Pengelolaan Penggunaan Lahan Di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak

PENGELOLAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
KABUPATEN LEBAK

NURMAN HAKIM

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Penggunaan Lahan
di Kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis
saya kepada Institut Pertanian Bogor.


Bogor, Agustus 2016
Nurman Hakim
NIM A156130134

RINGKASAN

NURMAN HAKIM. Pengelolaan Penggunaan Lahan di Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak. Dibimbing oleh KUKUH
MURTILAKSONO dan OMO RUSDIANA.
Penggunaan lahan untuk tujuan konservasi dan pembangunan wilayah
memiliki nilai penting yang setara. Kenyataan menunjukan kedua tujuan tersebut
kerap berbenturan karena masing-masing menggunakan pengetahuan dan nilainya
sendiri-sendiri. Konflik tersebut dijumpai di kawasan hutan Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi konflik
penggunaan lahan antara konservasi dengan pertanian, permukiman termasuk
pertambangan, serta mengidentifikasi isu strategis yang muncul dari konflik yang
terjadi. Penelitian dilakukan di kawasan hutan Taman nasional Gunung Halimun
salak di Kabupaten Lebak. Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan
kualitatif dan kuantitatif. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Memetakan

penggunaan lahan di kawasan TNGHS Kabupaten Lebak yang menyebabkan
konflik antara tujuan konservasi, dengan non konservasi (pertanian dan
permukiman termasuk pertambangan), (2) Merumuskan isu strategis pengelolaan
penggunan kawasan TNGHS di Kabupaten Lebak, dan (3) Menyusun arahan
pengelolaan penggunaan kawasan TNGHS di Kabupaten Lebak.
Pemetaan penggunaan lahan menggunakan analisis spasial multikriteria
mengadaptasi LUCIS (Land Use Conflict Identification Strategy) yang
mendasarkan pada analisis konflik preferensi. Nilai preferensi didasarkan pada
pandangan narasumber menggunakan tehnik AHP. Narasumber terdiri dari
kelompok Balai TNGHS yang mewakili tujuan konservasi dan kelompok
Pemerintah Kabupaten Lebak yang mewakili tujuan non konservasi. Rumusan isu
strategis digali berdasarkan pengamatan terhadap hasil pemetaan konflik, kajian
rencana strategis parapihak dan wawancara narasumber Balai TNGHS,
Pemerintah Kabupaten Lebak dan narasumber pakar. Pengelompokan isu strategis
didasarkan pada tingkat agregasi pendapat para narasumber terhadap setiap isu.
Perumusan arahan pengelolaan terdiri dari arahan lokasi dan arahan agenda.
Arahan lokasi didasarkan pada tipologi konflik preferensi dan tipologi preferensi
dominan. Arahan agenda dirumuskan secara deskriptif berdasarkan rumusan isu
strategis.
Hasil pemetaan penggunaan lahan menunjukan adanya konflik antara tujuan

konservasi dengan tujuan pertanian seluas 22_061.11 ha (49%), dengan tujuan
permukiman seluas 1_830.36 Ha (4%), dan dengan tujuan pertambangan seluas
26_007.86 Ha (58 %).
Analisis isu strategis menghasilkan 11 isu yang terdiri dari 3 kelompok
berdasarkan agregasi pendapat narasumber. Kelompok isu A terdiri dari isu
deforestasi dan degradasi hutan, isu penataan batas di lapangan dan penyelesaian
konflik batas, isu penyerasian zonasi TNGHS dengan konsep tata ruang
parapihak, dan isu pertambangan emas tanpa ijin (PETI). Kelompok isu B terdiri
dari isu pengelolaan mitigasi bencana dan isu penetapan lahan pangan
berkelanjutan. Kelompok isu C terdiri dari isu pembuatan atau peningkatan
kualitas bangunan layanan masyarakat, isu fragmentasi hutan, isu rencana

pemanfaatan energi panas bumi Gunung Endut, isu pembuatan dan peningkatan
irigasi dan isu pembuatan atau peningkatan kualitas jalan.
Arahan lokasi pengelolan konflik terdiri dari 4 tipologi yakni: (A) Tutupan
bukan hutan preferensi non konservasi dominan seluas 17 023.01 Ha (37.71%),
(B) Tutupan bukan hutan preferensi konservasi dominan seluas 3 176.25 Ha
(7.04%), (C) Tutupan hutan preferensi non konservasi dominan seluas 34.30 Ha
(0.08%) dan, (D) Tutupan hutan preferensi konservasi dominan seluas 24 911.03
Ha (55.18%). Arahan agenda pengelolaan konflik terdiri dari: (1) Isu Lingkungan

dan tenurial dengan fokus mendorong percepatan penyelesaian persoalan tenurial
dan penanganan kerusakan lingkungan, (2) Isu Mitigasi dengan fokus mitigasi
bencana, ketahanan pangan dan mitigasi dampak lainnya, dan (3) Isu
Pembangunan dengan fokus pengembangan infrastruktur pertanian dan
permukiman.
Kata kunci: Kabupaten Lebak, Konflik penggunaan lahan, Multikriteria analisis,
Preferensi penggunan lahan, Taman Nasional Gunung Halimun Salak

SUMMARY
NURMAN HAKIM. Land Use Management of Gunung Halimun Salak National
Park in Lebak Regency. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and OMO
RUSDIANA.
Land use for conservation and regional development have equal
importance, but often on the same landscape they meet in conflicts because each
objective uses their own knowledge and values. The purpose of this study is to: (1)
identify land use conflicts between the goals of conservation and regional
development in the area of TNHGS Regency of Lebak, (2) analyze strategic issues,
and (3) formulate some recommendations for land use conflict management.
Spatial multicriteria analysis, AHP and LUCIS (Land Use Conflict
Identification Strategy) were employed to determine landuse conflict. There were

two interest group involved, representing each interest and become expert
judgement for their respective criteria. Group Balai TNGHS rate for conservation
preferences and Group Lebak regency government for regional development
preferences. This technic was applied to maximize the contrast among interest.
Strategic issues derived from three sources: observing landuse conflict map,
discussion with the expert and stakeholder’s strategic planing document. The
number of issues is classifyed based on level of agreement among experts. The
proposed recomendation comprise of target areas and common agendas. Target
areas were based on 2 typologi namely conflict of preference’s and dominance
preference. Common agendas was synthesized from strategic issues analysis.
The result showed that conflict occur between conservation and agriculture
of 22_061.11 ha (49%), between conservation and settlement of 1_830.36 Ha
(4%), and between conservation and mining of 26_007.86 Ha (58 %). Analysis of
strategic issues lead to 11 issues were divided to three groups follow the level of
agreement. The issues on Group A was consist of deforestation and forest
degradation, harmonizing between TNGHS spatial zone and the other spatial
planing concept, tenurial and illegal mining. The issues on Group B was consist
of mitigation and food security. The issues on Group C was consist of forest
fragmentation, geothermal utilization plan in Gunung Endut, build or rehabilitate
the office or other building for public service, road network and irrigation for

