Faktor-faktor Penyebab Campur Kode dalam Wacana Berita Daerah Harian Suara Merdeka. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) 2.28 pak mujid ok

(1)

FAKTOR PENYEBAB PENGGUNAAN CAMPUR KODE DALAM WACANA BERITA DAERAH HARIAN SUARA MERDEKA

Mujid Farihul Amin

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Undip

Abstract

There are seven factors that cause the emergence of mixed code in the discourse of local news in the daily Suara Merdeka. The seventh factor is the absence of the right words, habits, assertion, educated assertion, color protrusion area, quoted opinion, and respect the person in question.

Key words: causes, mixed code, the discourse of regional news, Suara Merdeka.

Abstrak

Ada tujuh faktor penyebab munculnya campur kode dalam wacana berita daerah di harian Suara Merdeka. Ketujuh faktor penyebab tersebut adalah ketiadaan kata yang tepat, kebiasaan, penegasan, penonjolan “keterpelajaran”, penonjolan warna daerah, penyitiran pendapat, dan menghormati orang yang dibicarakan.

Kata-kata Kunci: penyebab, campur kode, wacana berita daerah, Suara Merdeka.

A. Pendahuluan

Dalam interaksi sehari-hari, pasti terjadi berbagai peristiwa kebahasaan. Dari sekian banyak peristiwa kebahasaan yang seringkali terjadi adalah tercampurnya suatu kode/unsur bahasa ke dalam kode/unsur bahasa lain. Peristiwa inilah yang dalam sosiolinguistik dikenal dengan istilah campur kode.

Kemunculan campur kode dalam tindak tutur sehari-hari memang sangat sulit dihindarkan. Dalam eraglobalisasi seperti sekarang ini, banyak diantara penutur suatu bahasa yang selain menguasai bahasa pertama juga menguasai paling tidak satu bahasa lain. Apalagi dalam wacana yang penulis jadikan objek tulisan ini.

Wacana berita daerah yang ada di harian Suara Merdeka biasanya menuturkan/berisi berita-berita dari berbagai daerah yang ada di Jawa Tengah. Berbagai daerah yang ada di Jawa Tengah, para penuturnya selain menguasai bahasa Indonesia mereka juga menguasai bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa. Bahkan, selain menguasai dua bahasa itu, banyak juga penutur yang menguasai paling tidak satu bahasa asing (misalnya bahasa Inggris, Arab, Perancis, dan Cina).

Karena keadaan yang ada seperti yang penulis kemukakan di atas, munculnya campur kode dalam wacana berita daerah di harian Suara Merdeka tidak dapat dinafikan/dielakkan. Untuk itulah, pada artikel/tulisan ini dikaji faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya peristiwa campur kode dalam wacana berita daerah di harian Suara Merdeka.


(2)

B. Rumusan Masalah

Masalah utama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa campur kode dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka.

C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan masalah yang dibahas adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi sebab munculnya peristiwa campur kode dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka.

D. Faktor-faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode dapat terjadi karena beberapa faktor penyebab. Antara faktor penyebab yang satu dengan faktor penyebab lainnya tentu berbeda-beda, Begitu pula yang terjadi dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka. Berdasarkan penelitian yang penulils lakukan, secara garis besar campur kode yang terjadi dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka disebabkan faktor-faktor berikut: ketiadaan kata yang tepat dalam bahasa yang dipakai, kebiasaan, penegasan, penonjolan "keterpelajaran", penonjolan warna daerah, penyitiran pendapat, dan untuk penghormatan orang yang dibicarakan. Berikut uraian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya campur kode dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka.

1. Ketiadaan Kata yang Tepat

Dalam bertutur seseorang seringkali menyisipkan kata dari bahasa lain ke dalam tuturannya. Misalnya saja, seseorang yang sedang bertutur dalam bahasa Indonesia, tetapi dia tidak menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, maupun idenya, maka dia akan mencari kata-kata dari bahasa lain yang dapat digunakan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, maupun idenya tersebut. Ketiadaan kata yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai dapat dilihat pada data berikut.

