusikan menjadi:

1. 61-80. 2. 41-60, 3. 20-40

b.Statistik bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk menganalisis hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan. Karena jenis hipotesis dalam penelitian ini adalah jenis hipotesis korelatif dengan menggunakan skala numerik. Uji korelasi pearson akan ditampilkan dalam bentuk table hasil uji interprestasi yang terdiri dari nilai r, nilai p dan arah korelasi. Nilai r menginterprestasikan kekuatan hubungan dengan level 0-1. Nilai p menginterprestasikan nilai signifikan untuk satu arah, jika p<0,05 maka terdapat korelasi bermakna antar variabel yang diuji jika nilai p>0,05 maka tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variabel yang diuji. Arah korelasi diinterprestasikan dengan nilai korelasi positif (+), apabila variasi suatu variabel diikuti sejajar dengan variabel lain dan korelasi negative (-)


(63)

2001). Kekuatan hubungan dapat dikuantifikasi melalui suatu koefisien yang dikenal sebagai koefisien korelasi pearson. Uji Pearson digunakan untuk variabel independent ( kecerdasan spiritual) dan variabel dependen (perilaku caring).

Tabel. 4.3 Pedoman Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 s.d 0,199 Sangat rendah >0,20 s.d 0,399 Rendah >0,40 s.d 0,599 Sedang >0,60 s.d 0,799 Kuat


(64)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian dibagi atas empat bagian yaitu data demografi responden, kecerdasan spiritual berdasarkan teori Emmons, perilaku caring responden berdasarkan sepuluh caractive factor dan mengidentifikasi apakah adanya hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan pada bulan Nopember 2012.

5.1.1. Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini adalah perawat yang bertugas di lima ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan sejumlah 70 orang. Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, dan penghasilan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden rata-rata berusia 26 tahun. Dengan rentang usia adalah 23 dengan usia maksimum adalah 45 dan usia minimum adalah 22. Kemudian mayoritas responden adalah 92,9% perempuan dengan jumlah 65 orang. Pendidikan responden mayoritas adalah 88,6% Dilpoma dengan jumlah 62 orang. Mayoritas responden yang belum menikah adalah 68,6% yang berjumlah 48 orang, serta berpenghasilan mayoritas diatas Rp.1.000.000,00 adalah 90,0% dengan jumlah 63 orang.


(65)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase berdasarkan responden di ruang inap rawat di RS ST Elisabeth Medan pada bulan Nopember 2013

N=70 Karakteristik responden Frekuensi Persentase(%) Usia

22-26 47 67,1

27-32 13 18,6

33-37 5 7,1

38-45 5 7,1

Jenis kelamin

Perempuan 65 92,9

Laki-laki 5 7,1

Pendidikan

Diploma 62 88,6

Sarjana 8 11,4

Status

Menikah 22 31,4

Belum menikah 48 68,6

Penghasilan (Rp)

1.000.000-2.000.000 63 90,0


(66)

5.1.2 Kecerdasan Spiritual Responden

Berdasarkan hasil analisa data dari keseluruhan responden terhadap perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan maka diperoleh bahwa kecerdasan spiritual perawat secara keseluruhan pada kelas interval 61-80 dengan frekuensi= 68 orang dan persentase= 97,1%. Sehingga hasil yang didapatkan oleh peneliti dalam arti baik. Dan total frekuensi yang diperoleh berkisar dari nilai 60 sampai dengan 80 adalah 70 dan persentasenya 100%.

Tabel 5.2: Distribusi frekuensi dan persentase kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan

N=70 Kecerdasan Spiritual Frekuensi Persentase (%)

61-80 68 97,1

41-60 2 2,9

20-40 0 0

5.1.3 Perilaku Caring Responden

Berdasarkan hasil analisa data dari keseluruhan responden terhadap perawat di lima ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan maka diperoleh bahwa perilaku caring perawat secara keseluruhan pada kelas interval 61-80 dengan frekuensi = 61 orang dan persentase = 87,1%. Sehingga hasil yang didapatkan oleh peneliti dalam arti baik. Dan total frekuensi yang diperoleh berkisar dari nilai 60 sampai dengan 80 adalah 70 dan persentasenya 100%.