ricefield farming
There were 4 typologies as proposed location to managed: (A) Non forest
cover with preferences for non conservation 17 023.01 Ha (37.71%), (B) Non
forest cover with preferences for conservation 3 176.25 Ha (7.04%), (C) forest
cover and with preferences for non conservation 34.30 Ha (0.08%) dan, (D)
forest cover with preferences for non conservation 24 911.03 Ha (55.18%).
Common agenda proposed as alternative solution to managed landuse conflict
are: (1) Environmental and tenure Issue with focus on encouraging the
acceleration of the completion of tenure and the handling of environmental
damage, (2) Mitigation issue with a focus on disaster mitigation, food security
and other mitigate impacts, and (3) Development Issue with focus on
infrastructure development for agriculture and settlement.
Keywords: gunung halimun salak national park, land use conflict, land use
preference, Lebak regency, multicriteria analysis.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
KABUPATEN LEBAK

NURMAN HAKIM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016


Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Sofyan Sjaf, SPt, Msi.

Judul Tesis

:

Nama
NRP

:
:

Pengelolaan Penggunaan Lahan di Kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Kabupaten Lebak
Nurman Hakim
A156130134

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS.
Ketua

Dr. Ir. Omo Rusdiana, MSc.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:


PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan ini berhasil diselesaikan. Pengelolaan
penggunaan lahan dan kebijakan ruang di kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak di Kabupaten Lebak sejak tahun 2003 menjadi latar belakang
penulisan ini. Penelitian dilakukan antara Agustus 2015 hingga Februari 2016.
Judul tesis ini adalah Pengelolaan Penggunaan Lahan di Kawasan di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak Kabupaten Lebak.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada:
1. Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MS. selaku ketua komisi pembimbing dan Dr.
Ir. Omo Rusdiana, MSc. Forest. Trop. selaku anggota komisi pembimbing
yang telah mendorong penulis untuk melihat permasalahan dari perspektif
yang berbeda, memberikan arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan
tesis ini.
2. Dr. Sofyan Sjaf, SPt, MSi. selaku penguji luar komisi yang telah memberikan
koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar dan staf pada Program
Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian

Bogor.
4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan
(Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional beserta
jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
5. Ibunda Icah Naffisah dan Gunartiningsih, Ayahanda Ending Affandi dan Bari
untuk do’a sepanjang masa.
6. Peggy Awanti, Kay Mahesa Muhammad, Ayuning Fathimah Wohingati,
untuk segala doa, dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya.
7. Suer Suryadi, Inung Wiratno, Dian Permata, Ahmad Yamani, Wahyu
Murdyatmaka, HA Wahyudi untuk informasi dan diskusi pendalaman materi.
8. Para narasumber dan penyusun zonasi TNGHS: Nurfaizin, Wardi Septiana,
Misbah Satria Giri, Iwan Ridwan. RTRW Kabupaten Lebak: Helmi Arief
Gunawan, Dasep Novian, Nurul Hakim, Suhendro, Idat Hadiat, Iman
Nurzaman Fasa.
9. Para Narasumber Pakar: Suer Suryadi, Wiratno, Nia Ramdhaniaty, Herwasono
Soedjito, Charis Kaddafi dan Gamma Galudra, dan seluruh pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Nurman Hakim

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
4
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Ruang di TNGHS
Penggunaan Lahan di TNGHS
Konflik Kebijakan Ruang dan Penggunaan Lahan di TNGHS
Konsep Penggunaan Lahan
Analisis Multi Kriteria Spasial
Land Use Conflict Identification Strategy (LUCIS)
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Pengukuran Agregasi Pendapat

8
8
10
11
13
14
14
17
18

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Bahan
Alat
Tehnik Pengumpulan Data
Kelompok Narasumber
Tehnik Analisis Data
Memetakan Konflik Penggunaan Lahan untuk Tujuan
konservasi dan Tujuan Pengembangan Wilayah di TNGHS
Kabupaten Lebak
Analisis Tutupan dan Penggunaan Lahan
Menyusun Kriteria Indikator untuk Tujuan Konservasi,
Pertanian, Permukiman dan Pertambangan
Menentukan Bobot Kriteria dan Indikator
Mengidentifikasi Konflik Penggunaan Lahan untuk
Tujuan Konservasi dan Tujuan Pengembangan wilayah
Merumuskan Isu Strategis Pengelolaan Konflik Penggunaan
Lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
Identifikasi Isu
Perumusan Isu Strategis
Menyusun Arahan Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan di
TNGHS Kabupaten Lebak

20
20
21
21
21
22
22
25

25
25
25
27
29
34
34
34
36

4 KEADAAN UMUM LOKASI
Luas dan Letak
Iklim
Geologi
Tanah
Geomorfologi
Hidrologi dan DAS
Masyarakat
Keanekaragaman Hayati

38
38
38
39
39
40
40
40
41

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tutupan dan Penggunaan Lahan TNGHS Kabupaten Lebak
Preferensi Penggunaan Lahan TNGHS Kabupaten Lebak
Penggunaan Lahan untuk Tujuan Konservasi
Penggunaan Lahan untuk Tujuan Pertanian
Penggunaan Lahan untuk Tujuan Permukiman
Penggunaan Lahan untuk Tujuan Pertambangan
Konflik Preferensi Penggunaan Lahan untuk Tujuan
konservasi dan Tujuan Pengembangan Wilayah di
TNGHS Kabupaten Lebak
Konsep Penggunaan Lahan dan Perbedaan Pandangan
Terhadap Sumber Daya Lahan
Konsep Penggunaan Lahan
Perbedaan Pandangan Terhadap Sumber Daya Lahan
Skala Peta
Isu Strategis Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan di
TNGHS Kabupaten Lebak
Identifikasi Isu
Isu Kerusakan Sumberdaya Hutan dan Lingkungan
Isu Kebutuhan Ruang untuk Pembangunan
Isu Kebijakan Perluasan Kawasan TNGHS
Perumusan Isu Strategis
Arahan Pengelolaan Konflik Penggunaan Lahan TNGHS
Lebak
Arahan Lokasi Pengelolaan
Arahan Agenda Pengelolaan
Perkembangan Selama Penelitian