(1) Kromokarso penduduk Kedungrejo Kecamatan Jatipurno,

kunduran truk pengangkut bambu yang dikemudikan Surahman. (SM, 10-6-2001,111).

(2) Para pedagang yang akan mrema pada Pesta Kupatan itu ratusan. (SM, 20-12-2001, XIX).

(3) Puluhan warga mulai aiiak-anak, remaja, hiiigga dewasa menyaksikan hiburan gratis dengan antusias dan sumringah

(SM, 20-10-2001, XIV).

(4) Koordinator aksi Ali Shawi mengatakan, pada 17 April ratusan nelayan dari berbagai kola di Jateng akan nglurug ke Kantor Puskud Mina Baruna. (SM, 10-4-2001, XIll).

Data (1) - (4) menunjukkan kemunculan campur kode yang disebabkan ketiadaan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kata kunduran pada data (1) digunakan untuk mengungkapkan konsep 'tertabrak oleh truk yang sedang mundur’. Kata kunduran tersebut dalam bahasa Indonesia tidak mempunyai padanan kata yang tepat benar dengan konsep yang


(3)

dimaksud.

Demikian juga dengan kata mrema, sumringah, dan nglurug pada data (2) - (4) sangat sulit dicari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kata mrema pada konteks data (2) sama artinya dengan 'berjualan tidak pada waktu/tempat yang biasa digunakan untuk berjualan dan biasanya berkaitan dengan adanya suatu kerarnaian/peristiwa’. Kata sumringah pada data (3)

mempunyai makna yang sama dengan ‘berseri-seri’ atau ‘penuh semangat, ceria, optimis, dan perasaan lain yang terkumpul menjadi satu’. Kata nglurug (4) memuat konsep 'menyempatkan

datang ke suatu tempat secara bersama-sarna/berombongan untuk suatu keperluan berkaitan dengan suatu kasus/masalah’.

Selain data (1) - (4) di atas, masih ada data lain yang menunjukkan sebab terjadinya campur kode karena ketidakadaan kata yang tepat dalam bahasa yang sedang dipakai seperti terlihat pada data berikut.

(5) Rombongan pekerja yang nglajo juga turut andil memacetkan jalur pantura di Jalan Raya Kaligawe. (SM, 10-11-2001, XV).

(6) Ini karena masih ada beberapa orang yang nyelelek, setelah (SM, 10-11-2001, XV).

(7) Yang paling baik, pernberantasan dilakukan secara gropyokan sehingga lalat tak menyebar ke lahan lain. (SM, 20-7-2001, XIX).

Pada data (5) terdapat kata nglajo yang bermakna 'berangkat dan pulang kerja setiap hari dengan jarak tempuh rumah dengan tepat kerja yang cukup jauh’. Kata nyelelek pada data

(6) mempunyai kandungan makna 'bertinda/berlaku tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan'. Kata gropyokan pada data (7) mengandung makna 'melakukan tindakan penangkapan secara bersama-sarna'. Ketiga kata ini tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia,

2. Kebiasaan

Peristiwa campur kode dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka

berdasarkan konteksnya sering terjadi dalam suasana yang kurang tingkat keresmiannya, yaitu ketika dalam suasana santai seorang penutur melakukan pencampuran unsur-unsur dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan. Jadi, campur kode dapat disebabkan oleh faktor penutur itu sendiri, misalnya karena kebiasaan penutur yang sudah terbiasa melakukan campur kode. Kebiasaan mencampur kode seperti dapat menjadikan komunikasi berjalan lebih komunlkatif. Hal ini karena antara penutur dan mitra tutur mempunyai pemahaman yang sama terhadap kode yang digunakan.

Contoh campur kode yang disebabkan kebiasaan penutur dapat dilihat pada data (8) -(10) berikut

(8) Kapolres Wonogiri AKBP Drs. Denny Iswoko merasa ikut

keslomot oleh manuver gerakan massa partai itu, karena nomor teleponnya disalahgunakan untuk pembuatan selebaran daftar pencarian orang (DPO). (SM, 20-1-2001, XVII).

