Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan
an depan
HUBUNGAN KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN
PERILAKU
CARING
PERAWAT PADA PRAKTEK
KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
NURUL QOMARIAH 101121009
SKRIPSI
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
(3)
PRAKATA
Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan Sarjana (S1) Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.
4. Bapak Ikhsanudin A. Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan waktu dan masukan selama proses akademik.
5. Ibu Salbiah, S.Kp, M.Kep sebagai dosen pembimbing skripsi, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Setiawan, S.Kp, MNS, PhD selaku dosen penguji I, yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
(4)
7. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen penguji II, yang telah memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep selaku dosen dari bagian Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, yang telah menvalidasi instrumen dalam penelitian ini.
9. Seluruh responden yang telah bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini. 10.Teristimewa kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan
doanya.
11.Teman-teman mahasiswa S1 Keperawatan Ekstensi Pagi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya stambuk 2010 yang telah memberikan motivasi dan perhatiannya dalam penyelesaian skripsi ini.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan karena keterbatasan ilmu dan kemampuan peneliti, oleh karena itu kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini sangat diharapkan.
Akhir kata peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya dalam pengembangan ilmu keperawatan.
Medan, Februari 2012
(5)
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Persetujuan Skripsi ... ii
Prakata ... iii
Daftar Isi ... v
Daftar Tabel ... viii
Daftar Skema ... ix
Abstrak ... x
Bab 1. Pendahuluan ... 1
1. Latar Belakang ... 1
2. Pertanyaan Penelitian ... 4
3. Hipotesa Penelitian ... 5
4. Tujuan Penelitian ... 5
5. Manfaat Penelitian ... 5
Bab 2. Tinjauan Pustaka ... 7
1. Kecerdasan Spiritual ... 7
1.1.Konsep Kecerdasan ... 7
1.2.Konsep Spiritual ... 8
1.3.Kecerdasan Spiritual ... 10
1.4.Pengukuran Kecerdasan Spiritual ... 16
2. Perilaku Caring ... 16
2.1.Konsep Perilaku ... 16
2.2.Teori Caring ... 19
2.3.Pengukuran Perilaku Caring ... 26
Bab 3. Kerangka Konseptual ... 28
1. Kerangka Konsep ... 28
2. Definisi Operasional ... 29
Bab 4. Metodologi Penelitian ... 31
(6)
2. Populasi dan Sampel Penelitian ... 31
2.1.Populasi Penelitian ... 31
2.2.Sampel Penelitian ... 31
3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32
4. Pertimbangan Etik Penelitian ... 33
5. Instrumen Penelitian dan Pengukuran Validitas dan Reliabilitas ... 33
5.1.Instrumen Penelitian ... 33
5.2.Validitas dan Reliabilitas ... 38
6. Pengumpulan Data ... 39
7. Analisa Data ... 40
Bab 5. Hasil dan Pembahasan ... 42
1. Hasil Penelitian ... 42
1.1. Karakteristik Responden ... 42
1.2. Kecerdasan Spiritual Responden ... 43
1.3. Perilaku Caring Responden Berdasarkan Sepuluh Faktor Karatif 44 1.4. Perilaku Caring Responden ... 46
1.5. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Responden ... 46
2. Pembahasan ... 47
2.1. Kecerdasan Spiritual Perawat di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 47
2.2. Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Sepuluh Faktor Karatif di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 48
2.3. Perilaku Caring Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 55
2.4. Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat pada . Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 56
Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 59
1. Kesimpulan ... 59
2. Saran ... 59
(7)
Lampiran-Lampiran
1. Formulir Persetujuan Menjadi Peserta Penelitian ... 65
2. Instrumen Penelitian ... 66
3. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 72
4. Taksasi Dana Penelitian ... 73
5. Surat Permohonan Pengambilan Data dari Fakultas Keperawatan USU .... 74
6. Surat Izin Penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan ... 75
7. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan 76 8. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Perilaku Caring ... 77
9. Hasil Analisa Data ... 79
10.Daftar Riwayat Hidup ... 90
(8)
l
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Definisi Operasional ... 29 Tabel 2. Distribusi jumlah populasi dan sampel di ruang rawat inap RSUP
Haji Adam Malik Medan ... 32 Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik usia responden ... 42 Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden ... 43 Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase kecerdasan spiritual perawat
di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 43 Tabel 6. Distribusi frekuensi dan persentase perilaku caring perawat berdasarkan
sepuluh faktor karatif di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 44 Tabel 7. Distribusi frekuensi dan persentase perilaku caring perawat di ruang
rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan ... 46 Tabel 8. Hasil analisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring
(9)
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka konsep hubungan kecerdasan spiritual dengan
(10)
Judul : Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring
Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan
Nama Mahasiswa : Nurul Qomariah NIM : 101121009
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S. Kep) Tahun : 2012
Abstrak
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering berinteraksi langsung dengan klien. Perawat harus dapat melayani klien dengan sepenuh hati dan memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, tehnikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring.
Caring merupakan sentral praktek keperawatan. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, ditemukan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap manusia. Salah satu bentuk kecerdasan tersebut adalah kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan serta mampu menyinergikan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Metode
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling
dengan sampel penelitian berjumlah 86 responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner demografi, kuisioner kecerdasan spiritual, dan kuisioner perilaku caring. Uji hipotesis dengan menggunakan uji korelasi
Pearson. Berdasarkan analisis data diperoleh koefesien korelasinya r sebesar 0,315 dengan taraf signifikan p = 0,003. Dengan demikian terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
(11)
Judul : Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring
Perawat pada Praktek Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan
Nama Mahasiswa : Nurul Qomariah NIM : 101121009
Jurusan : Sarjana Keperawatan (S. Kep) Tahun : 2012
Abstrak
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling sering berinteraksi langsung dengan klien. Perawat harus dapat melayani klien dengan sepenuh hati dan memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, tehnikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring.
Caring merupakan sentral praktek keperawatan. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, ditemukan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap manusia. Salah satu bentuk kecerdasan tersebut adalah kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan serta mampu menyinergikan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Metode
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling
dengan sampel penelitian berjumlah 86 responden. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuisioner demografi, kuisioner kecerdasan spiritual, dan kuisioner perilaku caring. Uji hipotesis dengan menggunakan uji korelasi
Pearson. Berdasarkan analisis data diperoleh koefesien korelasinya r sebesar 0,315 dengan taraf signifikan p = 0,003. Dengan demikian terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
(12)
BAB 1 PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada klien oleh suatu tim multidisiplin termasuk tim keperawatan. Tim keperawatan merupakan anggota tim kesehatan di garis terdepan yang menghadapi masalah kesehatan klien selama 24 jam secara terus menerus (Imbalo, 2007 dalam Suwardi, 2008).
Perawat dalam pelayanan kesehatan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak jumlahnya dan paling banyak berinteraksi dengan klien. Pelayanan keperawatan menjadi salah satu tolok ukur pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena perawat yang melaksanakan tugas perawatan terhadap klien secara langsung (Rudyanto, 2010).
Rosalina (2008) menyatakan bahwa kenyataan yang ada dalam layanan jasa kesehatan pada klien belum memuaskan. Hal ini terbukti dengan masih banyak keluhan klien dan keluarganya terhadap sikap dan perilaku perawat dalam memberikan layanan kesehatan. Ketidakpuasan yang disampaikan oleh klien antara lain adalah perawat yang kurang ramah dan kurang tanggap terhadap keluhan klien dan keluarganya, padahal 90% layanan kesehatan di rumah sakit terhadap klien adalah layanan keperawatan. Disinilah perawat harus memahami dan menyadari perannya dalam memberikan perawatan.
(13)
Perawat harus dapat melayani klien dengan sepenuh hati dan memerlukan kemampuan untuk memperhatikan orang lain, keterampilan intelektual, tehnikal dan interpersonal yang tercermin dalam perilaku caring (Dwidiyanti, 2010). Benner (1989 dalam Potter & Perry, 2009) menggambarkan inti dari praktik keperawatan yang baik adalah caring.
Caring adalah fokus pemersatu dalam praktik keperawatan (Blais, 2007).
Caring dalam asuhan keperawatan merupakan bagian dari bentuk perilaku dan kinerja perawat dalam merawat klien. Malini (2009) mengemukakan bahwa perilaku caring banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan salah satunya adalah motivasi diri. Telah banyak penelitian diantaranya penelitian Sobirin (2006), Juliani (2007), dan Amelia (2009) yang melihat bahwa faktor motivasi baik internal dan eksternal mempengaruhi perilaku caring seorang perawat. Namun, dalam perkembangan pengetahuan, ditemukan bahwa perilaku caring perawat tidak hanya dipengaruhi oleh motivasi, namun juga dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki setiap manusia. Salah satu bentuk kecerdasan tersebut adalah kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) (Malini, 2009).
Kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan dimana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan dasar yang perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif
Intelligence Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI) (Gunawan, 2004). Hal yang senada dikemukakan oleh Yosef (2005) bahwa hasil penelitian para psikolog USA (United States of America) menyimpulkan bahwa kesuksesan
(14)
dan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan sangat didukung oleh kecerdasan emotional (EQ), yaitu sekitar 80%, sedangkan peranan kecerdasan intelektual (IQ) hanya 20% saja. Dimana ternyata pusatnya IQ dan EQ adalah kecerdasan spiritual (SQ), sehingga diyakini bahwa SQ yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan seseorang. Perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual tinggi mampu menjadi lebih bahagia dalam menjalani hidup dibandingkan mereka yang taraf kecerdasan spiritualnya rendah.
Kecerdasan spiritual berkaitan dengan masalah makna, nilai, dan tujuan hidup manusia. Dalam kondisi yang sangat buruk dan tidak diharapkan, kecerdasan spiritual mampu menuntun manusia untuk menemukan makna dan juga dapat menuntun manusia dalam meraih cita-citanya. Manusia dapat memberi makna melalui berbagai macam keyakinan. Pencarian makna bagi perawat seharusnya mampu mengaitkan pemberian pelayanan keperawatan atas dasar ibadah kepada Tuhan (Yosef, 2005).
Menurut Blais (2007) perawat cenderung mengalami stress dan ketegangan peran dengan berbagai alasan yang unik dalam sistem perawatan kesehatan dan sosial. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil survei Persatuan Perawat Nasional Indonesia (2006 dalam Prihatini, 2007) yang menyatakan bahwa 50,9% perawat mengalami stress kerja yang antara lain disebabkan beban kerja yang tinggi. Sehingga kemungkinan perawat yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja, tetapi ia menghubungkannya dengan makna spiritual sehingga ia juga akan
(15)
berupaya memaknai bahwa mencari karunia Tuhan dengan memperhatikan klien dan meringankan beban klien (Yosef, 2005).
Meskipun demikian, pada kenyataannya dari hasil pengamatan yang dilakukan Malini (2009) yang bertujuan mengidentifikasi perilaku caring perawat di RS Dr. M. Djamil Padang justru terjadi sebaliknya, didapati perawat masih kurang ramah dalam melayani pertanyaan klien, berperilaku tidak bersahabat dan jarang tersenyum. Begitu juga dengan hasil pengamatan Suwardi (2008) terhadap komunikasi terapeutik perawat di RSU. Pandan Arang Boyolali yang dijumpai masih ada perawat yang cenderung emosi saat menerima keluhan dari klien, perawat yang hanya duduk-duduk di ruang perawat, perawat yang cenderung tidak tahu mengenai kondisi klien, program pengobatan yang sudah diberikan dan yang akan diberikan, serta perawat yang kurang memahami keluhan yang dirasakan klien. Ini menunjukkan bahwa perilaku caring masih kurang ditunjukkan oleh perawat yang bekerja di rumah sakit.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tergerak untuk meneliti apakah ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. PERTANYAAN PENELITIAN
2.1.Bagaimana kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan?
2.2.Bagaimana perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan?
(16)
2.3.Apakah ada hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring
perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan?
3. HIPOTESA PENELITIAN
Hipotesis adalah pernyataan sementara terhadap terjadinya hubungan variabel yang perlu diuji kebenarannya (Notoadmodjo, 2010). Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat.
4. TUJUAN PENELITIAN
Sesuai dengan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
4.1.Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring
perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
4.2.Tujuan Khusus
4.2.1.Mengetahui kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan
4.2.2.Mengetahui perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh faktor karatif pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
5. MANFAAT PENELITIAN
(17)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perawat mengenai pentingnya kecerdasan spiritual dalam meningkatkan perilaku
caring perawat. Bagi pengelola rumah sakit, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk memberikan pembekalan serta pembinaan bagi para perawat tentang pentingnya kecerdasan spiritual dalam mendorong munculnya perilaku caring pada perawat.
5.2. Bagi Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi perawat pendidik untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran terkait dengan kecerdasan spiritual dan perilaku caring.
5.3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan dan pertimbangan maupun perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
(18)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. KECERDASAN SPIRITUAL
1.1.Konsep Kecerdasan
Walters & Gardner (dalam Safaria, 2005) mendefinisikan bahwa kecerdasan adalah sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu. Pernyataan yang senada juga disampaikan Wechsler (1985 dalam Safaria, 2005) yang memandang kecerdasan sebagai suatu kumpulan atau totalitas kemampuan individu untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. Alfred Binet (dalam Safaria, 2005) menyatakan bahwa kecerdasan merupakan kemampuan mengarahkan pikiran maupun tindakan, kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila dituntut demikian, dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri.
Sedangkan menurut Maramis (2006) kecerdasan adalah gambaran abstrak yang disaring dari observasi perilaku dalam bermacam-macam keadaan atau suatu konstruksi hipotesis dan hanya dapat diduga dari tanda-tanda perilaku. Sehingga bagaimanapun juga, kecerdasan ada sangkut pautnya dengan kemampuan untuk menangkap hubungan yang abstrak dan rumit, serta kemampuan memecahkan masalah dan belajar dari pengalaman. Kemudian berkembanglah pemahaman tentang jenis-jenis kecerdasan yang
(19)
lain selain kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan lain sebagainya.
Pada umumnya kecerdasan dapat dilihat dari kesanggupan seseorang dalam bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang berubah, dengan keadaan di luar dirinya yang biasa maupun yang baru. Jadi dengan kata lain perbuatan cerdas dapat dicirikan dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap berbagai situasi. Kecerdasan bekerja dalam suatu situasi yang berlainan tingkat kesukarannya. Kecerdasan tidak bersifat statis tetapi kecerdasan manusia selalu mengalami perkembangan. Berkembangnya kecerdasan sedikit banyak sejalan dengan kematangan seseorang (Ahmadi, 2009). Gardner (dalam Saifullah, 2005) juga berpendapat bahwa setiap manusia memiliki kemampuan mengembangkan kecerdasannya sampai pada tingkat tinggi yang memadai apabila memperoleh cukup dukungan, pengayaan, dan pembelajaran.
1.2.Konsep Spiritual
Spiritual berasal dari kata spirit. Spirit mengandung arti semangat atau sikap yang mendasari tindakan manusia. Spirit sering juga diartikan sebagai ruh atau jiwa yang merupakan sesuatu bentuk energi yang hidup dan nyata. Meskipun tidak kelihatan oleh mata biasa dan tidak mempunyai badan fisik seperti manusia, spirit itu ada dan hidup. Spirit bisa diajak berkomunikasi sama seperti kita bicara dengan manusia yang lain. Interaksi dengan spirit yang hidup itulah sesungguhnya yang disebut spiritual. Oleh karena itu spiritual berhubungan dengan ruh atau spirit. Spiritual mencakup nilai-nilai
(20)
yang melandasi kehidupan manusia seutuhnya, karena dalam spiritual ada kreativitas, kemajuan, dan pertumbuhan (Widi, 2008).
Nilai-nilai spiritual yang umum mencakup antara lain kebenaran, kejujuran, kesederhanaan, kepedulian, kerjasama, kebebasan, kedamaian, cinta, pengertian, amal baik, tanggung jawab, tenggang rasa, integritas, rasa percaya, kebersihan hati, kerendahan hati, kesetiaan, kecermatan, kemuliaan, keberanian, kesatuan, rasa syukur, humor, ketekunan, kesabaran, keadilan, persamaan, keseimbangan, ikhlas, hikmah, dan keteguhan (Suyanto, 2006).
Taylor (1997) menjelaskan spiritual adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan seseorang dengan kehidupan nonmaterial atau kekuatan yang lebih tinggi. Kemudian O’Brien (1999 dalam Blais, 2007) mengatakan bahwa spiritual mencakup cinta, welas asih , hubungan dengan Tuhan, dan keterkaitan antara tubuh, pikiran, dan jiwa. Spiritual juga disebut sebagai keyakinan atau hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, kekuatan pencipta, Ilahiah, atau sumber energi yang tidak terbatas .
Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa spiritual yang sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat. Selanjutnya Burkhardt (1993 dalam Blais, 2007) menguraikan karakteristik spiritual yang meliputi hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan sesama, dan hubungan dengan Tuhan.
(21)
1.3.Kecerdasan Spiritual
Selama ini, yang namanya kecerdasan sering dikonotasikan dengan kecerdasan intelektual atau yang lazim kita kenal dengan IQ (Intelligence Quotient). Namun pada saat ini, anggapan bahwa kecerdasan manusia hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak relevan lagi. Selain kecerdasan intelektual, manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya diantaranya adalah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) (Yosef, 2005). Potensi kecerdasan yang kini ramai dibicarakan orang yakni kecerdasan spiritual (Saifullah, 2005).
Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna kehidupan, nilai-nilai, dan keutuhan diri yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Seseorang dapat menemukan makna hidup dari bekerja, belajar dan bertanya, bahkan saat menghadapi masalah atau penderitaan. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan jiwa yang membantu menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan, SQ merupakan kecerdasan tertinggi (Zohar & Marshall, 2001). Vaughan (1992 dalam Safaria, 2007) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang untuk mengenali nilai sifat-sifat pada orang lain serta dalam dirinya sendiri.
