Karakteristik Pertumbuhan Pra dan Pascasapih Domba Lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J IPB)

(1)

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN PRA DAN PASCASAPIH

DOMBA LOKAL DI UNIT PENDIDIKAN DAN

PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR (UP3J-IPB)

FAHRUL ILHAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Karakteristik Pertumbuhan Pra dan Pascasapih Domba Lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) merupakan karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2008

Fahrul Ilham NRP D051060051


(3)

ABSTRACT

FAHRUL ILHAM. Characteristic of Pre and Post-Weaning Growth of Local Sheep in Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU) IPB. Supervised by SRI SUPRAPTINI MANSJOER and CECE SUMANTRI.

Selection program on sheep needs some important factors like season, sex, body weight and age of dam. This research was aimed to get the characteristic of pre and post-weaning growth of local sheep in Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU) IPB and selection criteria. The result can be used as a basic information on selection program to grade up the genetic properties of these sheep. This research located at JASTRU IPB, Singasari Village, sub district of Jonggol from June 2007 to May 2008 which represent two different seasons, rainy and dry. The number of sheep in the beginning of research was 154 head and in the end of research was only 33 head. The result showed that the value of Temperature Humidity Index were on slight and adequate heat. Statistic t test showed that there was a significant difference (p<0,05) between male and female birth weight in rainy season but in age of 90 and 180 day showed no significant difference. Also, birth weight between rainy and dry season was significantly different (P<0,05) and body weight on age 90 and 180 day was not significantly different. Variance analysis showed that age of dam significantly affected the male birth weight in dry season (p<0,05) and female birth weight in rainy season (p<0,05). The highest lamb body weight was owned by lamb from 2,5 to 3,0 years of dam. Pre-weaning weekly average daily gain (ADG) was higher than that of post-weaning, both on male and female, and rainy and dry season. Body weight on age 90 day can be used as a selection criteria and selection on dam can be done at age 1 to 2 years of age. Selection response of 90 day weight in dry season was higher than that of rainy season.

Key words : UP3J-IPB local sheep, selection, season, temperature humidity index, body weight, average daily gain.


(4)

RINGKASAN

FAHRUL ILHAM. Karakteristik Pertumbuhan Pra dan Pascasapih Domba Lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB). Dibimbing oleh SRI SUPRAPTINI MANSJOER dan CECE SUMANTRI.

Faktor musim, jenis kelamin, bobot dan umur induk dalam beternak domba lokal sangat penting diperhatikan karena berkaitan erat dengan tujuan seleksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik pertumbuhan pra dan pascasapih domba lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) dan mendapatkan kriteria seleksi. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar seleksi guna perbaikan mutu genetik domba lokal tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan di UP3J-IPB tepatnya di Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. Pengambilan data primer bobot badan induk dan anak dilakukan dari bulan Oktober 2007 sampai Mei 2008 sementara data sekunder bobot badan induk dan anak sampai umur 2 bulan selama musim kemarau diperoleh dari hasil penelitian peneliti sebelumnya. Waktu penelitian dibagi atas musim kemarau dan musim hujan. Periode musim kemarau dimulai dari bulan Juni 2007 sampai Oktober 2007 dan musim hujan dimulai dari bulan November 2007 sampai Mei 2008. Jumlah ternak yang digunakan di awal penelitian 154 ekor dan di akhir penelitian 33 ekor. Data bobot badan anak diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap minggu sampai minggu ke-26. Pengaruh umur induk terhadap bobot badan anak dianalisa dengan analisis ragam pola searah dan bila ada pengaruh di uji lanjut dengan uji F. Pengaruh jenis kelamin dan musim terhadap bobot badan anak dianalisa dengan Uji t. Hubungan antara umur dan bobot badan anak setiap minggu dianalisa dengan uji regresi non linear.

Hasil penelitian menunjukkan nilai Temperature Humidity Index (THI) UP3J-IPB berkategori panas ringan dan cukup panas. Hasil uji t bobot lahir antara jantan dan betina berbeda hanya di musim hujan dan pada umur 90 hari dan 180 hari tidak berbeda. Perbedaan bobot badan ini disebabkan oleh sistem hormonal, androgen yang muncul pada domba jantan lebih mampu meretensi N (Nitrogen) dan mengubahnya menjadi protein serta menyimpannya dalam tenunan otot dibanding betina. Hormon androgen juga mempengaruhi sifat maskulinasi pada jantan sehingga lebih superior selama merumput di padang penggembalaan dibanding betina. Bobot lahir antara musim kemarau dan musim hujan berbeda hanya pada jantan dan pada umur 90 hari dan 180 hari tidak berbeda. Perbedaan ini disebabkan pada musim hujan ketersediaan hijauan lebih berlimpah dibanding musim kemarau dan juga unsur-unsur iklim cukup mendukung domba merasa lebih nyaman selama merumput di padang penggembalaan. Hasil analisis ragam menunjukkan umur induk berpengaruh terhadap bobot lahir anak jantan di musim kemarau dan juga berpengaruh pada anak betina di musim hujan dengan bobot anak terbaik berasal dari induk yang berumur 2,5-3,0 tahun. Induk yang masih muda umurnya akan menghasilkan bobot anak yang lebih ringan sebab pertambahan bobot badan masih terjadi dan makin tinggi bobot induk, bobot anak yang dilahirkan juga semakin berat. Sebaliknya pada induk yang berumur 3,5-4,0


(5)

tahun bobot badan anak lebih rendah dari umur sebelumnya sebab uterus akan dipenuhi oleh lemak dan hal ini akan mengakibatkan pengaruh yang negatif terhadap bobot lahir. Nilai Koefisien Keragaman (KK) bobot badan induk pada musim kemarau dan musim hujan tertinggi diperoleh pada umur 1,0 sampai 2,0 tahun dan pada anak di umur 90 hari pada musim kemarau. Hal ini berarti bobot badan induk dan dan anak belum stabil pada kedua umur tersebut sehingga sangat baik untuk dilakukan seleksi.

Pertambahan bobot badan (PBB) perminggu prasapih dari umur 1 sampai 13 minggu lebih tinggi dibanding pascasapih dari umur 14 minggu sampai 26 minggu baik untuk jenis kelamin betina dan jantan maupun pada musim kemarau dan hujan. Histogram PBB setiap minggu mengalami penurunan sejak minggu pertama dan terus terjadi sampai menjelang awal pascasapih. Hal ini karena produksi air susu induk domba UP3J-IPB sebagai sumber pakan anak sejak awal kelahiran terus menurun sehingga berpengaruh langsung terhadap PBB anak setiap minggu. Hasil analisis regresi non linear menunjukkan terdapat hubungan yang cukup kuat antara umur dan bobot badan anak setiap minggu dan uji homogenitas koefisien regresi menunjukkan antar semua koefisien tidak homogen. Nilai koefisien regresi pada musim kemarau lebih tinggi dari musim hujan yang berarti kecepatan naiknya bobot badan anak lahir di musim kemarau lebih cepat dibanding musim hujan.

Bobot badan umur 90 hari dapat digunakan sebagai kriteria seleksi sebab pengaruh umur induk berupa penyediaan air susu sebagai sumber pakan semakin berkurang dan lebih banyak bergantung pada ketersediaan pakan di padang penggembalaan. Pada umur ini bobot badan anak akan lebih rentan terhadap pengaruh lingkungan eksternal karena anak domba berusaha beradaptasi dengan kondisi yang baru. Nilai respon seleksi bobot 90 hari pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan baik seleksi 50%, 25%, dan 10% terhadap bobot badan anak terbaik. Hal ini berarti peningkatan bobot badan anak setiap generasi bila akan dilakuan seleksi bobot terbaik pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan seleksi pada musim hujan.

Kata Kunci : domba lokal UP3J-IPB, seleksi, jenis kelamin, musim, temperature humidity indeks, bobot badan, pertambahan bobot badan.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN PRA DAN PASCASAPIH

DOMBA LOKAL DI UNIT PENDIDIKAN DAN

PENELITIAN PETERNAKAN JONGGOL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR (UP3J-IPB)

FAHRUL ILHAM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

(9)

Judul Penelitian : Karakteristik Pertumbuhan Pra dan Pascasapih Domba Lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB)

Nama : Fahrul Ilham

NRP : D051060051

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ternak

Dr. Ir. Rarah Ratih A. Maheswari, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah ”Karakteristik Pertumbuhan Pra dan Pascasapih Domba Lokal di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB)”. Pemilihan tema ini didasari atas minimnya informasi mengenai domba lokal di Indonesia yang dipelihara di padang penggembalaan terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan pra dan pascasapih dan karakteristik musim terhadap bobot pra dan pascasapih.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2007 sampai Mei 2008 dengan pengambilan data primer di lapangan dari bulan Oktober 2007 sampai Mei 2008 dan data sekunder dari bulan Juni sampai September 2007 yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Lokasi penelitian dilakukan di UP3J-IPB tepatnya di Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor dengan melakukan penimbangan langsung bobot badan di lapangan dan sebagian data diperoleh dari data sekunder berupa hasil penelitian peneliti lain dan recording setiap bulan UP3J-IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer dan Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis selama penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur. Sc. atas kesediaannya menjadi penguji serta beberapa masukan dan saran untuk perbaikan di dalam tesis ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada staff dan karyawan UP3J-IPB yang telah banyak membantu selama pengambilan data di lapangan, kepada seluruh staff dan karyawan Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak IPB, dan kepada rekan-rekan Pascasarjana Peternakan IPB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan seluruh keluarga atas dorongan dan motivasi selama studi di IPB.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, September 2008


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 7 Juni 1980 dari ayah M.Hasyim Hamjah dan Ibu Nadjmah P. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Tahun 1998 penulis lulus dari SPP/SNAKMA Negeri Rappang Kabupaten Sidrap dan pada tahun yang sama melanjutkan studi sarjana S-1 di Universitas Islam Malang (UNISMA) Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak dan lulus pada tahun 2003.