(9) Pernah, ada yang berkesan mengada-ada, dan karena suguhannya dianggap terlalu sederhana, lalu jadi bahan rasanan.

(SM, 30-3-2001, XVIII).


(4)

memberikan contoh nyata bahwa yang bersalah harus lengser.

(SM, 1-8-2001, XV).

Pada data (8) - (10) terdapat kata keslomot ‘terkena dampaknya', rasanan

‘gunjingan't dan lengser 'turun/mundur’ yang menunjukkan bahwa penutur sudah terbiasa

melakukan campur kode dalam bahasa Jawa. Demikian puia pada data (11) - (13) berikut. (11) Entah itu serius, gojegan atau cengengesan, tetapi kami

menganggap proyek pembangunan kembali balai kota sangat rentan terhadap suap. (SM, 10-12-2001, XVIII).

(12) Jika tidak benar-benar kepepet masyarakat enggan berobat ke puskesmas. (SM, 20-9-2001, XVII).

(13) Bagi pemerhati seni, kesenian khas itu tidak akan mboseni. (SM, 30-4-2001 ,X Vll).

Dalam data (11) - (13) terdapat kata gojegan, cengengesan, kepepet, dan mboseni

yang berasal dari bahasa Jawa. Penggunaan kata gojegan/ cengengesan

'bergurau’, kepepet 'terpaksa’, dan kepepet ‘membosankan’ menunjukkan bahwa

penutur sudah terbiasa melakukan pencampuran kode dari bahasa Jawa ketika bertutur dalam bahasa Indonesia.

3. Penegasan

Keinginan seorang penutur untuk menegaskan pernyataan yang telah diucapkan sebelumnya dengan menggunakan kode yang berbeda tidak jarang juga dapat menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Seandainya kode tersebut diganti dengan kode dari bahasa Indonesia, sebenarnya tidak mengurangi ketegasan yang diinginkan. Hanya saja, dalam hal seperti ini penutur ingin menegaskan pernyataan yang telah diucapkan sebelumnya dengan menggunakan kode yang berbeda. Adanya faktor penegasan dapat diiihat pada data berikut.

(14) Pemkot tampaknya terlalu serius dalam menanggapi persoalan yang sebenarnya tak perlu diseriuskan. Jadi overacting. (SM, 30-9-2001,

(15) Warga Arcawinangun ini mengungkapkan, ia memilih mangkal atau magrok di alun-alun semata-mata karena pertimbangan hemat, baik dari segi biaya maupun tenaga. (SM, 1-11-2001, XX). '

Pada data (14) muncul kata overacting yang merupakan kata dari bahasa Inggris. Kemunculan kata tersebut merupakan penegasan dari kata-kata sebelumnya yaitu "terlalu serius dalam menanggapi persoalan yang sebenarnya tak perlu diseriuskan’. Demikian pula

kemunculan kata magrok yang berasal dari bahasa Jawa pada data (15). Kata tersebut merupakan penegasan dari kata sebelumnya, yaitu kata ‘mangkal’.

4. Penonjolan "Keterpelajaran"

Dalam wacana berita daerah Harian Suara Merdeka, penyebab munculnya campur kode dapat juga karena faktor unt.uk memunjukkan penutur adalah orang yang ‘terpelajar’. Hal ini diketahui dari cara bertutur mereka yang sering menggunakan kata-kata dari bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Pemakaian kata-kata dari bahasa asing dapat juga berkaitan dengan gengsi. Mereka merasa lebih bergengsi menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Penyebab campur kode berupa penonjolan rasa "terpelajar" tampak pada data (16) - (21) berikut.


(5)

(16) Sesuai dengan agreement kami beberapa waktu lalu, terhadap persoalan ini harus dilihat kelayakan antara besar PAD dan persentase untukDewan. (SM, 1-6-2001, XV).

(17) Menurut Agung. meski performance anak tunanetra agak terlambat, kemampuan verbalnya lebih menonjol dibandingkan dengan anak normal. (SM, 20-8-2001, XIII).

(18) Untuk memperkuat penyidikan, kami juga memeriksa urine

keempat tersangka. (SM/10-10-2001, XVTII).

