BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Persoalan poligami merupakan persoalan klasik namun selalu menarik untuk dibahas. Persoalan poligami dikatakan klasik karena sudah sejak lama
persoalan ini ada, yaitu sejak masa-masa awal Islam sudah terdapat persoalan poligami. Persoalan poligami dikatakan selalu menarik untuk dibahas karena
hampir sepanjang masa persoalan ini selalu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Tanggapan-tanggapan inilah yang kemudian memunculkan
adanya sikap yang setuju adanya poligami sikap pro poligami dan adanya sikap yang tidak setuju adanya poligami sikap kontra poligami.
Sikap pro dan kontra tentang ajaran maupun praktik poligami sudah ada sejak dahulu. Satu sisi, kaum perempuan muslim atau orang yang kontra
poligami melihat praktik poligami sebagai bentuk penindasan kaum laki-laki terhadap perempuan. Di sisi lain, kaum perempuan muslim lain atau orang
yang pro poligami melihat bahwa poligami merupakan bentuk ibadah dengan surga sebagai ganjarannya.
1
Praktik poligami sudah ada jauh sebelum Islam yang di bawa Nabi Muhammad Saw. menyebar di Jazirah Arab. Poligami di Jazirah Arab pada
masa ini tidak terbatas jumlahnya, sehingga para pemimpin suku dinilai wajar memiliki puluhan istri. Kemudian Islam datang dengan membatasi jumlah
1
Miftah Faridl, Poligami, Bandung: Pustaka, 2007, hlm. 1.
poligami .
2
batasan jumlah bilangan istri yang dapat dipoligami dalam Islam adalah empat 4 wanita saja, sesuai dengan firman Allah Swt. dalam Surat al
Nisa‟ 4: 3 dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Firman Allah Surat al Nisa‟ 4 ayat 3 menjelaskan adanya kebolehan
untuk menikahi 2, 3, atau 4 orang istri. Ayat tersebut berbunyi:
Artinya: Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap hak-hak
perempuan yatim bilamana kamu menikahinya maka nikahilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir
tidak akan mampu berbuat adil maka nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar
kamu tidak berbuat dzalim.
3
Hadis Nabi Muhammad Saw. riwayat Ibn Majah yang menjelaskan tentang pembatasan istri Qais Ibn Harits menjadi 4 istri dari 8 istri yang ia
punyai.
2
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, The Asia Foundation, Perserikatan Solidaritas
Perempuan, 1999, hlm. 3-4.
3
Departemen Agama RI, Mushaf Al Qur’an Terjemah, Jakarta: Al Huda
Kelompok Gema Insani, 2002, hlm. 78.
Artinya: Mengabarkan kepada kita Ahmad Ibn Ibrahim al duraqiy dari Hasyim daari
Ibnu Abiy Laila dari Humaidhah Binti al Syamardil dari Qais Ibn al Harits, ia berkata: ketika aku masuk Islam aku mempunyai delapan istri, kemudian
aku datang kepada Rasulullah Saw. dan menyampaikan hal tersebut dan beliau Rasulullah bersabda: pilihlah dari mereka empat orang.
4
Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang menceritakan tentang Ghailan Ibn Salamah al Tsaqafiy yang mempunyai 10
istri dan diperintah oleh Rasulullah Saw. untuk memilih 4 istri saja.
Artinya: Menceritaka
n kepada kita Ismail, dari Mu’ammar dari al Zuhri dari Salim dari ayahnya, bahsawannya Ghailan Ibn Salamah al Tsaqafiy masuk Islam
dan mempunyai sepuluh orang istri, kemudian Rasulullah Saw. bersabda: pilih dari mereka empat orang.
5
Islam datang dengan membatasi jumlah bilangan wanita yang dapat dipoligami dan juga menghapus praktik-praktik perkawinan yang dilakukan
masyarakat jahiliyah, yaitu perkawinan istibdha’, perkawinan al maqthu’,
perkawinan al rathun, perkawinan khadan, dan perkawinan badal.
6
4
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al Fikr, tt. I: 628.
5
Ahmad, Musnad Ahmad, Beirut: Dar al Fikr, tt. II: 13.