Penulis bekerja sebagai Tenaga Pengajar di Universitas Negeri Gorontalo Jurusan Peternakan sejak tahun 2005 dan diberi kesempatan melanjutkan pendidikan S-2 sejak tahun 2006 pada Program Studi Ilmu Ternak Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan Minat Studi Pemuliaan dan Genetika Ternak.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL --- v

DAFTAR GAMBAR --- vi

DAFTAR LAMPIRAN --- vii

PENDAHULUAN--- 1

Latar Belakang --- 1

Tujuan --- 3

Manfaat --- 3

Kerangka Pikir--- 4

KAJIAN PUSTAKA --- 5

Asal Usul dan Distribusi --- 5

Produktivitas Domba --- 6

Bobot Lahir--- 7

Bobot Sapih --- 7

Pertumbuhan dan Perkembangan --- 8

Pengaruh Cuaca dan Iklim --- 11

Temperatur --- 11

Kelembaban --- 12

Curah Hujan --- 12

Angin --- 13

Radiasi Matahari --- 13

Seleksi --- 14

Padang Penggembalaan --- 15

BAHAN DAN METODE--- 18

Waktu dan Tempat --- 18

Bahan --- 18

Metode--- 19

Analisis Data--- 20

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN --- 22

Keadaan Umum dan Potensi UP3J-IPB --- 22

Kondisi Iklim UP3J-IPB --- 24

Temperature Humidity Index (THI) UP3J-IPB--- 26

Kondisi Padang Penggembalaan --- 28

Daya Tampung Padang Penggembalaan UP3J-IPB--- 29

Pengaruh Umur dan Bobot Induk terhadap Bobot Lahir Terkoreksi ---- 31 Pengaruh Jenis Kelamin dan Musim terhadap Bobot Lahir Terkoreksi- 37 Pengaruh Jenis Kelamin dan Musim terhadap Bobot 90 Hari Terkoreksi 40


(13)

Halaman Pengaruh Jenis Kelamin dan Musim terhadap bobot 180 Hari Terkoreksi 43

Laju Pertumbuhan Pra dan Pascasapih --- 46

Hubungan Umur terhadap Bobot Badan Anak Domba UP3J-IPB --- 49

Laju Pertambahan Bobot Badan Pra dan Pascasapih --- 50

Seleksi --- 53

SIMPULAN DAN SARAN --- 57


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman serta Perubahaan

Bobot Badan Domba Lokal UP3J-IPB tahun 1992 dan tahun 2006 --- 6

2. Jumlah Anak Domba yang Diamati selama Penelitian (ekor)--- 18

3. Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri Tetap --- 19

4. Struktur Populasi Ternak (ekor) di UP3J-IPB--- 23

5. Keadaan Iklim UP3J-IPB Selama Penelitian --- 24

6. Nilai THI Setiap Bulan selama Penelitian di UP3J-IPB --- 27

7. Produksi dan Kandungan Nutrisi Rumput Brachiaria Humidicola (BH) Berdasarkan Bahan Kering (BK) tanpa Perlakuan di UP3J-IPB--- 30

8. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Bobot Induk serta Bobot Lahir Anak Domba Betina dan Jantan UP3J-IPB di Musim Kemarau --- 32

9. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Bobot Induk serta Bobot Lahir Anak Domba Betina dan Jantan UP3J-IPB di Musim Hujan --- 34

10. Nilai Korelasi antara Umur dan Bobot Induk terhadap Bobot Lahir, Bobot 90 Hari, Bobot 180 Hari domba Lokal UP3J-IPB --- 36

11. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Bobot Lahir Anak Domba lokal UP3J-IPB --- 37

12. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Bobot 90 Hari Anak Domba Lokal UP3J-IPB --- 40

13. Rataan, Simpangan Baku, dan Koefisien Keragaman Bobot 180 Hari Anak Domba Lokal UP3J-IPB --- 45

14. Persamaan Regresi Pertumbuhan antara Bobot Badan Anak dan Umur Perminggu Domba Lokal UP3J-IPB--- 50

15. Pengelompokan Pertambahan Bobot Badan Domba Lokal UP3J-IPB ---- 51


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Ternak Domba Lokal di UP3J-IPB --- 22 2. Kandang Induk dan Jantan Dewasa serta Kandang Induk Menyusui -- 23 3. Curah Hujan di UP3J-IPB selama Penelitian --- 25 4. Histogram Bobot Lahir Domba Lokal UP3J-IPB Berdasarkan Bulan

Pengambilan Contoh--- 26 5. Kondisi Padang Penggembalaan di UP3J-IPB pada Musim Kemarau

(kiri) dan pada Musim Hujan (kanan) --- 29 6. Bobot Lahir Domba Lokal UP3J-IPB Jenis Kalamin Betina dan Jantan

di Musim Kemarau Berdasarkan Umur Induk --- 31 7. Bobot Lahir Domba Lokal UP3J-IPB Jenis Kelamin Betina dan Jantan

di Musim Hujan Berdasarkan Umur Induk --- 33 8. Bobot Induk Domba Lokal UP3J-IPB pada Musim Kemarau dan Hujan 34 9. Bobot Lahir Domba Lokal di UP3J-IPB Jenis Kelamin Betina dan

Jantan di Musim Kemarau dan Hujan --- 38 10. Bobot 90 Hari Domba Lokal di UP3J-IPB Jenis Kelamin Betina dan

Jantan pada Musim Kemarau dan Hujan --- 42 11. Bobot 180 Hari Domba Lokal di UP3J-IPB Jenis Kelamin Betina dan

Jantan pada Musim Kemarau dan Hujan --- 44 12. Kurva Pertumbuhan Domba Lokal UP3J-IPB Berdasarkan Jenis

Kelamin pada Kelahiran Musim Kemarau (kiri) dan Hujan (kanan) -- 47 13. Kurva Pertumbuhan Domba Lokal UP3J-IPB Berdasarkan Musim

Pada Jenis Kelamin Betina (kiri) dan Hujan (kanan) --- 47 14. Pertambahan Bobot Badan Domba Lokal UP3J-IPB Periode Pra dan

Pascasapih pada Musim Kemarau dan Hujan --- 51 15. Pertambahan Bobot Badan Setiap Minggu Domba Lokal UP3J-IPB

pada Kelahiran di Musim Kemarau --- 52 16. Pertambahan Bobot Badan Setiap Minggu Domba Lokal UP3J-IPB


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Rataan Bobot Badan 1-28 Minggu Domba Lokal UP3J-IPB Selama

Penelitian --- 67 2. Hasil Uji t Bobot Badan Setiap Minggu antara Jenis Kelamin Jantan dan

Betina dan antara Musim Hujan dan Musim Kemarau di UP3J-IPB---- 68 3. Nilai p Hasil Analisis Pengaruh Umur Induk terhadap Bobot Badan

Anak Domba Setiap Minggu di UP3J-IPB --- 69 4. Penghitungan Daya Tampung Padang Penggembalaan UP3J-IPB

pada Musim Kemarau dan Hujan --- 70


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba merupakan salah satu ternak ruminansia yang telah populer di beberapa daerah di Indonesia dan juga di beberapa negara lain, karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan ternak ruminansia kecil lainnya seperti kambing. Beternak domba sebagai salah satu sumber protein hewani, lebih disukai oleh beberapa peternak untuk dikembangbiakan, karena lebih mudah dalam manajemen pemeliharaan dan pengendaliannya terutama ketika dilepas dipadang penggembalaan. Kelebihan lain tidak memerlukan sistem pemeliharaan yang intensif, karena domba-domba yang ada sekarang merupakan domba lokal yang telah memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap kondisi iklim tropis. Di daerah-daerah tertentu di Indonesia domba tidak saja memiliki arti ekonomi, namun telah menjadi sebuah hobi dan juga sebagai agro-tourism dan telah terbukti mampu meningkatkan nilai domba di depan para pembelinya sehingga pemasukan pendapatan peternak domba bertambah.

Pada umumnya domba yang berkembang di Indonesia telah mengalami persilangan dengan domba dari luar, sehingga banyak dari keturunannya yang ada sekarang ini merupakan domba persilangan dan telah beradaptasi dengan kondisi di Indonesia. Namun secara umum domba lokal dibedakan berdasarkan bentuk ekor yaitu ekor tipis dan ekor gemuk. Perbedaan lokasi telah menyebabkan pemberian nama pada domba-domba tertentu didasarkan pada area tempatnya berkembang biak misalnya domba periangan (garut) dan domba sumatera sebagai domba ekor tipis dan domba donggala sebagai domba ekor gemuk. Domba priangan disebut juga domba lokal banyak dijumpai di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan domba ekor gemuk lebih banyak dijumpai di daerah Jawa Timur, Madura dan Sulawesi Tengah. Total populasi domba yang ada menunjukkan sekitar 91,6% terdapat di pulau Jawa dan dari total populasi domba di pulau Jawa sekitar 48,9% terdapat di Jawa Barat (DitJenNak 2006).

Perkembangan populasi ternak domba di Indonesia cukup menggembirakan bila dibandingkan dengan populasi ternak lainnya. Data dari Direktorat Jendral Peternakan (DitJenNak 2006) populasi ternak domba pada


(18)

tahun 2005 sekitar 8,3 juta dibandingkan dengan populasinya pada tahun 2002 sekitar 7,6 juta, terjadi kenaikan sebesar 8,98%. Kenaikan populasi ternak domba tersebut akan lebih baik bila diikuti dengan perbaikan mutu genetiknya, agar populasi yang ada sekarang dapat terus dipertahankan dan bahkan lebih ditingkatkan lagi melalui manajemen pemuliaan yang baik dan terarah.

Perbaikan manajemen pemuliaan domba lokal salah satu langkah yang dapat dilakukan dengan menghimpun beberapa informasi yang berkaitan dengan performa dan karakteristik pertumbuhannya terutama pada umur pra sapih dan lepas sapih. Menurut Bourdon (2000) performa dan karakteristik sekelompok individu ternak dilapangan sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu genetik, lingkungan, dan interaksi antara keduanya. Faktor genetik yang dimaksud misalnya kemampuan ternak bertahan pada kondisi tropis dan ketahanan terhadap parasit, sedang faktor lingkungan menurut Turner dan Young (1969) dapat berupa lingkungan internal (umur, seks, pengaruh maternal) dan lingkungan eksternal (lokasi, musim, iklim, penyakit, pakan). Hal ini juga sesuai dengan Ondho (2006) bahwa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan ternak diantaranya kondisi/profil tanah, kesuburan tanah, iklim, ketersediaan pakan, air, penyebaran penyakit, dan manajemen pemeliharaan.

Meskipun jarang dipertimbangkan beberapa peternak, pengaruh musim perlu diperhatikan dalam manajemen pemuliaan ternak domba, karena berkaitan erat dengan target seleksi. Menurut Tjasyono (2004) pengaruh iklim pada umumnya secara tidak langsung berpengaruh terhadap performa dan pertumbuhan pada hewan ternak melalui hijauan pakan ternak sebagai sumber pakan. Unsur-unsur iklim di sini antara lain curah hujan, suhu, angin, sinar matahari, kelembaban, dan evapotranspirasi. Faktor-faktor iklim tersebut pada musim hujan dan musim kemarau sangat berbeda, sehingga juga akan berpengaruh terhadap penampilan ternak domba terutama yang dipelihara di padang penggembalaan.

Pada ternak domba pertumbuhan pra sapih di padang penggembalaan lebih banyak bergantung pada produksi air susu induk, sehingga manajemen pemeliharaan akan lebih baik difokuskan pada induk. Pertumbuhan pasca sapih atau pada masa remaja sangat bergantung pada keadaan lingkungan tempat domba berada, sehingga manajemen pemeliharaan akan lebih diarahkan untuk


(19)

memperbaiki lingkungannya, agar potensi genetik yang dimiliki dapat maksimal (Subandryo 2006). Pengetahuan atau pemahaman mengenai karakteristik pertumbuhan ternak domba pada berbagai umur dan juga pada berbagai musim, dapat digunakan sebagai landasan untuk mendapatkan strategi atau beberapa langkah strategis yang berkaitan dalam hal seleksi dan perbaikan manajemen pemuliaan.

Tujuan

1. Mendapatkan karakteristik pertumbuhan domba lokal pra dan pasca sapih yang dipelihara di padang penggembalaan UP3J-IPB pada musim kemarau dan musim hujan

2. Mendapatkan kriteria seleksi domba lokal UP3J-IPB pada musim kemarau dan musim hujan

Manfaat

Hasil penelitian diharapkan akan dapat memberikan informasi penting karakteristik pertumbuhan domba lokal yang dipelihara di padang penggembalaan UP3J-IPB, yang dapat digunakan untuk dasar seleksi dalam rangka perbaikan mutu genetiknya.