43
43
46
46
50
55
58

89
90
96
100

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

104
104
105

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

106
112
120

64
67
67
69
70
71
71
71
76
82
84

DAFTAR TABEL
1
2
3

4
5
6
7
8
9

10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Pertumbuhan penduduk kabupaten lebak tahun 2000 dan 2010
pada kecamatan di Sekitar TNGHS
Tujuan dan sasaran menurut metode LUCIS (Carr dan Zwick
2005)
Klasifikasi konflik area menurut preferensi tujuan penggunaan
lahan untuk konservasi, permukiman dan pertanian (Carr dan
Zwick 2005)
Jenis data, sumber, teknik dan keluaran penelitian
Daftar kelompok narasumber
Kriteria dan indikator penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten
Lebak
Skala
pembobotan kepentingan
matriks
perbandingan
berpasangan
Nilai random Index/RI untuk nilai n
16 tipologi konflik penggunaan lahan antara konservasi dan
pengembangan wilayah berdasarkan tingkat preferensi (adaptasi
LUCIS, Carr dan Zwick 2007)
Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan
Kuesioner penilaian isu pengelolaan di TNGHS Lebak
Letak TNGHS Kabupaten Lebak menurut lokasi kecamatan dan
desa
Luas tutupan/penggunaan lahan kawasan di TNGHS Kabupaten
Lebak tahun 2014
Luas tutupan dan penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
berdasarkan fungsi kawasan sebelumnya
Luas tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
berdasarkan penataan Zonasi (Ha)
Luas tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
berdasarkan RTRW Kabupaten Lebak (Ha)
Luas tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan
konservasi di TNGHS Kabupaten Lebak
Luas sawah dan pertanian lahan kering di TNGHS Kabupaten
Lebak termasuk enclave menurut kelas lereng
Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan pertanian
di TNGHS Kabupaten Lebak
Tutupan permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak menurut
kecamatan tahun 2014
Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan
permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak
Bobot kriteria indikator penggunaan lahan untuk tujuan
pertambangan di TNGHS Kabupaten Lebak
Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan antara konservasi
dan pertanian di TNGHS Kabupaten Lebak
Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan antara konservasi
dan permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak

4
16

16
23
24
26
28
29

31
32
35
38
43
44
45
45
46
49
52
53
58
58
62
64
65

26 Tipologi konflik preferensi penggunaan lahan antara konservasi
dan pertambangan di TNGHS Kabupaten Lebak
27 Perbandingan preferensi penggunaan lahan dengan tutupan lahan
di TNGHS Kabupaten Lebak
28 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang
berhubungan dengan isu kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan
29 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang
berhubungan dengan isu kebutuhan ruang pembangunan
permukiman
30 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang
berhubungan dengan isu kebutuhan ruang pembangunan pertanian
31 Kronologi kebijakan ruang TNGHS
32 Pernyataan isu dokumen perencanaan parapihak yang
berhubungan dengan isu kebijakan perluasan kawasan TNGHS
Kabupaten Lebak
33 Hasil kuesioner perumusan isu strategis pengelolaan konflik
penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
34 Agregasi pendapat narasumber terhadap isu pengelolaan konflik
penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak menurut nilai
CVR
35 Isu strategis pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS
Kabupaten Lebak menurut kelompok narasumber
36 Pembagian nilai kelompok isu berdasarkan equal interval
37 Rumusan kelompok isu strategis pengelolaan konflik penggunaan
lahan TNGHS Kabupaten Lebak
38 Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS
Kabupaten Lebak berdasarkan tipologi preferensi penggunaan
lahan dan tutupan hutan
39 Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan tipologi preferensi
penggunaan lahan dan tutupan hutan menurut Zonasi TNGHS di
Kabupaten Lebak (Ha)
40 Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan tipologi preferensi
penggunaan lahan dan tutupan hutan menurut pola ruang RTRW
Kabupaten Lebak (Ha)
41 Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan berdasarkan
tipologi tutupan hutan dan preferensi penggunaan lahan menurut
wilayah kerja resort TNGHS dan administasi kecamatan (Ha)
42 Sebaran tipologi arahan agenda menurut fungsi kawasan hutan
setelah pengurangan luas TNGHS Kabupaten Lebak (Ha)

65
66

76

79
80
83

84
85

86
87
87
89

92

93

94

96
102

DAFTAR GAMBAR
1.
2.

Peta taman nasional gunung halimun salak sebelum dan sesudah
perluasan dari 40 000 ha menjadi 113 357 Ha
Tutupan/penggunaan lahan TNGHS Kabupaten Lebak 19892008. Sumber data diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006) dan
Balai TNGHS (2009)

2

4

3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.
15.

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

Kerangka pikir penelitian pengelolaan penggunaan lahan di
kawasan TNGHS Kabupaten Lebak
Perbandingan Zonasi TNGHS dan RTRW Kabupaten Lebak
(a) Model kompartemen ruang berdasarkan kebutuhan dasar
manusia menurut Odum (1969). (b) Model LUCIS yang
dikembangkan Carr dan Zwick (2005) berdasarkan Odum
Lokasi penelitian di TNGHS Kabupaten Lebak
Struktur multi kriteria identifikasi konflik penggunaan lahan
lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
ArcGIS model builder pembuatan peta preferensi penggunaan
lahan konservasi di TNGHS Kabupaten Lebak
Klasifikasi peta preferensi penggunaan lahan kedalam tiga kelas
preferensi Tinggi (T), Sedang (S) dan Rendah (R) di TNGHS
Lebak
Diagram alir merumuskan isu strategis pengelolaan konflik
penggunaan lahan TNGHS di Kabupaten Lebak
Sebaran DAS sekitar TNGHS di Kabupaten Lebak
Peta tutupan/penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
tahun 2014
peta koridor habitat satwa di TNGHS Kabupaten Lebak
Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan konservasi di
Kabupaten Lebak
Kebijakan penggunaan lahan untuk tujuan pertanian di kawasan
TNGHS berdasarkan Pola Ruang dalam RTRW Kabupaten
Lebak
Gambaran posisi lahan pertanian terhadap jaringan jalan di
sekitar TNGHS Kabupaten Lebak
Gambaran lahan pertanian di sekitar TNGHS Kabupaten Lebak
yang berada pada kelerengan di atas 15%
Pola spasial sawah di kawasan TNGHS Kabupaten Lebak
mengikuti lembah atau alur sungai
Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan pertanian di TNGHS
Kabupaten Lebak
Kebijakan penggunaan lahan untuk tujuan permukiman di
kawasan TNGHS berdasarkan RTRW Kabupaten Lebak
Kesesuaian lahan permukiman di kawasan TNGHS Kabupaten
Lebak
Tutupan lahan permukiman di TNGHS Kabupaten Lebak tahun
2014
Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan permukiman di
TNGHS Kabupaten Lebak
Lokasi pertambangan di kawasan TNGHS berdasarkan Pola
Ruang RTRW Kabupaten Lebak.
Kesesuaian lahan pertambangan di kawasan TNGHS Kabupaten
Lebak
(a) Sebaran ijin pertambangan sebelum terbitnya Keputusan
Menteri ESDM (b) penetapan TNGHS sebagai Wilayah
Pencadangan Negara

7
9

15
20
30
32

33
36
41
44
48
49

51
52
53
54
54
55
56
57
59
60
60

61

27.
28.
29.
30.