(22)
Sementara Sinetar dan Khavari (dalam Suyanto, 2006) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi dari penghayatan ketuhanan dimana kita menjadi bagian di dalamnya. Kecerdasan spiritual yang sejati merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, tidak saja terhadap manusia, tetapi juga dihadapan Tuhan.
Menurut Khavari (dalam Saifullah, 2005) bahwa kecerdasan spiritual juga merupakan fakultas dari dimensi nonmaterial manusia atau ruh manusia. Demikian pula seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Zuhri (dalam Yosef, 2005) bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Asumsinya adalah jika seseorang hubungan dengan Tuhannya baik maka bisa dipastikan hubungan dengan sesama manusia pun akan baik pula.
Pandangan lain yang senada juga dikemukakan Michael Levin (2000 dalam Safaria, 2007) bahwa kecerdasan spiritual adalah sebuah perspektif yang artinya mengarahkan cara berpikir kita menuju kepada hakekat terdalam kehidupan manusia, yaitu penghambaan diri pada Sang Maha Suci dan Maha Meliputi. Kecerdasan spiritual tertinggi hanya bisa dilihat jika individu telah mampu mewujudkannya dan terefleksi dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya sikap-sikap hidup individu mencerminkan penghayatannya akan kebajikan dan kebijaksanaan yang mendalam, sesuai dengan jalan suci menuju pada Sang Pencipta (Safaria, 2007). Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan
(23)
kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif (Agustian, 2007). Yang paling sempurna kecerdasan spiritual harus bersumber dari ajaran agama yang dihayati sehingga seseorang yang beragama sekaligus akan menjadi orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi (Ahmad, 2006).
Kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dengan berbagai cara yaitu dengan merenungi keterkaitan antara segala sesuatu atau makna dibalik peristiwa yang dialami, lebih bertanggung jawab terhadap segala tindakan, lebih menyadari akan diri sendiri, lebih jujur pada diri sendiri, dan lebih berani (Zohar & Marshall, 2001). Sementara Safaria (2007) mengatakan bahwa kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan terus senantiasa menanamkan kecenderungan Ilahiah atau Rabbaniyah (kecenderungan yang positif) dan menekan kecenderungan Syaithaniyah (kecenderungan yang negatif), karena jiwa manusia seperti dua sisi mata uang dimana yang satu cenderung kepada kebajikan dan sisi yang lainnya cenderung kearah yang berlawanan.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap segala perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran yang integralistik serta didasari karena Tuhan. Menurut Gunawan (2004) manusia dapat merasa memiliki makna dari berbagai hal, agama (religi) mengarahkan manusia untuk mencari makna dengan pandangan yang lebih jauh. Bermakna
(24)
di hadapan Tuhan. Inilah makna sejati yang diarahkan oleh agama, karena sumber makna selain Tuhan tidaklah kekal.
Sinetar (2001 dalam Safaria, 2007) menjelaskan beberapa karakteristik seseorang yang memiliki potensi kecerdasan spiritual yang tinggi. Adapun karakteristik tersebut antara lain adalah :
a. Memiliki kesadaran diri yang mendalam dan intuisi yang tajam.
Ciri utama munculnya kesadaran diri yang kuat pada seseorang adalah ia memiliki kemampuan untuk memahami dirinya sendiri serta memahami emosi-emosinya yang muncul, sehingga mampu berempati dengan apa yang terjadi pada orang lain. Selain itu seseorang juga memiliki intuisi yang tajam sehingga ia memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilakunya sendiri. Disamping itu seseorang juga memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan kemauan yang keras untuk mencapai tujuannya serta memiliki keyakinan dan prinsip-prinsip hidup.
b. Memiliki pandangan yang luas terhadap dunia dan alam.
Seseorang melihat dirinya dan orang lain saling terkait, menyadari bahwa bagaimanapun kosmos ini hidup dan bersinar sehingga seseorang dapat melihat bahwa alam adalah sahabat manusia, muaranya ia memiliki perhatian yang mendalam terhadap alam sekitarnya, dan mampu melihat bahwa alam raya ini diciptakan oleh zat yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan. c. Memiliki moral yang tinggi dan kecenderungan merasa gembira.
(25)
Seseorang memiliki moral yang tinggi, mampu memahami nilai-nilai kasih sayang, cinta, penghargaan kepada orang lain, senang berinteraksi, cenderung selalu merasa gembira dan membuat orang lain gembira.
d. Memiliki pemahaman tentang tujuan hidupnya.
Seseorang dapat merasakan arah nasibnya, melihat berbagai kemungkinan, seperti cita-cita yang suci diantara hal-hal yang biasa.
e. Memiliki keinginan untuk selalu menolong orang lain, menunjukkan rasa kasih sayang terhadap orang lain, dan pada umumnya memiliki kecenderungan untuk mementingkan kepentingan orang lain.
f. Memiliki pandangan pragmatis dan efesien tentang realitas.
Seseorang memiliki kemampuan untuk bertindak realistis, mampu melihat situasi sekitar, dan mau perduli dengan kesulitan orang lain.
Menurut Robert A. Emmons (dalam Saifullah, 2005) menjelaskan lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual yaitu :
a. Kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material. Seseorang menyadari bahwa kehadiran dirinya di dunia merupakan anugerah dan kehendak Tuhan dan menyadari bahwa Tuhan selalu hadir dalam kehidupannya.
b. Kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak. Seseorang menyadari bahwa ada dunia lain di luar dunia kesadaran yang ditemuinya sehari-hari sehingga ia meyakini bahwa Tuhan pasti akan membantunya dalam menyelesaikan setiap tantangan yang sedang
(26)
dihadapinya. Dengan demikian, ia terhubung dengan kesadaran kosmis di luar dirinya.
c. Kemampuan mensakralkan pengalaman sehari-hari.
Ciri ketiga ini, terjadi ketika kita meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung dan mulia.
d. Kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik. Orang yang cerdas secara spiritual, dalam memecahkan persoalan hidupnya selalu menghubungkannya dengan kesadaran nilai yang lebih mulia daripada sekadar menggenggam kalkulasi untung rugi yang bersifat materi.
e. Memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan. Seseorang tidak akan kehilangan pijakan kakinya di bumi realitas, hal ini ditunjukkan dengan menebar kasih sayang pada sesama.
Sedangkan menurut Zohar dan Marshal (2001), karakteristik seseorang yang kecerdasan spiritualnya telah berkembang dengan baik adalah seseorang yang memiliki kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif), memiliki tingkat kesadaran yang tinggi (self awareness), memiliki kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan; memiliki kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit, memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, selalu berusaha untuk tidak menyebabkan kerugian bagi diri sendiri, orang lain dan alam sekitar; berpandangan holistik dalam menghadapi suatu permasalahan hidup, kecenderungan untuk bertanya mengapa dan bagaimana jika untuk mencari
(27)
jawaban yang mendasar, serta memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi.
Masih menurut Zohar & Marshal (2001), ada tiga sebab yang membuat seseorang dapat terhambat secara spiritual, yaitu tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya sendiri sama sekali, telah mengembangkan beberapa bagian namun tidak proporsional, dan bertentangannya atau buruknya hubungan antara bagian-bagian.
1.4.Pengukuran Kecerdasan Spiritual
Pengukuran kecerdasan spiritual mengungkap berbagai aspek yang mengacu pada teori Emmons (dalam Saifullah, 2005) yang menjelaskan bahwa karakteristik orang yang cerdas secara spiritual adalah yang memiliki kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material, kemampuan untuk mengalami tingkatan kesadaran yang memuncak, kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan berbuat baik, serta memiliki rasa kasih yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan.
2. PERILAKU CARING
2.1.Konsep Perilaku
Perilaku adalah cara-cara seseorang menampilkan diri untuk mencapai tujuan (Maramis, 2006). Perilaku merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil akhir jalinan yang saling mempengaruhi antara berbagai macam gejala seperti perhatian, pengamatan,
(28)
pikiran, ingatan, dan fantasi. Dengan perkataan lain perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Perilaku juga dapat dimaksudkan sebagai semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Seorang ahli psikologi, Skiner (1938 dalam Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus tersebut, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua .
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Jadi, perilaku adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun secara tidak langsung (Sunaryo, 2004).
(29)
Benyamin Bloom (1968 dalam Notoatmodjo, 2003) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu kedalam tiga domain, ranah atau kawasan yaitu:
a. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng (Sunaryo, 2004).
b. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dan juga merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap juga merupakan suatu kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan suatu tindakan atau pelaksanaan motif tertentu.
c. Tindakan atau praktek (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2003).
(30)
2.2.Teori Caring
Caring, menurut Watson (2006a dalam Potter & Perry, 2009) merupakan sentral praktek keperawatan. Caring juga merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, dimana perawat bekerja untuk lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap klien. Caring, oleh Swanson (1991 dalam Potter & Perry, 2009) didefenisikan sebagai suatu cara pemeliharaan yang berhubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki tanggung jawab. Selanjutnya Benner (1984 dalam Potter & Perry, 2009) menggambarkan inti dari praktek keperawatan yang baik adalah caring.