(19) Proyek itu bersifat integrated di seluruh wilayah kota dan untuk efisiensi. (SM5 10-8-2001, XIII).

(20) Kalau sekarang ini mereka kemudian disuruh pindah begitu saja, bisa dianggap sebagai tindakan tidak manusiawi, apalagi bila lokasi yang baru itu kurang marketable (SM5 1-9-2001, XVI).

(21) Hasil sharing dilaporkan ke panitia untuk diputuskan lewat rapat paripurna. (SM, 10-3-2001, Xlll).

Kata-kata agreement, performance, urine, integrated, marketable, dan sharing pada data (16) — (21) adalah kata-kata yang lazim diucapkan oleh kalangan terpelajar/terdidik dan mempunyai pengetahuan yang luas. Selain itu, penutur juga merasa lebih bergengsi menggunakan kata-kata tersebut.

5. Penonjolan Warna Daerah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, munculnya campur kode dapat disebabkan penutur ingin menonjolkan wama daerah. Caranya adalah dengan memasukkan kode-kode yang berasal dari bahasa daerah. Dengan digunakannya bahasa daerah secara menonjol mereka ingin diakui sebagai orang yang berasal dari daerah bersangkutan, Bahasa daerah yang digunakan dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka adalah bahasa Jawa seperti tampak dalam data berikut.

(22) Hal itu bisa diimplementasikan melalui sikap handarbeni. (SM, 20-5-2001, TV).

(23) Ini sekaligus untuk tamba gela karena beberapa kali Pak Gesang dikecewakan masalah bantuan dana (SM, 10-10-2001, XVIII).

(24) Pengusaha muda yang kini memiiiki omzet Rp30 juta itu menuturkan sebelum mendirikan usaha sendiri ngangsu kawruh

di produksi bubut kayu Bojonegoro selama lima tahun (SM, 30-10-2001, XVIII).

Pada data (22) - (24) terdapat kata handarbeni ‘rasa ikut memiliki’, tamba gela ‘obat kecewa’,

ngangsu kawruh ‘menimba ilmu’ merupakan kata-kata yang hanya ada dalam bahasa Jawa. 6. Penyitiran Pendapat

Faktor munculnya campur kode dapat juga disebabkan penutur rnenyitir pendapat yang dikemukakan orang lain. Jadi, apa yang dituturkan hanya berupa sitiran dari pendapat orang


(6)

lain. Data berikut memperjelas hal ini.

(25) Tontowi memperkirakan suara anggota Dewan ting cloneh

karena kurang sosialisasi keputusan yang diambil (SM?

20-10-2001, XIX).

(26) Koordinator aksi AH Shawi mengatakan, pada 17 April ratusan nelayan dari berbagai kota di Jateng akan nglurug ke Kantor Puskud Mina Baruna. (SM, 10-4-2001, XHI).

(27) Bupati mengingatkan, para pejabat jangan merasa akan diuyek

kesana-kemari, sehubungan dengan adanya SOT baru. (SM, 20-1-2001, XIX).'

(28) Kapolres AKBP Drs. Charles Himler Ngili mengatakan, ketika truk dicegat petugas, sopir dan pengawalnya mengatakan, kalau kayu yang dibawa hanya bonggol jati (SM, 20-10-2001, XDQ.

Kata-kata ting cloneh, nglurug, dittyek, dan bonggol pada data (25) -(28) di atas merupakan sitiran dari pendapat orang lain. Pada data (25) kata ting cloneh 'tidak beraturan’ merupakan sitiran dari pendapat Tontowi, seorang anggota DPRD. Kata nglurug ‘datang’ pada data (26) sitiran dari pendapat Ali Shawi yang merupakan koordinator aksi nelayan dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Begitu pula kata ‘diuyek’ diputar pada data (27) merupakan sitiran pendapat bupati dan kata bonggol pada data (93) sitiran dari pendapat Kapolres AKBP Drs. Charles Himler Ngili.

7. Menghormati Orang yang Dibicarakan

Kemuncuian campur kode dapat juga disebabkan faktor untuk menghormati orang yang dibicarakan. Keinginan untuk menghormati orang yang dibicarakan ini biasanya diwujudkan dalam pemakaian kata dari bahasa Jawa dengan tingkat krama inggil.

