1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Remaja
adolescence
adalah peralihan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang meliputi berbagai perubahan besar, misalkan perubahan fisik,
perubahan kognitif, dan perubahan psikososial. Perubahan tersebut merupakan suatu kepastian karena adanya proses perkembangan hormonal dalam tubuh
manusia, sehingga pada masa remaja itu, seseorang akan melewati proses pubertas
puberty
, yaitu proses yang harus dilewati oleh seseorang untuk mencapai kematangan seksual Papalia, Olds, Feldman, 2009. Selain itu, pada masa
remaja, seseorang akan mengalami perubahan kognitif. Misalkan, menurut Elkind Papalia, Olds, Feldman, 2009, remaja memiliki karakteristik berpikir yang
belum matang karena di satu sisi belum dapat meninggalkan pola pikir masa kanak-kanak, namun di sisi lain remaja sudah bukan kanak-kanak lagi dan tidak
mau dianggap sebagai anak-anak. Maka dari itu, masa remaja dianggap sebagai masa labil Hurlock, 1980.
Secara usia kronologis, masa remaja dimulai pada usia 12 tahun sampai 21 tahun untuk wanita dan 13 tahun sampai 22 tahun untuk laki-laki Chaplin, 1981.
Dengan demikian, jika dikonversikan ke dalam tahap pendidikan, seseorang akan memulai masa remajanya sejak lulus Sekolah Dasar SD, berlanjut di Sekolah
Menengah Pertama SMP dan Sekolah Menengah Atas SMA, sampai dengan masa perkuliahan. Pada tahap SMA tersebut, remaja sudah menginjak usia 16
tahun sampai 19 tahun Papalia, Olds, Feldman, 2009. Pada tahap itu pula, remaja sudah dihadapkan pada pemilihan dan persiapan diri untuk menjalankan
suatu pekerjaan atau karir karena karir atau pekerjaan seseorang menentukan berbagai hal dalam kehidupan Hurlock, 1980. Di sisi lain, Havighurst 1984
menyatakan bahwa memilih dan mempersiapkan karir atau pekerjaan merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan oleh setiap remaja.
Super Seligman, 1994 mengatakan perkembangan karir pada masa sekolah menengah sebagai tahap eksplorasi yang dimulai pada usia 15 sampai 24 tahun.
Pada tahap ini remaja mengembangkan kesadaran terhadap dirinya dan dunia kerja, dan mulai mencoba peran-peran baru, maka dalam hal ini diperlukan
kematangan karir. Brown dan Brooks Wijaya, 2008 mengemukakan bahwa kematangan karir sebagai kesiapan kognitif dan afektif dari individu remaja untuk
mengatasi tugas-tugas perkembangan yang dihadapkan kepadanya, karena perkembangan biologis dan sosialnya serta harapan-harapan dari orang-orang
dalam masyarakat yang telah mencapai tahapan perkembangan tersebut. Crites Barnes, 1974 mengatakan, untuk dapat memilih dan merencanakan
karir yang tepat, dibutuhkan kematangan karir, yaitu meliputi pengetahuan akan diri, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan memilih pekerjaan, dan
kemampuan merencanakan langkah-langkah menuju karir yang diharapkan. Oleh karena itu, remaja usia 15 tahun atau seusia SMA sudah saatnya untuk memiliki
kematangan karir yang tinggi. Kematangan karir bukan merupakan hasil akhir dari perkembangan. Kematangan karir adalah suatu tahap yang diperlukan
seorang remaja untuk menuju tahap dewasa, yaitu suatu tahap perkembangan
ketika seseorang sudah harus memikirkan masa depannya, salah satunya berupa karir.