Caring, menurut Watson (dalam Asmadi, 2008) merupakan intisari keperawatan dan mengandung arti responsif antara perawat dan klien. Caring
dapat membantu seseorang lebih terkontrol, lebih berpengetahuan, dan dapat meningkatkan kesehatan.
Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia berfikir, merasa, dan mempunyai hubungan dengan sesama. Caring
memfasilitasi kemampuan perawat untuk mengenali klien, membuat perawat mengetahui masalah klien dan mencari serta melaksanakan solusinya. Caring
sebagai bentuk dasar dari praktek keperawatan dan juga sebagai struktur mempunyai implikasi praktis untuk mengubah praktek keperawatan (Potter & Perry, 2009). Menurut Watson (1979, 1988 dalam Potter & Perry, 2009)
caring adalah model holistik keperawatan yang bertujuan untuk mendukung proses penyembuhan secara total. Sedangkan Mayeroff (1972 dalam
(31)
Morrison, 2008) memandang caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang lain berkembang dan mengaktualisasikan diri.
Leininger (1984, 1988, 1991 dalam Blais, 2007) menyatakan bahwa
caring penting untuk tumbuh kembang dan kelangsungan hidup manusia.
Caring berfungsi untuk memperbaiki atau meningkatkan kondisi dan cara hidup manusia yang menekankan pada aktivitas yang sehat dan memampukan individu dan kelompok berdasarkan budaya. Perilaku caring mencakup memberi kenyamanan, kasih sayang, perhatian, menfasilitasi koping, empati, memandirikan, fasilitasi, minat, perilaku membantu, cinta, pengasuhan, perilaku protektif, perilaku restoratif, berbagi, perilaku menstimulasi, pertolongan, dukungan, pengawasan, kelembutan, tindakan konsultasi kesehatan, tindakan instruksi kesehatan, dan pemeliharan kesehatan. Perilaku
caring juga meliputi menghormati klien, memberikan sentuhan pada klien, kehadiran, dan membina kedekatan dengan klien (Creasia & Parker, 2001).
Watson et al (2005 dalam Alligood & Tomey, 2006) menyatakan bahwa caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki perawat dalam membina hubungan interpersonal dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu Watson (1979 dalam Morrison, 2008) juga mengungkapkan caring sebagai jenis hubungan dan transaksi yang diperlukan antara pemberi dan penerima asuhan untuk meningkatkan dan melindungi klien sebagai manusia, dengan demikian mempengaruhi kesanggupan klien untuk sembuh. Caring melibatkan keterbukaan, komitmen, dan hubungan perawat klien (Poter & Perry, 2009).
(32)
Watson (1979 dalam Basford & Slevin, 2006) juga mengungkapkan tujuh asumsi utama dalam menampilkan caring, yaitu:
a. Caring dapat didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif hanya secara interpersonal.
b. Caring terdiri dari carative factor yang mengarah pada kepuasan terhadap kebutuhan manusia tertentu.
c. Caring yang efektif meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan keluarga.
d. Respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dirinya saat ini, namun juga sebagai seseorang di masa yang akan datang.
e. Lingkungan caring yaitu yang menawarkan potensi perkembangan yang memungkinkan seseorang untuk memilih tindakan yang terbaik untuk dirinya sendiri pada suatu waktu.
f. Caring lebih berorientasi pada kesehatan daripada penyembuhan, dimana
caring mengintegrasikan pengetahuan bio-fisik dengan pengetahuan perilaku manusia untuk meningkatkan kesehatan dan memberikan pertolongan bagi mereka yang sedang sakit.
g. Praktik caring merupakan sentral bagi keperawatan.
Fokus utama dalam keperawatan menurut Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006) adalah pada carative factor yang bermula dari perspektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah. Perawat juga perlu memiliki berbagai pengetahuan mengenai budaya supaya memahami budaya klien sehingga dapat mengembangkan filosofi
(33)
humanistik dan sistem nilai. Filosofi humanistik dan sistem nilai memberi fondasi yang kokoh bagi ilmu keperawatan.
Dasar dalam praktek keperawatan menurut Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006) dibangun dari sepuluh carative factor, yaitu : a. Membentuk sistem nilai humanistic-altruistic.
Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistic dapat dibangun dari pengalaman, belajar, dan upaya-upaya mengembangkan sikap humanis. Pengembangannya dapat ditingkatkan dalam masa pendidikan. Melalui sistem nilai ini perawat dapat merasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien dan juga penilaian terhadap pandangan diri seseorang. Menurut Potter & Perry (2009) perawat harus memberikan kebaikan dan kasih sayang, bersikap membuka diri untuk mempromosikan persetujuan terapi dengan klien.
b. Menanamkan keyakinan dan harapan (faith-hope).
Menggambarkan peran perawat dalam mengembangkan hubungan perawat dan klien dalam mempromosikan kesehatan dengan membantu meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan. Perawat menfasilitasi klien dalam membangkitkan perasaan optimis, harapan, dan rasa percaya dan mengembangkan hubungan perawat dengan klien secara efektif. Faktor ini merupakan gabungan dari nilai humanistik dan altruistik, dan juga menfasilitasi asuhan keperawatan yang holistik kepada klien.
(34)
Perawat belajar memahami perasaan klien sehingga lebih peka, murni, dan tampil apa adanya. Pengembangan kepekaan terhadap diri sendiri dan dalam berinteraksi dengan orang lain. Perawat juga harus mampu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengekspresikan perasaan mereka.
d. Membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping- trust).
Hubungan saling percaya akan meningkatkan dan menerima perasaan positif dan negatif. Untuk membina hubungan saling percaya dengan klien perawat menunjukkan sikap empati, harmonis, jujur, terbuka, dan hangat serta perawat harus dapat berkomunikasi terapeutik yang baik.
e. Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif. Perawat harus menerima perasaan orang lain serta memahami perilaku mereka dan juga perawat mendengarkan segala keluhan klien. Blais (2007) juga megemukakan bahwa perawat harus siap untuk perasaan negatif, berbagi perasaan duka cita, cinta, dan kesedihan yang merupakan pengalaman yang penuh resiko.
f. Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan. Perawat menerapkan proses keperawatan secara sistematis memecahkan masalah secara ilmiah dalam menyelenggarakan pelayanan berfokus klien. Proses keperawatan seperti halnya proses penelitian yaitu sistematis dan terstruktur.
(35)
Faktor ini merupakan konsep yang penting dalam keperawatan untuk membedakan caring dan curing. Bagaimana perawat menciptakan situasi yang nyaman dalam memberikan pendidikan kesehatan. Perawat memberi informasi kepada klien, perawat menfasilitasi proses ini dengan memberikan pendidikan kesehatan yang didesain supaya dapat memampukan klien memenuhi kebutuhan pribadinya, memberikan asuhan yang mandiri, menetapkan kebutuhan personal klien.
h. Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental, sosiokultural, dan spiritual.
Perawat harus menyadari bahwa lingkungan internal dan eksternal berpengaruh terhadap kesehatan dan kondisi penyakit klien. Konsep yang relevan dengan lingkungan internal meliputi kepercayaan, sosial budaya, mental dan spiritual klien. Sementara lingkungan eksternal meliputi kenyamanan, privasi, keamanan, kebersihan, dan lingkungan yang estetik. Oleh karena itu Potter & Perry (2009) menekankan bahwa perawat harus dapat menciptakan kebersamaan, keindahan, kenyamanan, kepercayaan, dan kedamaian.
i. Membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Perawat membantu memenuhi kebutuhan dasar klien meliputi kebutuhan biofisik, psikofisik, psikososial, dan kebutuhan intrapersonal klien. Dan perawat melakukannya dengan sepenuh hati.
(36)
Fenomenologis menggambarkan situasi langsung yang membuat orang memahami fenomena tersebut. Watson menyadari bahwa hal ini memang sulit dimengerti. Namun hal ini akan membawa perawat untuk memahami dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga perawat dapat membantu seseorang untuk memahami kehidupan dan kematian dengan melibatkan kekuatan spiritual.
Dari kesepuluh faktor karatif tersebut, caring dalam keperawatan menyangkut upaya memperlakukan klien secara manusiawi dan utuh sebagai manusia yang berbeda dari manusia lainnya. Faktor karatif ini perlu dilakukan perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan yang profesional dan bermutu dapat diwujudkan (Nurachmah, 2006 dalam Dwidiyanti, 2010).
Clarke & Wheeler (1992 dalam Basford & Slevin, 2006) memandang fenomena caring pada praktik keperawatan dalam empat kategori dan tema yaitu bersikap suportif, berkomunikasi, tekanan, dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan.
Caring dalam asuhan keperawatan merupakan bagian dari bentuk kinerja perawat dalam merawat klien (Meity, 2009). Secara teoritis ada tiga variabel yang mempengaruhi kinerja tenaga kesehatan menurut Gibson (1987 dalam Meity, 2009) yaitu:
a. Variabel individu
Variabel individu yaitu kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi.