31.

32.

33.

34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.

41.

42.
43.
44.
45.

Peta lahan pertambangan di TNGHS Kabupaten Lebak
Preferensi penggunaan lahan untuk tujuan pertambangan di
TNGHS Kabupaten Lebak
Preferensi konservasi, pertanian, permukiman dan pertambangan
dalam kawasan TNGHS Kabupaten Lebak
Konflik preferensi penggunaan lahan tujuan konservasi dengan
pertanian, permukiman dan pertambangan di TNGHS Kabupaten
Lebak
Elemen penggunaan lahan dalam memetakan preferensi
kelompok kepentingan terhadap sumber daya lahan di TNGHS
Kabupaten Lebak
(a) Kegiatan kominusi (peremukan atau penggerusan bijih)
dengan ballmill (Gulundung) di belakang rumah salah satu
warga di Citorek (b) Tumpukan ballmill yang dijual di sekitar
Cinangneng Bogor
Patch permukiman di Lebakgedong, Sobang, Citorek dan
Tegalumbu terhubung melalui koridor jalan, dan memotong
patch hutan Gunung Endut, Halimun dan Gunung Luhur (No.
1,2,3) menghasilkan fragmentasi hutan
Sebaran kampung dan tutupan permukiman di sekitar kawasan
TNGHS Kabupaten Lebak
Perpindahan kampung gede Masyarakat Banten Kidul
Para petugas kantor desa di bank jabar banten untuk pencairan
Alokasi Dana Desa (Foto diambil pada 30 Desember 2015)
Peta rencana pemanfaatan energi panas Bumi Gunung Endut
Dendogram analisis klaster untuk menentukan jumlah kelompok
isu
(a) Alokasi lahan berdasarkan LUCIS dan (b) gambaran tutupan
lahan di TNGHS Kabupaten Lebak tahun 2014
Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS
Kabupaten Lebak berdasarkan tipologi preferensi dominan dan
tutupan hutan
Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan tipologi
preferensi penggunaan lahan dan tutupan hutan menurut Zonasi
TNGHS di Kabupaten Lebak
Arahan lokasi pengelolaan konflik berdasarkan Pola Ruang
RTRW Kabupaten Lebak
Faktor utama yang mempengaruhi pencapaian tujuan
pengelolaan hutan menurut FAO (2011)
Kerangka umum pengelolaan konflik penggunaan lahan TNGHS
di Kabupaten Lebak
Sebaran wilayah adat masyarakat kasepuhan Banten Kidul di
sekitar TNGHS Kabupaten Lebak (Nia Ramdhaniaty, S.Hut,
M.Si 30 Desember 2015, Komunikasi pribadi)

61
62
63

66

69

73

75
77
78
78
81
88
90

91

92
93
97
99

101

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

5

6

Bobot nilai AHP penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
Bobot nilai strategis isu pengelolaan konflik penggunaan lahan di
TNGHS Kabupaten Lebak
Tabel Nilai Minimal Content Validity Ratio
Arahan lokasi pengelolaan konflik penggunaan lahan berdasarkan
tipologi tutupan hutan dan preferensi penggunaan lahan menurut
wilayah kerja resort TNGHS dan administasi desa (Ha)
Identifikasi isu awal, kelompok isu strategis dan arahan agenda
pengelolaan konflik penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten
Lebak
Harmonisasi pengelolaan kawasan TNGHS dengan pembangunan
Kabupaten Lebak

112
113
115

115

118
119

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah kawasan
konservasi yang berada di wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten serta
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa barat. TNGHS
didirikan dengan tujuan perlindungan keanekaragaman hayati ekosistem hutan
hujan pegunungan, perlindungan spesies kharismatik (macan tutul, elang jawa,
owa jawa, surili, lutung), dan perlindungan mata air. Kawasan ini menjadi hulu
DAS Ciujung, Bayah, Cidurian-Cimanceuri, Cisadane dan Cimandiri dengan total
117 sungai dan anak sungai (TNGHS 2007). Pemerintah Hindia Belanda
menetapkan kawasan ini pada 1865 untuk penyediaan air irigasi dan penyediaan
kayu (Zwart 1924 dalam Galudra et al. 2005).
Kawasan ini pada awalnya merupakan wildhoutbosch (kawasan hutan
rimba non jati). Pada tahun 1979 seluas 40_000 Ha dirubah menjadi cagar alam
dan pada tahun 1992 menjadi Taman Nasional. Pada tahun 2003 Pemerintah pusat
melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 merubah kawasan
hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya menjadi hutan konservasi dan
menggabungkannya menjadi TNGHS. Keputusan ini dikeluarkan tanpa melalui
rekomendasi pemerintah daerah membuat luas TNGHS berubah dari yang tadinya
40_000 Ha menjadi seluas 113_357 Ha (Gambar 1). Pemerintah Kabupaten Lebak
yang menerima dampak meminta agar kebijakan perluasan ini ditinjau kembali.
Salah satu proses proses komunikasinya tertuang dalam surat Bupati nomor
S.522/777-Hutbun/2011 tanggal 20 Mei 2011 yang disusuli dengan surat nomor
522/985.A/Hutbun tertanggal 4 April 2012 perihal permohonan perubahan fungsi
kawasan hutan (Arsip dinas PHKA 2011). Sejak tahun 2003 hingga saat ini,
polemik perluasan TNGHS ini belum tuntas.
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Balai TNGHS) telah menata
ruang TNGHS yang disahkan melalui SK Dirjen PHKA N.142/IV-SET/2013
tanggal 9 April 2013. Berdasarkan dokumen zonasi TNGHS, kawasan TNGHS
terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona
tradisional, zona khusus dan zona budaya. Luasan yang digunakan dalam menata
zonasi adalah 113_357 Ha dengan distribusi luas di Kabupaten Lebak 45_170.5
Ha (43%), di Kabupaten Bogor 29_092.2 Ha (28%) dan di Kabupaten Sukabumi
30_911.5 Ha (29%).
Pemerintah Kabupaten Lebak telah menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Tahun 2014-2034 yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 2
Tahun 2014. Batas TNGHS yang digunakan Kabupaten Lebak dalam RTRW
berbeda dengan batas yang digunakan oleh Balai TNGHS. Berdasarkan RTRW
Kabupaten Lebak, luas TNGHS yang berada di wilayahnya adalah 16.380 Ha.
Terdapat area seluas 28_794.6 Ha yang tidak diakui oleh RTRW Kabupaten
Lebak sebagai kawasan TNGHS (Gambar 1). Dasar yang digunakan adalah
Keputusan Menteri Kehutanan No. 195/Kpts-II/2003 tgl 4 Juli 2003 tentang
Kawasan Hutan Provinsi Jawa Barat.