(20)

Kerangka Pikir

Keunggulan :

♦Manajemen pemeliharaan mudah

♦Daya adaptasi tinggi

♦Aset lokal

♦Mendukung agro-tourism

Permasalahan :

♦ Bobot badan variatif

♦ Informasi bobot badan di musim kemarau dan hujan di padang penggembalaan kurang

PENELITIAN

Karakteristik musim terhadap pertumbuhan

anak

SELEKSI Data dasar seleksi : 1. Performa musim kemarau 2. Performa musim hujan Karakteristik

pertumbuhan pra dan pascasapih

Bibit daerah kering Bibit daerah basah PENGEMBANGAN

DOMBA LOKAL


(21)

KAJIAN PUSTAKA

Klasifikasi Domba Lokal

Domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial dan budaya, dan merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal maupun dengan domba impor (Sumantri et al. 2007). Bangsa-bangsa ternak lokal penting untuk dilindungi karena mempunyai keunggulan antara lain mampu bertahan hidup pada tekanan iklim dan pakan yang berkualitas rendah, penyakit dan gangguan caplak, sumber gen yang khas, produktif dipelihara dengan biaya rendah, mendukung keragaman pangan, pertanian dan budaya (FAO 2002).

Domba di Indonesia umumnya berekor tipis (thin-thailed), namun ada pula yang berekor gemuk (fat-tailed) seperti domba donggala dan domba-domba yang berada di daerah Jawa Timur (Devendra & McLeroy 1982). Menurut Mulyaningsih (1990) domba di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Domba Ekor Tipis (javanese thin tailed), domba priangan (priangan of west java) dikenal juga dengan domba garut, dan domba ekor gemuk (javanese fat tailed), namun menurut Bradford dan Inounu (1996) hanya dikelompokkan kedalam dua bangsa yaitu Domba Ekor Tipis (DET) dan Domba Ekor Gemuk (DEG). Domba ekor tipis diduga berasal dari India/Bangladesh dan Domba Ekor Gemuk diduga berasal dari daerah Asia Barat (Devendra & McLeroy 1982).

Domba ekor tipis banyak dijumpai pada daerah-daerah yang relatif basah seperti di Jawa Barat, sedangkan domba ekor gemuk terutama tersebar pada daerah-daerah kering seperti di Jawa Timur dan Nusa Tenggara (Sutana 1993; Doho 1994). Domba ekor gemuk di daerah Sulawesi dan dikenal juga dengan domba donggala termasuk ke dalam kategori DEG yang berukuran sedang (Diwyanto 1982). Domba ekor gemuk juga dapat ditemukan di pulau-pulau wilayah timur Indonesia seperti Lombok, Sumbawa, Kisar, dan Rote (Devendra & McLeroy 1982). Menurut Sumantri et al. (2007) domba garut atau domba priangan merupakan domba lokal Indonesia yang banyak tersebar di Jawa Barat terutama di Kabupaten Garut. Domba kisar diduga merupkan rumpun domba ekor


(22)

gemuk yang telah lama dipelihara masyarakat setempat. Domba kisar dengan rote dan indramayu dengan madura memiliki ukuran jarak genetik yang lebih dekat yaitu 0,81 dan 1,14 dibandingkan dengan jarak genetik garut dengan donggala (7,99), garut dengan madura (7,56).

Domba garut dan indramayu mempunyai bobot hidup dan ukuran tubuh lebih tinggi dibandingkan domba lainnya sementara bobot terendah pada domba kisar dan rote (Sumantri et al.). Secara umum domba garut tipe tangkas lebih besar dari tipe pedaging dan jarak genetik antar kelompok domba margawati, domba tangkas sukawening dan wanaraja lebih dekat dibandingkan domba pedaging wanaraja dan sukawening (Mansjoer et al. 2007). Perhatian pada domba priangan cukup tinggi karena sifat peridi (fecundity) yang dimilikinya dibandingkan dengan kemampuannya dalam menghasilkan wol dan karkas (Turner 1975) dengan produksi anak (lambcrop) berkisar 168-200% pertahun dan rataan angka penyapihan 168% (Kilgour & Kilgour 1987). Domba ekor gemuk mempunyai lebih banyak lemak dan lebih dari 50% berupa lemak subkutan. Domba priangan relatif lebih banyak menumpuk lemak di sekitar ginjal dan pelvis (Herman 2002).

Produktivitas Domba

Produktivitas merupakan gabungan sifat-sifat produksi dan reproduksi atau hasil yang diperoleh seekor ternak pada kurun waktu tertentu dan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Lasley 1978; Hardjosubroto 1994).

Mempelajari komponen-komponen keragaman pada ternak sangat penting artinya, karena akan membantu dalam perencanaan pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik (Liu & Makarechian 1990). Menurut Lasley (1978) keragaman fenotipik total merupakan sumbangan keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Keragaman fenotipik sifat-sifat yang dimiliki setiap individu dapat digunakan untuk membantu dalam mempelajari keragaman genetik suatu populasi ternak terutama bila dilakukan terhadap sifat-sifat yang sudah diketahui mempunyai nilai ripitabilitas yang tinggi.


(23)

Tabel 1 Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman serta perubahan bobot badan domba lokal UP3J-IPB tahun 1992 dan tahun 2006

Tahun penelitian

1992 2006 Kelompok

Umur

(th) Rataan (kg)

KK (%)

Rataan (kg)

KK (%)

Perubahan Rataan

(kg)

< 1,0 15,3 ± 2,8 18,0 17,0±3,0 17,7 + 1,7 1,0-1,5 16,3 ± 1,1 7,0 23,8 ± 3,0 12,6 + 7,5 1,5-2,0 22,3 ± 3,2 14,0 25,9 ± 3,9 15,1 + 3,6 2,5-3,0 39,8 ± 8,1 20,0 32,6 ± 5,2 16,0 - 7,2

3,5-4,0 41,0 ± 1,0 2,0 -

Sumber : Zulkarnaen (1992); Ramdan (2007)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zulkarnaen (1992) dan Ramdan (2007) pada Tabel 1 memperlihatkan terdapat perbedaan bobot badan domba lokal UP3J-IPB antara tahun 1992 dengan tahun 2006 dimana bobot badan tahun 2006 dapat dilihat lebih tinggi dibanding dengan tahun 1992.

Bobot Lahir

Bobot lahir adalah bobot anak pada saat dilahirkan. Namun secara teknis di lapangan penimbangan anak domba setelah lahir seringkali sulit dilakukan, sehingga biasanya bobot lahir didefinisikan bobot anak yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto 1994). Anak yang memiliki bobot lahir tinggi cenderung memiliki daya hidup yang tinggi saat dilahirkan (vigor of birth) dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Bourdon 2000). Menurut Taylor dan Field (2004) bobot lahir menggambarkan 5 sampai 7% dari bobot dewasa seekor ternak.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap bobot lahir adalah kondisi intra-uterin (lingkungan fetus), genotipe induk dan anak, lingkungan induk, paritas, nutrisi, jenis kelamin dan umur induk (Hansard & Berry 1969). Menurut Gruenwald (1967) pertumbuhan fetus selama proses kebuntingan dipengaruhi oleh faktor genetis dari fetus sendiri dan pasokan zat gizi makanan dari induk.

Faktor genetik, jumlah anak sekelahiran, jenis kelamin, status gizi dan kondisi kesehatan induk dapat menimbulkan keragaman bobot fetus pada sepertiga akhir kebuntingan. Bobot lahir dari anak tunggal yang mendapat makanan pada level tinggi pada setengah akhir kebuntingan, ternyata tidak lebih besar dari anak tunggal yang induknya mendapat makanan pada level menengah.


(24)

Menurut (Hafez 1969) anak domba jantan bertumbuh lebih cepat pada periode prenatal dibandingkan dengan betina. Induk-induk yang mendapat kadar protein konsentrat yang lebih tinggi pada sepertiga akhir kebuntingan menghasilkan anak

dengan bobot lahir lebih besar dengan daya hidup yang tinggi pula (Inounu et al. 1993).

Bobot Sapih

Bobot sapih merupakan indikator kemampuan induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan cempe mendapatkan air susu untuk tumbuh. Laju pertumbuhan sangat menentukan nilai ekonomis suatu usaha peternakan lebih-lebih untuk seleksi terhadap sifat yang menghasilkan daging, karena erat hubungannya dengan efisiensi dan konversi penggunaan pakan. Ternak yang memiliki bobot sapih yang tinggi cenderung memiliki kemampuan memperoleh pakan yang lebih baik, sehingga pertambahan bobot badan dan kemampuan hidup tinggi. Laju pertumbuhan setelah disapih umumnya memiliki korelasi yang tinggi dengan bobot sapih hal ini ditunjukkan dengan nilai ripitabilitas yang tinggi 0,70 pada domba (Iniguez et al. 1991). Bobot sapih biasanya disesuaikan dengan rerata bobot sapih umur tertentu., pada sapi dan kerbau biasanya umur sapih disesuaikan dengan umur 105 hari sedangkan pada kambing dan domba disesuaikan pada umur 90 hari (Hardjosubroto 1994).

Bobot sapih domba jantan biasanya lebih tinggi dibanding domba betina. Hal ini terkait dengan kerja hormon testosterone terhadap laju pertumbuhan sel otot dan aktivitas yang lebih tinggi untuk merangsang pertumbuhan tulang (Rehfeldt et al. 2004). Domba jantan juga lebih superior dalam mendapatkan air susu dibanding domba betina (Jonston 1983). Hasil penelitian Nafiu (2003) menyatakan kondisi pakan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot sapih domba priangan dan persilangannya dengan domba charollais dan st. croix (p<0,01), pada kondisi pakan yang jelek rataan bobot sapih sebesar 10,87 kg/ekor dan meningkat 12,57 kg/ekor pada kondisi pakan yang baik.

Pertumbuhan dan Perkembangan

Menurut Butterfield (1988) pertumbuhan merupakan proses terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam suatu organisme sebelum mencapai dewasa.


(25)

Perubahan ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama air, lemak, protein dan abu (Edey 1983; Soeparno 1992). Pada proses selama pertumbuhan terjadi dua hal yang mendasar yaitu pertambahan bobot hidup yang disebut pertumbuhan dan perubahan bentuk yang disebut perkembangan (Lloyd et al. 1978). Pertumbuhan pada umumnya dinyatakan dengan mengukur kenaikan bobot hidup yang mudah dilakukan dan biasanya dinyatakan sebagai pertambahan bobot hidup harian atau average daily gain (ADG). Pertumbuhan yang diperoleh dengan memplotkan bobot hidup terhadap umur akan menghasilkan kurva pertumbuhan (Tillman et al. 1984; Taylor 1984).

Pertumbuhan ternak terdiri atas tahap cepat yang terjadi mulai awal sampai pubertas dan tahap lambat yang terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah tercapai (Tillman et al. 1984). Pada waktu kecepatan pertumbuhan mendekati konstan, slope kurva pertumbuhan hampir tidak berubah. Dalam hal ini pertumbuhan otot, tulang dan organ-organ penting mulai berhenti, sedangkan penggemukan (fattening) mulai dipercepat (Judge et al. 1989).

Tumbuh-kembang dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan dan manajemen (Williams 1982; Judge et al. 1989). Menurut Subandriyo (2006) pertumbuhan dapat diukur sampai disapih atau setelah sapih. Di Indonesia umumnya dianjurkan ternak disapih pada umur 90 hari karena sudah melampaui masa dipengaruhinya dari produksi susu induk dan juga karena umumnya ternak ruminansia kecil tropis umur dewasa kelaminnya lebih dini. Seleksi yang dilakukan terhadap bobot lahir kurang begitu dianjurkan sebab ternak yang bobot lahirnya terlalu berat akan mengakibatkan kesulitan beranak dan berujung pada tingkat kematian yang tinggi pada saat lahir.

Beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan domba sebelum lepas sapih adalah genotipe, bobot lahir, produksi susu induk, jumlah anak per kelahiran, umur induk, jenis kelamin anak dan umur sapih (Edey 1983). Laju pertumbuhan setelah disapih ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain potensi pertumbuhan dari masing-masing individu ternak dan pakan yang tersedia


(26)

(Cole 1982). Potensi pertumbuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh faktor bangsa, heterosis (hybrid vigour) dan jenis kelamin.

