2.27 2.07
2.63 2.24
0.5 1
1.5 2
2.5 3
Kemarau Hujan
Bobot Badan
kg Betina
Jantan
Gambar 9 Bobot lahir domba lokal UP3J-IPB jenis kelamin betina dan jantan pada musim kemarau dan hujan
Bobot badan pada musim hujan lebih tinggi dari musim kemarau karena pada musim hujan ketersedian rumput dan hijauan untuk konsumsi induk guna
perkembangan janin yang dikandung lebih berlimpah dibanding pada musim kemarau. Menurut Tjasyono 2004 iklim pada umumnya secara tidak langsung
berpengaruh terhadap performa dan pertumbuhan pada hewan ternak melalui hijauan pakan ternak sebagai sumber pakan. Unsur-unsur iklim disini adalah
curah hujan, suhu, angin, sinar matahari, kelembaban, dan evapotranspirasi. Faktor-faktor iklim tersebut pada musim kemarau dan musim hujan sangat
berbeda sehingga akan berpengaruh terhadap penampilan ternak domba terutama yang dipelihara di padang penggembalaan.
Rataan bobot lahir domba lokal UP3J-IPB baik di musim kemarau maupun di musim hujan lebih rendah dari domba ekor tipis sumatra sebesar 2,74 kg
Iniquez et al. 1991. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Malewa 2007 rataan bobot lahir domba donggala di bulan basah pada jenis kelamin jantan di Palu
Timur, Palu Selatan, dan Biromaru masing-masing 2,70 kg, 2,91 kg, dan 3,25 kg sedangkan domba betina masing-masing 2,66 kg, 2,74 kg, dan 2,67 kg. Menurut
Priyanto et al. 1992 melaporkan ternak-ternak di desa-desa di daerah Cirebon yang digembalakan didapatkan bobot lahir sebesar 2,1 dan 3,0 kg untuk anak
domba kelahiran tunggal dan kembar dua.
Rendahnya bobot lahir pada domba lokal UP3J-IPB terkait dengan nutrisi dan kecukupan pakan yang rendah dan tidak sesuai untuk kebutuhan induk
bunting guna perkembangan janin. Menurut Rehfeldt et al. 2004 pemberian pakan dengan nutrisi rendah selama sepertiga akhir periode kebuntingan dapat
menyebabkan pertumbuhan sel daging terhambat sehingga bobot lahir menjadi rendah. Menurut Dong et al. 2008 perbaikan nutrisi dalam pakan pada tengah
fase kebuntingan dapat meningkatkan hormon insulin-like growth faktor-1 reseptor IGF-1F
dalam plasma darah yang merupakan aktifator hipertropi pada organ seperti hati dan jaringan ventrikulus pada fetus. Tanpa pemberian makanan
tambahan terhadap induk bunting yang terjadi di UP3J-IPB menyebabkan suplai nutrisi terhadap anak selama periode prenatal akan berkurang dan hal ini secara
langsung berpengaruh dengan rendahnya bobot lahir dan daya hidup pada periode neonatal. Menurut Inounu 1991 70 dari total kematian prasapih terjadi pada
umur antara 1-6 hari setelah kelahiran. Boujenane 1996 melaporkan kematian yang tinggi di awal kelahiran disebabkan oleh bobot lahir yang rendah dari jumlah
anak sekelahiran yang tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jarmuji 2008 pada domba lokal UP3J-IPB menyatakan rataan daya hidup anak periode lahir
sampai sapih sebesar 74,56±43,74 dengan koefisien keragaman 58,66 lebih rendah dari hasil penelitian Nafiu 2003 sebesar 78,47 dan juga pada domba
hasil persilangan antara domba sumatera dan domba komposit pada generasi kedua sebesar 81,1 Doloksaribu et al. 2000.
Bobot lahir yang rendah akan berpengaruh negatif terhadap pertambahan bobot badan pra sapih dan bobot badan pada saat disapih sebab korelasi antara
bobot lahir dengan bobot sapih adalah sedang Warwick 1987. Menurut Martojo 1992 nilai koefisien korelasi 0,1 sampai 0,2 adalah rendah, 0,4 sampai
0,5 sedang, dan 0,6 sampai 1,0 tinggi. Hal ini berarti bobot lahir yang rendah akan menyebabkan laju pertambahan bobot badan prasapih lebih lambat dan bobot
sapih yang akan dicapai akan ikut rendah dan hal ini akan berpengaruh di dalam pengambilan keputusan mengenai seleksi di lapangan. Demikian juga nilai
ripitabilitas bobot lahir dan laju kenaikan bobot sampai disapih pada ternak domba masing-masing sebesar 30-40 dan 35-40 Warwick 1987, 35 dan
25 Bourdon 2000. Menurut Martojo 1993 ripitabilitas memberikan petunjuk
mengenai sejauh mana seekor hewan dapat mengulangi keunggulan dalam satu catatan performans pada catatan-catatan berikutnya, selama masa hidup
produktifnya, sedang heritabilitas merupakan petunjuk mengenai sejauh mana keunggulan tetua dapat diwariskan pada keturunannya. Hal ini berarti bobot lahir
yang rendah pada domba lokal UP3J-IPB kemungkinan akan terulang lagi pada kelahiran berikutnya pada induk yang sama di dalam populasi apabila kondisi
lingkungannya relatif sama dari sebelumnya.