(67)

Tabel 5.3:Distribusi frekuensi dan persentase perilaku caring perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan

N=70

Perilaku Caring Frekuensi Persentase (%)

61-80 61 87,1

41-60 9 12,9

20-40 0 0

5.1.4. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Responden Analisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat diukur dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Nilai diambil dari total skor dari dua variabel sehingga hasil penelitian didapat koefisien korelasi (r) antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat yaitu r = 0,465 dengan sig(2-tailed) sebesar .000. Hal tersebut berarti bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dengan arah positif p<0,05 bersifat searah, dan kekuatan hubungan r=0,465 (sedang). Dengan demikian semakin baik kecerdasan spiritual sebagai variabel independen maka semakin baik juga perilaku caring responden sebagai variabel dependen.


(68)

Tabel 5.4: Hasil analisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan

N=70 Variabel total skor r sig(2-tailed) Kecerdasan spiritual 5201 0.465 .000 Perilaku caring 4687

5.2. Pembahasan

5.2.1 Kecerdasan Spiritual Perawat di Ruang Rawat Inap RS ST Elisabeth Medan

Hasil analisis deskriptif dari kecerdasan spiritual dari tabel menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual responden mayoritas dalam katagori yang baik dan tidak ada responden yang memiliki kecerdasan spiritual yang kurang. Hal tersebut karena seluruh responden adalah umat beragama yang bermayoritas beragama Nasrani yang mengajarkan untuk tetap berdoa sebelum melakukan segala tindakan pelayanan keperawatan dan dasar kepada penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut senada diungkapkan Ahmad (2006) bahwa yang paling sempurna kecerdasan spiritual harus bersumber dari ajaran agama yang dihayati seorang yang beragama sekaligus akan menjadi orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Sehingga Saifullah (2005) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual yang sejati merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai tidak saja terhadap manusia tetapi juga kepada Tuhan.


(69)

Kecerdasan spiritual (SQ) adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat (Soemanto, 1983). Demikian pula seperti yang dikemukakan oleh Zuhri (Yosef, 2005) bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang memiliki hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusia pun akan baik pula. Pengukuran kecerdasan spiritual mengungkap berbagai aspek yang mengacu pada teori Emmons (dikutip dari Saifullah, 2005) yang menjelaskan bahwa karakteristik orang yang cerdas secara spiritual adalah yang memiliki kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkatan kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan menggunakan sumber-sumber spiritual dalam menyelesaikan masalah untuk berbuat baik dan memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan.

5.2.2 Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RS ST Elisabeth Medan Hasil analisis data perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh caractive factor menurut Watson secara keseluruhan dapat dilihat dalam katagori yang baik dan tidak ada responden yang memiliki perilaku caring yang kurang. Perilaku

caring dengan mengacu pada pengembangan dari carative factor Watson (1979


(70)

sensitifitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan saling percaya dan saling bantu, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif, menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental dan sosiokultural, membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia serta mengembangkan faktor eksistensial-fenomenologis dan dimensi spiritual.

5.2.3 Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat dalam Pelayanan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RS ST Elisabeth Medan

Hasil yang diperoleh dari uji hipotesis menunjukkan bahwa ada hubungannya positif dan tingkat hubungannya sedang antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dalam pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RS ST Elisabeth Medan. Hasil penelitian tersebut senada dengan penelitian Rudyanto (2010) yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku prososial perawat yaitu semakin tinggi kecerdasan spiritual perawat maka semakin tinggi pula perilaku prososialnya dimana perilaku prososial adalah tindakan-tindakan yang dilakukan bertujuan untuk menolong orang lain.