Pertumbuhan ternak diatur oleh hormon baik secara langsung maupun tidak langsung (Soeparno 2005). Menurut Hafez dan Dyer (1969) hormon yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pertumbuhan termasuk pertumbuhan tulang dan metabolisme nitrogen antara lain somatotropin, tiroksin, androgen, estrogen, dan glukokortikoid (GK). Sekresi hormon testosteron yang tinggi menyebabkan sekresi androgen ikut naik pula sehingga hormon ini mengakibatkan pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan terutama setelah munculnya sifat-sifat kelamin sekunder.

Perbedaan bangsa memberikan keragaman dalam kecepatan pertumbuhan dan komposisi tubuh. Ternak dari satu bangsa tertentu cenderung tumbuh dan berkembang dalam suatu sifat yang khas dan menghasilkan karkas dengan sifat tersendiri, sehingga merupakan sifat khas bangsanya (Judge et al. 1989). Menurut Berg dan Butterfield (1976) perbedaan laju pertumbuhan di antara bangsa dan individu ternak, disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak yang besar mempunyai bobot lahir yang lebih berat, tumbuh lebih cepat dan lebih berat pada saat mencapai kedewasaan dari pada bangsa ternak yang kecil (Williams 1982).

Pertambahan bobot hidup anak pra sapih dan pertambahan bobot hidup induk selama laktasi sangat dipengaruhi oleh jumlah anak yang disapih. Jenis, komposisi kimia (kandungan zat gizi) dan konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan (Soeparno & Davies 1987). Konsumsi protein dan energi yang lebih tinggi akan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat (Maynard & Loosli 1969).) Konsumsi yang cukup akan mempercepat pertumbuhan, dan kekurangan pakan dapat menyebabkan berkurangnya bobot hidup (Tillman et al. 1984).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Malesi (2006) menunjukkan rataan pertambahan bobot hidup domba lokal UP3J-IPB pada akhir musim hujan (83,83 g/ek/mg) sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibanding musim kemarau (-70,90 g/ek/mg) dan awal musim hujan (-178,06 g/ek/mg). Periode musim hujan adalah Desember-Januari, awal musim hujan adalah September-Oktober, dan


(27)

musim kemarau adalah Juni-Juli. Pada hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Wardhani (2006) Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) domba lokal UP3J-IPB dewasa selama 9 minggu tanpa perlakuan adalah 0,047 kg/hr.

Pengaruh Cuaca dan Iklim

Cuaca dan iklim adalah suatu hal yang sangat berkaitan erat. Menurut Handoko (1993) cuaca adalah nilai sesaat dari atmosfer, serta perubahan dalam jangka pendek (kurang dari satu jam hingga 24 jam) di suatu tempat tertentu di bumi. Sedangkan iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat pada suatu wilayah. Menurut Tjasyono (2004) musim adalah periode dengan unsur iklim yang mencolok, dalam musim panas misalnya unsur iklim yang mencolok adalah suhu udara yang tinggi dan pada musim hujan unsur iklim yang mencolok adalah jumlah curah hujan yang berlimpah. Musim di Indonesia dibagi atas musim hujan, musim pancaroba pertama, musim kemarau, dan musim pancaroba kedua.

Menurut Tjasyono (2004) unsur-unsur yang terdapat pada cuaca juga merupakan unsur-unsur yang dimiliki oleh iklim. Unsur cuaca dan iklim diantaranya suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, tekanan udara, angin, durasi sinar matahari, dan beberapa unsur iklim yang berpengaruh kecil. Unsur-unsur iklim sebagai bagian dari pengaruh lingkungan memiliki pengaruh yang langsung maupun tidak langsung terhadap ternak. Menurut Anderson et al. (1985) pengaruh lingkungan terhadap ternak secara langsung adalah terhadap tingkat produksi melalui metabolisme basal, konsumsi makanan, gerak laju makanan, kebutuhan pemeliharaan, reproduksi pertumbuhan dan produksi susu, sedangkan pengaruh tidak langsung berhubungan dengan kualitas dan ketersediaan makanan. Suhu

Suhu lingkungan adalah ukuran dari intensitas panas dalam unit standar dan biasanya diekspresikan dalam skala derajat celsius (Yousef 1984). Menurut Tjasyono (2004) karena suhu berubah sesuai dengan tempat maka untuk mendapatkan nilai suhu biasanya ditetapkan melalui rata-rata. Suhu udara harian ditetapkan dengan menjumlahkan nilai maksimum (Tmaks) dan suhu minimum


(28)

(Tmin) lalu dibagi dua. Suhu bulanan rata adalah jumlah dari suhu harian

rata-rata dalam 1 bulan dibagi jumlah hari dalam bulan tersebut. Suhu tahunan dihitung dari jumlah suhu bulanan rata-rata dibagi dengan 12.

Secara umum, suhu udara adalah faktor bioklimat tunggal yang penting dalam lingkungan fisik ternak. Supaya ternak dapat hidup nyaman dan proses fisiologi dapat berfungsi normal, dibutuhkan suhu lingkungan yang sesuai. Banyak species ternak membutuhkan suhu nyaman diantara 13-18oC (Chantalakhana & Skunmun 2002) atau pada Temperature Humidity Index (THI) kurang dari 72 (Davidson et al. 2000).

Kelembaban

Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara dan penting pada ternak karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari tubuh. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan (Chantalakhana & Skunmun 2002). Besaran yang sering dipakai untuk menyatakan kelembaban udara adalah kelembapan nisbi (RH = Relative Hunidity) yang diukur dengan psikrometer atau higrometer. Kelembapan nisbi berubah sesuai dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari kelembapan nisbi berangsur-angsur turun kemudian pada sore hari menjelang pagi bertambah besar (Tjasyono 2004). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian akan mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Chantalakhana & Skunmun 2002)

Curah Hujan

Hujan adalah tetes dengan diameter lebih dari 0,5 mm, dan intensitasnya lebih dari 1,25 mm/jam. Jumlah curah hujan dicatat dalam inci atau milimeter. Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1 mm, jika air tersebut tidak meresap kedalam tanah atau menguap ke atmosfer. Pola curah hujan yang ada di Indonesia ada tiga yaitu pola curah hujan jenis monsun, jenis ekuator, dan jenis lokal (Tjasyono 2004).

Selama musim hujan, rata-rata temperatur udara lebih rendah, sedangkan kelembaban tinggi dibanding pada musim panas. Jumlah dan pola curah hujan adalah faktor penting untuk produksi tanaman dan dapat dimanfaatkan untuk suplai makanan bagi ternak. Curah hujan bersama temperatur dan kelembaban


(29)

berhubungan dengan masalah penyakit ternak serta parasit internal dan eksternal. Curah hujan dan angin juga dapat menjadi petunjuk orientasi perkandangan ternak (Chantalakhana & Skunmun 2002).

Angin

Menurut Tjasyono (2004) angin adalah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi dan bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah. Angin diberi nama sesuai dengan darimana angin datang misalnya angin timur adalah angin yang datang dari timur, angin laut adalah angin yang bertiup dari laut kedarat, dan angin lembah adalah angin yang datang dari lembah menaiki pegunungan. Secara klimatologis arah angin diamati 8 penjuru, tetapi dalam dunia penerbangan angin diamati 16 arah. Kecepatan angin dinyatakan dalam satuan meter persekon, kilometer perjam, atau knot (1 knot = 0,5 m/s).

Menurut Yousef (1984), angin diturunkan oleh pola tekanan yang luas dalam atmosfir yang berhubungan dengan sumber panas atau daerah panas dan dingin pada atmosfir. Kecepatan angin selalu diukur pada ketinggian tempat ternak berada. Hal ini penting karena transfer panas melalui konveksi dan evaporasi di antara ternak dan lingkungannya dipengaruhi oleh kecepatan angin. Radiasi Matahari

Menurut Yousef (1984), radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber utama :

1) Temperatur matahari yang tinggi, dan

2) Radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir.

Petunjuk variasi dan kecepatan radiasi matahari, penting untuk mendesain perkandangan ternak, karena dapat mempengaruhi proses fisiologi ternak (Cole & Brander 1986). Lingkungan termal adalah ruang empat dimensi yang sesuai ditempati ternak. Mamalia dapat bertahan hidup dan berkembang pada suatu lingkungan termal yang tidak disukai, tergantung pada kemampuan ternak itu sendiri dalam menggunakan mekanisme fisiologis dan tingkah laku secara efisien untuk mempertahankan keseimbangan panas di antara tubuhnya dan lingkungan (Yousef 1984).


(30)

Seleksi

Menurut Martojo (1992) seleksi adalah tindakan yang mengatur agar individu-individu tertentu dalam populasi diberi kesempatan untuk menghasilkan keturunan lebih banyak dari individu lain. Terdapat dua macam seleksi yaitu seleksi alam dan seleksi buatan. Menurut Ronny (2004) seleksi alam meliputi kekuatan-kekuatan alam yang menentukan ternak akan bereproduksi dan menghasilkan keturunan untuk melanjutkan proses reproduksi sedangkan pada seleksi buatan manusia menentukan ternak mana yang boleh bereproduksi. Berdasarkan sifat yang diamati seleksi dapat dilakukan dengan mengamati satu sifat atau dengan mengamati beberapa sifat. Sumber-sumber informasi yang bisa didapatkan dalam pelaksanaan seleksi dapat berasal dari individu teramati, tetua, keluarga kolateral, dan anak (progeny).

Seleksi dapat meningkatkan frekuensi alel-alel yang diinginkan dan efektifitas seleksi dapat diperoleh dengan mengetahui kecepatan perubahan frekuensi gen (Bourdon 2000). Menurut Warwick (1987) seleksi tidak menciptakan gen baru akan tetapi frekuensi gen antara ternak yang disisihkan dan yang dibiarkan menghasilkan keturunan berbeda, maka seleksi merupakan salah satu cara untuk mengubah frekuensi gen. Menurut Martojo (1992) efektifitas seleksi dapat diketahui dengan melihat nilai Cerap (C) atau perbaikan genetik pergenerasi dengan rumus C = h2 x S. Heritabilitas (h2) dalam arti luas adalah koefisien yang menggambarkan berapa bagian dari keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh pengaruh genotipe sebagai keseluruhan sedangkan dalam arti sempit h2 adalah berapa bagian dari keragaman fenotipik total yang disebabkan oleh pengaruh kelompok gen yang beraksi secara aditif. Diferensial seleksi (S) adalah keunggulan kelompok ternak terseleksi terhadap rataan populasi. Berdasarkan rumus ini maka nilai perbaikan genetik pergenerasi akan menjadi besar apabila h2 (heritabilitas) dan/atau S (diferensial seleksi) juga besar.

Heritabilitas sebagai suatu koefisien yang berlaku untuk suatu kelompok atau populasi lebih banyak dipakai dalam pembuatan suatu rancangan program pemuliaan, terutama dalam penentuan kebijakan seleksi, pengetahuan mengenai h2 akan sangat membantu para pemulia untuk menentukan metode atau cara seleksi mana yang akan memberikan cerap seleksi yang paling besar dengan tentu


(31)

mempertimbangkan faktor efisiensi (Martojo 1993). Menurut Warwick (1987) pengetahuan tentang besarnya nilai h2 penting dalam hal rencana seleksi dan perkawinan. Pengetahuan ini memberikan dasar untuk menduga besarnya program pemuliaan yang berbeda-beda, dan memungkinkan para pemulia untuk membuat suatu keputusan yang penting apakah biaya program sepadan dengan hasil yang diharapkan.

