BAB I INDONESIA MUTAKHIR

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai bangsa yang besar tidak pernah luput dari apa yang dinamakan gejolak sosial. Salah satu wujud dari gejolak sosial adalah pemberontakan. Menurut website Wikipedia (2013), pemberontakan adalah penolakan terhadap otoritas/pemimpin, yang dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan masyarakat sipil sampai kekerasan yang terorganisir, dengan tujuan meruntuhkan otoritas kepemimpinan yang ada. Salah satu pemberontakan yang terjadi di Indonesia adalah Gerakan 30 September/PKI 1965. Pemberontakan tersebut melibatkan seluruh unsur Partai Komunis Indonesia dengan menggunakan beberapa unsur TNI AD melalui jalur birokrasi khusus. Hal tersebut dibuktikan dari adanya aktivitas pengiriman beberapa anggota Politbiro serta CC-PKI ke sejumlah daerah dengan tujuan membantu CDB setempat. Gerakan PKI pada awalnya diskenariokan sebagai gerakan murni yang dilakukan TNI AD dan sifatnya internal, sehingga apabila gerakan yang dilakukan berhasil, dan adanya berbagai demonstrasi sebagai dukungan dari masyarakat, kemudian dilakukan pembentukan Dewan Revolusi, baik di pusat dan daerah, hal tersebut akan membuktikan bahwa rakyat Indonesia menyetujui dan mendukung kebijakan TNI AD. Taktik yang demikian itulah, partai kemudian mengambil kebijakan hanya akan mendukung keinginan dari rakyat (Abdullah, dkk (Ed.), 2012). Sifat dari Gerakan 30 September/PKI 1965 (G30S) bukan hanya dilihat dari sudut pandang politik atau militer. Ruang lingkup gerakan tersebut bahkan lebih luas dari Angkatan Darat dan Angkatan Bersenjata, yaitu skala nasional. PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dalang dari gerakan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan Sam dan Pono sebagai Central Komando (Abdullah, dkk (Ed.), 2012).

Peristiwa G30S yang terjadi pada tahun 1965 masih saja menjadi kontroversial dan merupakan peristiwa paling gelap bagi sejarah Indonesia.


(2)

Apabila membicarakan gerakan tersebut dari segi kronologi dan peristiwa, maka Gerakan 30 September sudah begitu jelas, namun apabila kita ingin membicarakan siapa aktor intelektual yang terlibat di dalamnya, maka hal tersebut sulit dijawab dan selalu mengundang perdebatan di masyarakat (Abdullah, dkk (Ed.), 2012).

Menurut Sulistiyono, sejak awal tragedi nasional yang kita sebut dengan Peristiwa G30S ini sudah diliputi misteri yang sulit untuk dipecahkan hingga saat ini. Berbagai pendapat yang diungkapkan, interpretasi, dan spekulasi tentang fakta dalam peristiwa tersebut, jelas membuat kesimpangsiuran, apalagi jika kita sudah mulai membicarakan siapa dalang yang ada di balik gerakan dan bagaimana bisa terjadi, serta karena apa gerakan tersebut terjadi (Abdullah, dkk (Ed.), 2012: 261-262).

PKI sangat pandai dalam berpropaganda. Keadaan sosial yang ada dapat dimanfaatkan dengan baik. Kondisi internasional yang ditandai dengan adanya ketegangan antara Blok Timur (Rusia/komunis) melawan Blok Barat (Amerika/kapitalisme), dapat dimanfaatkan oleh PKI, apalagi setelah muncul PRRI/Permesta yang membuat Amerika menjadi bulan-bulanan karena penemuan bukti-bukti yang menyatakan bahwa mereka terlibat. PKI pun juga mampu memanfaatkan ketenaran dan nama baik Soekarno. Pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Soekarno diambil alih dan seakan-akan itu adalah pernyataan PKI, sehingga masyarakat mengidentifikasi Soekarno lebih dekat dengan PKI daripada PNI (Moedjanto, 1988).

Dari adanya beberapa partai, tidak bisa kita pungkiri bahwa PKI adalah partai yang mampu membaca keadaan. PKI mampu tampil sebagai juara dalam segala hal. PKI merupakan partai yang mempunyai organisasi yang rapi, mengedepankan kedisiplinan, dan sangat cerdik dalam aksi-aksi revolusioner sosialis. Soekarno jelas sangat menyenangi apa yang dimiliki oleh PKI, apalagi semua itu sangat dibutuhkan untuk menghadapi kekuatan Angkatan Darat. PKI sangat dekat dengan sang pemimpin kita, yaitu Soekarno, sehingga PKI berani melakukan aksi terhadap keadaan yang menguntungkan


(3)

bagi mereka dan melakukan aksi penyingkiran terhadap beberapa organisasi yang bagi PKI adalah musuh (Moedjanto, 1988).

Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa di mana terjadi carut-marut sosial-politik. Presiden, TNI AD, dan PKI saling mencurigai dan bersaing untuk menjadi yang dominan. Soekarno, dalam hal ini, justru membiarkan kecarut-marutan karena disebabkan oleh salah satu faktor yang sangat mengganggu dalam perannya sebagai pemimpin, yaitu kondisi kesehatan yang menurun. PKI yang mengandalkan keselamatan mereka kepada Presiden merasa cemas, sehingga mereka merasa harus segera merebut kekuasaan sebelum Presiden wafat. PKI kemudian mengadakan pelatihan fisik berupa latihan militer Pemuda Rakyat dan Gerwani di Lubang Buaya dengan alibi untuk mempersiapkan pasukan Ganyang Malaysia. Ketegangan yang memuncak dan semakin kuat dan solidnya PKI, membuat mereka yakin bahwa kekuasaan milik Presiden harus direbut. Secara bersamaan, terdengar isu bahwa terdapat pembentukan Dewan Jenderal yang dari sudut pandang PKI merupakan sebuah ancaman yang bisa menjadi pesaing dalam merebut kekuasaan dari Soekarno. Isu Dewan Jenderal sangat mengganggu Presiden dan PKI. PKI berpikir bahwa mereka akan menjadi korban penghancuran pertama kali apabila Dewan Jenderal berhasil merebut kekuasaan. Alasan itulah yang mendasari bahwa PKI harus menjalankan sebuah aksi pembalasan. Pada akhirnya PKI membentuk sebuah gerakan tandingan yang diberi nama Dewan Revolusi. Dewan Revolusi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Perwira ABRI, dan bukan dari PKI. Hal tersebut bertujuan untuk menghindari kegagalan. Apabila Dewan Revolusi menemui kegagalan, maka PKI tidak akan dilibatkan, melainkan kegagalan tersebut seakan-akan kegiatan Dewan Revolusi yang berada di intern Angkatan Darat/ABRI (Moedjanto: 1988). PKI pada akhirnya melakukan pemberontakan dengan menculik dan membunuh beberapa jenderal pada malam hari tanggal 1 Oktober 1965. Pemberontakan tersebut merupakan titik puncak perseteruan antara PKI dan TNI AD. Kondisi sosial-politik yang tidak sehat, ditambah pula keadaan ekonomi yang krisis, merupakan beberapa penyebab jatuhnya Presiden


(4)

Soekarno saat itu. Kondisi kesehatan yang menurun juga tidak lepas dari faktor lengsernya Soekarno, sehingga pada akhirnya sang proklamator harus menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Soeharto melalui Supersemar yang menjadi penanda berdirinya pemerintahan Orde Baru.

B. Rumusan Masalah

Untuk membahas pokok permasalahan dalam makalah ini, maka disusunlah beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertentangan antara Soekarno, TNI AD, dan PKI? 2. Bagaimana kronologi kejatuhan pemerintahan Orde Lama?

3. Bagaimana korelasi antara Pemberontakan PKI 1965, Supersemar dengan kejatuhan Soekarno?

C. Tujuan Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini, ada beberapa tujuan yang ingin disampaikan oleh penyusun, antara lain :

1. Untuk mengetahui pertentangan antara Soekarno, TNI AD, dan PKI. 2. Untuk mengetahui kronologi kejatuhan pemerintahan Orde Lama.

3. Untuk mengetahui korelasi antara Pemberontakan PKI 1965, Supersemar dengan kejatuhan Soekarno.


(5)

BAB II PEMBAHASAN A. Pertentangan Soekarno, TNI AD, dan PKI

Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah menjadi ladang operasi intelejen dari berbagai negara. Jaringan yang cukup berpengaruh adalah M-16 dari Inggris dan CIA dari AS di samping intelejen RRC dan KGB-nya Uni Soviet. Semua jaringan intelejen ini bekerja di bidang pengawasan, pengaruh, pengarahan operasi, sampai pengambilalihan kekuasaan di tahun 1965 dari Presiden Soekarno oleh Soeharto yang dilandasi dengan satu kepentingan yang pembuktiannya hanya bisa dilihat dalam kelanjutan setelah kudeta 1965. Kelanjutannya adalah pembantaian massal, pelarangan ideologi komunis,soekarnois dan PKI, dan semua partai maupun organisasi masyarakat yang dekat dengan Soekarno. Bagaimanapun, kejatuhan Soekarno dari kepemimpinan nasional sebagai presiden pertama RI tetap merupakan misteri sejarah. Namun, rentetan peristiwa setelah kejatuhan Soekarno membuktikan peristiwa tersebut terencana sangat matang dan canggih.

Pada dekade tahun 60-an, peta politik Indonesia sudah meruncing dan menimbulkan tiga kekuatan politik, Soekarno, PKI dan tentara AD. Antara PKI dengan tentara AD timbul persaingan politik. Persaingan antara PKI dengan AD memuncak pada tanggal 30 September 1965 dengan diculiknya tujuh perwira AD oleh anggota PKI dari resimen Cakrabirawa di bawah komando Letnan Kolonel Untung. Ketujuh perwira tinggi AD ini dibawa ke daerah Lobang Buaya dan ditemukan tewas semuannya. PKI juga menyusup ke tubuh ABRI dengan menghasut perwira-perwira rendah ABRI yang tidak puas dengan atasannya.

Kepentingan Soekarno terhadap PKI dan TNI sangat besar. PKI sebagai Partai Komunis memberikan suara terhadap Soekarno ketika Soekarno mengeluarkan kebijakan dengan landasan sosialis. Dukungan penuh selalu diberikan oleh PKI kepada Soekarno dikarenakan kesamaan pandangan politik kiri. Namun Soekarno juga tidak bisa melepaskan peranan TNI


(6)

terutama AD. TNI adalah militer yang memiliki kekuasaan untuk mengamankan Negara. Maka Soekarno berusaha untuk tetap menyeimbangkan politik terhadap TNI-PKI agar salah satu dari mereka tidak berperang secara terbuka. Karena jika salah satu dari mereka menjadi “pemenang” maka kekuasaan Soekarno akan hancur. Jika TNI menang dan PKI kalah, maka pendukung dari kebijakan Soekarno akan habis diberangus. Sebaliknya jika PKI menang dan TNI kalah, maka Soekarno akan kewalahan dengan ambisi PKI dengan revolusi nya untuk mencapai tatanan masyarakat sosialis (Negara Komunis) dan tetap saja posisi Soekarno akan hilang. Permusuhan anatara PKI dan AD sudah dimulai sejak lama, peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah salah satu contoh. PKI yang secara massif terus mendekati Presiden Soekarno dengan persamaan ideologinya yaitu Sosialis. Manuver-manuver dilakukan oleh PKI demi kelancaran politknya. Penyusupan kedalam tubuh TNI dilakukan oleh Sjam Kamaruzaman. Kemudian PKI juga membentuk sayap-sayap ormas seperti Lekra (bidang kebudayaan), Partai Buruh Indonesia, SOBSI, Partai Sosialis, PESINDO, BTI dan Lasykar Rakyat.