2

Gambar 1. Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebelum dan sesudah perluasan dari 40 000 Ha menjadi 113 357 Ha

3

Perbedaan antara Balai TNGHS dan Pemerintah Kabupaten Lebak terhadap
kawasan Gunung Halimun Salak mengemuka sebagai konflik kebijakan tata ruang
karena masing-masing pihak mengacu dokumen resmi. Perbedaan ini tidak terjadi
dalam RTRW Kabupaten Sukabumi 2012-2032 dan RTRW Kabupaten Bogor
2005-2025. Kedua kabupaten ini telah mengadopsi perluasan TNGHS (Keputusan
Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003) ke dalam kebijakan ruangnya sebagai
kawasan lindung.
Kawasan Gunung Halimun Salak bukanlah ruang hampa tanpa manusia.
Studi yang dilakukan RMI tahun 2004 menjelaskan pembentukan masyarakat
Halimun Salak dari abad 14 berasal dari berbagai asal usul yang berangkat dari
sejarah konflik antar kerajaan Sunda Pajajaran, Banten, Mataram hingga
kehadiran VOC. Mereka telah membangun tatanan kebudayaannya sebagai
masyarakat hukum adat termasuk konsep kelola ruangnya (Hanafi et al. 2004).
Berdasarkan Peraturan Daerah kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan terdapat 6 Pupuhu Kasepuhan dengan 308 Sesepuh Kampung dan 208
Gurumulan/Rendangan.
Galudra (2003) mencatat 11 jenis pemanfaatan sumber daya alam TNGHS
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar antara lain kayu bangunan, kayu bakar,
tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak,
tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, lahan pertanian
dan emas. Yatap (2008) menyatakan bahwa faktor peubah ekonomi dominan yang
mendorong perubahan penutupan dan penggunaan lahan TNGHS adalah
kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan,
perluasan pemukiman, dan perluasan lahan pertanian. Penelitian Sawitri dan
Soebiandono (2011) di Kecamatan Cibeber menunjukan bahwa pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan ini lebih besar dibanding dari hasil pertanian. Masyarakat
dengan mata pencaharian bidang pertanian dengan luas sawah ≥ 0.5 Ha rata-rata
pendapatannya Rp 1.350.000,- per KK per bulan. Sementara di bidang
pertambangan Rp 1.500.000,- per KK per bulan.
Kegiatan ekonomi selain pertanian di sekitar TNGHS Kabupaten Lebak
adalah penambangan emas skala kecil (tambang rakyat) pada lokasi eks PT.
Aneka Tambang. Berdasarkan wawancara dengan narasumber Balai TNGHS,
terdapat 5 lokasi tempat penggalian emas di Kecamatan Lebak Gedong dan
Kecamatan Cibeber dengan luas total 893.87 hektar (Wardi Septiana, komunikasi
pribadi). Perkembangan masyarakat di sekitar TNGHS tidak mungkin dibendung
karena kebutuhan permukiman dan lapangan kerja akan terus berkembang. Tabel
1 memperlihatkan pertumbuhan penduduk di 9 Kecamatan sekitar TNGHS selama
10 tahun sebesar 1.28%. Gambar 2 memperlihatkan hasil interaksi masyarakat
dengan kawasan hutan TNGHS pada kurun tahun 1989-2008. Angka deforestasi
sebesar 11 041.35 Ha (30%) berhubungan dengan meningkatnya perluasan area
kegiatan pertanian (ladang, kebun campuran, kebun karet dan sawah).
Diperkirakan hutan alam TNGHS yang tersisa pada tahun 2026 adalah kurang
dari 30% luas kawasan (BTNGHS 2007).

4

Tabel 1. Pertumbuhan penduduk kabupaten lebak tahun 2000 dan 2010 pada
kecamatan di sekitar TNGHS
No

Kecamatan

Tahun 2000

Tahun 2010

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Bayah
34 856
40 716
Cibeber
47 048
54 228
Cigemblong
18 640
19 527
Cipanas
39 647
45 388
Lebakgedong
17 097
21 537
Muncang
30 565
31 615
Panggarangan
31 463
35 242
Sajira
40 421
46 627
Sobang
24 959
28 361
Jumlah
284 696
323 241
Sumber: RTRW Kabupaten Lebak Tahun 2014-2034

Laju pertumbuhan (%)
1.57
1.43
0.47
1.36
2.34
0.34
1.14
1.44
1.29
1.28

Gambar 2. Tutupan/penggunaan lahan TNGHS Kabupaten Lebak 1989-2008.
Sumber data diolah dari Prasetyo dan Setiawan (2006) dan Balai
TNGHS (2009).
Perumusan Masalah
Pembangunan selalu membutuhkan ruang. Pembangunan untuk tujuan
konservasi dan tujuan pengembangan wilayah memiliki nilai penting yang setara.
Dalam prakteknya seringkali terjadi perbenturan. Masing-masing kepentingan
akan berusaha memaksimalkan manfaat lahan dalam memenuhi kepentingannya.
Persoalan ini membawa kepada sebuah pertanyaan klasik yang diajukan Odum
(1969) “how do we determine when we are getting too much of good thing?”
Konflik penataan ruang di TNGHS merupakan resultan dari perbedaan
perspektif pemilik kepentingan memandang alokasi sumber daya ruang untuk

5

pembangunan konservasi, pertanian atau permukiman. Perbedaan perspektif ini
bersumber dari cara memahami fakta yang sama namun: (1) dengan pengetahuan
yang berbeda sehingga melahirkan kriteria yang berbeda, dan (2) dengan nilai
yang berbeda sehingga melahirkan kepentingan yang berbeda. Perbedaan
perspektif antara Balai TNGHS dan Pemerintah Kabupaten Lebak telah
berkembang menjadi konflik kebijakan ruang ketika masing-masing menyusun
kebijakan pengelolaan ruangnya dengan luas kawasan TNGHS yang berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini disusun
dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimana peta penggunaan lahan berdasarkan tujuan konservasi dan
pengembangan wilayah (pertanian, permukiman dan pertambangan) yang
menghasilkan konflik penggunaan lahan di TNGHS di Kabupaten Lebak?
2.
Isu strategis apa saja dalam pengelolaan penggunaan lahan TNGHS di
Kabupaten Lebak?
3.
Bagaimana arahan pengelolaan konflik penggunaan lahan TNGHS di
Kabupaten Lebak?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Memetakan penggunaan lahan untuk tujuan konservasi dengan tujuan
pengembangan wilayah (pertanian, permukiman dan pertambangan) yang
menghasilkan konflik penggunaan lahan di TNGHS Lebak.
2. Merumuskan isu strategis pengelolaan penggunan lahan TNGHS di
Kabupaten Lebak
3. Menyusun arahan pengelolaan konflik penggunan lahan TNGHS di
Kabupaten Lebak.
Manfaat Penelitian
Sebagaimana kontribusi penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya
mengenai konflik kawasan konservasi, khususnya di kawasan TNGHS,
diharapkan penelitian ini dapat:
1. Melengkapi data dan informasi yang telah dilakukan sebelumnya baik oleh
pihak Balai TNGHS, Pemerintah Kabupaten Lebak atau pihak lainnya
mengenai konflik penggunaan lahan.
2. Memperkaya alternatif pendekatan dalam mengidentifikasi konflik
penggunaan lahan di kawasan TNGHS atau kawasan konservasi lainnya yang
memiliki karakteristik yang sama.
Kerangka Pemikiran
Perencanaan wilayah telah berkembang semakin kompleks. Para perencana
ruang dihadapkan kepada persoalan kompleks peggunaan lahan. Mereka ditantang
untuk mampu mengintegrasikan berbagai tujuan penggunaan lahan dengan tetap
memelihara sistem ekologi, berkontribusi kepada pembangunan ekonomi dan
menciptakan lingkungan yang berkualitas bagi permukiman.
Pemetaan konflik tujuan penggunaan lahan di TNGHS Kabupaten Lebak
mengadaptasi metode LUCIS (Land Use Conflict Identification Strategy) yang