6
Perkawinan Istibdha’ adalah perkawinan antara laki-laki dengan
perempuan, dimana sebelum perempuan tersebut digauli suaminya, terlebih dahulu perempuan tersebut diperintahkan berhubungan badan dengan laki-laki lain yang
terhormat karena kebangsawanannya dengan tujuan mendapatkan keturunan yang memiliki sifat-sifat kebangsawanan tersebut. Perkawinan
al maqthu’ adalah perkawinan laki-laki dengan ibu tirinya. Perkawinan al rathun adalah perkawinan
antara beberapa laki-laki dengan satu perempuan, jika perempuan itu melahirkan, maka ia berhak menunjuk siapa ayah dari bayinya tersebut. Perkawinan khadan
adalah perkawinan laki-laki dan perempuan yang dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa akad yang sah kumpul kebo. Perkawinan badal yaitu dua orang
Islam datang sebagai agama yang membawa kedamaian untuk semua makhluk Allah
rahmatan lil ‘alamin dengan salah satu ajarannya mengenai perkawinan. Perkawinan antara laki-laki dengan perempuan diharapkan dapat
menjadikan kehidupan yang sakinah mawaddah wa rahmah, atau perkawinan yang damai, tenang dan bahagia yang diridhai Allah Swt. Oleh sebab itu,
Islam merumuskan aturan- aturan tentang perkawinan di dalam al Qur‟an
maupun Hadis Rasulullah Saw. Salah satu aturan perkawinan yang diajarkan Islam adalah aturan
tentang poligami. Aturan Islam tentang poligami dalam perkawinan terdapat di dalam al Qur‟an dan Hadis, yang menyebutkan adanya batasan jumlah
bilangan istri yang dapat dipoligami dan adanya syarat bagi suami yang akan berpoligami. Meski ada aturan tentang poligami dalam perkawinan yang
terdapat dalam ayat-ayat maupun hadis-hadis Nabi Muhammad, namun ulama berbeda dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis
tersebut. Ulama berbeda pendapat mengenai cara menemukan hukum istinbat al hukm tersebut. Di sinilah kemudian memunculkan sikap pro dan
kotra terhadap poligami. Pemahaman terhadap ayat-ayat ataupun hadis-hadis poligami
dilakukan dengan berbagai cara atau metode oleh para pemerhati agama Islam. Setidaknya ada beberapa pandangan atau pemikiran dari pemerhati
agama Islam dalam memahami ayat-ayat poligami, misalnya: 1 kelompok ulama yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu; 2
suami bersepakat tukar menukar istri tanpa melalui proses talak. Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami... hlm. 5-6.
kelompok ulama yang membolehkan poligami secara mutlak tanpa syarat selain adil.
Kelompok ulama yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu seperti Fazlurrahman, Fatima Mernisi, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Syahrur. Menurut mereka, poligami dalam Islam diperbolehkan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam.
Syarat-syarat tersebut seperti, suami dapat memastikan untuk berbuat adil terhadap semua istri dan anak-anaknya, poligami dibolehkan dalam keadaan
darurat atau terpaksa istri mandul atau tidak sebandingnya antara banyaknya perempuan dengan sedikitnya laki-laki.
Sementara kelompok ulama lainnya membolehkan poligami secara mutlak. Poligami dibolehkan kepada laki-laki yang tidak khawatir akan
berbuat dzalim atau tidak adil kepada masing-masing istri yang dipoligami. Pendapat ini banyak dipakai oleh ulama, baik ulama pada masa awal Islam
masa pertengahan, maupun pada masa sekarang. Pada masa sekarang, seiring menonjolnya peranan perempuan dalam
masyarakat dan tentunya faktor-faktor lainnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat poligami lebih diperketat. Dengan demikian, seorang laki-laki yang
akan menikahi lebih dari seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan syarat-syaratnya.
Pengambilan syarat-syarat
poligami tidak
hanya berdasarkan atas aturan yang dibuat oleh manusia, tetapi berdasarkan atas
pemahaman ayat-ayat poligami tersebut. Inilah yang menarik perhatian penulis tentang berkembang atau bergeraknya pemahaman dan pemikiran
tentang suatu ayat al Qur‟an. Perkembangan atau pergerakan pemahaman dan pemikiran ini tentu mendapat banyak respon dari ulama lain, karena berbeda
dengan pemahaman ulama pada umumnya jumhur ulama. Salah satu pemikir yang mendapat perhatian umat muslim pada akhir-
akhir ini karena pergerakan atau perkembangan pemikiran terhadap ayat-ayat al Qur‟an adalah Muhammad Syahrur. Muhammad Syahrur merupakan
seorang pemikir keislaman yang lahir di Damaskus. Dalam memahami Islam melalui ayat-
ayat al Qur‟an, ia menawarkan metode atau cara yang berbeda dengan jumhur ulama pada umumnya. Muhammad Syahrur dalam memahami
nas al Qur‟an menolak adanya sinonimitas bahasa. Menurutnya, setiap kata
dalam al Qur‟an mempunyai makna masing-masing.