Selain nilai h2 beberapa parameter genetik lainnya yang patut dipertimbangkan dalam melakukan seleksi adalah ripitabilitas dan korelasi genetik. Menurut Ronny (2004) ripitabilitas adalah daya pengulangan suatu sifat selama ternak tersebut hidup misalnya produksi air susu setiap laktasi pada sapi perah dan produksi wol domba pada beberapa kali pencukuran. Menurut Warwick et al. (1987) korelasi genetik dapat bersifat positif yaitu apabila satu sifat meningkat sifat yang lain juga meningkat dan sebaliknya dapat bersifat negatif. Pengetahuan mengenai korelasi genetik di antara sifat-sifat dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya perubahan-perubahan dalam generasi berikutnya apabila digunakan sebagai kriteria seleksi. Pada ternak domba nilai h2 untuk sifat bobot lahir dan bobot sapih adalah 0,10-0,30, nilai ripitabilitas bobot lahir dan laju kenaikan bobot sampai disapih masing-masing sebesar 30-40% dan 35-40%, dan korelasi genetik antara bobot lahir dengan bobot sapih adalah sedang.

Menurut Hardjosubroto (1994) beberapa sifat yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi pada ternak domba dan kambing diantaranya bobot sapih, pertambahan bobot harian pasca sapih, produksi dan karakteristik wol, sire summary, dan indeks fertilitas induk.

Padang Penggembalaan

Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan adalah suatu daerah padangan dimana tumbuh tanaman makanan ternak yang tersedia bagi ternak yang dapat menrenggutnya menurut kebutuhannya dalam waktu singkat. Beberapa macam padang penggembalaan diantaranya padang penggembalaan alam, padang penggembalaan permanen yang sudah ditingkatkan, padang penggembalaan temporer, dan padang penggembalaan dengan irigasi. Beberapa cara untuk menggembalakan ternak di padang penggembalaan antara lain cara


(32)

ekstensif dengan menggembalakan ternak di padangan yang luas tanpa rotasi, semi-ekstensif dengan melakukan rotasi namun pemilihan hijauan masih bebas, cara intensif dengan melakukan rotasi tiap petak dengan hijauan dibatasi, strip grazing dengan menempatkan kawat sekeliling ternak yang bisa dipindah, dan solling dengan hijauan padangan dipotong dan diberikan ternak di kandang. Menurut Martojo dan Mansjoer (1985) sistem pemeliharaan ternak dapat secara tradisional ekstensif dan semi-intensif yaitu hampir seluruh kebutuhan pakan ternak disediakan dari sumber hijauan yang ada di padang penggembalaan (pangonan) dan sistem tradisonal intensif yaitu pemberian pakan hijauan dilakukan di dalam kandang (cut and carry) dengan pakan tambahan berupa dedak ataupun konsentrat.

Produksi rumput di padang penggembalaan ditentukan oleh beberapa faktor seperti iklim, pengelolaan, kesuburan tanah, pemeliharaan dan tekanan penggembalaan (Reksohadiprodjo 1994), sedang kandungan nutrisi rumput sendiri banyak ditentukan oleh umur tanaman saat digrazing, jenis rumput, intensitas cahaya dan suhu, lingkungan dan manajemen grazing (Coleman & Henry 2002). Menurut Reksohadiprodjo (1994) tanaman padang penggembalaan akan bermanfaat bagi manusia setelah dimakan ternak dan pengaruh baik buruknya pengelolaan padang penggembalaan dapat diketahui melalui produksi ternak yang memakan tanaman padang penggembalaan tersebut. Komposisi kimia dan produksi hijauan sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak, ternak yang dilahirkan pada musim panas umumnya memiliki bobot badan yang rendah, produksi dan kualitas susu rendah, pertumbuhan anak domba terhambat (Brandano et al. 2004).

Padang penggembalaan tropik biasanya menghasilkan hijauan yang berlimpah di musim hujan, tunas dan biji tumbuh dan berkembang lebih baik, daya cerna lebih tinggi, dan protein kasar yang dapat mencapai 8 sampai 10% (Reksohadiprodjo 1994). Menurut Avondo dan Lutri (2004) pada negara-negara dengan empat musim, pada musim panas produksi hijauan sangat rendah tetapi saat musim semi produksinya berlimpah dan untuk mengantisipasi diperlukan sistem irigasi yang memadai dan atau melakukan teknologi pakan. Menurut Hardjowigeno (2003) ketersediaan air pada musim hujan sangat penting bagi


(33)

tanaman karena air tersebut akan digunakan sebagai pelarut unsur hara tanah agar mudah diserap oleh tanaman di dalam proses fotosintesis. Sebaliknya tanaman yang kekurangan air akan menyebabkan pengurangan pembukaan stomata, laju fotosintesis dan pertumbuhan terhambat, dan akan banyak kehilangan air dari daun (Goldsworthy & Fisher 1992).

Menurut Reksohadiprodjo (1994) padang penggembalaan yang diharapkan memberi hasil baik harus menerima curah hujan 800 mm/tahun. Secara umum rumput padang penggembalaan yang baik memiliki tinggi canopy 25 sampai 30 cm setelah dipotong namun ternak tidak dapat diminta untuk memotong tepat pada ketinggian tertentu sehingga diperlukan usaha dari manusia. Di daerah tropik dan negara berkembang usaha tersebut sukar dilaksanakan sehingga mempengaruhi nilai makanan batang pasture. Pada pasture yang luas, ternak akan makan hijauan yang palatable dan apabila habis maka terpaksa mengkonsumsi hijauan yang tidak palatable yang nilai nutrisinya kurang. Kondisi ini menyebabkan ternak akan memiliki pertumbuhan yang lambat berujung pada penurunan produktivitas lainnya.


(34)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) tepatnya di Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. Pengambilan data primer bobot badan induk dan anak dilakukan dari bulan Oktober 2007 sampai Mei 2008 sementara data sekunder bobot badan induk dan anak sampai umur 2 bulan selama musim kemarau diperoleh dari hasil penelitian Jarmuji (2008). Waktu penelitian dibagi atas musim kemarau dan musim hujan. Periode musim kemarau dimulai dari bulan Juni 2007 sampai Oktober 2007 dan musim hujan dimulai dari bulan November 2007 sampai Mei 2008.

Bahan

Bahan didalam penelitian ini adalah domba yang lahir pada musim kemarau dan pada musim hujan. Pengambilan sampel bobot lahir pada musim kemarau dilakukan di bulan Juni, Juli, dan Agustus dan pada musim hujan di bulan November, Januari dan Februari.

Tabel 2 Jumlah anak domba yang diamati selama penelitian (ekor) Musim Jenis

Kelamin

Umur 1 hari

Umur 90 hari

Umur 180 hari

Kemarau Jantan 48 7 9

Betina 57 11 12

Hujan Jantan 26 15 7

Betina 23 18 5

Keterangan : Periode Musim Kemarau : Juni 2007-Oktober 2007 Periode Musim Hujan : November 2007-Mei 2008

Bobot badan setiap minggu didapatkan dengan menggunakan alat timbangan gantung kapasitas 25 kg skala 100 g dan timbangan gantung kapasitas 50 kg skala 200 g.


(35)

Metode Prosedur Pengambilan Data

Karakteristik pertumbuhan dan pertambahan bobot badan pada umur prasapih dan lepas sapih setiap minggu didapatkan dengan menggunakan contoh domba yang dipilih secara acak di dalam populasi dan bobotnya ditimbang setiap minggu sampai berumur 28 minggu atau 6 bulan. Proses identifikasi di dalam populasi dilakukan dengan cara memberi tanda di lehernya berupa kalung yang merupakan nomor urut identifikasi.

Data yang Dihimpun

Peubah yang diamati adalah faktor yang berkaitan dengan sifat-sifat pertumbuhan diantaranya bobot induk saat melahirkan, bobot lahir anak, bobot badan setiap minggu, bobot 90 hari, dan bobot 180 hari. Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan musim, umur, jenis kelamin, dan umur induk pada saat melahirkan.

Data pendukung yang diamati adalah informasi iklim lingkungan UP3J-IPB. Unsur-unsur iklim yang diamati antara lain suhu, curah hujan, hari hujan, kelembaban, dan kecepatan angin.

Penentuan Umur Induk Domba

Penentuan umur induk domba dilakukan dengan berdasarkan pergantian gigi seri menjadi gigi tetap (Tabel 3).

Tabel 3 Umur domba berdasarkan pergantian gigi seri tetap

Umur (tahun) Gigi seri tetap Kode

< 1.0 Belum ada gigi tetap (gigi susu) I0

1,0 – 1,5 Sepasang gigi tetap I1

1,5 – 2,0 Dua pasang gigi tetap I2

2,5 – 3,0 Tiga pasang gigi tetap I3

3,5 – 4,0 Empat pasang gigi tetap I4

> 4,0 Gigi tetap aus mulai lepas > I4


(36)

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode ANOVA (Analysis of Varians) satu arah untuk mengetahui pengaruh umur induk terhadap bobot lahir. Model linear dari rancangan yang digunakan sesuai dengan Mattjik (2002) :

Y

ij

=

μ

+

τ

i

+

ε

ij

Keterangan : i = 1, 2, ....,t j = 1, 2, ....,r

Yij = Respon bobot badan anak pada umur induk ke-i, ulangan

ke-j

μ = Rataan bobot badan anak τi = Pengaruh umur induk ke-i

εij = Pengaruh acak pada umur induk ke-i ulangan ke-j

Apabila terdapat pengaruh umur induk terhadap bobot badan anak maka dilakukan uji lanjut mengunakan uji F untuk mengetahui perbedaan antar masing-masing perlakuan.

Pengaruh tipe kelahiran terhadap bobot lahir menurut Martojo (1992) dihilangkan dengan cara mendapatkan faktor perkalian sebagai faktor koreksi bobot lahir kembar terhadap bobot lahir tunggal. Adapun rumus faktor koreksi tipe kelahiran adalah sebagai berikut :

Koreksi terhadap bobot umur 90 hari dan bobot umur 180 hari, rumus yang digunakan (Hardjosubroto 1994) :

Keterangan :

BS (90) = bobot sapih 90 hari

Bobot Nyata = bobot domba saat penimbangan BL = bobot lahir

kembar individu

bobot x kembar bobot

Rerata

tunggal bobot

Rerata Kelahiran

Tipe Koreksi

Faktor =

BL 90 x Umur

BL Nyata Bobot (90)


(37)

Nilai Temperature Humidity Index (THI)/Indeks kenyamanan ternak didapat dengan menggunakan persamaan (Stockman 2006):

THI = TBK + 0,36 (TBB) + 41,2

Keterangan :

THI : Temperature Humadity Index TBK : Temperatur bola kering TBB : Temperatur bola basah

Perbedaan bobot anak pada musim hujan dan pada musim kemarau serta perbedaan bobot anak antara jenis kelamin jantan dan betina dengan menggunakan Uji Tukey (t).

Persamaan garis regresi antara umur anak perminggu dengan bobot badan anak setiap minggunya diperoleh dengan uji regresi non linear. Rumus persamaan regresi non linear yang digunakan mengacu pada rumus pertumbuhan yang dikemukakan oleh Brody (1945) :

W = A.e

k.t

dan menurut Gomez (1995) :

Y =

α

.e

βX

Agar rumus diatas dapat digunakan, maka terlebih dahulu dilakukan transformasi peubah untuk melinearkan fungsi agar bisa digunakan sehingga bentuk linearnya :

Ln Y = ln

α

+

β

X

Keterangan : Ln Y : bobot badan ternak dalam bentuk Ln Ln α : intersep

β : koefisien regresi X : waktu / umur (mg)

Untuk penghitungan data menggunakan software statistik Minitab 14 (Iriawan & Astuti 2006).