(37)
b. Variabel psikologis
Variabel psikologi yaitu persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. c. Variabel organisasi.
Variabel organisasi yaitu kepemimpinan, sumber daya, imbalan struktur dan desain pekerjaan.
Dengan demikian membangun pribadi caring perawat harus menggunakan tiga pendekatan. Pendekatan individu melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan caring. Pendekatan organisasi dapat dilakukan melalui perencanaan pengembangan, imbalan atau yang terkait dengan kepuasan kerja perawat dan serta adanya effektive leadership dalam keperawatan. Peran organisasi (rumah sakit) adalah menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam keperawatan melalui kepemimpinan yang efektif, perencanaan jenjang karir perawat yang terstruktur, pengembangan sistem remunerasi yang seimbang dan berbagai bentuk pencapaian kepuasan kerja perawat. Karena itu semua dapat berdampak pada meningkatnya motivasi dan kinerja perawat dalam caring (Meity, 2009).
2.3.Pengukuran Perilaku Caring
Pengukuran perilaku caring dengan mengacu pada pengembangan dari carative factor Watson (1979 dalam Poter & Perry, 2009) yang mencakup membentuk sistem nilai humanistic-altruistic, menanamkan keyakinan dan harapan, mengembangkan sensitifitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan saling percaya dan saling bantu, meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif,
(38)
menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental dan sosiokultural, membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia serta mengembangkan faktor eksistensial-fenomenologis.
(39)
Bab 3Kerangka ko nseptual
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
1. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep adalah suatu visualisasi hubungan atau kaitan antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya (Notoadmodjo, 2010). Kerangka konsep pada penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat. Konsep kerja dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Skema 1. Kerangka konsep hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring
perawat
Kecerdasan Spiritual
Perilaku caring
berdasarkan carative factor
a. nilai humanistic-altruistic b. faith-hope
c. sensitivitas
d. helping trust
e. ekspresi perasaan positif dan negatif f. pemecahan masalah yang sistematis g. proses belajar mengajar interpersonal h. lingkungan yang mendukung
i. pemenuhan kebutuhan dasar manusia j. kekuatan eksistensial-fenomenologis Sumber: Watson (1979 dalam Tomey &
(40)
2. DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 1. Defenisi Operasional
Variabel Difenisi Operasional Alat Ukur Hasil Skala
Independen: Kecerdasan spiritual Kecerdasan spiritual adalah kemampuan perawat dalam mentransendensikan yang
fisik dan material, kemampuan mengalami tingkat kesadaran yang memuncak, kemampuan mensakralkan pengalaman sehari-hari, kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah dan kemampuan untuk berbuat baik, serta memiliki rasa kasih sayang yang tinggi pada sesama makhluk Tuhan yang ditunjukkan oleh perawat ruang rawat inap di RSUP.H.Adam Malik Medan. Kuisioner dengan jumlah pernyataan 30 item Tinggi Sedang Rendah
0 – 90
Untuk univariat: Ordinal Untuk bivariat: interval Dependen: Perilaku caring
Perilaku caring adalah tindakan yang dilakukan
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien yang meliputi dalam sepuluh carative factor di ruang rawat inap RSUP H.Adam Malik Medan. a.Membentuk sistem nilai humanistik-altruistik yaitu memberikan ketulusan dan menghargai orang lain. b.Menanamkan keyakinan dan harapan yaitu membangkitkan rasa percaya klien terhadap perawat dan motivasi klien
Kuisioner dengan jumlah pernyataan 43 item a.Pernyataan berjumlah 6 item b.Pernyataan berjumlah 3 item Baik Cukup Buruk 0 –129 Baik Cukup Buruk 0 – 18 Baik Cukup Buruk 0 – 9
Untuk univariat: Ordinal Untuk bivariat: Interval
(41)
untuk sembuh. c.Mengembangkan
sensitivitas untuk orang lain dan diri sendiri yaitu lebih peka terhadap orang lain dan diri sendiri.
d.Membina hubungan saling percaya dan saling bantu yaitu dalam berinteraksi dengan orang lain harus berkomunikasi yang baik, terbuka, dan menunjukkan rasa empati.
e.Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif yaitu mampu menerima orang lain apa adanya.
f.Menggunakan metode pemecahan masalah yang
sistematis dalam pengambilan keputusan yaitu menerapkan pemecahan masalah secara
ilmiah dan terstruktur.
g.Meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal yaitu memberikan pendidikan
kesehatan dalam upaya memandirikan klien.
h.Menyediakan lingkungan
yang mendukung, melindungi, memperbaiki
mental, sosiakultural dan spiritual yaitu menciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
i.Membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu
membantu dan menfasilitasi klien dalam
memenuhi kebutuhannya, j.Mengembangkan faktor
eksistensial-fenomenologis yaitu memahami dan melibatkan kekuatan lain di luar dirinya.
c.Pernyataan berjumlah 3 item d.Pernyataan berjumlah 7 item e.Pernyataan berjumlah 5 item f.Pernyataan berjumlah 4 item g.Pernyataan berjumlah 4 item h.Pernyataan berjumlah 5 item i.Pernyataan berjumlah 3 item j. Pernyataan berjumlah 3 item Baik Cukup Buruk 0 – 9 Baik Cukup Buruk 0 – 21
Baik Cukup Buruk 0 – 15
Baik Cukup Buruk 0 – 12
Baik Cukup Buruk 0 – 12
Baik Cukup Buruk 0 – 15
Baik Cukup Buruk 0 – 9
Baik Cukup Buruk 0 – 9
(42)
Bab 4metodo logi penel
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
1. DESAIN PENELITIAN
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelatif
yang bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan.
2. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 2.1.Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Adapun yang dimaksudkan perawat ruang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan adalah seluruh perawat Rindu A, Rindu B, dan Rawat Kardiologi. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 342 orang.
2.2.Sampel Penelitian
Menurut Arikunto (2002) jika jumlah subjeknya lebih besar dari 100 maka sampel dapat diambil 10% sampai 15% atau 20% sampai 25% dari jumlah populasi, sehingga besar sampel penelitian ini diambil 25% dari jumlah populasi yaitu sebanyak 86 orang. Adapun tehnik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan tehnik Cluster Random Sampling,
yaitu dengan cara mengambil sampel berdasarkan ruangan rawat inap dan dipilih sebanyak 25% dari jumlah keseluruhan perawat yang ada di setiap ruang rawat inap di RSUP Haji Adam Malik Medan. Dengan demikian perawat yang diteliti kemungkinan dapat mewakili seluruh perawat di ruang
(43)
rawat inap RSUP HAM Medan. Untuk mengetahui jumlah populasi dan sampel dari setiap ruang rawat inap dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2. Distribusi jumlah populasi dan sampel penelitian di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
Ruangan Populasi Sampel Rindu A RA-1 RA-2 RA-3 RA-4 RA-5
RA-6 (Vip A) RA-kemoterapi 28 19 18 40 17 23 6 7 5 5 10 4 6 2 Rindu B RB-1 RB-2 RB-3 RB-4 RB-5
RB-6 (Vip B)
21 42 25 21 19 26 5 11 6 5 5 6
Kardiologi 37 9
Jumlah 342 86
Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu perawat yang telah bekerja selama satu tahun dan terlibat langsung dalam pelayanan keperawatan terhadap klien.
3. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan, dengan pertimbangan bahwa RSUP Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit tipe A dan sekaligus sebagai rumah sakit pendidikan, yang memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini. Selain itu lokasinya mudah terjangkau oleh peneliti. Pengambilan data telah dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Desember 2011.
(44)
4. PERTIMBANGAN ETIK PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dan rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan izin dari Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Dalam penelitian ini responden diberikan lembar persetujuan yang ditandatangani sebagai bukti kesediaannya menjadi responden. Sebelum menyerahkan lembar persetujuan, peneliti terlebih dahulu menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada calon responden. Seluruh responden yang berjumlah 86 orang tidak ada satu pun yang menolak terlibat pada penelitian ini.