Sehingga asumsi peneliti dapat dipastikan bahwa ternyata ada hubungan perilaku caring perawat tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, namun juga


(71)

dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap perawat. Kecerdasan spiritual berkaitan dengan masalah makna, nilai, dan tujuan hidup manusia. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan, kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna dan juga dapat menuntun manusia dalam meraih cita-citanya. Manusia dapat memberi makna melalui berbagai macam keyakinan. Pencarian makna bagi perawat seharusnya mampu mengaitkan pemberian pelayanan keperawatan atas dasar ibadah kepada Tuhan (Yosef, 2005). Berdasarkan hasil analisis menunjukkan kecerdasan spiritual berhubungan dengan perilaku caring perawat dengan arah hubungan yang positif dimana semakin tinggi kecerdasan spiritual maka perilaku caring perawat semakin baik. Dan hipotesa penelitian dengan Ha dapat diterima.

Demikian pada penelitian yang dilakukan , tingkat hubungan yang sedang antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring responden terjadi dikarenakan saat mengisi kuesioner, responden mempunyai banyak pekerjaan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada klien bahkan kepada keluarga klien, sehingga kurang berkosentrasi dalam mengisi kuesioner tersebut. Sehingga peneliti menjadi kesulitan dengan menunggu sangat lama responden untuk mengisi kuesioner tersebut.


(1)

99


(2)

(3)

101


(4)

(5)

103 RENCANA ANGGARAN BIAYA MULAI SIDANG PROPOSAL SAMPAI DENGAN SIDANG AKHIR

1) Biaya survey awal : Rp. 300.000,00

2) Biaya kuesioner : Rp. 100.000,00

3) Biaya angkutan : Rp. 100.000,00

4) Biaya peralatan tulis : Rp. 100.000,00

5) Biaya makan dan minum : Rp. 200.000,00

6) Biaya prnter dan copy

Proposal sampai sidang akhir

dan menjilid : Rp. 400.000,00 7) Biaya mencari data primer

dan data skunder dengan

mengcopy sebagai referensi : Rp. 200.000,00

Jumlah biaya sebesar : Rp. 1.100.000,00


(6)

CURRICULUM VITAE

Nama : Veranda Panjaitan

Tempat/Tanggal lahir : Medan 24 Februari 1987

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat Rumah : Jl. Mesjid Taufik Gg. Bintara No.4 A Medan Riwayat Pendidikan :

1. SD Kristen V Bersubsidi 1999 2. SMP Negeri 11 Medan 2002 3. SMA Negeri 7 Medan 2005 4. Akademi Keperawatan USU 2008 Riwayat Pekerjaan : RB/RSIA Stela Marris Medan


Dokumen yang terkait

Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan

16 129 102

HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH Hubungan Perilaku Caring Perawat Dengan Tingkat Kecemasan Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta.

0 2 16

HUBUNGAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERILAKU CARING PERAWAT DI RS DR.M.DJAMIL PADANG, 2009.

1 5 9

Pengaruh Aplikasi Protokol Caring Padapenerimaan Pasien Baru Terhadap Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RSU Medan

0 0 15

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PERILAKU CARING PERAWAT RAWAT INAP RSUD DI JAKARTA

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PERILAKU CARING 2.1.1. Konsep Perilaku - Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RS. ST Elisabeth Medan

0 0 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latarbelakang - Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap RS. ST Elisabeth Medan

0 0 9

HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT INAP DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Perilaku Caring Perawat dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 17

HUBUNGAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERILAKU CARING PERAWAT DI BANGSAL RAWAT INAP MARWAH DAN ARAFAH RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat di bangsal rawat inap Marwah dan Arafah RS

0 0 19

HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL RAWAT INAP WARDAH RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI BANGSAL RAWAT INAP WARDAH RS PKU MUHAMMADIYAH GA

0 1 11