Miftah Faridl pada tahun 2007 menulis buku dengan judul “Poligami”. Buku ini menjelaskan ajaran poligami secara umum, mulai dari
definisi poligami, dasar hukum poligami, sampai praktik poligami ditinjau dari normasusila dan perilaku sosial. Kemudian Musdah Mulia pada tahun
1999 menulis Buku dengan judul “Pandangan Islam tentang Poligami”. Buku ini menceritakan poligami dalam Islam, yaitu praktik poligami pada
masa Rasululullah, serta kritik terhadap kebijakan pemerintah Republik Indonesia mengenai poligami.
Dari telaah pustaka di atas, maka ada perbedaan yang jelas antara tuisan-tulisan tersebut dengan tema yang dimaksud. Penelitian ini melihat
bagaimana Muhammad Syahrur membaca ayat-ayat poligami sehingga muncul kesimpulan bahwa poligami harus dilakukan dengan para janda yang
ditinggal mati suaminya dan mempunyai anak yatim, sehingga konsep keadilan harus ada antara anak-anaknya dengan anak-anak yatim. Penelitian
ini akan mengurai bagaimana metode penafsiran atau metode istinbat hukum yang dipakai Muhammad Syahrur sehingga muncul kesimpulan di atas.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang dimaksud pada penelitian ini adalah kerangka berpikir jalannya penelitian dengan disertai teori. Kerangka berpikir yang
dimaksud bukan sistematika penelitian, namun kerangka penelitian yang dilihat dari suatu teori yang sudah ada.
Penelitian ini
menjelaskan bagaimana
Muhammad Syahrur
menafsirkan ayat-ayat poligami. Penafsiran ayat-ayat poligami yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur tidak berdasarkan atas teori penafsiran
yang digunakan oleh kebanyakan ulama, tetapi ia mempunyai teori penafsiran sendiri. Syahrur menyebut model penafsirannya dengan pembacaan ulang
terhadap ayat- ayat al Qur‟an. Pembacaan ulang ayat-ayat al Qur‟an yang
dilakukan oleh Muhammad Syahrur berdasarkan pada analisis teks, yaitu analisa terhadap teks atau nash ayat-
ayat al Qur‟an dengan pendekatan kebahasaan.
Muhammad Syahrur menganalisa ayat- ayat al Qur‟an melalui
pendekatan kebahasaan dengan menjelaskan kaidah kebahasaan, seperti ilmu nahwu, sharaf, dan balaghah, misalnya huruf wawu yang terletak pada
permulaan ayat ketiga Surat al Nisa‟ itu menjadi kata penghubung antara ayat sebelum kedua dengan setelahnya ketiga. Kata penghubung ini dalam
kaidah bahasa disebut dengan wawu ‘athaf. Muhammad Syahrur juga
menjelaskan pengertian atau “makna” kata dalam ayat al Qur‟an, seperti tidak adanya sinonimitas bahasa; misalnya, ia menjelaskan perbedaan antara makna
kata qasatha dan ‘adala dalam ayat-ayat poligami. kedua kata tersebut
berbeda antara adil dari satu sisi kata aqsatha dan adil dari dua sisi kata ‘adala. Muhammad Syahrur juga menjelaskan hubungan antara ayat yang
diteliti dengan ayat lainnya munasabah ayat berdasarkan pendekatan kebahasaan tersebut. Ayat ketiga s
urat al Nisa‟ tentang poligami dihubungkan dengan ayat sebelumnya ayat kedua tentang anak-anak yatim, dengan ayat
ke-127 tentang keringanan pemberian mahar, dan dengan ayat ke-129 tentang tidak dapatnya berbuat adil terhadap istri-istri yang dinikahinya poligami.
Langkah-langkah di atas menjelaskan tentang teori-teori penafsiran ayat al Qur‟an, baik teori penafsiran kebanyakan mufassir atau teori
penafsiran dari Muhammad Syahrur. Penelitian ini juga mendeskripsikan bagaimana Muhammad Syahrur
menemukan hukum tentang konsep keadilan dalam poligami melalui teori nadzariyatul hudud atau teori batas limit. Melalui teori batas bagian ketiga
batas minimal dan maksimal sekaligus Muhammad Syahrur menjelaskan bagaimana konsep keadilan dalam poligami bisa diwujudkan. Batas minimal
seseorang menikah yaitu dengan seorang istri, dan batas maksimal seseorang melakukan poligami yaitu dengan menikahi empat 4 orang istri, istri kedua,
ketiga atau keempat harus berupa janda yang ditinggal mati suaminya dan mempunyai anak yatim. Penulis tidak hanya menggambarkan pemikiran
Muhammad Syahrur ini, namun juga melakukan analisa penemuan hukum dari pendapat kebanyakan ulama, yang lebih dikenal dalam ilmu ushul fiqh
dengan teori istinbat al hukm. Langkah-langkah ini termasuk pada teori penemuan hukum Islam, kebanyakan ulama menyebutkan dengan istinbat al
hukm dalam koridor ilmu ushul fiqh atau Muhammad Syahrur menyebutnya nadzariyatul hudud.
Penjelasan tentang keadilan poligami telah ada jauh sebelum Muhammad Syahrur menawarkan idenya, dan penjelasan ini diutarakan oleh
banyak ulama, baik dari para pakar ilmu al Qur‟an maupun para pakar ilmu
hukum Islam. Penelitian ini memaparkan pemikiran Muhammad Syahrur tentang keadilan dalam poligami dari sudut pandang pembacaan ulang
penafsiran ayat- ayat al Qur‟an dan dari sudut penemuan hukum istinbat al
hukm melalui nadzariyatul hudud . Penelitian ini juga melihat analisa mendalam atau kritik atas pemikiran Muhammad Syahrur tersebut dari sudut
pandang pemikiran kebanyakan ulama jumhur ulama. Inilah yang penulis maksud dengan rekonstruksi pemikiran Muhammad Syahrur.
Rekonstruksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI adalah pengembalian seperti semula, atau penyusunan penggambaran kembali.
17
Rekonstruksi berarti mengembalikan makna suatu peristiwa, kejadian, pemahaman, atau yang lain, kepada makna yang sudah ada sebelumnya.
Rekonstruksi pemikiran Muhammad Syahrur tentang keadilan dalam poligami berarti pengembalian makna keadilan dalam poligami yang
ditawarkan oleh Muhammad Syahrur kepada makna keadilan dalam poligami yang sudah ada sebelumnya, yakni makna keadilan dalam poligami menurut
jumhur ulama. Dari uraian ini, maka penulis akan memaparkan pemikiran- pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep keadilan dalam poligami yang
sama dan yang beda dengan konsep keadilan dalam poligami dari jumhur ulama. Penulis akan banyak mengupas pemikiran Muhammad Syahrur yang
berbeda dengan jumhur ulama, dengan tujuan untuk mengembalikan maknanya dari Muhammad Syahrur ke Jumhur ulama.
17
Kbbi.web.idrekonstruksi. Akses pada tanggal 25 Januari 2016.
F. Metode Penelitian