Kematangan karir membutuhkan pengetahuan akan diri dan rencana masa depan termasuk pekerjaan dan sekolah lanjut yang akan ditempuh pasca
menyelesaikan pendidikan di SMA. Selain itu, kematangan karir juga sudah seharusnya berfungsi jauh hari sebelum itu, yaitu ketika penentuan jurusan dalam
SMA atau SMK. Jurusan yang diambil di SMA atau SMK diharapkan dapat bersifat
linear
atau berbanding lurus terhadap rencana pekerjaan yang telah dicita- citakan karena dengan pengambilan jurusan tersebut, seseorang diberikan
pengetahuan dan keterampilan yang lebih khusus guna mempersiapkan ke jenjang yang lebih tinggi dan karir. Oleh karena itu, kematangan karir sudah seharusnya
berfungsi ketika remaja mengenyam pendidikannya di SMA atau SMK, atau bahkan sebelum itu, yaitu ketika masa akhir SMP. Terlebih lagi, kurikulum
pendidikan di Indonesia saat ini sudah menjuruskan setiap peserta didik ketika memasuki kelas X.
Jurusan di SMA ini yang diharapkan sebagai langkah awal dalam menggiring peserta didik untuk konsentrasi pada bidang keilmuan yang kelak
akan menjadi cita-cta dan karir mereka. Jika kematangan karir seorang remaja rendah, maka remaja akan mengalami kebingungan dan kesulitan pengambilan
keputusan dalam menentukan jurusannya di SMA atau SMK. Pada tahap selanjutnya, jika jurusan yang diambil bukan atas dasar pertimbangan karir secara
matang, maka kondisi ini akan menimbulkan keterpaksaan dalam diri remaja ketika belajar di SMA atau SMK.
Santrock 2003 menyatakan bahwa remaja seringkali memandang eksplorasi karir dan pengambilan keputusan dengan disertai perasaan bimbang,
ragu-ragu, ketidakpastian, dan stres. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Triana Setyawati, 2005, menunjukkan bahwa 45
siswa Sekolah Menengah Atas belum memiliki perencanaan mengenai karir yang akan dipilihnya, karena masih mengalami keraguan.
Perkembangan pengetahuan karir, eksplorasi karir, perencanaan karir, dan kematangan karir memiliki keterkaitan. Kematangan karir dipengaruhi oleh cara
seorang remaja melakukan eksplorasi karir sehingga menyebabkan seorang remaja memahami jenis karir yang sangat bervariasi. Eksplorasi karir ini
kemudian membuat seorang remaja memiliki pengetahuan karir yang luas yang dapat digunakannya sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan jenis karir
yang akan ditempuhnya di masa mendatang. Pada titik inilah kematangan karir seseorang dapat diketahui. Semakin tinggi eksplorasi karir, semakin tinggi pula
pengetahuan seseorang akan karir. Semakin tinggi pengetahuan seseorang akan karir, semakin tinggi pula kematangan karir seseorang. Semakin tinggi
kematangan karir seseorang, semakin tinggi pula perencanaan seseorang akan karir yang akan ditempuhnya.
Tahapan kematangan karir tersebut juga disampaikan oleh Super Winkel Hastuti, 2006. Seseorang sudah mengalami proses perkembangan karir mulai
usia anak-anak. Ketika seseorang sampai pada usia anak-anak, seseorang sudah memasuki fase pengembangan mengenai gambaran diri dan cita-cita. Kemudian,
memasuki usia 15 tahun sampai 24 tahun, seseorang memasuki fase eksplorasi,
yaitu suatu fase perkembangan karir ketika seorang individu mulai memikirkan berbagai bentuk karir namun belum mengambil keputusan yang mengikat dan
bulat. Jika pada fase ini kebingungan seorang individu akan karir tidak segera diatasi, maka tahap kematangan karir seseorang akan tetap rendah dan pada fase
eksplorasi itu saja. Namun, jika pada fase tersebut kebingungan seorang individu akan karir segera diintervensi, maka individu akan mengalami kenaikan
kematangan karir berupa kemantapan yang meningkat dan memiliki perencanaan- perencanaan yang matang.
Berdasarkan deskripsi tersebut, kematangan karir merupakan permasalahan yang seringkali terjadi pada peserta didik SMA. Kondisi ini diperjelas dengan data
angket yang diisi oleh peserta didik salah satu SMA di Klaten, yaitu SMA Negeri 1 Karanganom. Berdasarkan pembagian angket yang dilakukan berdasarkan
stratified sampling
pengambilan sampel dengan memilih acak satu kelas setiap jurusan, ditemukan sebanyak 122 peserta didik ingin kuliah 80,4, tiga peserta
didik ingin kursus 1,96, sebanyak dua peserta didik ingin kuliah sambil bekerja 1,31, dan sebanyak satu peserta didik ingin
mondok
di pesantren 0,65.