Permusuhan ini meruncing ketika Perdana Menteri Cina Chou En Lai datang ke Indonesia dan menyerahkan sumbangan senjata ke Indonesia. PKI menghendaki senjata tersebut diserahkan kepada buruh tani dan membentuk Angkatan Kelima selain dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Darat dan Angkatan Kepolisian. Namun, pihak tentara AD yang sudah faham dengan strategi yang dilancarkan oleh PKI menolak dengan keras pembentukan Angkatan Kelima tersebut dengan alasan sulitnya jalur koordinasi.

Pembentukan Angkatan Kelima ini menurut PKI sangat diperlukan untuk mempersejatai relawan-relawan yang akan dikirim untuk mengganjang Malaysia. Pada 17 Maret 1961 Soekarno mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia. Menurut Soekarno, Malaysia itu adalah proyek Nekolm dari Inggris.


(7)

Selain itu, faktor yang selanjutnya adalah ditemukannya dokumen Gilcrist oleh simpatisan PKI. Dokumen ini ditemukan ketika simpatisan PKI membakar gedung keduataan Inggris dalam rangka demonstrasi. Menurut dokumen itu, tentara AD membentuk Dewan Jenderal yang akan melakukan coup d’etat atas kekuasaan Soekarno pada hari ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI dengan alibi ingin menyelamatkan Negara dari rencana kudeta militer, maka PKI mendahului gerakan mereka dengan menculik tujuh perwira tinggi AD pada tanggal 30 September 1965.

Penculikan perwira AD oleh PKI menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi di Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diserahi tugas oleh Soekarno untuk mengambil alih komando tentara. Kekuasaan ini dilembagakan dengan pembentukan Kopkamtib (Komando Oprasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Tujuannya adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban pasca penculikan perwira AD.

Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Mayjen Soeharto yang disebut dengan SUPERSEMAR untuk mengamankan jalannya pemerintahan dan untuk mengembalikan kestabilan politik. Namun dengan berbekal Surat Perintah yang berisi kewenangan Soeharto melakukan tindakan apa saja demi kestabilan Negara, tindakan yang pertama Soeharto adalah membubarkan PKI. Pembubaran PKI berarti pelemahan terhadap Soekarno, karena dukungan terbesar dari Soekarno adalah PKI.

Peristiwa G30S dan proses penanganannya yang dilakukan oleh TNI-AD telah terbangun persepsi dalam masyarakat bahwa terjadi dualisme kepemimpinan yakni, Mayjen Soeharto yang pada waktu itu sebagai Panglima Kostrad yang mencanangkan tema melaksanakan Pancasila dan dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen seperti berada di atas angin karena momentum dan sepertinya mengambil alih dalam melakukan pembantaian terhadap PKI, karena PKI yang dituduh merongrong Pancasila harus dilawan. Namun disisi lain Presiden Soekarno sebagai pemimpin negara yang seharusnya diminta pendapat tidak dilibatkan.


(8)

Ditambah dengan munculnya sosok Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kehancuran oleh PKI. Rakyat larut dalam euforia kemenangan dari PKI dan melupakan Presiden Soekarno. Dukungan muncul dari seluruh rakyat kepada Soeharto untuk membubarkan PKI dengan gerakan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Dari situlah kekuasaan Soekarno menurun dan rakyat lebih patuh kepada kekuasaan Soeharto. Selain itu, rakyat sudah muak dengan konsepsi-konsepsi yang terus dikeluarkan oleh Soekarno seperti Nasakom, Manipol Usdek, Berdikari dan lainnya. Namun di sisi lain kemerosotan ekonomi yang mengalami inflasi 600% menyengsarakan rakyat tanpa ada perbaikan dari pemerintah Soekarno.

Krisis ketatanegaraan dan pemerintahan yang terjadi pada tahun 1950-an memuncak dengan keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Djuanda dan membentuk Kabinet Kerja. Presiden Soekarno juga membubarkan DPR hasil pemilu 1955 karena menolak anggaran belanja negara yang diajukan pemerintah. Bung Karno kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) tanggal 24 Juni 1960.

Perbandingan keanggotaan DPRGR yang seluruh anggotanya dipilih Bung Karno adalah nasionalis (94), Islam (67), dan komunis (81). Dengan demikian, PKI memperoleh banyak keuntungan dari kebijakan Bung Karno. DPRGR dilantik Bung Karno tanggal 25 Juni 1960. Tugasnya adalah melaksanakan manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Presiden Soekarno benar-benar menjadi inisiator dan operator politik tunggal demokrasi terpimpin. Garis kebijakannya tentang demokrasi terpimpin tertuang dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Langkah yang ditempuh adalah membentuk Front Nasional, menggabungkan lembaga tinggi dan tertinggi negara di bawah kendalinya, serta membentuk Musyawarah Pembantu Pemimpin Revolusi (MPPR).