(29) Eksekutif ndherek apa yang diputuskan Dewan, sepanjang hal itu tidak menyalahi Tatib DPRD. (SM, 10-4-2001, XVI).

(30) Sebagaimana wayang, dhawuh sang dalang hams ditaati. (SM, 30-6-2001, XVII).

Kata ndherek 'ikut’ dan dhawuh 'perintah’ pada data (29) - (30) digunakan untuk

menghormati orang ketiga. Pada data (29) kata ndherek digunakan untuk menghormati eksekutif dan kata dhawuh pada data (30) digunakan untuk menghormati dalang.

E. Simpulan

Berdasarkan uraian disampaikan, simpulan yang dapat penulis ambil adalah bahwa ada tujuh faktor penyebab munculnya campur kode dalam wacana berita daerah di harian

Suara Merdeka. Ketujuh faktor penyebab tersebut adalah ketiadaan kata yang tepat, kebiasaan, penegasan, penonjolan “keterpelajaran”, penonjolan warna daerah, penyitiran pendapat, dan menghormati orang yang dibicarakan.


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Alwi, Hasan (Eds.). 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Anwar, H. Rosihan, 1984, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Appel, Renne. 1987. "Code Switching and Code Mixing” dalam Edward Arnold (Ed.)

Language Contact and Bilingualism. Np: Advision of Hoddor and Stoughton, pp. 117- 127.

Assegaff, Dja'far H. 1991. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Brown, Gillian and George Yule. 1984. Discourse Analysis. London: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur.

Bandung: Eresco.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Hoed, Benny H. 1994. "Wacana, Teks., dan Kalimaf” dalam Bahasawan Cendekia.

Jakarta: FSUI dan Intermasa.

Kachru, Braj B. 1978. "Toward Structuring Code Mixing: An Indian Perspective''.

International Journal of the Sociology of Language. Vol. 16. Paris-New York: Mouton.

Keraf, Gorys. 1997. Komposisi. Ende-FIores: Husa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 1978. "Keutuhan Wacana” dalam Bahasa dan Sastra. Tahun IV, No. 1.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pnegembangan Bahasa

---1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende-FIores: Nusa Indah. ---1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cerrnin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti Depdiknas.


(8)

Wacana" dalam Pellba edisi 6. Yogyakarta: Kanisius.

Mackey, William F. 1972. The description of Bilingualism dalam Fishman Reading in the Sociology- of Language. Paris: Mouton.

Marasigan, Elisabeth. 1983. Code Switching and Code Mixing in Multilingual Societies.

Singapore: Manna Singapore University Press.

Marcellino, M. 1993a. Kata Pinjaman Bahasa Barat di Bahasa Indonesia dalam Harimurti Kridalaksana (ed.). Jakarta: MLT.

Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: SuatuPengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Patmono SK. 1996. Teknik Jurnalistik: Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan.

Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1978. Kode dan Alih Kode dalam Widyapanva No. 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

---1982. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai PeneJiliai) Bahasa.

--- 1935 Komponen Tutur dalam Perkembangan Linguistik di Indonesia.

Jakarta: Penerbit Arcan.

Poedjosoedarmo, Soepomo dan Laginem. 1985. Bahasa Bagongan. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Ke Arah Memahami Linguistik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

--- 1993 Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacan University Press. Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik, toeri dan Problema. Surakarta: Henary Offset. ... 1987. Berbahasa dalam Situasi Diglosik. Disertasi. Jakarta:

Universitas Indonesia..

Sutana. 1999. “Alih Kode dan Campur Kode” dalam Majalah Djaka Lodhang Yogyakarta: Balai Bahasa.

Sutanto, Sunaryati. 1995. “Campur Kode dan Alih kode daiam Ragam Bahasa Jurnalistik” dalam Sudaryanto (ed.). Semarang: Citra Almamater

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Thelander, M. "Code-Switching or Code-Mixing" dalam Fishman J.A. (Ed.) International Journal of the Sociology' of Language. Vol 10. Mouton, The Hague-Paris.