5. INSTRUMEN PENELITIAN DAN PENGUKURAN VALIDITAS DAN
REALIBILITAS
5.1.Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuisioner. Kuisioner penelitian terdiri dari tiga bagian yaitu data demografi, kecerdasan spiritual, dan perilaku caring.
a. Kuisioner data demografi
Kuisioner data demografi digunakan untuk mengkaji data demografi perawat ruang rawat inap yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, status, agama dan status kepegawaian.
b. Kuisioner kecerdasan spiritual
Kuisioner kecerdasan spiritual bertujuan untuk mengidentifikasi kecerdasan spiritual perawat diruang rawat inap. Kuisioner ini diadopsi dari skala kecerdasan spiritual Safaria (2007). Kuisioner kecerdasan spiritual terdiri dari 30 pernyataan yang terbagi menjadi pernyataan positif
(45)
sebanyak 21 item dan pernyataan negatif sebanyak 9 item. Pembuatan alat ukur pada penelitian ini menggunakan skala Likert yang menggunakan empat alternatif jawaban yaitu sering sekali, kadang-kadang, jarang, dan tidak pernah. Pernyataan positif dengan empat pilihan jawaban yaitu sering sekali bernilai 3, kadang-kadang bernilai 2, jarang bernilai 1, dan tidak pernah bernilai 0. Pernyataan negatif dengan empat pilihan jawaban sering sekali bernilai 0, jawaban kadang-kadang bernilai 1, jawaban jarang bernilai 2, dan jawaban tidak pernah bernilai 3. Kuisioner pernyataan positif yaitu nomor 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 23, 26, 27, 28, 29 dan 30. Pernyataan negatif yaitu nomor 6, 7, 10, 11, 18, 21, 22, 24, dan 25. Maka kecerdasan spiritual perawat di ruang rawat inap RSUP HAM dikategorikan sebagai berikut:
70 – 90 = Tinggi 40 – 69 = Sedang 0 – 39 = Rendah
Kuisioner yang yang diberikan dalam bentuk kuisioner tertutup, artinya responden hanya memilih satu jawaban diantara beberapa alternatif jawaban yang disediakan dengan membubuhkan tanda check.
c. Kuisioner perilaku caring
Kuisioner perilaku caring bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku
caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap. Kuisioner ini dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka yang menggambarkan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan. Kuesioner perilaku
(46)
caring ini terdiri dari 43 pernyataan yang terdiri dari 40 pernyataan positif dan 3 pernyataan negatif. Pernyataan positif yaitu nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42 dan 43. Sedangkan pernyataan negatif yaitu nomor 19, 29, dan 33. Kuisioner ini terdiri dari komponen sepuluh faktor karatif yaitu membentuk sistem nilai humanistik-altruistik (no 2, 4, 5, 8, 19, dan 31), menanamkan keyakinan dan harapan ( faith-hope) (no 6, 9, dan 22), mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain (no14, 16, dan 24), membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-trust) (no 1, 3, 18, 29, 33, 34, dan 35), meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif (no 7, 13, 21, 36, dan 37), menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan (no 11, 12, 25, dan 28), meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal (no10, 23, 32, dan 38), menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental, sosio kultural, dan spiritual (no 20, 27, 30, 39, dan 40), membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia (no 15, 26, dan 41), dan mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomenologis (no 17, 42, dan 43).
Penilaiannya dengan menggunakan skala Likert, yang terdiri dari empat penilaian jawaban tidak pernah (bernilai 0), kadang-kadang (bernilai 1), sering (bernilai 2), dan sering sekali (bernilai 3) untuk pernyataan positif dan pernyataan negatif dengan penilaian jawaban yaitu tidak pernah
(47)
(bernilai 3), kadang-kadang (bernilai 2), sering (bernilai 1), dan sering sekali (bernilai 0). Nilai terendah yang dicapai adalah 0 dan nilai tertinggi adalah 129. Berdasarkan rumus statistik Sudjana (2005), p adalah rentang/banyak kelas dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang (nilai tertinggi dikurang nilai terendah) yaitu sebesar 129, dan banyak kelas dibagi atas tiga kategori kelas untuk perilaku caring maka akan diperoleh panjang kelas sebesar 43. Dengan p = 43 dan nilai terendah 0 sebagai batas bawah kelas pertama, maka perilaku caring perawat di ruang rawat inap RSUP HAM dikategorikan sebagai berikut:
87 – 129 = Baik 44 – 86 = Cukup 0 – 43 = Buruk
Untuk komponen membentuk sistem nilai humanistik altruistik nilai tertinggi yang dicapai adalah 18 dan nilai terendah adalah 0, maka untuk komponen ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
13 – 18 = Baik 7 – 12 = Cukup 0 – 6 = Buruk
Untuk komponen-komponen menanamkan keyakinan dan harapan, mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain, membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, dan mengembangkan faktor
(48)
terendah 0. Dengan demikian pada komponen-komponen tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
7 – 9 = Baik 4 – 6 = Cukup 0 – 3 = Buruk
Untuk komponen membina hubungan saling percaya dan saling bantu nilai tertinggi yang dicapai adalah 21 dan nilai terendah 0, maka untuk komponen ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
15 – 21 = Baik 8 – 14 = Cukup 0 – 7 = Buruk
Untuk komponen meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif serta komponen menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental, sosiokultural dan spiritual nilai tertinggi yang dicapai adalah 15 dan nilai terendah 0. Sehingga dapat dikategorikan sebagai berikut:
11 – 15 = Baik 6 – 10 = Cukup 0 – 5 = Buruk
Untuk komponen menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan dan komponen meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal nilai tertinggi dicapai adalah 12 dan
(49)
nilai terendah 0. Maka untuk komponen ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
9 – 12 = Baik 5 – 8 = Cukup 0 – 4 = Buruk
5.2.Validitas dan reliabilitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur (Notoatmodjo, 2010). Uji validitas dilakukan untuk kuisioner perilaku caring, sedangkan untuk kuisioner kecerdasan spiritual tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena kuisioner kecerdasan spiritual diadopsi dari skala kecerdasan Safaria (2007), tetapi pada kuisioner tersebut tidak diketahui validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas yang dilakukan untuk kuisioner perilaku caring pada penelitian ini adalah validitas isi yaitu subtansi pengukuran itu mewakili konsep yang sudah dirumuskan dan didasarkan pada landasan teoritis. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur data dari variabel secara tepat. Kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini telah divalidasi oleh dosen dari bagian keperawatan jiwa Fakultas Keperawatan USU, dengan content validity index sebesar 0,97. Dengan demikian instrumen ini dikatakan valid, karena suatu instrumen dikatakan valid apabila content validity index-nya lebih besar dari 0,70 (Polit & Hungler , 1999).
Tes reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukuran dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh
(50)
mana hasil pengukuran tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan beberapa kali pengukuran dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010). Uji reliabilitas telah dilakukan kepada 20 orang perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan yang sesuai dengan kriteria sampel penelitian dan tidak termasuk dalam sampel penelitian. Instrumen yang diuji yaitu kuisioner perilaku caring yang berjumlah 43 pernyataan. Peneliti menggunakan uji reliabilitas dengan
cronbach’s alpha dengan menggunakan sistem komputerisasi, didapat nilai reliabilitasnya sebesar 0,931 (lampiran 8). Dengan demikian instrumen ini dikatakan reliabel karena suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki reliabilitas lebih dari 0,70 (Polit dan Hungler, 1999).
6. PENGUMPULAN DATA
Peneliti melakukan pengumpulan data penelitian setelah mendapat izin dari pimpinan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Selanjutnya peneliti mendatangi setiap ruangan rawat inap dan bertemu dengan koordinator perawat di setiap ruangan untuk memohon izin melakukan pengumpulan data. Peneliti bekerjasama dengan koordinator perawat dalam hal menemui responden yang sesuai dengan kriteria sampel penelitian di setiap ruangan rawat inap. Setelah menemui responden, selanjutnya peneliti menjelaskan pada responden tersebut mengenai tujuan dan manfaat penelitian serta proses pengisian kuisioner, kemudian responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden dan peneliti membagikan kuisioner kepada responden.
(51)
Selama proses pengisian kuisioner, peneliti mendampingi responden agar apabila ada pernyataan yang tidak jelas, peneliti dapat menjelaskan kembali dengan tidak mengarahkan jawaban responden. Namun, ada limapuluh lima responden yang proses pengisian kuisioner tidak dilakukan secara langsung karena keterbatasan waktu dari responden yang mempunyai aktivitas kerja yang padat sehingga peneliti dibantu oleh koordinator perawat dari tiap-tiap ruangan dalam pembagian dan pengumpulan kuisioner tersebut. Sebelumnya peneliti telah memberikan penjelasan kepada koordinator perawat tersebut mengenai cara pengisian kuisioner dan telah menentukan perawat yang menjadi sampel penelitian. Peneliti mengumpulkan seluruh kuisioner, kemudian data yang diperoleh akan diolah.
7. ANALISA DATA
Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahapan, antara lain tahap pertama yaitu mengecek nomor responden dan kelengkapan jumlah kuisioner serta memastikan semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk. Tahap yang kedua yaitu memberi kode numerik atau angka tertentu pada kuisioner terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi dan analisa data. Tahap yang ketiga yaitu memasukkan data dari kuisioner ke dalam program komputer. Tahap keempat yaitu mengecek kembali data yang telah dimasukkanuntuk mengetahui ada kesalahan atau tidak, kemudian data tersebut dianalisis dengan bantuan sistem komputerisasi.
(52)
Analisa data yang digunakan adalah analisa univariat dan bivariat. Analisa
univariat merupakan prosedur yang dilakukan untuk menganalisa data dari variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan suatu hasil penelitian (Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini, analisa univariat ditampilkan berupa distribusi frekuensi dan persentase.