PKI berusaha keras berada di belakang pengaruh Bung Karno. PKI senantiasa memainkan peranan sebagai golongan yang paling Pancasilais. Gagasan Bung


(9)

Karno tentang Nasakom jelas menguntungkan gerakan PKI. Bahkan, D.N. Aidit pada tahun 1964 berani berkata, ”bila kita telah mencapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme Indonesia, maka kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.” Gerakan PKI ini dihadang golongan Islam dan TNI AD. Bahkan, sejak pembentukan DPRGR kedua kelompok ini telah menentang secara keras. Namun, upaya itu mendapat rintangan karena Bung Karno memang melindungi keberadaan PKI. Kondisi politik saat itu benar-benar panas karena PKI melakukan beberapa aksi dan kerusuhan. Konflik antara PKI dan TNI AD pun tidak terhindarkan.

Peristiwa G30S dan perkembangan sejarah selanjutnya harus dilihat dari konteks keadaan politik Indonesia pada awal 1960-an. Suasana politik saat itu semakin tegang dalam tatanan kekuatan utama, yaitu Presiden Soekarno, TNI AD, dan PKI. Pemerintah menjalankan politik Demokrasi terpimpin di bawah Pemimpin Besar Revolusi, Soekarno. Presiden Soekarno mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang luas. Demokrasi terpimpin yang dijalankan Soekarno bersifat revolusioner. Selain itu, Soekarno pun mengumandangkan apa yang disebut sebagai Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Banyak peneliti Barat yang mengatakan bahwa Soekarno adalah seorang pemimpin yang diktator. Hal tersebut didukung dengan beberapa alasan, misalnya Soekarno yang memiliki peran politik dominan dan sering kali mendapatkan pertentangan dari elite politik dan pihak pimpinan TNI-AD dalam memutuskan kebijakannya.

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang carut marut adalah kondisi kesehatan Soekarno yang menurun. Kondisi ini dimanfaatkan oleh dua kekuatan yang sudah lama berseberangan, yaitu PKI dan TNI-AD. Kedua pihak saling mencurigai bahwa mereka sama-sama sudah mempersiapkan sebuah kudeta terhadap Soekarno yang sedang sakit.

Menilik ke belakang, bahwa PKI merupakan sebuah organisasi yang secara organisatoris telah mampu menentukan tujuan perjuangan, landasan, metode mencari kawan dan mencapai tujuan, penetapan kawan yang dijadikan sekutu


(10)

dan lawan sebagai musuh yang semestinya dimusnahkan, maka PKI selalu melakukan hal-hal yang bersifat revolusioner. PKI pun secara jelas menuliskan bahwa tujuan perjuangan selanjutnya adalah Revolusi Indonesia yang komunis.

Sejak mencetuskan penggunaan Metode Kombinasi Tiga Bentuk perjuangan (MKTB), PKI berhasil keluar sebagai pemenang Pemilu 1955, terutama setelah keluar Dekrit 5 Juli 1959, mereka semakin pesat. Strategi merangkul Soekarno dan mampu memanfaatkan kesempatan politik nasional untuk mengimplementasikan program-program perjuangan partai, seperti Manipol dan UUPA. Presiden Soekarno saat menjalankan pemerintahan memerlukan dukungan dari ABRI, namun kebijakan yang dikeluarkan Soekarno cenderung sejalan dengan PKI. Di sisi lain, Soekarno pun membutuhkan sekutu untuk menghadapi TNI AD yang tidak serta merta mau tunduk dengan kebijakan Soekarno. Dalam kondisi seperti itulah, hubungan Soekarno, PKI, dan TNI AD semakin memanas seiring timbulnya persaingan yang semakin kuat. PKI merupakan partai terbesar di dunia di luar negara komunis. Pada tahun 1964 PKI telah berubah menjadi kekuatan yang besar dan agresif dalam perpolitikan Indonesia. PKI mengusulkan kepada Bung Karno agar dibentuk ”Angkatan Kelima”. Yang dimaksud PKI adalah agar rakyat yang di bawah pengaruhnya dipersenjatai. Oleh karena itu, para gerilyawan PKI memperoleh latihan kemiliteran di pangkalan udara Halim Perdanakusuma. Jumlah kader PKI yang ikut kursus dan latihan hingga bulan September adalah dua ribu orang. Mendekati akhir bulan September 1965, ribuan tentara berkumpul di Jakarta. Orang menduga bahwa itu dilakukan untuk menyambut hari ABRI tanggal 5 Oktober. Dengan kedudukan dan potensi itu, PKI mempersiapkan perebutan kekuasaan. Persiapan dilakukan secara matang dilakukan oleh Biro Khusus yang dipimpin Sjam Kamaruzzaman.

Biro Khusus menyarankan kepada pimpinan PKI D.N. Aidit untuk mengadakan perebutan kekuasaan (pemberontakan). Hal ini diputuskan dalam rapat pimpinan biro tersebut pada bulan Agustus 1965. Keputusan itu ditindaklanjuti dengan rapat rahasia secara maraton.Setelah melalui


(11)

serangkaian rapat, PKI kemudian mengambil keputusan akhir. Keputusannya adalah komandan gerakan dijabat Letkol Untung (Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa). Resimen ini sehari-hari bertugas mengawal presiden. B. Kronologi Kejatuhan Orde Lama

Pada tahun 1967, MPRS yang diketuai oleh A.H. Nasution mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno selama menjabat Presiden. Pada pertanggungjawaban, laporan yang diberikan oleh Soekarno yang dirangkum dalam Nawaksara akhirnya ditolak oleh Sidang Istimewa MPRS 1967. Dengan ditolaknya laporan itu maka kekuasaan Soekarno sebagai Presiden berakhir dengan dikeluarkannya Tap MPR(S) Nomor XXXIII Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan dari Presiden Soekarno.

Peristiwa G30S ikut melemahkan posisi Soekarno sebagai Presiden dengan dilanjutkan oleh kecerdasan Soeharto menghambil tindakan yang dianggap perlu dari SUPERSEMAR sehaingga menjadi seorang pahlawan kala itu karena telah membubarkan PKI. Dengan penolakan SI MPRS tahun 1967, maka secara resmi Presiden Soekarno tidak menjabat lagi sebagai kepala Negara.