(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum dan Potensi UP3J-IPB

Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan IPB terletak 60 km sebelah Timur Laut dari Kota Bogor, tepatnya di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Lokasi UP3J-IPB terletak di antara 106,53 0BT dan 06,53 0LS dengan ketinggian 145 m di atas permukaan laut. Struktur tanah terdiri dari 20% tanah datar, 60% bergelombang, dan 20% bukit-bukit curam dan lembah. Daerah ini berbatasan dengan wilayah Cianjur dan Bekasi.

Gambar 1 Domba lokal di UP3J-IPB

Program pengembangan UP3J-IPB mulai dirintis sejak tahun 1980 sebagai sarana penunjang pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, dan penyuluhan bidang peternakan. Melalui kerjasama dengan pemerintah Australia, maka pada tahun 1985 areal kebun tersebut dikembangkan sebagai Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) dikenal juga sebagai "Jonggol Animal Science Teachingand Research Unit (JASTRU)". Beberapa sarana dan prasarana yang dimiliki untuk mengembangkan potensi ternak khususnya ternak domba di UP3J-IPB diantaranya total area UP3J-IPB seluas 169 ha dan terdiri atas 67 ha digunakan untuk padang penggembalaan, bangunan gudang, kandang, rumah dinas, dan guest house. Jumlah ternak yang ditampung selama penelitian sebanyak


(39)

637 ekor domba, 39 ekor kerbau, 20 ekor sapi. Struktur populasi ternak yang ada di UP3J-IPB pada saat penelitian antara lain :

Tabel 4 Struktur populasi ternak di UP3J-IPB (ekor) Umur Jenis

ternak

Jenis

kelamin Anak Muda Dewasa

Total

Domba Jantan Betina

75 80

125 40

278 39

478* 159*

Kerbau 6 10 23 39*

Sapi 20 20**

Sumber : *Jarmuji (2008) **

Laporan Rutin UP3J-IPB (2008)

Berdasarkan Unit Ternak (UT) total populasi ternak di UP3J IPB adalah domba 62 UT, kerbau 35 UT, dan sapi sebanyak 20 UT. Penghitungan UT berdasarkan angka konversi yang direkomendasikan oleh Dinas Peternakan Sulawesi Selatan (2004) yaitu anak domba (0,04 UT), muda (0,07 UT), dewasa (0,15 UT), anak kerbau (0,29 UT), muda (0,69 UT), dewasa (1,15 UT), dan anak sapi (0,25 UT), muda (0,60 UT), dan Dewasa (1 UT).

Gambar 2 Kandang induk dan jantan dewasa (kiri) dan kandang untuk induk menyusui (kanan)

Sampai saat ini beberapa fasilitas penunjang dalam mendukung potensi yang dimiliki diantaranya ruang kelas kapasitas 80 orang, laboratorium, 2 buah guest house dengan kapasitas 50 orang, 2 buah sumur bor kedalaman 25 m, 6 dam tadah hujan yang terdiri atas 4 dam dengan kapasitas 1 mega liter, 2 dam dengan


(40)

kapasitas 2 mega liter, ruang pemotongan hewan, dan feedmill. Fasilitas penerangan berupa listrik 50 KPA PLN dan generator, saluran komunikasi berupa telepon dan telepon seluler. Guna kelancaran transportasi tersedia prasarana jalan luar sejauh 6 km, lebar 6 m, jalan kelas 2 (maksimum 12 ton), berupa aspal dan batu koral. Jalan internal beraspal dan berbatu.

Kondisi Iklim UP3J-IPB

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat keadaan iklim di UP3J-IPB selama penelitian curah hujan tinggi banyak didapatkan pada bulan Desember sampai April dan Juni, curah hujan sedang terjadi di bulan Agustus, November dan Mei, dan curah hujan rendah didapatkan pada bulan Juli dan September.

Tabel 5 Keadaan iklim UP3J-IPB selama penelitian Bulan Curah hujan (mm) Hari hujan (hari) Suhu max (0C)

Suhu min (0C)

Suhu kering

(0C)

Suhu Basah (0C)

Kelemb. (%) Kec. Angin (km/jam) Kemarau

Jun-07 200,5 12 31,50 24,95 28,40 26,80 93,27 1,310 Jul-07 8,5 2 31,75 20,80 28,50 26,00 91,70 1,453 Agust-07 159 3 32,42 20,84 29,15 26,05 89,63 1,331 Sep-07 25,5 3 32,95 24,18 28,68 25,54 89,40 1,541 Okt-07 226 7 33,88 24,88 29,17 26,23 91,11 1,539

Total 619,5 27 162,5 115,6 143,9 130,6 455,11 7,174

Rerata 123,9 32,5 23,13 28,78 26,12 91,02 1,434

Hujan

Nov-07 145 9 32,69 22,26 29,39 27,17 92,17 2,104 Des-07 439 15 30,57 22,52 25,63 26,1 89,78 3,056 Jan-08 233 9 31,88 21,94 28,31 26,19 93,96 3,341 Feb-08 327 18 29,20 22,05 26,15 24,10 95,4 4,691 Mar-08 258,5 16 31,19 21,80 27,95 26,14 93,00 2,627 Apr-08 251 13 31,50 22,25 28,75 27,00 93,75 2,011 Mei-08 143,5 5 32,22 22,22 28,83 26,61 92,66 1,400

Total 1797 85 219,2 155 195,01 183,3 650,72 19,23

Rerata 256,71 31,32 22,14 27,85 26,18 92,96 2,747

Sumber : Data diolah dari laporan rutin UP3J-IPB tahun 2007-2008

Klasifikasi yang dibuat oleh Oldeman bahwa bulan basah rata-rata curah hujan diatas 200 mm, bulan lembab 100 sampai 200 mm, dan bulan kering rata-rata dibawah 100 mm (Handoko 1993).


(41)

200.5 8.5 159 25.5 226 145 233 327 258.5 251 143.5 439 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Jun-07 Jul-07 Agus-07 Sep-07 Okt-07 Nov-07 Des-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 Mei-08 Bulan C ur a h huj a n ( m m

Gambar 3 Curah hujan di UP3J-IPB selama penelitian

Berdasarkan Gambar 3 curah hujan di UP3J-IPB selama setahun pada periode musim kemarau (Juni 07-Oktober 07) sangat fluktuatif namun pada musim hujan (November 07-Mei 08) pola curah hujan terlihat stabil dan memperlihatkan pola penurunan yang teratur sampai mendekati Bulan Mei yaitu musim pancaroba atau peralihan ke musim kemarau. Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat pada musim hujan secara total hari hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau. Pada musim kemarau meskipun di bulan Juni curah hujan cukup tinggi namun tidak begitu berpengaruh terhadap vegetasi rumput yang ada, karena telah memasuki periode musim peralihan atau pancaroba.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat contoh bobot lahir pada musim kemarau (Juni 07, Juli 07, Agustus 07) lebih rendah dibandingkan bobot lahir di musim hujan (November 07, Januari 08, Februari 08). Pada Gambar 4 juga dapat dilihat trend bobot badan di awal musim kemarau (Juni) lebih rendah dibanding bulan Agustus yang merupakan awal memasuki musim hujan. Demikian juga awal musim hujan (November) merupakan bulan dengan bobot bobot lahir tertinggi dan pada bulan Februari bobot lahir lebih rendah. Hal ini disebabkan bulan Agustus dan Februari merupakan musim menjelang pancaroba sehingga bobot lahir lebih rendah dari bulan lainnya dengan panas atau curah hujan yang tinggi.


(42)

2.08 2.05

2.28

2.68

2.18 2.34

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00

Jun-08 Jul-08 Agust-07 Nov-07 Jan-08 Feb-08

Bulan Lahir

B

o

bo

t B

a

da

n (

kg

)

Gambar 4 Histogram bobot lahir domba lokal UP3J-IPB berdasarkan bulan pengambilan contoh

Bobot lahir lebih tinggi di musim hujan karena dukungan unsur-unsur iklim untuk perkembangan vegetasi hijauan di UP3J-IPB dan kenyamanan induk ternak selama merumput lebih baik dibandingkan pada musim kemarau. Unsur-unsur iklim yang dimaksud adalah rata-rata suhu maksimal dan suhu minimal pada musim kemarau yang lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan, demikian pula kelembaban dan kecepatan angin pada musim hujan lebih besar dibandingkan musim kemarau. Menurut Lawrie (2003) pada kondisi panas beberapa ternak mencari pertolongan melalui mekanisme tingkah laku seperti pembatasan konsumsi makanan secara sukarela, tidak aktif dan lebih banyak mencari peneduh. Hal ini menjadi penghambat perkembangan domba UP3J-IPB terutama pada bobot lahir di musim kemarau yang lebih rendah sebab induk bunting lebih banyak berteduh dan minum daripada mencari makan guna pertumbuhan janin.

Temperature Humidity Index (THI) UP3J-IPB

Berdasarkan hasil perhitungan di UP3J-IPB (Tabel 6) dapat dilihat secara umum nilai THI termasuk ke dalam kategori Alert dan Danger. Fase alert adalah fase dengan pengaruh beban panas masih ringan, dan danger adalah fase dengan panas yang cukup tinggi namun jarang menyebabkan kematian pada sapi.


(43)

Kategori untuk nilai THI adalah Alert/ (Ringan) (75-78), Danger (Cukup panas) (79-83), dan Emergency/ (sangat panas) (≥84) (Stockman 2006)). Menurut Davidson et al. (2000) nilai THI yang normal adalah kurang dari 72 yaitu nilai yang dianggap baik pada beberapa ternak untuk merasa nyaman.

Tabel 6 Nilai THI setiap bulan selama penelitian di UP3J-IPB

BULAN Nilai THI

Kategori Beban Panas

Juni 79,24 Cukup panas

Juli 79,06 Cukup panas

Agustus 79,72 Cukup panas

September 79,07 Cukup panas

Oktober 79,81 Cukup panas

November 80,37 Cukup panas

Desember 76,22 Ringan

Januari 78,93 Ringan

Februari 76,02 Ringan

Maret 78,56 Ringan

April 79,67 Cukup panas

Mei 79,60 Cukup panas

Pada ternak domba dewasa nilai THI yang cukup tinggi tidak akan memberikan pengaruh negatif besar karena telah memiliki sistem kekebalan dan daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan UP3J-IPB, namun pada anak dalam masa pertumbuhan pengaruh negatif dapat muncul. Hasil penelitian yang dilakukan Stockmann (2006) menyimpulkan anak domba memerlukan Heat Stress Threshold (HST) yang lebih rendah dibandingkan domba dewasa. Meskipun nilai THI yang ditemukan cukup tinggi namun pada kenyataannya domba-domba yang ada di UP3J-IPB dapat dilihat tidak begitu berpengaruh terhadap aktivitas dalam merumput. Hal ini memberikan indikasi kemungkinan domba lokal UP3J-IPB memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Menurut Sparke et al. (2001) meskipun pada beberapa kasus nilai THI cukup tinggi namun dengan kecepatan angin yang tinggi dan radiasi sinar matahari yang rendah maka stres panas dapat


(44)

dikurangi. Guna mengurangi stres panas pada domba beberapa strategi yang dapat dilakukan diantaranya perbaikan sumber pakan/ransum berupa keseimbangan zat nutrisi ransum (energi, protein, mineral dan vitamin) dan kebutuhan hidup domba (Churng 2002; Ha 2002; Mei and Hwang 2002), perbaikan genetik untuk mendapatkan breed yang tahan panas (Kwang, 2002), perbaikan konstruksi kandang, penanaman pohon-pohon pelindung dari panas dan hujan di dalam area padang penggembalaan serta mengkontinyukan suplai air (Velasco et al. 2002).