Analisa bivariat merupakan analisa statistik yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisa ada atau tidaknya hubungan dan menerangkan keeratan hubungan antara dua variabel. Analisa data dilakukan terhadap data yang terkumpul dalam penelitian ini dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Nilai r menginterpretasikan kekuatan hubungan. Jika nilai r berada pada level 0,80-1,00 (baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang sangat kuat. Jika nilai r berada pada level 0,60-0,79 (baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang kuat. Jika nilai r berada pada level 0,40-0,59 (baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang sedang. Jika nilai r berada pada level 0,20-0,39 (baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang rendah. Jika nilai r berada pada level 0,00-0,19 (baik plus ataupun minus) menunjukkan adanya derajat hubungan yang sangat lemah. Menginterpretasikan nilai signifikan (p), jika nilai p kurang dari atau sama dengan nilai alpha (0,05) berarti ada hubungan yang signifikan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa hipotesis nol (Ho) ditolak dan otomatis hipotesa alternatif (Ha) diterima (Dahlan, 2008).
(53)
BABD aftar
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dimulai dari bulan November 2011 sampai Desember 2011 di RSUP Haji Adam Malik Medan.
1. HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dibagi atas lima bagian yaitu data demografi responden, kecerdasan spiritual, perilaku caring responden berdasarkan sepuluh faktor karatif, perilaku caring responden, dan mengidentifikasi ada tidaknya hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat pada praktek keperawatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.1 Karakteristik Responden
Berdasarkan karakteristik responden, rata-rata responden berusia 35 tahun, mayoritas responden 94% berjenis kelamin perempuan yaitu berjumlah 81 orang. Pendidikan responden mayoritas 66,3% adalah DIII/Akper yang berjumlah 55 orang dengan 84,9% yaitu 73 orang berstatus sudah menikah, mayoritas responden 58,4% beragama Kristen yaitu berjumlah 50 orang dan 88,4% yang berjumlah 76 orang berstatus PNS.
Tabel 3. Distribusi frekuensi karakteristik usia responden di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan November –Desember 2011
n = 86
Karakteristik Minimum Maximum
Usia 35 tahun 23 tahun 47 tahun
(54)
Tabel 4. Distribusi frekuensi karakteristik responden di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan November –Desember 2011
n = 86
Karakteristik Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan 5 81 5,8 94,2
Sub total 86 100,0
Pendidikan : SPK DIII/Akper Sarjana 2 57 27 2,3 66,3 31,4
Sub total 86 100,0
Status : Menikah Belum Menikah Janda 73 10 3 84,9 11,6 3,5
Sub total 86 100,0
Agama : Islam Kristen 36 50 41,9 58,1
Sub total 86 100,0
Status Kepegawaian PNS Non PNS 76 10 88,4 11,6
Sub total 86 100,0
1.2.Kecerdasan Spiritual Responden
Berdasarkan hasil analisa data dari keseluruhan responden terhadap perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan maka diperoleh bahwa kecerdasan spiritual perawat secara keseluruhan dalam kategori tinggi. Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase kecerdasan spiritual perawat di
ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan November-Desember 2011
n = 86
Kecerdasan Spiritual Frekuensi Persentase
Tinggi Sedang Rendah 73 13 0 84,9 15,1 0
(55)
1.3.Perilaku Caring Responden Berdasarkan Sepuluh Faktor Karatif
Perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh faktor karatif yaitu membentuk sistem nilai humanistic-altruistic, menanamkan keyakinan dan harapan (faith-hope), mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain, membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-trust), meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif, menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan, meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal, menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi, memperbaiki mental, sosio kultural, dan spiritual, membantu dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, dan mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomenologis.
Berdasarkan hasil analisa data dari keseluruhan responden terhadap perawat ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan maka distribusi frekuensi dan persentase perilaku caring berdasarkan sepuluh faktor karatif adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Distribusi frekuensi dan persentase perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh faktor karatif di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan November –Desember 2011
n = 86
Faktor Karatif Frekuensi Persentase
Membentuk sistem nilai humanistic-altruistic Baik
Cukup Buruk
Menanamkan keyakinan dan harapan ( faith-hope) Baik Cukup Buruk 51 34 1 35 47 4 59,3 39,5 1,2 40,7 54,6 4,7
(56)
Tabel 6. Lanjutan
Faktor Karatif Frekuensi Persentase
Mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain
Baik Cukup Buruk
Membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-trust)
Baik Cukup Buruk 26 51 9 41 45 0 30,2 59,3 10,5 47,7 52,3 0
Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif negatif
Baik Cukup Buruk
Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis
Baik Cukup Buruk
Meningkatkan proses belajar mengajar interpersonal
Baik Cukup Buruk
Menyediakan lingkungan yang mendukung Baik
Cukup Buruk
Membantu pemenuhan kebutuhan dasar manusia Baik
Cukup Buruk
Mengembangkan faktor kekuatan eksistensial -fenomenologis Baik Cukup Buruk 42 41 3 38 47 4 31 51 4 38 45 3 25 54 7 39 46 1 48,8 47,7 3,5 44,2 54,7 1,2 36,0 59,3 4,7 44,2 52,3 3,5 29,1 62,8 8,1 45,3 53,5 1,2
(57)
1.4.Perilaku Caring Responden
Berdasarkan hasil analisa data dari keseluruhan responden terhadap perawat ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan maka diperoleh perilaku caring perawat secara keseluruhan dalam kategori baik.
Tabel 7. Frekuensi dan persentase perilaku caring perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan November – Desember 2011
n = 86
Perilaku Caring Frekuensi Persentase
Baik Cukup Buruk
46 39 1
53,5 45,3 1,2
Total 86 100,0
1.5.Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku Caring Responden
Analisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring
perawat diukur dengan menggunakan uji korelasi Pearson. Hasil penelitian didapat koefesien korelasi (r) antara kecerdasan spiritual dengan perilaku
caring perawat yaitu r = 0,315 dengan taraf signifikan p 0,003. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat dengan tingkat hubungan yang rendah.
Tabel 8. Hasil analisa hubungan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring
perawat di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan November-Desember 2011
n = 86
Variabel r p-value
Kecerdasan Spiritual Perilaku Caring
77,5 88,8
0,315 0,003
(58)
2. PEMBAHASAN
2.1.Kecerdasan Spiritual Perawat di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan
Hasil analisis deskriptif dari kecerdasan spiritual (tabel 5) menunjukkan bahwa kecerdasan spiritual responden mayoritas dalam kategori tinggi dan tidak ada responden yang memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Hal ini mungkin dikarenakan seluruh responden adalah umat beragama, karena bila dilihat data karakteristik responden (tabel 4) menunjukkan bahwa semua responden menganut agama, yang pada dasarnya memiliki penghayatan ketuhanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gunawan (2004) bahwa manusia dapat merasa memiliki makna dari berbagai hal, agama (religi) mengarahkan manusia untuk mencari makna dengan pandangan yang lebih jauh dan bermakna di hadapan Tuhan. Inilah makna sejati yang diarahkan oleh agama, karena sumber makna selain Tuhan tidaklah kekal.
Hal yang senada juga diungkapkan Ahmad (2006) bahwa yang paling sempurna, kecerdasan spiritual harus bersumber dari ajaran agama yang dihayati sehingga seseorang yang beragama sekaligus akan menjadi orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Sehingga Saifullah (2005) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual yang sejati merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, tidak saja terhadap manusia, tetapi juga dihadapan Tuhan.
Perawat yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan mampu menempatkan hidupnya menjadi lebih bermakna. Hal ini sesuai dengan yang
(59)
diungkapkan Yosef (2005) bahwa perawat yang memiliki taraf kecerdasan spiritual tinggi mampu lebih bahagia dalam menjalani hidup termasuk juga dalam pekerjaannya sehingga ia akan berupaya memaknai bahwa mencari karunia Tuhan dengan memperhatikan dan meringankan beban klien. Begitu pula dengan penelitian Rudyanto (2010) yang menyatakan bahwa perawat yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi akan sangat menghargai profesinya dengan cara bersikap positif terhadap pekerjaannya bahkan mampu memberi makna kehidupan dalam bekerja. Bekerja bukan hanya rutinitas yang membosankan tetapi justru menyediakan kesempatan untuk perkembangan pribadi.
2.2.Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Sepuluh Faktor Karatif di Ruang Rawat Inap RSUP Haji Adam Malik Medan
Hasil analisis data perilaku caring perawat berdasarkan sepuluh faktor karatif (tabel 6) dapat dilihat bahwa pada komponen membentuk sistem nilai
humanistic-altruistic mayoritas perawat menunjukkan perilaku yang baik. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat Watson (2005 dalam Alligood & Tomey, 2006) bahwa caring merupakan suatu sikap moral yang ideal yang harus dimiliki perawat dalam membina hubungan interpersonal dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pula halnya dengan pendapat Watson (dalam Asmadi, 2008) bahwa dengan filosofi humanistik dan sistem nilai dapat memberi fondasi yang kokoh bagi ilmu keperawatan.
Berdasarkan komponen menanamkan keyakinan dan harapan (faith -hope) perilaku perawat pada umumnya masih dalam kategori cukup, tentulah hal ini belum dapat dikatakan baik. Seharusnya perawat diharapkan dapat
(60)
lebih memotivasi klien dalam meningkatkan derajat kesehatannya. Hal ini diungkapkan Watson (1979 dalam Alligood & Tomey, 2006) yang menyatakan bahwa perawat harus dapat menfasilitasi klien dalam membangkitkan perasaan optimis, harapan, dan rasa percaya sehingga dapat membantu meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan.