Selain Pemberontakan PKI tahun 1965, jatuhnya pemerintahan Orde Lama disebabkan karena beberapa faktor. Mulai dari faktor ekonomi, sosial-politik, budaya. Dari segi perekonomian, selama demokrasi terpimpin Bung Karno menempatkan politik sebagai panglima. Beragam kebijakan dan pengaturan menjadi sia-sia karena besarnya anggaran untuk proyek-proyek mercusuar. Bung Karno saat itu sangat getol membangun jaringan dengan negara-negara sosialis komunis. Beliau mempelopori pembentukan Conferences of the Emerging Forces (Conefo). Oleh karena itu, dibangunlah gedung Conefo yang kini menjadi gedung MPR/DPR. Untuk keperluan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), Bung Karno membangun Istora Senayan. Selain untuk proyek tersebut, anggaran pemerintah juga dihabiskan untuk membiayai politik konfrontasi. Saat cadangan anggaran habis, pemerintah menghimpun dana-dana revolusi dan memperbanyak utang luar negeri.


(12)

Dampak dari kebijakan tersebut adalah tingginya inflasi, melonjaknya harga kebutuhan masyarakat, dan melemahnya perekonomian rakyat. Bukan pemandangan yang aneh apabila selama demokrasi terpimpin banyak terjadi antrean beras dan minyak. Di sisi lain, Presiden Soekarno pun sangat gemar melakukan perjalanan ke luar negeri yang tentu saja menghabiskan anggaran negara.

Dari segi sosial-politik, kejatuhan pemerintahan Orde Lama disebabkan karena kondisi sosial-politik yang carut marut, banyak terjadi pertentangan antara Presiden, PKI, dan TNI AD, hal tersebut tentu saja mempengaruhi kondisi negara yang semakin lama semakin tidak kondusif dan ini membuat rakyat semakin jenuh dengan rezim Orde Lama.

Doktrin Nasakom yang disuarakan Bung Karno mempengaruhi kehidupan sosial kemasyarakatan. Hal ini terlihat sekali dalamkehidupan pers. Surat kabar yang menentang Nasakom atau PKI diberedel. Misalnya Pedoman, Nusantara, Keng Po, Pos Indonesia, dan Star Weekly. Sebaliknya, surat kabar PKI merajai dunia penerbitan pers saat itu, seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti. Mereka juga menerbitkan surat kabar Bintang Muda, Zaman Baru, dan Harian Rakyat Minggu. Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) milik pemerintah didominasi oleh golongan komunis. Surat kabar milik PKI melakukan propaganda dan agitasi terhadap lawan-lawan politiknya. Dengan jalan itu, PKI berhasil mendominasi kehidupan sosial politik masyarakat.

Untuk memurnikan ajaran Bung Karno dari pengaruh komunis, beberapa tokoh membentuk Barisan Pendukung Soekarnoisme (BPS). BPS diketuai oleh Adam Malik dibantu oleh B.M. Diah, Sumantoro, dan kawan-kawan. Berdirinya BPS mendapat tekanan dari PKI. Bahkan, PKI memfitnah bahwa BPS merupakan bentukan Amerika. Bung Karno kemudian mendukung PKI dengan melarang kegiatan BPS.

Saat PKI merajai kehidupan politik, semua kegiatan kebudayaan terpengaruh. Sejak tahun 1950 PKI telah membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dengan tokoh utamanya Pramoedya Ananta Toer. Lekra dengan kejam


(13)

menindas dan meneror kaum intelektual dan sastrawan Indonesia yang tidak mau bergabung dengannya. Pada saat yang sama, Lekra mempropagandakan misi dan kepentingan PKI terutama berkaitan dengan penyebaran ideologi komunis. Para mahasiswa PKI bergabung dalam Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Mereka meneror mahasiswa lain yang tidak mau bergabung.

Para sastrawan dan cendekiawan penentang Lekra membuat Manifes Kebudayaan tanggal 17 Agustus 1963. Mereka mendukung Pancasila, tetapi menolak bergabung dengan Nasakom. Para sastrawan dan intelektual itu menghendaki suatu kebudayaan Indonesia yang tidak didominasi oleh ideologi tertentu. Tokoh manifes ini adalah H.B. Jassin. PKI kemudian menggunakan kekuasaan Bung Karno untuk melarang kegiatan manifes kebudayaan. Akhirnya, Bung Karno benar-benar melarangnya tanggal 8 Mei 1964. Bahkan H.B. Jassin kemudian dipecat sebagai dosen di Universitas Indonesia Jakarta. Demikianlah cara PKI menciptakan suasana yang menguntungkan untuk kepentingan politiknya. Mereka menempel setiap kebijakan Bung Karno dengan membentuk lembaga-lembaga pendukung. Teror dan fitnah mereka jalankan untuk menghadapi kelompok antikomunis. Berkat dukungan dan perlindungan Bung Karno, PKI mampu memasuki seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh karena itu, PKI tinggal menunggu waktu untuk merebut kekuasaan sesuai dengan doktrin komunisme.

C. Korelasi Pemberontakan PKI, Supersemar, hingga kejatuhan Soekarno Setelah terjadinya peristiwa G30S atau juga sering disebut Gestok terjadilah suatu gejolak dibidang keamanan dan politik di dalam Indonesia. Pasalnya peristiwa itu ibarat sebuah magnet bagi para pemegang-pemegang kepentingan. Dalam perkembangan politik Indonesia pada tahun 1960-an, muncul kekuatan-kekuatan yang berusaha saling berebut hegemoni, yaitu kekuatan PKI, Soekarno dan Angkatan Darat. Angkatan Darat sendiri terbagi menjadi dua kekuatan yaitu kekuatan Soeharto dan kekuatan Nasution.