Pengaruh Jenis Kelamin dan Musim Terhadap Bobot 90 Hari Terkoreksi
Hasil Uji t pada musim hujan bobot 90 hari antara jantan dan betina tidak berbeda demikian pula pada musim kemarau bobot antara betina dan jantan tidak
berbeda. Rataan bobot badan pada Tabel 12 dapat dilihat bobot jantan lebih tinggi dibandingkan dengan betina.
Tabel 12 Rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman bobot 90 hari anak domba lokal UP3J-IPB
Musim Jenis Kelamin
Bobot kg
KK n
ekor Kemarau
Jantan 9,26 ± 2,82
30,51 7
Betina 7,03 ± 1,97
28,03 11
Hujan Jantan
9,37 ± 1,39 14,93
15 Betina
8,18 ± 1,99 24,33
18 Rataan bobot jantan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis kelamin
betina pada Tabel 12 dapat disebabkan sistem hormonal yang berbeda dari keduanya. Pada domba jantan kemampuan untuk menghasilkan hormon
testosteron lebih tinggi dibandingkan dengan domba betina. Hormon testosteron menurut Matescu and Thonney 2002 diketahui berpengaruh terhadap
pembentukan otot pada beberapa bagian tubuh. Hormon ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh 3 gen pertumbuhan di dalam tubuh yaitu Insulin-like Growth
Factor IGF-I, Androgen Receptor AR, dan Myostatin. Hasil penelitian Kim et al.
1987 dengan menggunakan anabolis steroida ciamterol yang diberikan pada domba muda kebiri menyatakan bahwa pemberian cimaterol dapat meningkatkan
pertambahan bobot hidup, meningkatkan keefesienan penggunaan pakan, bobot karkas lebih tinggi, lemak subkutan lebih tipis dan bobot irisan bahu, dada, dan
pinggang serta paha lebih tinggi dibandingkan dengan domba kebiri tanpa cimaterol. Menurut Rick et al. 1984 anabolis steroid meningkatkan penimbunan
protein dalam otot dengan mengurangi penimbunan lemak, karena nutrisi langsung menuju otot, tidak menuju jaringan lemak tubuh.
Rataan bobot sapih domba UP3J-IPB pada hasil penelitian ini lebih rendah dengan domba lokal hasil penelitian Malewa 2007 yang menyatakan bobot sapih
tertinggi domba donggala yang dipelihara di padang penggembalaan pada jantan dan betina masing-masing seberat 11,25 dan 10,92 kg. Hasil ini juga lebih rendah
dari hasil penelitian Setiadi dan Inigues 1993 yang menyatakan rata-rata bobot sapih umur 12 minggu anak domba ekor tipis jawa 9,20 kg, domba ekor gemuk
9,04, dan domba ekor tipis sumatera 11,40 kg. Rendahnya bobot sapih ini diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya lingkungan antara lain pakan yang
kurang memenuhi kebutuhan. Menurut Bourdon 2000 nilai h
2
bobot sapih pada ternak domba sebesar 0,10-0,30;0,10-0,40 Warwick 1987; Hardjosubroto 1994,
dan pada sapi bali 0,15 Martojo 1993. Nilai koefisien h
2
yang rendah memberi indikasi faktor lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam menentukan
pencapaian bobot sapih yang ideal. Faktor-faktor lingkungan tersebut dalam bentuk lingkungan internal misalnya umur, seks, maternal dan lingkungan
eksternal diantaranya lokasi, musim, penyakit, dan pakan Turner Young, 1969. Heritabilitas yang kecil tidak berarti sifat tersebut kurang dipengaruhi
keturunan atau genotipe hewan akan tetapi peluang membuat kesalahan dalam pelaksanaan seleksi hewan bibit lebih besar untuk sifat dengan h
2
kecil daripada sifat dengan h
2
besar Martojo 1993. Kesalahan-kesalahan dalam persepsi nilai h
2
akan mempengaruhi proses seleksi terutama yang banyak terjadi pada tingkat seleksi bibit karena keunggulan semu yang terlihat pada fenotipenya saja yang
sebenarnya hanya disebabkan oleh lingkungan belaka, dan bukan karena mutu genotipe atau nilai pemuliaannya yang tinggi.
Menurut Soeparno 1992 pertumbuhan ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya bangsa, jenis kelamin, makanan, dan kesehatan. Sistem
pemeliharaan domba di UP3J-IPB semi intensif, siang hari dilepas di padang
penggembalaan dan pada malam harinya dikandangkan. Pemberian pakan tambahan berupa dedak atau konsentrat tidak dilakukan, sehingga sepenuhnya
sumber pakan yang didapatkan hanya berasal dari rumput lapangan yang tersedia. Kondisi ini diduga menjadi penyebab rendahnya bobot 90 hari pada domba lokal
UP3J-IPB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nafiu 2003 melaporkan rata- rata total bobot sapih domba priangan yang diberi pakan baik sebesar 17,79
kginduk, sedangkan pada pakan yang kurang baik sebesar 14,20 kginduk. Berdasarkan nilai keragaman bobot 90 hari pada Tabel 12 yang lebih
rendah pada musim hujan mengindikasikan bobot badan domba lokal UP3J-IPB lebih stabil di musim hujan sehingga bila akan dilakukan seleksi terhadap bobot
90 hari akan lebih baik dan lebih mudah pada musim kemarau sebab perbedaan bobot tiap individu di dalam kelompok masing-masing lebih besar pada saat
berumur 90 hari.
8.18 7.03