6

dikembangkan Margaret H. Carr dan Paul Zwick. LUCIS berangkat dari premis
dasar bahwa konflik penggunaan lahan diwakili oleh tiga kategori tujuan
penggunaan lahan yakni konservasi, pertanian, dan urban industrial. LUCIS
menggunakan analisis multi kriteria spasial untuk memetakan konflik penggunaan
lahan dengan membandingkan preferensi para pemangku kawasan terhadap ketiga
tujuan penggunaan lahan. Preferensi adalah ukuran sejauh mana kategori
penggunaan lahan disukai atau dipilih. Preferensi tidak ditujukan untuk
menentukan suatu lokasi berdasarkan kesesuaian lahan melainkan menangkap
nilai atau pandangan pemilik kepentingan terhadap suatu lahan.“Rather than
asking what is most suitable, to determine preference the question becomes,
"Which of the contributing suitability criteria are most important?” (Carr dan
Zwick 2007).
Tahapan pertama penelitian adalah memetakan konflik preferensi
penggunaan lahan di kawasan TNGHS Kabupaten Lebak berdasarkan tujuan
konservasi dan pengembangan wilayah. Pembagian tujuan penggunaan lahan ini
diadaptasi dari model kompartemen dari Odum (1969) dan praktek penataan
ruang di Indonesia yang membagi wilayah secara fungsional ke dalam kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Penggunaan lahan dengan tujuan konservasi
adalah penyediaan lahan untuk perlindungan keanekaragaman hayati,
perlindungan hidrologi, mitigasi bencana (longsor dan banjir), dan perlindungan
sejarah/budaya. Penggunaan lahan untuk pengembangan wilayah terdiri dari (1)
pertanian, (2) permukiman (3) pertambangan. Penggunaan lahan dengan tujuan
pertanian adalah lahan yang digunakan untuk sawah, kebun, hutan tanaman atau
peternakan. Penggunaan lahan permukiman adalah penggunaan lahan untuk
tempat tinggal dan lahan terbangun lainnya seperti pasar, kantor pelayanan, dan
jalan. Penggunaan lahan pertambangan adalah lahan yang digunakan untuk
kegiatan pertambangan. Dalam penelitian ini, energi panas bumi dimasukkan
kedalam kelompok pertambangan.
Terdapat 2 kelompok narasumber dari Balai TNGHS yang mewakili
kepentingan kosnervasi dan Pemkab Lebak yang mewakili pengembangan
wilayah. Identifikasi kriteria dan indikator penggunaan lahan disusun berdasarkan
wawancara narasumber dan kajian dokumen perencanaan dari Balai TNGHS dan
Pemkab Lebak. Agar lebih mendekati pengetahuan dan nilai dari masing-masing
pihak. Masing-masing kelompok narasumber memberikan pembobotan
berdasarkan kepentingan yang diwakilinya. Nilai bobot diolah dengan tehnik AHP
dan analisis multi kriteria spasial menghasilkan peta preferensi penggunaan lahan.
Selanjutnya diperbandingkan untuk mengidentifikasi konflik penggunaan lahan.
Tahapan kedua penelitian adalah merumuskan isu-isu strategis yang muncul
di area penelitian berdasarkan hasil tahap 1, wawancara kelompok narasumber
dan kajian dokumen perencanaan strategis yang digunakan oleh Balai TNGHS
dan Pemerintah Kabupaten Lebak. Dokumen strategis adalah dokumen yang
digunakan Balai TNGHS dan Pemkab Lebak beserta SKPD (Satuan Kerja
Perangkat Daerah) dalam menjalankan praktek pengelolaan wilayah. Dokumen
strategis merupakan cerminan bagaimana pemilik kepentingan memandang
kawasan TNGHS ke dalam visi, misi, kebijakan, rencana, program dan
menginvestasikan sumberdayanya (waktu dan anggaran). Dokumen strategis yang
relevan dengan tujuan penelitian adalah yang menangani kehutanan, Pertanian,
permukiman dan pertambangan. Selain dua kelompok narasumber sebelumnya,

7

terdapat kelompok narasumber ahli yang berasal dari peneliti dan praktisi yang
memiliki pengalaman berinteraksi langsung dengan kawasan TNGHS.
Tahapan ketiga penelitian adalah menyusun arahan pengelolaan konflik
penggunaan lahan dengan pendekatan analisis deskriptif terhadap hasil penelitian
tahap 1 dan tahap 2. Tahapan ini menghasilkan arahan lokasi dan arahan agenda.
Adapun kerangka penelitian disajikan dalam diagram alir sebagaimana Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka pikir penelitian pengelolaan penggunaan lahan di kawasan
TNGHS Kabupaten Lebak