(9)

(1)

memberikan contoh nyata bahwa yang bersalah harus lengser. (SM, 1-8-2001, XV).

Pada data (8) - (10) terdapat kata keslomot ‘terkena dampaknya', rasanan ‘gunjingan't dan lengser 'turun/mundur’ yang menunjukkan bahwa penutur sudah terbiasa melakukan campur kode dalam bahasa Jawa. Demikian puia pada data (11) - (13) berikut.

(11) Entah itu serius, gojegan atau cengengesan, tetapi kami menganggap proyek pembangunan kembali balai kota sangat rentan terhadap suap. (SM, 10-12-2001, XVIII).

(12) Jika tidak benar-benar kepepet masyarakat enggan berobat ke puskesmas. (SM, 20-9-2001, XVII).

(13) Bagi pemerhati seni, kesenian khas itu tidak akan mboseni. (SM, 30-4-2001 ,X Vll).

Dalam data (11) - (13) terdapat kata gojegan, cengengesan, kepepet, dan mboseni yang berasal dari bahasa Jawa. Penggunaan kata gojegan/ cengengesan 'bergurau’, kepepet 'terpaksa, dan kepepet ‘membosankan’ menunjukkan bahwa penutur sudah terbiasa melakukan pencampuran kode dari bahasa Jawa ketika bertutur dalam bahasa Indonesia.

3. Penegasan

Keinginan seorang penutur untuk menegaskan pernyataan yang telah diucapkan sebelumnya dengan menggunakan kode yang berbeda tidak jarang juga dapat menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Seandainya kode tersebut diganti dengan kode dari bahasa Indonesia, sebenarnya tidak mengurangi ketegasan yang diinginkan. Hanya saja, dalam hal seperti ini penutur ingin menegaskan pernyataan yang telah diucapkan sebelumnya dengan menggunakan kode yang berbeda. Adanya faktor penegasan dapat diiihat pada data berikut.

(14) Pemkot tampaknya terlalu serius dalam menanggapi persoalan yang sebenarnya tak perlu diseriuskan. Jadi overacting. (SM, 30-9-2001,

(15) Warga Arcawinangun ini mengungkapkan, ia memilih mangkal atau magrok di alun-alun semata-mata karena pertimbangan hemat, baik dari segi biaya maupun tenaga. (SM, 1-11-2001, XX). '

Pada data (14) muncul kata overacting yang merupakan kata dari bahasa Inggris. Kemunculan kata tersebut merupakan penegasan dari kata-kata sebelumnya yaitu "terlalu serius dalam menanggapi persoalan yang sebenarnya tak perlu diseriuskan’. Demikian pula kemunculan kata magrok yang berasal dari bahasa Jawa pada data (15). Kata tersebut merupakan penegasan dari kata sebelumnya, yaitu kata ‘mangkal’.

4. Penonjolan "Keterpelajaran"

Dalam wacana berita daerah Harian Suara Merdeka, penyebab munculnya campur kode dapat juga karena faktor unt.uk memunjukkan penutur adalah orang yang ‘terpelajar’. Hal ini diketahui dari cara bertutur mereka yang sering menggunakan kata-kata dari bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Pemakaian kata-kata dari bahasa asing dapat juga berkaitan dengan gengsi. Mereka merasa lebih bergengsi menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing. Penyebab campur kode berupa penonjolan rasa "terpelajar" tampak pada data (16) - (21) berikut.


(2)

(16) Sesuai dengan agreement kami beberapa waktu lalu, terhadap persoalan ini harus dilihat kelayakan antara besar PAD dan persentase untukDewan. (SM, 1-6-2001, XV).

(17) Menurut Agung. meski performance anak tunanetra agak terlambat, kemampuan verbalnya lebih menonjol dibandingkan dengan anak normal. (SM, 20-8-2001, XIII).

(18) Untuk memperkuat penyidikan, kami juga memeriksa urine keempat tersangka. (SM/10-10-2001, XVTII).

(19) Proyek itu bersifat integrated di seluruh wilayah kota dan untuk efisiensi. (SM5 10-8-2001, XIII).