Hasil angket juga ditemukan bahwa ada 47 peserta didik dari 153 peserta didik yang belum memiliki gambaran masa depan tujuan kuliah dan jenis
pekerjaan. Itu artinya ada 30,719 peserta didik yang belum memiliki gambaran masa depan secara jelas. Faktor dari ketidaktahuan akan rencana masa depan
tujuan kuliah dan jenis pekerjaan dipengaruhi oleh belum mengetahui bakat dan minat diri sendiri sebanyak 25 peserta didik atau 16,3, tidak memiliki referensi
jenis pekerjaan sebanyak 12 peserta didik atau 7,8, dan faktor lain sebanyak 10 peserta didik atau 6,5. Bahkan, ada tiga peserta didik 1,96 yang sudah
memiliki gambaran jurusan kuliah namun masih belum yakin akan rencana masa depan karir. Terdapat 9 peserta didik 5,88 yang sudah memiliki gambaran
jurusan dan tempat kuliah satu atau dua jurusan, namun masih bingung dan ragu. Selain itu, ada 7 peserta didik kelas XI dan 4 peserta didik kelas XII yang
memiliki gambaran jurusan perkuliahan lebih dari dua pilihan. Data lulusan SMA Negeri Karanganom Klaten, menunjukkan ada 12 peserta didik dari 191 peserta
didik 6,28 diterima di jurusan perkuliahan yang tidak
linear
dengan jurusannya di SMA.
Data angket tersebut diperkuat dengan data wawancara kepada guru. Banyak peserta didik yang masih belum memiliki kematangan karir meskipun
jurusan yang diambil ketika menjalani pendidikan di SMA atau SMK merupakan pilihannya sendiri, sehingga menyebabkan ketidakjelasan gambaran masa depan
baik dalam memutuskan jurusan kuliah maupun memutuskan jenis pekerjaan yang akan diambil kelak. Hal ini berdasarkan fenomena yang terjadi di SMA Negeri 1
Karanganom Klaten. Guru BK kelas XII SMA Negeri 1 Karanganom Klaten mengatakan bahwa permasalahan terbanyak yang terjadi pada diri peserta didik
adalah masih adanya kebingungan dalam memilih pendidikan tinggi dan menentukan karir meskipun sebelum peserta didik diterima di SMA tersebut,
pihak sekolah memberlakukan sistem Tes Potensi Akademik TPA dan tes minat untuk seleksi dan pemetaan peserta didik RPT Guru BK Kelas XII SMA Negeri
1 Karanganom, 2015.
Kematangan karir yang rendah tersebut salah satunya disebabkan oleh minimnya referensi bentuk pekerjaan yang ada dalam pikiran peserta didik.
Konsep pekerjaan yang ada dalam pikiran peserta didik hanya berkisar pada pekerjaan tertentu saja, misalkan dokter, arsitek atau insinyur, guru, dan dosen.
Padahal, masih ada banyak lagi jenis pekerjaan yang dapat dipilih berdasarkan minat dan bakat peserta didik. Selain itu, pola pikir yang kurang fleksibel juga
turut mempengaruhi kematangan karir dan motivasi belajar peserta didik SMA Negeri 1 Karanganom. Mereka masih terpaku pada pemikiran bahwa jurusan yang
paling luas menyediakan lapangan pekerjaan dan “lebih laku” adalah jurusan Ilmu Pengetahuan Alam IPA atau jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
MIPA sehingga mereka lebih tertarik ke jurusan IPA atau MIPA. Di sisi lain, mereka juga belum memiliki konsep yang jelas tentang karir masa depan mereka
sehingga menimbulkan kesenjangan yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya motivasi belajar AY Guru Geografi SMA Negeri 1 Karanganom, 2015.
