menindas dan meneror kaum intelektual dan sastrawan Indonesia yang tidak mau bergabung dengannya. Pada saat yang sama, Lekra mempropagandakan
misi dan kepentingan PKI terutama berkaitan dengan penyebaran ideologi komunis. Para mahasiswa PKI bergabung dalam Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia CGMI. Mereka meneror mahasiswa lain yang tidak mau bergabung.
Para sastrawan dan cendekiawan penentang Lekra membuat Manifes Kebudayaan tanggal 17 Agustus 1963. Mereka mendukung Pancasila, tetapi
menolak bergabung dengan Nasakom. Para sastrawan dan intelektual itu menghendaki suatu kebudayaan Indonesia yang tidak didominasi oleh
ideologi tertentu. Tokoh manifes ini adalah H.B. Jassin. PKI kemudian menggunakan kekuasaan Bung Karno untuk melarang kegiatan manifes
kebudayaan. Akhirnya, Bung Karno benar-benar melarangnya tanggal 8 Mei 1964. Bahkan H.B. Jassin kemudian dipecat sebagai dosen di Universitas
Indonesia Jakarta. Demikianlah cara PKI menciptakan suasana yang menguntungkan untuk kepentingan politiknya. Mereka menempel setiap
kebijakan Bung Karno dengan membentuk lembaga-lembaga pendukung. Teror dan fitnah mereka jalankan untuk menghadapi kelompok antikomunis.
Berkat dukungan dan perlindungan Bung Karno, PKI mampu memasuki seluruh sendi kehidupan bangsa. Oleh karena itu, PKI tinggal menunggu
waktu untuk merebut kekuasaan sesuai dengan doktrin komunisme.
C. Korelasi Pemberontakan PKI, Supersemar, hingga kejatuhan Soekarno
Setelah terjadinya peristiwa G30S atau juga sering disebut Gestok terjadilah suatu gejolak dibidang keamanan dan
politik di dalam Indonesia. Pasalnya peristiwa itu ibarat sebuah magnet bagi para pemegang-pemegang kepentingan.
Dalam perkembangan politik Indonesia pada tahun 1960-an, muncul kekuatan-kekuatan yang berusaha saling berebut
hegemoni, yaitu kekuatan PKI, Soekarno dan Angkatan Darat. Angkatan Darat sendiri terbagi menjadi dua kekuatan yaitu
kekuatan Soeharto dan kekuatan Nasution.
13
Peristiwa Gestok telah memberi suatu kesempatan untuk para pemegang kepentingan melancarkan aksinya. Blok PKI
yang dipimpin oleh Aidit, dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab dari sebuah penculikan para Jendral
Angkatan Darat tersebut. Pasalnya pihak PKI sendiri secara emosi memiliki sentimen kepada para perwira Angkatan
Darat, hal ini diakibatkan karena perwira Angkatan Darat terlebih Ahmad Yani tidak menghendaki adanya sebuah
angkatan kelima, yang rencananya akan dibentuk dari masa- masa petani yang tidak lain adalah PKI. Hal ini bertambah
kronis ketika munculnya isu Dewan Jendral dari dokumen yang ditemukan di rumah duta besar Inggris yang terdapat
kata-kata a local army friends
yang kemudian diintepretasikan sebagai Dewan Jendral. Yang dengan alasan
ini G30S itu dilancarkan. G30S itu hanya suatu peristiwa yang kemudian dijadikan
suatu alat untuk menjatuhkan musuh-musuh politik, dari pihak-pihak pemegang kepentingan. Soekarno, PKI, Angkatan
Darat semua saling berebut pengaruh untuk menanamkan hegemoni. Soekarno boleh dikatakan terjepit, retorika-retorika
yang ia keluarkan seperti tidak memiliki dampak yang signifikan, semangat yang berkobar-kobar dan menyala-nyala
mulai redup, cakraningrat yang dimiliki selama ini telah menghilang. Hal ini dikarenakan pada saat itu kondisi
ekonomi begitu mencekik orang-orang miskin, terlebih karena ambisinya yang ingin mendapat perhatian dari mata dunia
