Kebiasaan Faktor-faktor Penyebab Campur Kode

dimaksud. Demikian juga dengan kata mrema, sumringah, dan nglurug pada data 2 - 4 sangat sulit dicari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kata mrema pada konteks data 2 sama artinya dengan berjualan tidak pada waktutempat yang biasa digunakan untuk berjualan dan biasanya berkaitan dengan adanya suatu kerarnaianperistiwa ’ . Kata sumringah pada data 3 mempunyai makna yang sama dengan ‘berseri-seri’ atau ‘penuh semangat, ceria, optimis, dan perasaan lain yang terkumpul menjadi satu ’ . Kata nglurug 4 memuat konsep menyempatkan datang ke suatu tempat secara bersama-sarnaberombongan untuk suatu keperluan berkaitan dengan suatu kasusmasalah’. Selain data 1 - 4 di atas, masih ada data lain yang menunjukkan sebab terjadinya campur kode karena ketidakadaan kata yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai seperti terlihat pada data berikut. 5 Rombongan pekerja yang nglajo juga turut andil memacetkan jalur pantura di Jalan Raya Kaligawe. SM, 10-11-2001, XV. 6 Ini karena masih ada beberapa orang yang nyelelek, setelah SM, 10-11- 2001, XV. 7 Yang paling baik, pernberantasan dilakukan secara gropyokan sehingga lalat tak menyebar ke lahan lain. SM, 20-7-2001, XIX. Pada data 5 terdapat kata nglajo yang bermakna berangkat dan pulang kerja setiap hari dengan jarak tempuh rumah dengan tepat kerja yang cukup jauh ’ . Kata nyelelek pada data 6 mempunyai kandungan makna bertindaberlaku tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Kata gropyokan pada data 7 mengandung makna melakukan tindakan penangkapan secara bersama-sarna. Ketiga kata ini tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia,

2. Kebiasaan

Peristiwa campur kode dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka berdasarkan konteksnya sering terjadi dalam suasana yang kurang tingkat keresmiannya, yaitu ketika dalam suasana santai seorang penutur melakukan pencampuran unsur-unsur dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan. Jadi, campur kode dapat disebabkan oleh faktor penutur itu sendiri, misalnya karena kebiasaan penutur yang sudah terbiasa melakukan campur kode. Kebiasaan mencampur kode seperti dapat menjadikan komunikasi berjalan lebih komunlkatif. Hal ini karena antara penutur dan mitra tutur mempunyai pemahaman yang sama terhadap kode yang digunakan. Contoh campur kode yang disebabkan kebiasaan penutur dapat dilihat pada data 8 - 10 berikut 8 Kapolres Wonogiri AKBP Drs. Denny Iswoko merasa ikut keslomot oleh manuver gerakan massa partai itu, karena nomor teleponnya disalahgunakan untuk pembuatan selebaran daftar pencarian orang DPO. SM, 20-1-2001, XVII. 9 Pernah, ada yang berkesan mengada-ada, dan karena suguhannya dianggap terlalu sederhana, lalu jadi bahan rasanan. SM, 30-3-2001, XVIII. 10 Dia menyatakan Tridjoko sebagai Ketua DPRD sepantasnya 258 memberikan contoh nyata bahwa yang bersalah harus lengser. SM, 1-8-2001, XV. Pada data 8 - 10 terdapat kata keslomot ‘terkena dampaknya, rasanan ‘gunjingan t dan lengser turunmundur’ yang menunjukkan bahwa penutur sudah terbiasa melakukan campur kode dalam bahasa Jawa. Demikian puia pada data 11 - 13 berikut. 11 Entah itu serius, gojegan atau cengengesan, tetapi kami menganggap proyek pembangunan kembali balai kota sangat rentan terhadap suap. SM, 10-12-2001, XVIII. 12 Jika tidak benar-benar kepepet masyarakat enggan berobat ke puskesmas. SM, 20-9-2001, XVII. 13 Bagi pemerhati seni, kesenian khas itu tidak akan mboseni. SM, 30-4-2001 ,X Vll. Dalam data 11 - 13 terdapat kata gojegan, cengengesan, kepepet, dan mboseni yang berasal dari bahasa Jawa. Penggunaan kata gojegan cengengesan bergurau’, kepepet terpaksa ’ , dan kepepet ‘membosankan’ menunjukkan bahwa penutur sudah terbiasa melakukan pencampuran kode dari bahasa Jawa ketika bertutur dalam bahasa Indonesia.

3. Penegasan