Permasalahan kematangan karir ini juga dipengaruhi faktor lain, misalkan banyaknya peserta didik yang kurang memiliki kedekatan dengan orang tua
karena orang tua memiliki jam kerja yang lama. Padahal orang tua adalah sumber motivasi belajar. Selain itu, orang tua seharusnya juga berperan sebagai
pembimbing, termasuk membimbing peserta didik dalam menentukan jurusan sekolah dan karir masa depan. Sehingga, jika kedekatan antara peserta didik
dengan orang tuanya rendah, maka akan menyebabkan kematangan karir dan motivasi belajar peserta didik juag rendah HDJ Guru TIK SMA Negeri 1
Karanganom, 2015.
Fenomena-fenomena seperti ini jelas menggambarkan bahwa kematangan karir adalah variabel yang sangat penting dan urgen dalam dunia pendidikan SMA
karena tahap SMA merupakan tahap yang harus dilalui oleh peserta didik remaja dalam meraih cita-cita dan karir di masa depannya kelak. Ketika individu pada
masa SMA belum memiliki gambaran karir yang jelas dan pasti, maka individu tersebut akan mengalami keraguan dan ketidakpahaman untuk memilih studi
lanjut karena jurusan studi lanjut dengan karir. Dengan kata lain, jurusan tertentu di SMA merupakan komponen pengasah keterampilan dalam rangka
mempersiapkan diri untuk studi lanjut, bekerja, dan berkarir. Maka dari itu, ketika banyak fenomena ketidakpastian mengenai gambaran karir dan studi lanjut pada
suatu kelompok peserta didik, harus segera dipecahkan. Terdapat beberapa penelitian untuk meningkatkan kematangan karir.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Hidayat 2014 dengan judul “Pengaruh Pelatihan PLANS Terhadap Kematangan Karir Pada Siswa SMA”.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan sumbangan pelatihan PLANS terhadap peningkatan kematangan karir peserta didik SMA sebesar 40,4 untuk domain
sikap dan 62,5 untuk domain kompetensi kematangan karir. Kedua, penelitian yang dilakukan Ardiyanti Alsa 2015 dengan judul
“Pelatihan PLANS Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Dalam Pengambilan Keputusan Karir”. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa pelatihan PLANS
memberikan kontribusi sebesar 73 dalam pengambilan keputusan karir. Efek dari pelatihan PLANS ini masih dirasakan oleh kelompok eksperimen selama dua
minggu sejak waktu pelatihan. Secara garis besar, pelatihan PLANS terdiri dari
program untuk menganalisis diri, menambah wawasan karir, menetapkan tujuan dan membuat rencana karir, serta menetapkan langkah-langkah untuk
mengimplementasikan rencana tersebut. Kekurangan intervensi ini adalah materi yang terbatas mengenai tipe kepribadian karir dan tipe lingkungan karir.
Ketiga, Avati Cahyadi 2010 telah membuat rancangan program pelatihan untuk meningkatkan kematangan karir mahasiswa psikologi Universitas
Padjajaran. Hasilnya, rancangan program tersebut dapat meningkatkan kematangan karir. Meskipun demikian, penelitian tersebut bersifat
non parametric
karena memberikan intervensi pelatihan kepada sebelas mahasiswa. Konsekuensi dari penelitian
non parametric
dengan jumlah sampel yang kurang representatif adalah hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasi ke dalam populasi.
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Farida Nur Iffah 2012 dengan judul “Pelatihan Efikasi Diri Untuk Meningkatkan Kemampuan Pengambilan
Keputusan Karir Siswa SMA”. Hasilnya, pelatihan efikasi diri dalam meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan karir pada siswa SMA. Hal ini
dapat diilhat dari adanya perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Kematangan karir juga dapat ditingkatkan dengan konseling karir. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Ardana, Dharsana, Suranata 2014 dengan judul
“Penerapan Konseling Karir Holland Dengan Teknik Modeling Untuk Meningkatkan Kematangan Karir Siswa Kelas X TKJ 1 SMK Negeri 3
Singaraja”. Hasil penelitian tersebut adalah adanya peningkatan kematangan karir setelah peserta didik diberikan konseling karir Holland dengan teknik modeling.
Selain itu, konseling karir juga dikaji oleh Arthur McMahon 2005, Koivisto 2010, UNESCO 2002, Leksana, Wibowo, Tadjiri 2013, Watts 2006,
Adiputra 2015, dan Dykeman, et al. 2003. Para ilmuwan tersebut menjelaskan mengenai berbagai teknik dan program dalam memberikan konseling karir.