Pada komponen mengembangkan sensitivitas untuk diri sendiri dan orang lain pada umumnya perilaku yang ditampilkan perawat dalam kategori cukup. Hasil penelitian ini belum sesuai dengan pendapat Watson (1979 dalam Alligood & Tomey, 2006) yang mengungkapkan bahwa perawat harus memahami perasaan klien sehingga lebih peka, murni dan tampil apa adanya. Selain itu perawat juga harus mampu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengekspresikan perasaan mereka. Perawat adalah tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan manusia (Asmadi, 2008). Perawat juga harus melihat klien sebagai manusia secara holistik dan unik. Oleh sebab itu perawat harus sadar dan mengetahui akan dirinya yang sedang dalam memberikan perawatan atau menjalin hubungan dengan klien. Perawat harus dapat mempelajari dirinya sendiri dengan mengkaji dan terbuka terhadap diri sediri, karena dengan pemahaman dan penerimaan perawat terhadap diri sendiri akan membuat ia menerima keunikan individu dan menghargai orang lain. Analisa diri merupakan dasar utama perawat untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dan membina hubungan yang harmonis dan terapeutik. Jadi, kunci keberhasilan perawat
(61)
dalam melakukan asuhan keperawatan adalah dirinya sendiri (Riyadi & Purwanto, 2009).
Perilaku caring perawat yang ditampilkan perawat pada komponen membina hubungan saling percaya dan saling bantu (helping-trust) berdasarkan hasil analisis data dalam kategori cukup. Keadaan ini sesuai dengan pandangan The Audit Commission (1993 dalam Morrison & Burnard, 2009) yang menilai kurangnya informasi dan masalah dalam komunikasi dengan profesional kesehatan sebagai daftar teratas yang menjadi perhatian klien. Kondisi ini belum sesuai dengan pendapat Creasia & Parker (2001) bahwa perilaku caring juga meliputi membina kedekatan dengan klien. Begitu pula Mayeroff (1972 dalam Morrison, 2008) berpandangan bahwa
caring sebagai suatu proses yang berorientasi pada tujuan membantu orang lain berkembang dan mengaktualisasikan diri.
Komunikasi merupakan proses yang kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Dalam menjalin hubungan antara perawat dengan klien tehnik komunikasi menjadi lebih bermakna karena merupakan modal dasar dalam mengimplementasikan proses keperawatan. Oleh karena itu, Achir Yani (dalam Erlinafsiah, 2010) mengatakan bahwa dalam membina hubungan saling percaya dengan klien sangat tergantung pada kemampuan dan keterampilan komunikasi terapeutik perawat. Selain itu dengan adanya komunikasi yang baik dapat mencegah terjadinya masalah legal dan dapat memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan dan
(62)
meningkatkan citra profesi keperawatan. Perawat juga harus dapat menerapkan ilmunya untuk memberikan pertolongan terhadap sesama manusia yang memerlukan bantuan, karena perilaku menolong sesama ini perlu dilatih dan dibiasakan sehingga menjadi bagian dari kepribadian perawat itu sendiri (Erlinafsiah, 2010).
Perawat harus menerima perasaan orang lain serta memahami perilaku mereka. Perawat juga harus siap mendengarkan segala keluhan klien, harus siap untuk perasaan negatif, berbagi perasaan duka cita, cinta dan kesedihan (Blais, 2007). Hal ini sesuai dengan hasil analisis data bahwa perilaku caring
perawat pada komponen meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif dalam kategori baik.
Hasil analisis data perilaku caring perawat pada komponen menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis masih relatif cukup. Seharusnya pada komponen ini perawat dapat menunjukkan perilaku yang lebih dari sekedar cukup (baik), mengingat mayoritas responden memiliki latar belakang pendidikan pada level pendidikan tinggi. Berdasarkan hasil analisis data karakteristik responden (pada tabel 4) mayoritas pendidikan perawat pada level pendidikan tinggi yaitu DIII/Akper dan kemudian Sarjana Keperawatan (S1). Menurut Husin (1999 dalam Alimul, 2002) bahwa kurikulum pendidikan tinggi adalah bertujuan mendidik dan mengembangkan keterampilan perawat dalam berfikir dan melakukan praktek keperawatan ilmiah serta penyelesaian masalah secara ilmiah. Begitu juga pendapat Asmadi (2008) bahwa asuhan keperawatan tidak dilakukan berdasarkan
(1)
Perilaku
Caring
Berdasarkan Faktor Karatif
Nilai Humanistik Altruistik Valid 86 Missing 02.5814 Frequency Percent Valid Cumulative
3.0000 Percent Percent
3.00 Buruk 1 1.2 1.2 1.2
.51939 Cukup 34 39.5 39.5 40.7
.270 Baik 51 59.3 59.3 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 222.00 Minimum Maximum Sum Median N
Nila i_ Hu m a n is tik _ Altr u is tik
Mean Mode Valid Std. Deviation Variance Range Faith Hope Valid 86 Missing 0
2.3605 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 4 4.7 4.7 4.7
.57215 Cukup 47 54.7 54.7 59.3
.327 Baik 35 40.7 40.7 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 203.00 Fa ith_Hope Mean Mode Valid Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum Median N Sensitifitas Valid 86 Missing 0
2.1977 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 9 10.5 10.5 10.5
.61011 Cukup 51 59.3 59.3 69.8
.372 Baik 26 30.2 30.2 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 189.00
S e ns itifita s
Mean Mode Valid Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum Median N
(2)
Helping Trust
Valid 86
Missing 0
2.4767 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Cukup 45 52.3 52.3 52.3
.50239 Baik 41 47.7 47.7 100.0
.252 Total 86 100.0 100.0
1.00 2.00 3.00 213.00 Range Valid Minimum Maximum Sum
He lping_Trus t
Mean Mode Std. Deviation Variance Median N Ekspresi Perasaan Positif Negatif Valid 86 Missing 0
2.4535 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
3.00 Buruk 3 3.5 3.5 3.5
.56687 Cukup 41 47.7 47.7 51.2
.321 Baik 42 48.8 48.8 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 211.00 Minimum Maximum Sum Median N
Eks pre s i_P e ra s a a n_P os itif_Ne ga tif
Mean Mode Valid Std. Deviation Variance Range Pemecahan Masalah Sistematis Valid 86 Missing 0
2.4302 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 1 1.2 1.2 1.2
.52110 Cukup 47 54.7 54.7 55.8
.272 Baik 38 44.2 44.2 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 209.00
P e m e c a ha n_Ma s a la h_S is te m a tis
Mean Mode Valid Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum Median N
(3)
Proses Belajar Mengajar Interpersonal
Valid 86
Missing 0
2.3140 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 4 4.7 4.7 4.7
.55860 Cukup 51 59.3 59.3 64.0
.312 Baik 31 36.0 36.0 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 199.00
P ros e s _Be la ja r_Me nga ja r_Inte rpe rs ona l
Mean
Mode Valid
Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum Median N
Lingkungan Yang Mendukung
Valid 86
Missing 0
2.4070 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 3 3.5 3.5 3.5
.56105 Cukup 45 52.3 52.3 55.8
.315 Baik 38 44.2 44.2 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 207.00 Minimum
Maximum Sum Median N
Lingkunga n_Ya ng_Me ndukung
Mean
Mode Valid
Std. Deviation Variance Range
(4)
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia
Valid 86
Missing 0
2.2093 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 7 8.1 8.1 8.1
.57632 Cukup 54 62.8 62.8 70.9
.332 Baik 25 29.1 29.1 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 190.00
P e m e nuha n_Ke butuha n_Da s a r_Ma nus ia
Mean
Mode Valid
Std. Deviation Variance Range Minimum Maximum Sum Median N
Kekuatan Eksistensial Fenomenologis
Valid 86
Missing 0
2.4419 Frequency Percent Valid Cumulative
2.0000 Percent Percent
2.00 Buruk 1 1.2 1.2 1.2
.52254 Cukup 46 53.5 53.5 54.7
.273 Baik 39 45.3 45.3 100.0
2.00 Total 86 100.0 100.0
1.00 3.00 210.00 Minimum
Maximum Sum Median N
Ke kua ta n_Eks is te ns ia l_Fe nom e nologis
Mean
Mode Valid
Std. Deviation Variance Range
(5)
Total Perilaku
Caring
Perilaku_Caring
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Buruk 1 1.2 1.2 1.2
Cukup 39 45.3 45.3 46.5
Baik 46 53.5 53.5 100.0
Total 86 100.0 100.0
Uji Korelasi Pearson
Correlations
Kecerdasan_Spir
itual Perilaku_Caring
Kecerdasan_Spiritual Pearson Correlation 1 .315**
Sig. (2-tailed) .003
N 86 86
Perilaku_Caring Pearson Correlation .315** 1
Sig. (2-tailed) .003
N 86 86
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N
Kecerdasan_Spiritual 77.5465 9.25540 86
(6)