(14)

Peristiwa Gestok telah memberi suatu kesempatan untuk para pemegang kepentingan melancarkan aksinya. Blok PKI yang dipimpin oleh Aidit, dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab dari sebuah penculikan para Jendral Angkatan Darat tersebut. Pasalnya pihak PKI sendiri secara emosi memiliki sentimen kepada para perwira Angkatan Darat, hal ini diakibatkan karena perwira Angkatan Darat (terlebih Ahmad Yani) tidak menghendaki adanya sebuah angkatan kelima, yang rencananya akan dibentuk dari masa-masa petani yang tidak lain adalah PKI. Hal ini bertambah kronis ketika munculnya isu Dewan Jendral dari dokumen yang ditemukan di rumah duta besar Inggris yang terdapat kata-kata a local army friends yang kemudian diintepretasikan sebagai Dewan Jendral. Yang dengan alasan ini G30S itu dilancarkan.

G30S itu hanya suatu peristiwa yang kemudian dijadikan suatu alat untuk menjatuhkan musuh-musuh politik, dari pihak-pihak pemegang kepentingan. Soekarno, PKI, Angkatan Darat semua saling berebut pengaruh untuk menanamkan hegemoni. Soekarno boleh dikatakan terjepit, retorika-retorika yang ia keluarkan seperti tidak memiliki dampak yang signifikan, semangat yang berkobar-kobar dan menyala-nyala mulai redup, cakraningrat yang dimiliki selama ini telah menghilang. Hal ini dikarenakan pada saat itu kondisi ekonomi begitu mencekik orang-orang miskin, terlebih karena ambisinya yang ingin mendapat perhatian dari mata dunia dengan jalan politik mercusuar telah membunuh rakyat secara perlahan, hal ini menimbulkan munculnya rasa tidak percaya terhadap sang proklamator itu. Terlebih desakan dari mahasiswa-mahasiswa yang menuntut Tritura pun semakin


(15)

menjadi-jadi. Sehingga masa Soekarno bisa dikatakan hanya para loyalis-loyalis yang masih setia, sedangkan rakyat sudah menjauh secara perlahan namun pasti. Sedangkan PKI yang menjadi partai besar juga mulai kehilangan gaungnya, mereka merasa tertekan dengan adanya suatu terror yang dilakukan oleh TNI AD, setelah terjadinya G30S, semua tuduhan negatif menuju ke arah PKI, rakyat pun mulai tidak percaya lagi dengan partai tersebut. TNI AD dan Soeharto mencoba melakukan suatu kisah heroik dengan cara menjadi sesosok pahlawan yang diharapkan oleh rakyat, dengan kendaraan TNI AD, Soeharto berhasil mendapatkan kekuatan politik yang kuat, Soeharto tidak memikirkan mindset rakyat, ia hanya cukup melakukan suatu semangat kepada rakyat supaya mereka membenci PKI. Soeharto dengan sendirinya terangkat menjadi sosok superhero ditengah kekalutan perpolitikan yang tengah terjadi.

Terlebih ketika Presiden Soekarno memberikan sebuah “mandat”, yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. Soeharto bagaikan di atas angin, ia menggunakan Surat Perintah itu sebagai suatu senjata ampuh untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan politik PKI. Walaupun Soekarno pada waktu itu merasa risih dengan tindakan Soeharto yang main tangkap terhadap para menteri yang dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya G30S, namun Soekarno tidak bisa berbuat lebih banyak lagi kecuali beretorika dan menyebar paradigma dengan kata-kata yang mungkin dianggapnya menenangkan hati rakyat. Bukan karena Soekarno tidak punya tenaga, bukan karena Soekarno tidak punya power tetapi hal itu dilakukan karena Soekarno


(16)

menempatkan dirinya sebagai seorang bapak yang kemudian ingin melerai anak-anaknya yang sedang terlibat perkelahian. Namun hal ini malah memicu munculnya anggapan bahwa Soekarno terlibat pada gerakan G30S tersebut. Sehingga hal ini mengakibatkan ia bernasib sama seperti PKI. Dan cahaya kegemilangan Soekarno pun mulai meredup dengan hal ini. Di saat kondisi kekuatan politik dari Soekarno mengalami suatu penurunan, maka Soeharto dan Nasution melakukan suatu kerjasama yang begitu kompak dan mesra untuk menyingkirkan PKI dan juga untuk menyingkirkan Soekarno tentunya. Surat Perintah Sebelas Maret ditangan Soeharto seolah-olah dijadikan sebagai suatu transfer of authority dari Presiden Soekarno. Terlebih sidang umum MPRS tahun 1966 mengukuhkan Surat Perintah Maret sebagai ketetapan MPR. Sehingga kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengganti anggota-anggota DPR-GR dengan orang yang pro terhadap dirinya, dan membersihkan DPR-GR dari unsur-unsur yang pro PKI dan pro Soekarno. Maka setelah itulah digelar Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas tragedi nasional yang terjadi. Dan Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya yang dikenal dengan pidato “Nawaksara”. Namun Nawaksara ditolak, MPRS dalam sidang MPRS tahun 1967 memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden dan mengangkat Presiden Soeharto sebagai Presiden.


(17)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan materi di atas, maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Pertentangan PKI, TNI AD, dan Soekarno berawal dari perbedaan orientasi ideologis. Perbedaan-perbedaan itu juga akan mencerminkan kedudukan ideologis kelompok itu masing-masing. Soekarno memang memerlukan dukungan politik yang terorganisir dalam hal ini dapat diperolehnya dari


(18)

Partai Komunis Indonesia (PKI) demi mempertahankan kekuasaannya. Di sisi lain juga Soekarno hendak memperkuat dan mempertahankan kekuasaan yang berasal dari dukungan tentara (AD) kendatipun ini persoalan ini tidak berjalan linier. Hal ini disebabkan sedikit banyak panglima-panglima militer di daerah-daerah yang bermuka dua terhadap kekuasan Presiden Soekarno.

2. Kejatuhan Pemerintahan Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor, semisal faktor ekonomi, kondisi sosial-politik, terlebih lagi terjadi Pemberontakan PKI 1965.

3. Kejatuhan Soekarno disebabkan karena adanya pemberontakan PKI 1965 dan adanya Supersemar yang diawali dari ketidakpercayaan MPR terhadap laporan pertanggungjawaban Soekarno.

B. Saran

1. Sebagai anak bangsa, kita harus mengantisipasi bahaya laten semacam pemberontakan PKI yang nantinya akan merongrong kemerdekaan Indonesia.

2. Sebagai seorang mahasiswa sejarah, kita tidak boleh serta merta menilai sebuah peristiwa dengan salah satu sudut pandang saja, melainkan harus dianalisis dari berbagai sudut pandang yang objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dkk. (Ed). 2012. Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional. Jakarta: Obor.

Adam, Asvi Warman. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Adam, Asvi Warman. 2010. Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?. Jakarta: Kompas. Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29

September 2007.


(19)

Caldwell, M & Utrecht, E. 2011. Sejarah Alternatif Indonesia. (Terjemahan Indonesia). Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Yogyakarta: Djaman Baroe. Ismawan, Indra. 2006. Kumpulan Pernyataan Bung Karno Tentang Gerakan 30

September. Yogyakarta: Media Pressindo.

Moedjanto. 1988. Indonesia Abad Ke-20 (Dari Perang Kemerdekaan Pertama sampai Pelita III). Yogyakarta: Kanisius.

M. Serbo. Hukum, Pemaksaan, dan Ketaatan serta Interprestasi Hukum di Indonesia: Jurnal Tata Negara. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003). hal. 109.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra.

Syamdani. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

http://egarriska-siregar.blogspot.com/2012/03/sejarah-pemerintahan-orde-lama-orde.html,diunduh 20 September 2013.

http://bem.its.ac.id/surat-perintah-11-maret-1966-supersemar-kejatuhan-soekarno-awal-terenggutnya-kedaulatan-indonesia/,diunduh 20 September 2013.

http://etisetyarini.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/23/jatuhnya-seorang-pemimpin-studi-kasus-sebuah-grand-strategy-dibalik-lengsernya-presiden-soekarno/, diunduh 20 September 2013.

http://adit-zone-adit.blogspot.com/2011/01/benarkah-bung-karno-memihak-komunis.html, diunduh 20 September 2013.


(1)

Peristiwa Gestok telah memberi suatu kesempatan untuk para pemegang kepentingan melancarkan aksinya. Blok PKI yang dipimpin oleh Aidit, dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab dari sebuah penculikan para Jendral Angkatan Darat tersebut. Pasalnya pihak PKI sendiri secara emosi memiliki sentimen kepada para perwira Angkatan Darat, hal ini diakibatkan karena perwira Angkatan Darat (terlebih Ahmad Yani) tidak menghendaki adanya sebuah angkatan kelima, yang rencananya akan dibentuk dari masa-masa petani yang tidak lain adalah PKI. Hal ini bertambah kronis ketika munculnya isu Dewan Jendral dari dokumen yang ditemukan di rumah duta besar Inggris yang terdapat kata-kata a local army friends yang kemudian diintepretasikan sebagai Dewan Jendral. Yang dengan alasan ini G30S itu dilancarkan.

G30S itu hanya suatu peristiwa yang kemudian dijadikan suatu alat untuk menjatuhkan musuh-musuh politik, dari pihak-pihak pemegang kepentingan. Soekarno, PKI, Angkatan Darat semua saling berebut pengaruh untuk menanamkan hegemoni. Soekarno boleh dikatakan terjepit, retorika-retorika yang ia keluarkan seperti tidak memiliki dampak yang signifikan, semangat yang berkobar-kobar dan menyala-nyala mulai redup, cakraningrat yang dimiliki selama ini telah menghilang. Hal ini dikarenakan pada saat itu kondisi ekonomi begitu mencekik orang-orang miskin, terlebih karena ambisinya yang ingin mendapat perhatian dari mata dunia dengan jalan politik mercusuar telah membunuh rakyat secara perlahan, hal ini menimbulkan munculnya rasa tidak percaya terhadap sang proklamator itu. Terlebih desakan dari mahasiswa-mahasiswa yang menuntut Tritura pun semakin


(2)

menjadi-jadi. Sehingga masa Soekarno bisa dikatakan hanya para loyalis-loyalis yang masih setia, sedangkan rakyat sudah menjauh secara perlahan namun pasti. Sedangkan PKI yang menjadi partai besar juga mulai kehilangan gaungnya, mereka merasa tertekan dengan adanya suatu terror yang dilakukan oleh TNI AD, setelah terjadinya G30S, semua tuduhan negatif menuju ke arah PKI, rakyat pun mulai tidak percaya lagi dengan partai tersebut. TNI AD dan Soeharto mencoba melakukan suatu kisah heroik dengan cara menjadi sesosok pahlawan yang diharapkan oleh rakyat, dengan kendaraan TNI AD, Soeharto berhasil mendapatkan kekuatan politik yang kuat, Soeharto tidak memikirkan mindset rakyat, ia hanya cukup melakukan suatu semangat kepada rakyat supaya mereka membenci PKI. Soeharto dengan sendirinya terangkat menjadi sosok superhero ditengah kekalutan perpolitikan yang tengah terjadi.