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Ruang di TNGHS
Berdasarkan studi Galudra (2005) kebijakan penguasa terhadap pengelolaan
ruang di kawasan Halimun dan Salak mengalami berbagai perubahan orientasi.
Tahun 1700-1865 merupakan Kawasan perkebunan (terutama kopi) yang
dilakukan oleh VOC melalui sistim preanger stelsel. Pada periode 1865-1942
kawasan Halimun-Salak berubah menjadi kawasan kehutanan. Pada saat itu
pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan hutan di atas ketinggian 1570
mdpl sebagai kawasan hutan rimba (wildhoutbosch) untuk tujuan persediaan air
untuk irigasi dan dan persediaan kayu (Zwart 1924 dalam Galudra 2005).
Selanjutnya pada tahun 1942-1945 kawasan Halimun-Salak menjadi kawasan
Pertanian. Masyarakat menjadikan kawasan ini sebagai lahan pertanian akibat
ketidakpastian wewenang pada masa peralihan penguasaan oleh Hindia Belanda
kepada Jepang. Pada periode 1945 sampai sekarang, kawasan Halimun Salak
kembali menjadi kawasan Kehutanan (Galudra 2005). Pada periode ini pengelola
yang diberi tugas oleh Pemerintah Indonesia mengalami pergantian. Pertama
dilakukan oleh pemerintah Swatantra Tingkat I. Pada tahun 1935-1961 oleh
Jawatan Kehutanan. 1961-1978 oleh Perusahaan Negara Perum Perhutani. Pada
tahun 1979 seluas 40.000 ha dari kawasan ini ditunjuk menjadi Cagar Alam (CA)
dan pengelolaan beralih kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam III hingga
tahun 1992. Kawasan yang tidak menjadi Cagar Alam dikelola oleh Perum
Perhutani sebagai Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Pada tahun 1992, CA
Gunung Halimun berubah statusnya menjadi Taman Nasional. Pengelolaan TN
Gunung Halimun dijalankan oleh Balai TN Gunung Gede Pangrango sampai
tahun 1997 seiring berdirinya organisasi pengelola Balai TN Gunung Halimun
Salak (BTNGHS 2007).
Pada tahun 2003 Departemen Kehutanan memutuskan untuk merubah
kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung disekitarnya menjadi taman nasional
dan menggabungkannya menjadi TN Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan
luas total 113 357 ha. Keputusan ini mendapat penolakan dari masyarakat
setempat yang meresponnya dengan membentuk Forum Komunikasi Masyarakat
Halimun Jawa Barat-Banten (FKMHJBB) dan menuntut kejelasan status lahan
pertanian yang mereka garap selama ini (RMI 2003 dalam Galudra 2005).
Pemerintah Kabupaten Lebak memberikan respon yang sama dengan meminta
Kementerian Kehutanan untuk meninjau ulang keputusan perluasan kawsan
TNGHS (Arsip dinas PHKA 2011).
Taman Nasional menurut IUCN didefinisikan sebagai large natural or
near natural areas set aside to protect large-scale ecological processes, along
with the complement of species and ecosystems characteristic of the area, which
also provide a foundation for environmentally and culturally compatible spiritual,
scientific, educational, recreational and visitor opportunities (Dudley dan Stolton
2008). Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam baik daratan maupun
perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
terdiri dari zona inti, rimba, pemanfaatan yang dimanfaatkan untuk tujuan

9

Gambar 4. Perbandingan Zonasi TNGHS dan RTRW Kabupaten Lebak

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.

10

Aturan penataan ruang dalam taman nasional terdapat dalam Peraturan
Menteri Kehutanan No. 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional. Penataan ruang taman nasional diwujudkan dalam pembagian zona
yang terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lain yakni
tradisional, rehabilitasi, religi/budaya/ budaya, dan khusus. Penentuan zona
didasarkan pada potensi dan fungsi kawasan dengan memperhatikan aspek
ekologi, sosial, ekonomi dan budaya. Penataan ruang taman nasional bersifat
dinamis dan dievaluasi secara reguler 3 tahun sekali. Zonasi kawasan TNGHS
telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal PHKA N.142/IVSET/2013 tanggal 9 April 2013.
Penataan ruang harus dilakukan pemerintah, termasuk pemerintah kabupaten
sebagaimana mandat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Acuan
yang digunakan untuk menyusun tata ruang wilayah kabupaten terdapat dalam
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 Tentang Pedoman
Penyusunan RTRW Kabupaten. Rencana pola ruang wilayah kabupaten
merupakan rencana distribusi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana
peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Keberadaan TNGHS dalam RTRW
Kabupaten Taman Nasional merupakan bagian dari kawasan lindung strategis
berdasarkan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup yang harus diakomodir
dalam dokumen RTRW. Pemerintah Kabupaten Lebak telah menyusun Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Tahun 2014-2034 yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2014. Gambaran perbandingan penataan kawasan
TNGHS di Kab. Lebak antara RTRW dan zonasi Balai TNGHS disajikan pada
Gambar 4.
Selain penataan ruang oleh Pemkab Lebak dan Balai TNGHS, juga terdapat
konsep ruang yang dipraktekkan masyarakat kasepuhan yang berdiam di sekitar
kawasan TNGHS. Konsep ruang ini bersandar kepada istilah leuweung (hutan)
yang merupakan sumber kehidupan, terdiri dari Leuweung Kolot/Leuweung
geledegan (hutan tua), Leuweung titipan, Leuweung sampalan (hutan garapan
yang dapat dibuka untuk pertanian atau pemukiman), Leuweung awisan (hutan
cadangan untuk pemukiman dan pertanian) (Galudra 2003). Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang tentang
Pengakuan, Perlindungan Dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan, terdapat 6 pupuhu kasepuhan (pemimpin tertinggi yang berwenang
menyelenggarakan fungsi adat) yakni Wewengkon Citorek, Guradog, Bayah,
Wewengkon Sajira, Cicarucub, Cisungsang.
Penggunaan Lahan di TNGHS
Galudra (2005) menyatakan bahwa pada setiap periode orientasi
pengelolaan TNGHS, interaksi manusia terhadap sumberdaya TNGHS terus
berkembang dalam berbagai bentuknya dan semakin bertambah luasannya.
Tercatat 11 jenis pemanfaatan sumber daya alam TNGHS yang dilakukan oleh
masyarakat sekitar antara lain kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat,
tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias,
satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, lahan pertanian dan emas
(Galudra 2003). Penggunaan sebagai kawasan permukiman diperlihatkan oleh
hasil survey kampung pada tahun 2005 dan 2007 oleh Balai TNGHS-JICA.