Kondisi Padang Penggembalaan

Luas padang penggembalaan yang dimiliki UP3J-IPB ±32 ha dari total luas 169 ha terdiri atas ±30 ha rumput Brachiaria Humidicola (BH) dan ±2 ha Brachiaria Decumbens (BD). Pemilihan rumput BH dan rumput BD sebagai rumput gembala dikarenakan jenis ini memiliki ketahanan dan daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi iklim UP3J-IPB pada musim kemarau dan tahan terhadap renggutan. Menurut Partridge (1979) rumput BH mempunyai toleransi yang sangat baik dengan kekeringan dan biasanya masih tetap hijau dibandingkan dengan jenis spesies lain pada musim kering. Kemampuan untuk menutup tanahnya sangat cepat sehingga mampu berkompetisi dengan gulma. Menurut Skerman (1990) sebagai rumput penggembalaan dan potongan, rumput ini sangat tahan dengan defoliasi yang berat. Hasil penelitian yang dilakukan Malesi (2006) selain rumput BD dan BH di UP3J-IPB juga terdapat jenis rumput dan leguminosa lain termasuk gulma namun dalam jumlah yang sedikit diantaranya Siratro (Macroptilium atropurpureum), Mimosa (Mimosa Pudica), Jonga-Jonga (Chromolaena odorata), dan Alang-Alang (Imperata cylindrica).

Area penggembalaan dibagi menjadi beberapa padok dan setiap luasan area dikelilingi kawat berduri. Hal ini untuk memudahkan dalam melakukan pengawasan terhadap ternak domba dan juga memungkinkan untuk melakukan rotasi merumput di padang penggembalaan. Menurut Umberger (2001) salah satu keuntungan penggembalaan bergilir antara lain ternak mudah diatur, mencegah agar ternak tidak melakukan renggut pilih (selective grazing) sehingga pertumbuhan kembali rumput dapat terjamin.


(45)

Gambar 5 Kondisi padang penggembalaan di UP3J-IPB pada musim kemarau (kiri) dan musim hujan (kanan)

Dalam setiap area penggembalaan terdapat beberapa pohon besar dan tinggi berfungsi sebagai tempat berteduh domba dari hujan dan panas (Gambar 5). Berdasarkan Gambar 5 juga dapat dilihat kondisi padang penggembalaan pada musim hujan dan musim kemarau sangat berbeda. Pada musim hujan beberapa vegetasi di dalam areal penggembalaan termasuk rumput terlihat subur dan hijau namun di musim kemarau dapat dilihat rumput banyak yang mati atau menguning karena panas dan kekurangan air.

Daya Tampung Padang Penggembalaan UP3J-IPB

Berdasarkan hasil penelitian Malesi (2006) pada Tabel 7 dapat dilihat produksi rumput BH pada musim hujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Produksi rumput BH UP3J-IPB lebih rendah dari hasil penelitian Mansyur (2004) bahwa produksi rumput BH pada ukuran plot 2 m x 3 m dengan interval pemotongan 60 hari adalah BK 6789 g/plot dan protein kasar 4,64 %. Menurut Skerman dan Riveros (1990) rumput BH mengandung protein kasar sebesar 8-9% dan serat kasar 32-35%. Protein yang lebih rendah serta serat kasar yang lebih tinggi diduga karena rumput BH yang ada di UP3J-IPB umurnya sudah tua dan jarang dilakukan peremajaan. Menurut Beover et. al. (2000) makin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding selnya lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Menurut Minson (1990) penurunan kadar protein selain karena umur tanaman juga disebabkan oleh penurunan proporsi helai daun dengan kelopak daun dan batang, dimana helai daun


(46)

mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan kelopak daun dan batang.

Tabel 7 Produksi dan kandungan nutrisi rumput BH berdasarkan Bahan Kering (BK) tanpa perlakuan di UP3J-IPB

Musim Produksi BK

(g/m2)

Protein kasar (%)

Serat kasar (%) Kemarau

(Juni – Juli) 382,42 Hujan

(Desember – Januari) 404,58

3,93 40,38

Sumber : Malesi (2006)

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilakukan penghitungan daya tampung padang penggembalaan UP3J-IPB terhadap jumlah ternak yang ada sesuai dengan Reksohadiprodjo (1994). Menurut Ginting dan Tarigan (2006) produksi BK dari rumput BH adalah 321,3 g/kg atau 32 % dari berat segar. Hasil penghitungan didapatkan dalam satu hektar pada penggembalaan UP3J-IPB dapat menampung 2,85 UT/th di musim kemarau sedang di musim hujan dapat menampung 2,98 UT/th. Dengan jumlah luasan padang penggembalaan ±32 ha maka jumlah ternak yang bisa ditampung adalah 91,2/32 ha pada musim kemarau dan 95,36 UT/32 ha pada musim hujan. Menurut Reksohadiprodjo (1994) beberapa pasture yang baik di daerah tropis mempunyai daya tampung 0,4 ha untuk 1 UT atau 1 ha untuk 2,5 UT/th. Daya tampung ternak padang penggembalaan UP3J-IPB lebih rendah dibandingkan dengan total populasi yang ada sekarang sebanyak 117 UT dan hal ini dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan pertambahan bobot badan ternak terutama ternak domba lokal UP3J-IPB.

Produksi rumput BH yang lebih tinggi dimusim hujan berkaitan erat dengan ketersediaan air dan suhu pada kedua musim. Menurut Hardjowigeno (2003) pada musim hujan curah hujan cukup tinggi dimana air tersebut akan digunakan sebagai pelarut unsur hara agar mudah diserap oleh tanaman untuk proses fotosintesis bersama-sama dengan karbondioksida dari udara. Sebaliknya menurut Goldsworthy dan Fisher (1992) tanaman yang kekurangan air akan


(47)

menyebabkan pengurangan pembukaan stomata, laju fotosintesis dan pertumbuhan terhambat, dan kehilangan air dari daun. Agar stomata dapat terbuka secara penuh maka diperlukan karbondioksida, cahaya, suhu, potensial air daun, kelembaban, angin dan laju fotosintesis yang optimal.

Pengaruh Umur dan Bobot Induk terhadap Bobot Lahir Terkoreksi Bobot lahir adalah bobot anak domba yang baru dilahirkan dengan batas maksimal penimbangan tidak melewati umur 24 jam. Penimbangan dilakukan sebelum melewati 24 jam karena sulitnya memprediksi waktu melahirkan atau waktu kelahiran domba ketika telah merumput di padang penggembalaan dan juga menghindari peluang terjadinya cekaman pada anak domba yang baru dilahirkan akibat penimbangan. Berdasarkan hasil analisis ragam pola satu arah pada selang kepercayaan 95%, pada musim kemarau di UP3J-IPB umur induk berpengaruh terhadap bobot lahir pada anak domba jantan (p<0,05). Berdasarkan nilai rataan pada Gambar 6 dapat dilihat bobot lahir tertinggi anak domba betina dan jantan pada musim kemarau berasal dari induk yang berumur diantara 2,5-3,0 tahun kemudian diikuti dengan penurunan bobot lahir pada umur induk 3,5-4,0 tahun.

2.18 2.26

1.82 1.9

2.34 2.54

2.14

1.56

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

1,0 – 1.5 1.5 – 2,0 2.5 – 3.0 3.5 – 4,0

Umur induk (th) Bobot

badan anak (kg)

Betina

Jantan

Gambar 6 Bobot lahir domba lokal UP3J-IPB jenis kelamin betina dan jantan di musim kemarau berdasarkan umur induk


(48)

Menurut Subandriyo dan Sitorus (1985) umur induk merupakan sumber keragaman bobot lahir baik pada kondisi pedesaan maupun pada stasiun percobaan. Hasil pengamatan Bathaei et al. (1996) terhadap domba ekor gemuk mahraban iranian bahwa pertumbuhan anak pra-sapih nyata dipengaruhi oleh umur induk dan tingkat pengaruh ini akan berkurang sejalan dengan meningkatnya umur anak domba tersebut. Penurunan ini menurut Hafez (1969) karena pada induk-induk yang telah tua dan dengan pengalaman beranak yang banyak, uterus akan dipenuhi oleh lemak dan hal ini akan mengakibatkan pengaruh yang negatif pula terhadap bobot lahir. Nilai KK pada Tabel 8 untuk jenis kelamin betina tertinggi ada pada umur induk 1,5–2,0 tahun dan pada jenis kelamin jantan terdapat pada umur induk 1,0-1,5. Berdasarkan nilai KK yang didapatkan maka idealnya seleksi terhadap bobot lahir di musim kemarau dapat dilakukan pada kedua umur induk tersebut dengan pertimbangan bobot lahir masih labil atau bervariasi tinggi.

Tabel 8 Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman bobot induk serta bobot lahir anak domba betina dan jantan UP3J-IPB di musim kemarau

Induk Anak

Umur (th)

Bobot (kg)

Jenis Kelamin

Bobot (kg)

KK (%)

n (ekor) 1,0-1,5 22,39 ± 3,80 Jantan 1,56b ± 0,64 40,87 6

Betina 1,90 ± 0,37 19,62 8

1,5-2,0 22,40 ± 3,54 Jantan 2,14ab ± 0,37 17,60 8 Betina 1,82 ± 0,46 25,68 13

2,5-3,0 25,91 ± 3,44 Jantan 2,54a ± 0,63 24,91 8 Betina 2,26 ± 0,51 22,85 10

3,5-4,0 25,45 ± 3,20 Jantan 2,34a ± 0,55 23,86 26 Betina 2,18 ± 0,53 24,59 26

Keterangan : Huruf yang tidak sama pada jenis kelamin yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan

Pada musim hujan berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 9 umur induk berpengaruh terhadap bobot lahir anak domba betina (p<0,05). Seperti halnya pada musim kemarau, rataan bobot lahir tertinggi di musim hujan, berasal


(49)

dari umur induk 2,5-3,0 tahun diikuti dengan penurunan bobot lahir pada umur induk 3,5–4,0 tahun (Gambar 7).

2.61 2.34

2.07

2.72 2.8

2.49 2.42

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

1,0 – 1.5 1.5 – 2,0 2.5 – 3.0 3.5 – 4,0

Umur induk (th) Bobot

badan anak (kg)

Betina

Jantan

Gambar 7 Bobot lahir domba lokal UP3J-IPB jenis kelamin betina dan jantan di musim hujan berdasarkan umur induk

Menurut Black (1983) umur induk mempengaruhi bobot lahir anak, pada induk domba muda/dara akan menghasilkan bobot lahir anak yang lebih ringan dibandingkan dengan induk domba yang lebih tua atau induk domba betina yang telah melahirkan beberapa kali. Menurut Subandriyo et al. (2000) umur induk waktu beranak berpengaruh nyata pada bobot badan anak saat lahir sampai mencapai umur 6 minggu, sedangkan pada umur selanjutnya sampai sapih tidak berpengaruh terhadap bobot badan. Berdasarkan nilai KK pada Tabel 9 dapat dilihat nilai tertinggi ditemukan pada umur induk 1,5-2,0 tahun sehingga bila akan dilakukan seleksi bobot lahir berdasarkan umur induk maka idealnya dilakukan pada induk yang berumur 1,5-2,0 tahun baik untuk anak yang berjenis kelamin betina maupun jantan.