Terlebih ketika Presiden Soekarno memberikan sebuah “mandat”, yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. Soeharto bagaikan di atas angin, ia menggunakan Surat Perintah itu sebagai suatu senjata ampuh untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan politik PKI. Walaupun Soekarno pada waktu itu merasa risih dengan tindakan Soeharto yang main tangkap terhadap para menteri yang dianggap bertanggungjawab terhadap terjadinya G30S, namun Soekarno tidak bisa berbuat lebih banyak lagi kecuali beretorika dan menyebar paradigma dengan kata-kata yang mungkin dianggapnya menenangkan hati rakyat. Bukan karena Soekarno tidak punya tenaga, bukan karena Soekarno


(3)

menempatkan dirinya sebagai seorang bapak yang kemudian ingin melerai anak-anaknya yang sedang terlibat perkelahian. Namun hal ini malah memicu munculnya anggapan bahwa Soekarno terlibat pada gerakan G30S tersebut. Sehingga hal ini mengakibatkan ia bernasib sama seperti PKI. Dan cahaya kegemilangan Soekarno pun mulai meredup dengan hal ini. Di saat kondisi kekuatan politik dari Soekarno mengalami suatu penurunan, maka Soeharto dan Nasution melakukan suatu kerjasama yang begitu kompak dan mesra untuk menyingkirkan PKI dan juga untuk menyingkirkan Soekarno tentunya. Surat Perintah Sebelas Maret ditangan Soeharto seolah-olah dijadikan sebagai suatu transfer of authority dari Presiden Soekarno. Terlebih sidang umum MPRS tahun 1966 mengukuhkan Surat Perintah Maret sebagai ketetapan MPR. Sehingga kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengganti anggota-anggota DPR-GR dengan orang yang pro terhadap dirinya, dan membersihkan DPR-GR dari unsur-unsur yang pro PKI dan pro Soekarno. Maka setelah itulah digelar Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas tragedi nasional yang terjadi. Dan Presiden Soekarno menyampaikan pidato pertanggungjawabannya yang dikenal dengan pidato “Nawaksara”. Namun Nawaksara ditolak, MPRS dalam sidang MPRS tahun 1967 memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden dan mengangkat Presiden Soeharto sebagai Presiden.


(4)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan materi di atas, maka kami dapat mengambil beberapa kesimpulan, antara lain :

1. Pertentangan PKI, TNI AD, dan Soekarno berawal dari perbedaan orientasi ideologis. Perbedaan-perbedaan itu juga akan mencerminkan kedudukan ideologis kelompok itu masing-masing. Soekarno memang memerlukan


(5)

Partai Komunis Indonesia (PKI) demi mempertahankan kekuasaannya. Di sisi lain juga Soekarno hendak memperkuat dan mempertahankan kekuasaan yang berasal dari dukungan tentara (AD) kendatipun ini persoalan ini tidak berjalan linier. Hal ini disebabkan sedikit banyak panglima-panglima militer di daerah-daerah yang bermuka dua terhadap kekuasan Presiden Soekarno.

2. Kejatuhan Pemerintahan Orde Lama disebabkan oleh beberapa faktor, semisal faktor ekonomi, kondisi sosial-politik, terlebih lagi terjadi Pemberontakan PKI 1965.

3. Kejatuhan Soekarno disebabkan karena adanya pemberontakan PKI 1965 dan adanya Supersemar yang diawali dari ketidakpercayaan MPR terhadap laporan pertanggungjawaban Soekarno.

B. Saran

1. Sebagai anak bangsa, kita harus mengantisipasi bahaya laten semacam pemberontakan PKI yang nantinya akan merongrong kemerdekaan Indonesia.

2. Sebagai seorang mahasiswa sejarah, kita tidak boleh serta merta menilai sebuah peristiwa dengan salah satu sudut pandang saja, melainkan harus dianalisis dari berbagai sudut pandang yang objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, dkk. (Ed). 2012. Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional. Jakarta: Obor.

Adam, Asvi Warman. 2007. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Adam, Asvi Warman. 2010. Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?. Jakarta: Kompas. Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29

September 2007.


(6)

Caldwell, M & Utrecht, E. 2011. Sejarah Alternatif Indonesia. (Terjemahan Indonesia). Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Yogyakarta: Djaman Baroe. Ismawan, Indra. 2006. Kumpulan Pernyataan Bung Karno Tentang Gerakan 30

September. Yogyakarta: Media Pressindo.

Moedjanto. 1988. Indonesia Abad Ke-20 (Dari Perang Kemerdekaan Pertama sampai Pelita III). Yogyakarta: Kanisius.

M. Serbo. Hukum, Pemaksaan, dan Ketaatan serta Interprestasi Hukum di Indonesia: Jurnal Tata Negara. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2003). hal. 109.

Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra.

Syamdani. 2001. Kontroversi Sejarah di Indonesia. Jakarta: Gramedia.

http://egarriska-siregar.blogspot.com/2012/03/sejarah-pemerintahan-orde-lama-orde.html,diunduh 20 September 2013.

http://bem.its.ac.id/surat-perintah-11-maret-1966-supersemar-kejatuhan-soekarno-awal-terenggutnya-kedaulatan-indonesia/,diunduh 20 September 2013.

http://etisetyarini.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/23/jatuhnya-seorang-pemimpin-studi-kasus-sebuah-grand-strategy-dibalik-lengsernya-presiden-soekarno/, diunduh 20 September 2013.

http://adit-zone-adit.blogspot.com/2011/01/benarkah-bung-karno-memihak-komunis.html, diunduh 20 September 2013.