(20) Kalau sekarang ini mereka kemudian disuruh pindah begitu saja, bisa dianggap sebagai tindakan tidak manusiawi, apalagi bila lokasi yang baru itu kurang marketable (SM5 1-9-2001, XVI).

(21) Hasil sharing dilaporkan ke panitia untuk diputuskan lewat rapat paripurna. (SM, 10-3-2001, Xlll).

Kata-kata agreement, performance, urine, integrated, marketable, dan sharing pada data (16) — (21) adalah kata-kata yang lazim diucapkan oleh kalangan terpelajar/terdidik dan mempunyai pengetahuan yang luas. Selain itu, penutur juga merasa lebih bergengsi menggunakan kata-kata tersebut.

5. Penonjolan Warna Daerah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, munculnya campur kode dapat disebabkan penutur ingin menonjolkan wama daerah. Caranya adalah dengan memasukkan kode-kode yang berasal dari bahasa daerah. Dengan digunakannya bahasa daerah secara menonjol mereka ingin diakui sebagai orang yang berasal dari daerah bersangkutan, Bahasa daerah yang digunakan dalam wacana berita daerah harian Suara Merdeka adalah bahasa Jawa seperti tampak dalam data berikut.

(22) Hal itu bisa diimplementasikan melalui sikap handarbeni. (SM, 20-5-2001, TV).

(23) Ini sekaligus untuk tamba gela karena beberapa kali Pak Gesang dikecewakan masalah bantuan dana (SM, 10-10-2001, XVIII).

(24) Pengusaha muda yang kini memiiiki omzet Rp30 juta itu menuturkan sebelum mendirikan usaha sendiri ngangsu kawruh di produksi bubut kayu Bojonegoro selama lima tahun (SM, 30-10-2001, XVIII).

Pada data (22) - (24) terdapat kata handarbeni ‘rasa ikut memiliki’, tamba gela ‘obat kecewa’, ngangsu kawruh ‘menimba ilmu merupakan kata-kata yang hanya ada dalam bahasa Jawa.

6. Penyitiran Pendapat

Faktor munculnya campur kode dapat juga disebabkan penutur rnenyitir pendapat yang dikemukakan orang lain. Jadi, apa yang dituturkan hanya berupa sitiran dari pendapat orang


(3)

lain. Data berikut memperjelas hal ini.

(25) Tontowi memperkirakan suara anggota Dewan ting cloneh karena kurang sosialisasi keputusan yang diambil (SM? 20-10-2001, XIX).

(26) Koordinator aksi AH Shawi mengatakan, pada 17 April ratusan nelayan dari berbagai kota di Jateng akan nglurug ke Kantor Puskud Mina Baruna. (SM, 10-4-2001, XHI).

(27) Bupati mengingatkan, para pejabat jangan merasa akan diuyek kesana-kemari, sehubungan dengan adanya SOT baru. (SM, 20-1-2001, XIX).'

(28) Kapolres AKBP Drs. Charles Himler Ngili mengatakan, ketika truk dicegat petugas, sopir dan pengawalnya mengatakan, kalau kayu yang dibawa hanya bonggol jati (SM, 20-10-2001, XDQ.

Kata-kata ting cloneh, nglurug, dittyek, dan bonggol pada data (25) -(28) di atas merupakan sitiran dari pendapat orang lain. Pada data (25) kata ting cloneh 'tidak beraturan’ merupakan sitiran dari pendapat Tontowi, seorang anggota DPRD. Kata nglurug ‘datang’ pada data (26) sitiran dari pendapat Ali Shawi yang merupakan koordinator aksi nelayan dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Begitu pula kata ‘diuyek’ diputar pada data (27) merupakan sitiran pendapat bupati dan kata bonggol pada data (93) sitiran dari pendapat Kapolres AKBP Drs. Charles Himler Ngili.

7. Menghormati Orang yang Dibicarakan

Kemuncuian campur kode dapat juga disebabkan faktor untuk menghormati orang yang dibicarakan. Keinginan untuk menghormati orang yang dibicarakan ini biasanya diwujudkan dalam pemakaian kata dari bahasa Jawa dengan tingkat krama inggil.

(29) Eksekutif ndherek apa yang diputuskan Dewan, sepanjang hal itu tidak menyalahi Tatib DPRD. (SM, 10-4-2001, XVI).

(30) Sebagaimana wayang, dhawuh sang dalang hams ditaati. (SM, 30-6-2001, XVII).

Kata ndherek 'ikut’ dan dhawuh 'perintah’ pada data (29) - (30) digunakan untuk menghormati orang ketiga. Pada data (29) kata ndherek digunakan untuk menghormati eksekutif dan kata dhawuh pada data (30) digunakan untuk menghormati dalang.

E. Simpulan

Berdasarkan uraian disampaikan, simpulan yang dapat penulis ambil adalah bahwa ada tujuh faktor penyebab munculnya campur kode dalam wacana berita daerah di harian Suara Merdeka. Ketujuh faktor penyebab tersebut adalah ketiadaan kata yang tepat, kebiasaan, penegasan, penonjolan “keterpelajaran”, penonjolan warna daerah, penyitiran pendapat, dan menghormati orang yang dibicarakan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.

Alwi, Hasan (Eds.). 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Anwar, H. Rosihan, 1984, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Appel, Renne. 1987. "Code Switching and Code Mixing” dalam Edward Arnold (Ed.)

Language Contact and Bilingualism. Np: Advision of Hoddor and Stoughton, pp. 117- 127.

Assegaff, Dja'far H. 1991. Jurnalistik Masa Kini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Brown, Gillian and George Yule. 1984. Discourse Analysis. London: Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Eresco.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Hoed, Benny H. 1994. "Wacana, Teks., dan Kalimaf” dalam Bahasawan Cendekia.

Jakarta: FSUI dan Intermasa.

Kachru, Braj B. 1978. "Toward Structuring Code Mixing: An Indian Perspective''. International Journal of the Sociology of Language. Vol. 16. Paris-New York: Mouton.

Keraf, Gorys. 1997. Komposisi. Ende-FIores: Husa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 1978. "Keutuhan Wacana” dalam Bahasa dan Sastra. Tahun IV, No. 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pnegembangan Bahasa

---1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende-FIores: Nusa Indah. ---1983. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cerrnin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti Depdiknas.


(5)

Wacana" dalam Pellba edisi 6. Yogyakarta: Kanisius.

Mackey, William F. 1972. The description of Bilingualism dalam Fishman Reading in the Sociology- of Language. Paris: Mouton.

Marasigan, Elisabeth. 1983. Code Switching and Code Mixing in Multilingual Societies. Singapore: Manna Singapore University Press.

Marcellino, M. 1993a. Kata Pinjaman Bahasa Barat di Bahasa Indonesia dalam Harimurti Kridalaksana (ed.). Jakarta: MLT.

Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: SuatuPengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Patmono SK. 1996. Teknik Jurnalistik: Tuntunan Praktis untuk Menjadi Wartawan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1978. Kode dan Alih Kode dalam Widyapanva No. 15. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

---1982. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai PeneJiliai) Bahasa.

--- 1935 Komponen Tutur dalam Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Arcan.

Poedjosoedarmo, Soepomo dan Laginem. 1985. Bahasa Bagongan. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.

Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Ke Arah Memahami Linguistik. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

--- 1993 Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacan University Press. Suwito. 1985. Pengantar Awal Sosiolinguistik, toeri dan Problema. Surakarta: Henary Offset. ... 1987. Berbahasa dalam Situasi Diglosik. Disertasi. Jakarta:

Universitas Indonesia..

Sutana. 1999. “Alih Kode dan Campur Kode” dalam Majalah Djaka Lodhang Yogyakarta: Balai Bahasa.

Sutanto, Sunaryati. 1995. “Campur Kode dan Alih kode daiam Ragam Bahasa Jurnalistik” dalam Sudaryanto (ed.). Semarang: Citra Almamater

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

Thelander, M. "Code-Switching or Code-Mixing" dalam Fishman J.A. (Ed.) International Journal of the Sociology' of Language. Vol 10. Mouton, The Hague-Paris.


(6)