Terdapat beberapa kelebihan dari pelatihan PLANS dalam rangka meningkatkan kematangan karir. Kedua pelatihan PLANS yang dilakukan oleh
Ardiyanti Alsa 2015 dan Hidayat 2014 merupakan penelitian yang baru karena baru dilaksanakan pada tahun 2015 dan 2014. Selain itu, pelatihan PLANS
tersebut dilaksanakan oleh peneliti psikologi pendidikan dan penelitiannya
menerapkannya kepada 36 subjek dan Hidayat 2014 menerapkannya kepada 30 subjek. Dengan demikian, penelitian mengenai pelatihan PLANS dapat
disimpulkan dapat meningkatkan kematangan karir pada peserta didik SMA. Mengenai konseling karir, kelebihannya adalah banyak dikaji, ditulis,
diteliti, dan direkomendasikan oleh peneliti internasional. Salah satu teknik konseling karir dengan teknik modeling. Penelitian yang sudah ada menunjukkan
bahwa konseling karir dengan teknik modeling lebih efektif ketika diterapkan kepada sampel yang tidak terlalu besar
small N
sehingga kemampuan generalisasinya penerapan terhadap sampel atau subjek lain di luar populasi
penelitian rendah. Berdasarkan berbagai permasalahan, maka perlu diupayakan pemberian
intervensi yang tepat dan komprehensif untuk meningkatkan kematangan karir peserta didik. Selain itu, berbagai penelitian yang telah terbukti meningkatkan
dilakukan terhadap subjek yang cukup banyak Ardiyanti Alsa 2015
kematangan karir tersebut juga perlu dikaji secara lebih mendalam lagi untuk mengetahui intervensi yang lebih komprehensif dalam meningkatkan kematangan
karir peserta didik. Dengan demikian, muncul pertanyaan mengenai “Bagaimana
bentuk intervensi yang komprehensif untuk meningkatkan kematangan karir pada peserta didik SMA Negeri Karanganom Klaten?
”. Pertanyaan tersebut dapat ditindaklanjuti dengan mengevaluasi intervensi-
intervensi yang dapat meningkatkan kematangan karir. Evaluasi tersebut bertujuan untuk melengkapi intervensi tersebut sehingga intervensi tersebut dapat
digunakan lebih optimal. Evaluasi diterapkan pada “Perencanaan Lanjut Studi”
atau “PLANS” Ardiyanti Alsa, 2015; Hidayat, 2014 dan konseling karir Holland dengan teknik modeling Ardana, Dharsana, Suranata, 2014. Hasil
evaluasi yang diterapkan pada pelatihan “Perencanaan Lanjut Studi” atau “PLANS” adalah mengenai materi yang masih bisa dilengkapi dan diperdalam.
Evaluasi tersebut meng hasilkan intervensi yang bernama pelatihan “Reach Your
Dreams”. Perubahan materi dan pergantian nama tersebut merupakan bagian dari adaptasi.
Hasil evaluasi yang diterapkan pada konseling karir Holland dengan teknik modeling adalah dengan melebarkan fokus peningkatan kematangan karir dengan
prinsip
grounded
. Dengan demikian, fokus konseling karir tidak terletak pada teori Holland dan teknik modeling. Namun, terletak pada setiap permasalahan
yang muncul dari peserta konseling. Sehingga, solusi yang muncul dapat bersifat operasional.
Berdasarkan deskripsi berbagai intervensi untuk meningkatkan kematangan karir dan evaluasinya, maka muncul sebuah rumusan masalah. Rumusan masalah
tersebut adalah “Apakah pelatihan “Reach Your Dreams” dan konseling karir
efektif d alam meningkatkan kematangan karir peserta didik SMA?”. Rumusan
masalah tersebut kemudian menghasilkan rumusan masalah lanjutan, yaitu “Bagaimana efektivitas pelatihan “Reach Your Dreams” dan konseling karir
dalam meningkatkan kematangan karir peserta didi k SMA?”.
B. Tujuan Penelitian