11

Terdapat 128 kampung di TNGHS di Kabupaten Lebak yang terdiri dari 54
kampung bukan adat, 13 kampung kampung campuran masyarakat adat dan
bukan adat, 51 kampung adat. Terdapat 5 tipologi yang mendeskripsikan lokasi
pemukiman dengan cara akses sumberdaya alam di TNGHS (Moeliono et al.
2010).
Kegiatan ekonomi selain pertanian adalah pertambangan rakyat skala kecil
yang disebut PETI (Penambangan Emas Tanpa Ijin). Istilah PETI merujuk pada 2
ciri yakni ilegal dan tidak ramah lingkungan (Aspinal 2001). Berdasarkan data
Balai TNGHS terdapat 5 lokasi tempat penggalian di Kecamatan Lebak Gedong
dan Kecamatan Cibeber. Berdasarkan analisis citra Tim Balai TNGHS, aktifitas
tersebut mencapai luasan sebesar 893.87 hektar. Penelitian Sawitri dan
Soebiandono tahun 2011 di Kecamatan Cibeber menyatakan bahwa pendapatan
yang diperoleh dari kegiatan PETI lebih besar dibanding dari hasil pertanian.
Masyarakat dengan mata pencaharian bidang pertanian dengan luas sawah ≥ 0.5
Ha rata-rata pendapatannya Rp 1.350.000,- per KK per bulan. Sementara di
bidang pertambangan Rp 1.500.000,- per KK per bulan. Sawitri dan Soebiandono
(2011) menyatakan bahwa masyarakat berharap potensi galian berupa emas dapat
dibuka secara legal oleh pemerintah sehingga membuka kesempatan bekerja.
Berdasarkan data Planologi Kehutanan, sebelum perluasan TNGHS terdapat
penggunaan area seluas 47_306 Ha untuk tujuan produksi kayu dengan fungsi
Hutan Produksi dan seluas 17_830 Ha untuk tujuan perlindungan air dengan
fungsi Hutan Lindung. Kedua area ini dikelola oleh Perum Perhutani.
Penggunaan lahan TNGHS untuk aktifitas pertanian dan permukiman telah
menghasilkan deforestasi. Kajian tutupan dan penggunaan lahan antara 1989
sampai 2004 oleh Prasetyo et al. (2006) menyimpulkan bahwa terjadi laju
kerusakan alam sebesar 1.3% per tahun dengan faktor penyebab dominannya
kegiatan pertanian (ladang, kebun campuran, kebun karet dan sawah), dan
memperkirakan bahwa hutan alam TNGHS yang tersisa pada tahun 2026 tinggal
30% dari luas TNGHS. Faktor peubah ekonomi dominan dalam penggunaan lahan
TNGHS adalah kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, luas
kepemilikan lahan, perluasan pemukiman, perluasan lahan pertanian (Yatap
2008), jumlah tenaga kerja sektor pertanian dan jarak terhadap jalan (Ilyas et al.
2014). Fragmentasi hutan dan terganggunya habitat satwa menjadi salah satu isu
dalam dinamika penggunaan lahan Koridor yang menghubungkan kelompok
hutan Gunung Halimun dan Gunung Salak perlu mendapat perhatian lebih dari
ancaman fragmentasi habitat agar menjamin keutuhan homerange dan pergerakan
satwa (Cahyadi 2003; Yumarni 2012; GHSNPMP-JICA 2005).
Konflik Kebijakan Ruang dan Penggunaan Lahan di TNGHS
Konflik adalah perwujudan perbedaan cara pandang antara berbagai pihak
terhadap obyek yang sama (Wulan et al. 2004), diantara dua atau lebih individu
atau kelompok yang memiliki-atau merasa memiliki- tujuan yang berbeda (Fisher
et_al._2000). Berbagai proses ekonomi, sosial dan lingkungan dalam perencanaan
penggunaan lahan, secara inheren bersifat spasial (Zang et al. 2012). Menurut
Scott et al. (2013) persoalan konflik penataan ruang berasal dari disintegrasi
dalam teori dan kebijakan mengenai perencanaan wilayah (spatial planning) dan
pendekatan ekosistem (ecosystem approach) yang masing-masing memiliki akar

12

disiplin dan perkembangan sejarahnya masing-masing. Konflik kebijakan ruang
dan penggunaan lahan di TNGHS merupakan salah satu potret dari sejumlah
persoalan umum tata ruang kehutanan di Indonesia. Konflik tersebut berkaitan
dengan (1) tujuan pemerintah lokal untuk menggali pendapatan daerah, (2)
perbedaan prioritas antara masyarakat lokal, nasional dan internasional dalam
perlindungan spesies dan kawasannya, dan (3) masyarakat lokal membutuhkan
hak atas tanah, keleluasaan mengelola hutannya, pembagian manfaat (Wollenberg
et al. 2008). Persoalan tata ruang kehutanan di TNGHS salah satunya disebabkan
adanya kelalaian Kementerian Kehutanan dalam mempersiapkan suatu produk
kebijakan ruang, terbukti dalam selang 24 hari terbit dua keputusan menteri
tentang TNGHS dengan luas yang berbeda (Suer Suryadi SH 5 April 2016,
komunikasi pribadi).
Persoalan mendasar penggunaan lahan di TNGHS adalah pemerintah yang
tidak menyadari bahwa konflik tenurial antara masyarakat lokal yang mengelola
hutan untuk tanaman dan tempat tinggal mereka, dengan taman nasional, yang
didukung oleh hukum negara untuk mengelolanya sebagai kawasan konservasi,
belum tuntas (Galudra 2005). Konflik lahan di TNGHS terdiri dari pemanfaatan
lahan oleh masyarakat dan ketidaksesuaian kebijakan antara tata ruang kabupaten
dengan zonasi kawasan TNGHS (Kurniawan et al. 2013). Upaya konservasi yang
mencoba “menghilangkan” aspek manusia akan terus mengalami tekanan
(Moeliono et al. 2010). Adimihardja (2007) dalam Hendarti (2013) berpendapat
sistem pengetahuan lokal dan teknologi yang dikuasai masyarakat TNGHS harus
teridentifikasi oleh pengelola kawasan konservasi dalam model pengelolaan
hutan.
Setiap orang atau kelompok kepentingan memiliki pandangan sendiri
terhadap fakta dan nilai suatu lahan atau lanskap yang sedemikian rupa
berpengaruh dalam memperlakukannya. Pada suatu lanskap yang sama, dapat
terjadi perbedaan cara memahami lahan. Konflik dalam perencanaan wilayah
merupakan efek ketidaksepakatan terhadap fakta yang berarti konflik
pengetahuan, dan ketidaksepakatan nilai yang berarti konflik kepentingan
(Obmeyer 1994 dalam Dawwas 2014).
Pandangan terhadap lanskap menurut Jacobs (2006) dapat dirunut
berdasarkan realitas lanskap yang muncul dalam tiga mode: realitas fisik
(matterscape), realitas sosial (powerscape) dan realitas batin/pribadi (mindscape).
Ketiga hal tersebut berbeda cara mendapatkan dan memvalidasi pengetahuannya.
Matterscape adalah realitas lanskap berbentuk fisik dan merupakan sistem fakta
dimana hukum alam berlaku. Powerscape adalah realitas lanskap berbentuk sosial
(sistem norma). Merupakan hubungan inter-subjektif antara subyek dengan
kelompok sosialnya yang menata bagaimana berperilaku terhadap lanskap.
Seorang dapat menjadi anggota dari banyak kelompok pada skala yang berbeda,
tanpa sadar atau secara sukarela. Setiap tempat atau kelompok memiliki
powerscape masing-masing. Powerscape dirumuskan dalam bentuk undangundang, peraturan dan rencana pemerintah, atau terwujudkan dalam adat dan
t