7
Pembahasan makna bahasa banyak disandarkan pada
mu’jam maqayis al lughah karya Ibnu Faris.
8
Muhammad Syahrur membagi antara ayat- ayat al Qur‟an yang
mempunyai dimensi nubuww ah haqiqah al maudhu’iyyah dengan ayat-ayat
yang berdimensi risalah al haqiqah al zatiyah. Dari kerangka berpikir ini, Muhammad Syahrur menawarkan metode atau cara pembacaan al Qur‟an
dengan teori nadzariyatul hudud teori batas atau limitasi. Teori ini ada 6, yaitu: 1 Batas minimal; 2 Batas maksimal; 3 Batas minimal dan maksimal
sekaligus; 4 Batas lurus; 5 Batas maksimal mendekati garis lurus; dan 6
7
Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al- Qur’an Qira’ah Mu’ashirah,cet. VI,
Damaskus: al-Mathbuat, 2000, hlm. 192.
8
Ibid., hlm. 44.
Batas atas positif tidak boleh dilampaui dan batas bawah negatif boleh dilampaui.
9
Contoh pemikiran Muhammad Syahrur terhadap pemahaman ayat- ayat al Qur‟an melalui teori hudud batas adalah masalah kewarisan. Ia
menawarkan teori batas ketiga, yaitu batas minimal dan maksimal sekaligus. Dalam ayat kewarisan dapat dipahami bahwa laki-laki mendapat batas
maksimal dua bagian dari perempuan, sedangkan perempuan mendapat batas minimal satu bagian, sehingga dalam situasi dan kondisi dimana hukum
diterapkan, laki-laki dan perempuan dapat bagian yang sama. Laki-laki dan perempuan mendapatkan batas minimal yaitu satu dan maksimal sekaligus
yaitu dua. Pemikiran Muhammad Syahrur tentang teori batas ini tentu berbeda dengan pemikiran jumhur pada umumnya.
Muhammad Syahrur memberikan contoh lain yang berbeda dengan pemikiran jumhur, yaitu masalah poligami. Poligami menurut Syahrur hanya
dibolehkan untuk para janda yang mempuyai anak yatim, baik untuk istri kedua, ketiga atau keempat. Poligami yang dipahami Muhammad Syahrur
merujuk pada adanya konsep keadilan bagi wanita yang dipoligami, juga keadilan untuk anak-anak yatim dan anak-anaknya.
10
Disinilah letak ketertarikan penelitian ini untuk melihat lebih jauh konsep-konsep yang
ditawarkan Muhammad Syahrur, dan kemudian akan memberikan kritik pada pemikiran tersebut.
9
Ibid., hlm. 452-466.
10
Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al Fiqh al Islamiy Fiqh al Mar’ah, Damaskus: Al Ahali li al Tiba‟ah wa al Nasyr wa al Tauzi‟, tt., hlm. 302-
303.
Ditegaskan latar belakang penelitian ini adalah munculnya salah satu penafsiran dan istinbat hukum tentang keadilan poligami yaitu pemikiran
Muhammad Syahrur yang sangat berbeda dengan penafsiran dan istinbat hukum dari jumhur ulama. Muhammad Syahrur mensyaratkan keadilan
dalam poligami itu ditujukan kepada anak-anak yatim dari janda yang akan dinikahi dan keadilan dari anak-anaknya sendiri. Muhammad Syahrur
membolehkan adanya poligami hanya kepada janda-janda yang ditinggal mati suaminya dan mempunyai anak yatim. Tentunya, konsep keadilan dalam
poligami ini sangat berbeda dengan jumhur ulama yang ditujukan kepada para istri yang dipoligami, bukan kepada anak-anak dari janda karena
ditinggal mati suaminya terdahulu yang dinikahinya. Alasan ketertarikan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
rekonstruksi pemikiran Muhammad Syahrur tentang konsep keadilan dalam poligami ialah adanya metode penafsiran dan istinbat hukum Muhammad
Syahrur tentang keadilan dalam poligami yang berbeda dengan jumhur ulama. Kemudian penulis akan melakukan analisa mendalam atau kritik
berkaitan dengan cara Muhammad Syahrur dalam menafsirkan dan meng- istinbat-kan konsep keadilan dalam ayat-ayat poligami. Analisa atau kritik ini
berpijak dari penafsiran dan istinbat al hukm yang dilakukan oleh kebanyakan ulama mengenai konsep keadilan dalam poligami.
B. Rumusan Masalah