(50)

Tabel 9 Rataan, simpangan baku dan koefisien keragaman bobot induk serta bobot lahir anak domba betina dan jantan UP3J-IPB di musim hujan

Induk Anak

Umur (th)

Bobot (kg)

Jenis Kelamin

Bobot (kg)

KK (%)

n (ekor) 1,0-1,5 20,90 ± 2,28 Jantan 2,42 ± 0,72 29,73 6

Betina 2,07a ± 0,24 12,03 11

1,5-2,0 23,38 ± 2,36 Jantan 2,49 ± 0,98 39,52 4

Betina 2,34 ba ± 0,36 15,56 7

2,5-3,0 27,53 ± 2,18 Jantan 2,80 ± 0,68 24,42 6

Betina - - -

3,5-4,0 28,98 ± 3,84 Jantan 2,72 ± 0,70 25,88 9

Betina 2,61ba ± 0,38 14,86 6

Keterangan : Huruf yang tidak sama pada jenis kelamin berbeda menunjukkan adanya perbedaan

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat pertumbuhan pada induk ternak domba lokal UP3J-IPB masih terus terjadi sampai induk berumur 2,5 sampai 3,0 tahun pada musim kemarau dan pada musim hujan sampai umur 3,5 sampai 4,0 tahun.

15 20 25 30 35

Umur induk (th)

B

o

bo

t i

n

duk (

k

g

)

Kemarau 22.39 22.40 25.91 25.45

Hujan 20.90 23.30 27.50 28.90

1.0-1.5 1.5-2.0 2.5-3.0 3.5-4.0

Gambar 8 Bobot induk domba lokal UP3J-IPB pada musim kemarau dan hujan Menurut Soeparno (2005) laju pertumbuhan setelah lahir mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun dan


(1)

Peternakan Indonesi (ISPI) Cabang Bogor dan Himpunan Pengusaha Domba dan Kambing Indonesia (HKDI) Cabang Bogor.

Swatland HJ. 1984. Structure and Development of Muscle Animals. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs.

Taylor RE. 1984. Beef Production and The Beef Industry : A Beef Producer’s Perspective. New York: Macmillan Publishing Co.

Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, dan Lebdosoekojo S. 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press..

Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Angkasa Bandung.

Turner HN, and Young SSY. 1969. Quantitatif Genetics in Sheep Breeding. First ed. Ithaca. New York: Cornel University Press. 26-28, 39-42.

Turner HN, 1975. Hidden treasure; genetic diversity in plants and animals. Farrer memorial oration, 1974. J. Austr.Inst.Agric.Sci. 41:83-97

Umberger SH. 2001. Sheep Grazing Management. Managing Virginia’s Steep Pastures, Till Seeding of Forages and Legumes. Virginia State University. Virginia Cooperative Extension Publication 418 : 005-007

Velasco NB, Arguzon JA and Briones JI. 2002. Reducing heat stress in dairy cattle philippines. International Training on Strategies for Reducing Heat Stress in Dairy Cattle. Tainan, Taiwan, ROC: Taiwan Livestock Research Institute (TLRI-COA), 26-31 August 2002.

Wardhani DK. 2006. Performans domba lokal yang digembalakan di padang rumput brachiaria humidicola UP3 Jonggol dengan penambahan dedak padi [skripsi]. Fakultas Peternakan. IPB

Warwick EJ, Astuti JM, Hardjosubroto W. 1987. Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Vol. 1 : Basic Principles. Boca Raton, Florida: CRC Press, Inc.


(2)

(3)

Lampiran 1 Rataan bobot badan 1-28 minggu domba lokal di UP3J-IPB selama penelitian

Kemarau Hujan

Betina Jantan Betina Jantan

Umur (mg) n (ek) Mean (g) SD (g) CV (%) n (ek) Mean (g) SD (g) CV (%) n (ek) Mean (g) SD (g) CV (%) n (ek) Mean (g) SD (g) CV (%) 1 50 2688 813 30,24 44 2802 813 29,0 21 3050 473 15,50 20 3520 1129 32,08 2 50 3184 980 30,77 44 3385 1067 31,51 23 3670 677 18,46 23 4248 1103 25,96 3 48 3616 1136 31,41 44 3829 1265 33,05 24 4394 667 15,17 22 4986 1168 23,43 4 48 4063 1277 31,44 43 4260 1424 33,43 23 4974 773 15,55 22 5595 1270 22,69 5 47 4361 1442 33,06 40 4866 1550 31,85 22 5557 995 17,91 22 6120 1359 22,20 6 45 4834 1558 32,24 39 5348 1722 32,20 22 6107 1293 21,18 22 6541 1509 23,07 7 44 5157 1632 31,65 37 5793 1818 31,39 22 6534 1413 21,63 19 7264 1683 23,17 8 37 5352 1735 32,41 28 6014 1864 30,99 20 6960 1416 20,34 19 7655 1805 23,58 9 12 6597 1864 28,25 16 6556 1575 24,02 22 7168 1305 18,20 18 8019 1983 24,73 10 16 7003 1696 24,21 16 6699 2098 31,32 22 7561 1540 20,37 18 8381 2122 25,32 11 21 6856 1913 27,91 19 6956 2053 29,52 20 7793 1637 21,01 17 8853 1854 20,94 12 20 7130 2026 28,42 20 7398 2152 29,09 19 8058 1813 22,50 16 9172 2026 22,09 13 19 7576 2011 26,55 20 8368 2414 28,85 18 8139 1922 23,62 14 9821 1793 18,25 14 16 7763 2245 28,93 19 8637 2524 29,22 15 8703 2005 23,03 13 10019 1970 19,66 15 16 8688 2758 31,74 17 9026 2877 31,87 14 9111 1994 21,89 14 10250 1740 16,97 16 17 9044 2820 31,18 17 9706 2600 26,79 13 9438 2241 23,74 13 10192 1837 18,02 17 17 9609 3132 32,59 15 10427 2810 26,95 11 9155 2141 23,38 12 10367 1822 17,58 18 16 9575 3126 32,65 14 10611 2788 26,28 8 10038 2016 20,09 12 10771 1876 17,42 19 16 9897 3414 34,49 15 10897 2823 25,91 9 10156 2043 20,12 12 11013 1684 15,29 20 16 10578 3619 34,21 13 11546 2980 25,81 7 10371 2265 21,84 12 11229 1642 14,63 21 16 10808 3890 35,99 14 11450 3030 26,47 7 10629 2331 21,94 12 11525 1742 15,12 22 13 11842 3599 30,39 13 12062 3109 25,78 7 10707 2513 23,47 11 11586 1628 14,05 23 13 12596 3134 24,88 13 12269 2908 23,70 6 11467 2609 22,75 12 12075 2029 16,80 24 12 12196 3082 25,27 12 12575 3114 24,76 6 10717 2425 22,63 9 12689 1681 13,24 25 12 12558 2984 23,76 10 13000 3332 25,63 5 10800 2719 25,18 8 13425 2155 16,05 26 13 12942 3031 23,42 9 14033 2754 19,62 5 11080 2842 25,65 7 13686 2179 15,92


(4)

Lampiran 2 Hasil uji t bobot badan setiap minggu antara jenis kelamin jantan dan betina dan antara musim hujan dan musim kemarau di UP3J-IPB

Nilai P Umur

(mg) Betina kemarau vs jantan kemarau

Betina hujan vs jantan hujan

Betina kemarau vs betina hujan

Jantan kemarau vs jantan hujan

1 0,499 0,097 0,022 0,005

2 0,344 0,039 0,035 0,003

3 0,398 0,045 0,001 0,001

4 0,490 0,057 0,000 0,000

5 0,120 0,124 0,001 0,002

6 0,154 0,311 0,002 0,009

7 0,101 0,139 0,001 0,005

8 0,146 0,188 0,001 0,004

9 0,951 0,111 0,303 0,024

10 0,655 0,166 0,297 0,027

11 0,874 0,073 0,101 0,007

12 0,688 0,095 0,141 0,017

13 0,275 0,017 0,391 0,065

14 0,291 0,093 0,229 0,108

15 0,732 0,119 0,638 0,174

16 0,482 0,358 0,682 0,571

17 0,445 0,157 0,678 0,950

18 0,349 0,417 0,709 0,867

19 0,383 0,305 0,838 0,901

20 0,446 0,352 0,891 0,748

21 0,622 0,352 0,911 0,940

22 0,869 0,378 0,470 0,638

23 0,785 0,592 0,454 0,849

24 0,767 0,084 0,322 0,922

25 0,746 0,079 0,275 0,759

26 0,400 0,101 0,253 0,789

Keterangan : p>0,05 = tidak berpengaruh p<0,05 = berpengaruh


(5)

Lampiran 3 Nilai p hasil analisis pengaruh umur induk terhadap bobot badan anak domba setiap minggu di UP3J-IPB

Kemarau Hujan Umur

(minggu)

P-value n P-value n

1 0,039 94 0,014 41

2 0,030 94 0,011 46

3 0,040 92 0,001 46

4 0,031 90 0,002 45

5 0,080 87 0,003 44

6 0,048 84 0,005 44

7 0,054 81 0,004 41

8 0,137 65 0,005 39

9 0,077 28 0,006 40

10 0,163 32 0,003 40

11 0,088 40 0,003 37

12 0,159 40 0,003 35

13 0,060 39 0,002 32

14 0,051 35 0,004 28

15 0,100 33 0,003 28

16 0,140 34 0,005 26

17 0,125 32 0,001 25

18 0,043 30 0,001 20

19 0,123 31 0,000 21

20 0,142 29 0,000 19

21 0,140 30 0,001 19

22 0,193 26 0,002 18

23 0,321 26 0,001 18

24 0,310 24 0,007 15

25 0,368 22 0,006 13

26 0,280 22 0,005 12

Keterangan : p>0,05 = tidak berpengaruh p<0,05 = berpengaruh


(6)

Lampiran 4 Penghitungan daya tampung padang penggembalaan UP3J-IPB pada musim kemarau dan hujan

Musim Hujan :

Produksi Rumput BH kering = 404,58 g/m2 Persentase BK rumput BH = 32 %

Produksi rumput BH segar = (32/100).X = 404,58 X = 40458/32

= 1264,3 g/m2

Proper use = 70 %

Jumlah hijauan yang tersedia gr/m2 = 70 % x 1264,3

= 885,01 g/m2 atau 8850,1 kg/ha Konsumsi 1 ST / 30 hr = 30 kg x 30 hr

= 900 kg/30 hari

Luas tanah yang dibutuhkan = 900/8850,1

= 0,101 ha

Kebutuhan luas tanah/th = (y – 1) s = r = (y – 1) 30 = 70

y = 70/30 + 1 = 3,3

= 3,3 x 0,101

= 0,33 ha/ek/th atau 2,98 ST/ha/th

Musim Kemarau :

Produksi rumput BH kering = 382,42 g/m2 Persentase BK rumput BH = 32 %

Produksi rumput BH segar = (32/100).X = 382,42 X = 38242/32

= 1195 g/m2

Proper use = 70 %

Jumlah hijauan yang tersedia g/m2 = 70 % x 1195

= 836,5 g/m2 atau 8365 kg/ha Konsumsi 1 ST / 30 hr = 30 kg x 30 hr

= 900 kg/30 hari

Luas tanah yang dibutuhkan = 900/8365

= 0,1 ha

Kebutuhan luas tanah/th = (y – 1) s = r = (y – 1) 30 = 70

y = 70/30 + 1 = 3,3

= 3,3 x 0,10

= 0,35 ha/ek/th atau 2,85 ST/ha/th Keterangan : y = angka perbandingan luas tanah yang diperlukan seekor sapi

pertahun dibanding perbulan s = periode stay atau merumput r = periode rest atau istirahat