dengan jalan politik mercusuar telah membunuh rakyat secara perlahan, hal ini menimbulkan munculnya rasa tidak
percaya terhadap sang proklamator itu. Terlebih desakan dari mahasiswa-mahasiswa yang menuntut Tritura pun semakin
14
menjadi-jadi. Sehingga masa Soekarno bisa dikatakan hanya para loyalis-loyalis yang masih setia, sedangkan rakyat sudah
menjauh secara perlahan namun pasti. Sedangkan PKI yang menjadi partai besar juga mulai kehilangan gaungnya,
mereka merasa tertekan dengan adanya suatu terror yang dilakukan oleh TNI AD, setelah terjadinya G30S, semua
tuduhan negatif menuju ke arah PKI, rakyat pun mulai tidak percaya lagi dengan partai tersebut. TNI AD dan Soeharto
mencoba melakukan suatu kisah heroik dengan cara menjadi sesosok pahlawan yang diharapkan oleh rakyat, dengan
kendaraan TNI AD, Soeharto berhasil mendapatkan kekuatan politik yang kuat, Soeharto tidak memikirkan mindset rakyat,
ia hanya cukup melakukan suatu semangat kepada rakyat supaya mereka membenci PKI. Soeharto dengan sendirinya
terangkat menjadi sosok superhero ditengah kekalutan perpolitikan yang tengah terjadi.
Terlebih ketika Presiden Soekarno memberikan sebuah “mandat”, yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah
Sebelas Maret Supersemar pada 11 Maret 1966. Soeharto bagaikan di atas angin, ia menggunakan Surat Perintah itu
sebagai suatu senjata ampuh untuk menghancurkan kekuatan-kekuatan politik PKI. Walaupun Soekarno pada
waktu itu merasa risih dengan tindakan Soeharto yang main tangkap terhadap para menteri yang dianggap
bertanggungjawab terhadap terjadinya G30S, namun Soekarno tidak bisa berbuat lebih banyak lagi kecuali
beretorika dan menyebar paradigma dengan kata-kata yang mungkin dianggapnya menenangkan hati rakyat. Bukan
karena Soekarno tidak punya tenaga, bukan karena Soekarno tidak punya power tetapi hal itu dilakukan karena Soekarno
15
menempatkan dirinya sebagai seorang bapak yang kemudian ingin melerai anak-anaknya yang sedang terlibat perkelahian.
Namun hal ini malah memicu munculnya anggapan bahwa Soekarno terlibat pada gerakan G30S tersebut. Sehingga hal
ini mengakibatkan ia bernasib sama seperti PKI. Dan cahaya kegemilangan Soekarno pun mulai meredup dengan hal ini.
Di saat kondisi kekuatan politik dari Soekarno mengalami suatu penurunan, maka Soeharto dan Nasution melakukan
suatu kerjasama yang begitu kompak dan mesra untuk menyingkirkan PKI dan juga untuk menyingkirkan Soekarno
tentunya. Surat Perintah Sebelas Maret ditangan Soeharto seolah-olah dijadikan sebagai suatu transfer of authority dari
Presiden Soekarno. Terlebih sidang umum MPRS tahun 1966 mengukuhkan Surat Perintah Maret sebagai ketetapan MPR.
Sehingga kekuasaan pemerintah praktis berada di tangan Soeharto. Langkah pertama yang ia lakukan adalah
mengganti anggota-anggota DPR-GR dengan orang yang pro terhadap dirinya, dan membersihkan DPR-GR dari unsur-
unsur yang pro PKI dan pro Soekarno. Maka setelah itulah digelar Sidang Istimewa MPRS untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas tragedi nasional yang terjadi. Dan Presiden Soekarno menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya yang dikenal dengan pidato “Nawaksara”. Namun Nawaksara ditolak, MPRS dalam sidang
MPRS tahun 1967 memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden dan mengangkat Presiden Soeharto sebagai
Presiden.
16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan