BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah rumah tangga terbentuk sejak terjadinya pernikahan yang sah antara suami dan istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal, dan sejahtera yang dilandasi oleh kasih sayang.
1
Pada dasarnya di dalam sebuah rumah tangga terdapat anggota-anggota keluarga yang terdiri dari suami,
istri, dan anak-anak. Namun dalam cakupan yang lebih luas juga termasuk orang yang memiliki hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan orang
yang bekerja dan menetap dalam rumah tangga dianggap juga sebagai anggota keluarga. Setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan tugas masing-masing,
seperti suami berperan sebagai ayah sekaligus kepala keluarga, yang bertugas untuk mencari nafkah, memberi pendidikan, dan melindungi anggota keluarganya
dan istri berperan sebagai ibu mempunyai tugas untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anaknya.
Peranan rumah tangga sangat penting dalam kehidupan setiap manusia, sebab di dalam kehidupan rumah tanggalah setiap manusia dapat berbagi kasih
sayang, mendapat perlindungan, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di dalam rumah tangga juga setiap manusia saat ia masih bayi pertama kali
berinteraksi dan mengenal lingkungannya. Keadaan dan didikan dalam rumah tangga memegang peranan penting dalam membentuk sikap dan karakter setiap
1
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 57.
anggota keluarga. Sehingga apabila interaksi di dalam rumah tangga dilakukan dengan penuh kasih sayang maka akan memberi pengaruh baik bagi pembentukan
karakter anggota keluarga. Begitu juga sebaliknya, apabila interaksi di dalam keluarga dilakukan dengan kekerasan maka tersebut akan membawa pengaruh
yang buruk bagi pembentukan karakter dan hubungan dalam keluarga tersebut. Namun pada kenyataannya di masyarakat, interaksi yang dilakukan
dengan kekerasan tersebut masih seringkali terjadi dalam sebuah rumah tangga yang diwujudkan dalam bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota
keluarga terhadap anggota keluarganya yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan
penelantaran dalam rumah tangga.
2
Berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014 yang mana sebanyak 68 persen dari
kasus tersebut adalah tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT dan terjadi peningkatan jumlah kasus yakni sebanyak 20.000 kasus dibandingkan
pada tahun 2013.
3
Sehingga dengan semakin tingginya angka tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini dari tahun ke tahun maka korbannya juga
sudah begitu banyak. Dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini, yang seringkali
menjadi korbannya adalah perempuan sebagai istri yang dilakukan oleh atau
2
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
3
http:print.kompas.combaca20150427Laporan-KDRT-Meningkat2c-Penanganan- Belum-Optimal, diakses tanggal 27 April 2015 pukul 17.00 WIB
suaminya.
4
Laki-laki selain mempunyai fisik yang lebih kuat, juga beranggapan bahwa mereka mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi daripada istrinya sehingga
membuat mereka sering kali menganggap perempuan lebih rendah dan dapat saja melakukan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini terjadi disebabkan oleh
faktor-faktor seperti istri tidak dapat memenuhi keinginan suaminya, masalah faktor ekonomi atau faktor-faktor pribadi lainnya dan bahkan hal-hal sepele
sekalipun. Sehingga apabila timbul hal-hal tersebut pihak suami dapat dengan mudah terpancing emosinya lalu melakukan kekerasan terhadap istrinya.
Namun banyak pula dari istri yang menganggap perbuatan yang dilakukan suaminya tersebut merupakan bagian dari urusan pribadi rumah
tangganya saja dan bukan merupakan sebuah tindak pidana walaupun akibat dari terjadinya kekerasan di dalam rumah tangga ini menimbulkan penderitaan yang
besar bagi pihak istri yang menjadi korban baik itu secara fisik maupun psikis dan bahkan mengakibatkan timbulnya halangan dalam menjalankan aktifitas sehari-
hari. Selain itu, kebanyakan dari suami merupakan tulang punggung satu-satunya bagi keluarga sehingga kekerasan yang dialami oleh istri tersebut didiamkan saja
karena tidak ingin kehilangan orang yang memberi nafkah kepada kepada keluarganya. Maka akibat dari adanya anggapan-anggapan tersebut, tidak
mengherankan jumlah tindak kekerasan dalam rumah tangga cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan dari pihak istri yang menjadi korban
terbanyaknya.
4
Konsiderans Menimbang, huruf c, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam teori lingkaran disebutkan mengapa korban kekerasan dalam rumah tangga tetap bertahan atau berupaya mempertahankan perkawinannya.
Pada teori lingkaran tersebut kekerasan terdiri dari 3 tiga tahap yaitu tahap munculnya ketegangan, tahap pemukulan akut, dan tahap bulan madu.
5
Pada tahap munculnya ketegangan yang mungkin disebabkan percekcokan terus menerus atau tidak saling memperhatikan yang kadang-kadang
disertai kekerasan kecil. Namun semua ini dianggap sebagai bumbu perkawinan. Kemudian pada tahap kedua, kekerasan yang terjadi semakin hebat dan
menimbulkan luka fisik yang parah. Kekerasan ini baru terhenti apabila istri pergi dari rumah atau suami sadar apa yang dia lakukan atau salah satu perlu dibawa ke
rumah sakit. Sedangkan pada tahap ketiga yakni tahap bulan madu, suami sering menyesali perbuatannya lalu berjanji untuk tidak mengulangi lagi dan istri
menjadi luluh lalu memaafkan. Itulah sebabnya perempuan memilih bertahan dan cenderung mengabaikan kekerasan yang dialaminya tersebut.
6
Dalam kekerasan dalam rumah tangga salah satu bentuk yang seringkali dilakukan adalah penganiayaan atau kekerasan fisik seperti yang disebutkan
dalam teori lingkaran tersebut. Kekerasan fisik dapat dipahami sebagai perbuatan yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat bagi korbannya.
7
Pelaku kekerasan fisik ini juga sebagian besar dilakukan oleh suami terhadap istrinya.
Bentuk-bentuk kekerasan fisik ini adalah seperti memukul dengan tangan kosong, memukul menggunakan benda, menarik rambut, menendang, mencekik,
5
Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 32.
6
Ibid.
7
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menyundut dengan rokok, memaksa melakukan suatu pekerjaan yang berat, dan sebagainya.
Kekerasan fisik terhadap istri ini merupakan sebuah perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia sejak dahulu dan
mendapat ancaman hukuman yang berat. Hal ini dapat kita lihat di dalam Buku II Bab XX, Pasal 356 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang
menyatakan bahwa hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dapat ditambah sepertiganya jika
kejahatan itu dilakukan kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya, suaminya atau anaknya. Sehingga sudah jelas bahwa kekerasan fisik terhadap istri dalam
rumah tangga sudah diatur sejak zaman Kolonial Belanda, yang mana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini
merupakan peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda. Ancaman hukumannya pun lebih berat daripada penganiayaan atau kekerasan fisik yang dilakukan
kepada orang lain diluar anggota keluarga. Sehingga secara tersirat menunjukkan bahwa peranan rumah tangga ini begitu besar dalam setiap diri manusia dan wajib
dilindungi oleh negara. Namun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
pengaturan mengenai kekerasan fisik dalam rumah tangga masih belum mengatur secara khusus aturan-aturan mengenai perbuatan tersebut. Pengaturan tentang
perbuatan kekerasan fisik terhadap istri hanya diatur dalam Pasal 356 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang aturan dalam pasal ini juga
masih sangat terbatas cakupannya, seperti belum mengenal lingkup rumah tangga,
pemidanaan hanya berupa pidana penjara, belum ada mengatur tentang perlindungan dan hak-hak korban, serta tidak ada mengatur secara spesifik
mengenai bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
8
Sehingga ketentuan mengenai kekerasan fisik terhadap istri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP tersebut dirasa tidak sesuai lagi
dengan tuntuan
dan perkembangan
masyarakat sehingga
pemerintah mengeluarkan suatu aturan yang bersifat khusus yaitu Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berasaskan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia HAM, Kesetaraan
Gender, dan Keadilan Relasi Sosial dan Perlindungan Bagi Korban. Aturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dalam Undang-Undang ini terhadap pelaku
lebih berat. Dalam undang-undang ini juga tidak hanya mengatur mengenai pemidanaan terhadap pelaku saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang lebih spesifik
seperti pencegahan, perlindungan terhadap korban, pemulihan korban, serta mengatur secara rinci bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan ruang
lingkupnya. Undang-undang ini dilahirkan sebagai perwujudan negara dalam memberikan perlindungan dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
9
Salah satu aturan penting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini adalah
adanya rumusan pengaturan mengenai aspek perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk juga kekerasan fisik terhadap istri.
8
http:lbh-apik.or.idkdrt-pentingnya.htm, di akses tanggal 5 April 2015 pukul 20.00 WIB
9
Bagian umum dari penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam penegakan hukum pada kasus kekerasan fisik terhadap istri ini, tidak cukup hanya dengan memberi hukuman pidana saja kepada suami atau
pelaku. Aspek perlindungan terhadap istri sebagai korban juga mempunyai peranan yang penting dan harus diperhatikan dalam setiap proses penegakan
hukum dalam tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri. Kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri tidak saja
menimbulkan akibat luka secara fisik pada korban. Namun juga berakibat pada dampak lain pada korban seperti merasa terancam dan tertekan akibat melaporkan
suaminya ke pihak kepolisian, perasaan takut kekerasan yang dialaminya akan dialami lagi atau semakin parah, malu kepada masyarakat sebab telah
membongkar hal yang dianggap masalah pribadi rumah tangga, sampai dengan takut kehilangan tulang punggung keluarga akibat diceraikan oleh suami ataupun
karena suami masuk penjara. Hal-hal tersebut semakin membuat korban dalam keadaan yang serba
salah dan memperburuk keadaan korban. Sehingga untuk membantu korban dalam menghadapi kondisi yang diakibatkan dari tindakan kekerasan fisik
tersebut dan memulihkan korban ke dalam keadaan semula, maka korban berhak untuk mendapatkan perlindungan seperti dari pihak kepolisian, pelayanan
kesehatan, pekerja sosial, pembimbing rohani, dan pendampingan hukum. Dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang diakibatkan oleh
tindak kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga tersebut, maka dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana tersebut sudah seharusnya
memperhatikan aspek-aspek perlindungan terhadap korban disamping penjatuhan hukuman pidana terhadap pelaku.
Berdasarkan uraian di atas membuat penulis tertarik untuk mengkaji dan meliti lebih mendalam bagaimanakah penerapan aspek perlindungan korban
kekerasan fisik terhadap istri dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku berdasarkan analisis 4 empat putusan Pengadilan Negeri, yakni Putusan Nomor:
66Pid.B2014PN.BJ, Putusan Nomor: 297Pid.Sus2014PN Sgi, Putusan Nomor: 357Pid.Sus2014PN.Lht, dan Putusan Nomor: 15Pid.Sus2015PN
Bantul. Sehingga dengan demikian, skripsi ini diberi judul “Penerapan Ketentuan Pidana Dalam Kekerasan Fisik Terhadap Istri Dintinjau Dari
Aspek Perlindungan Terhadap Korban Studi Terhadap 4 empat Putusan Pengadilan Negeri”.
B. Rumusan Masalah