HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kajian Sosiologi Sastra dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo.

1. Struktur Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Analisis struktur instrinsik novel merupakan sebuah penelitian

yang mendasarkan objeknya pada unsur-unsur internal karya sastra. Unsur- unsur intrinsik yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain: penokohan, alur, latar,sudut pandang, dan tema.

a. Tema

Tema merupakan ide pokok sebuah cerita. Burhan Nurgiantoro (2005:82-83) menggolongkan tema dari tingkat keutamaannya, yaitu: tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita.

Novel ini menyoroti masalah pendidikan yaitu menyoroti wajah pendidikan di mata orang marjinal. Mengenai perjuangan sekelompok anak yang berjuang mati-matian untuk bisa mengenyam pendidikan.

Tema mayor atau tema utama dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah adalah pendidikan. Jika diteliti lebih dalam ternyata novel ini memiliki tema minor yang berbeda-beda namun tidak lepas dari tema utamanya yaitu pendidikan. Pendidikan sebagai tema utama novel ini dapat dilihat dari kebanyakan hal yang mengandung masalah pendidikan yang tersebar merata pada kesuluruhan bab. Seperti kutipan dibawah ini:

Habis gelap terbitlah terang seakan-akan mengandaikan pendidikan itu ibaratnya pelita yang akan menuntun manusia buta, bodoh menuju cahaya ilmu yang gilang gemilang. Seperti pagi itu, selepas membuka kancing atas agar bebas gerah dan angin bisa masuk, mereka tergopoh-gopoh memasuki gerbang sekolah. Mereka bertiga memandang sebentar patung Kartini Habis gelap terbitlah terang seakan-akan mengandaikan pendidikan itu ibaratnya pelita yang akan menuntun manusia buta, bodoh menuju cahaya ilmu yang gilang gemilang. Seperti pagi itu, selepas membuka kancing atas agar bebas gerah dan angin bisa masuk, mereka tergopoh-gopoh memasuki gerbang sekolah. Mereka bertiga memandang sebentar patung Kartini

Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan yang akan menuntun manusia buta dan bodoh menuju cahaya ilmu yang -kata di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat dari pendidikan, yaitu pendidikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik yang mampu menghasilkan manusia yang berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas

Dalam novel ini mengambil tema pendidikan yakni kelas 1-2 khusunya di SD Kartini. Perhatikan kutipan berikut:

Kami berjalan kembali di ruang kelas pertama yang kami lewati tadi. Pak Zainal masuki keruang 1-2 atau kelas satu ruang kedua, bekas kelasku dulu. Kulihat bu Mutia masih menuliskan sesuatu di papan tulis berkapur melihat kehadiaran kami, bu Mutia menghentikan pekerjaanya, ia berusaha ramah kepada pak kepala sekolah yang dating mendadak. (OMDS: 92).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel Orang Miskin Dilarang Sekolah mempunyai tema pendidikan. Sedangkan tema lain yang inti adalah sosial yakni masalah kemiskinan. Kemiskinan yang senantiasa menggelayuti tokoh utama dan mewarnai setiap kisah dalam novel ini. Kemiskinan yang mengiringi perjuangan dalam meraih pendidikan. Seperti dalam kutipan berikut ini.

sekolah, sampai sebesar ini mereka belum pernah sekalipun. Orang tua mereka tak sanggup menyekolahkan karena .tak ada biaya. Sekolah bagi mereka tidak penting dan membuang-buang waktu, tubuh-tubuh kecil mereka kadang diperas untuk membantu orang tua mereka, entah mengangkut kotoran, memeras susu sapi, bahkan sampai mengangkat rumput-rumput di depan moncong sapi. (OMDS: 23)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa kemiskinan menjadi masalah yang pelik bagi ketiga Anak Alam. Di satu sisi Anak Alam ingin sekolah tetapi di sisi lain orang tua mereka tidak mampu membiayai Dari kutipan di atas terlihat bahwa kemiskinan menjadi masalah yang pelik bagi ketiga Anak Alam. Di satu sisi Anak Alam ingin sekolah tetapi di sisi lain orang tua mereka tidak mampu membiayai

kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang selalu di bawah. Kebodohannya membuat pola pikirnya begitu pendek, setiap kali mereka menemui kesusahan, dianggapnya itu sebagai takdir dari yang di atas. Kebodohannya pula yang menyebabkan ia menganggap rejekinya sudah di atur hanya segitu-gitunya, tak pernah nambah. (OMDS: 135).

Kemiskinan yang sudah melekat erat di tubuh ketiga Anak Alam. Kemiskinan yang berakibat pada kebodohan dan kebodohan yang membuat pola pikir menjadi pendek. Selain kemiskinan dalam novel tersebut juga terdapat kisah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh Pambudi mempunyai cinta pertama dengan tokoh Kania. Seperti kutipan berikut ini:

-tiba nama itu yang selalu berdengung-dengung di telinga Yudi, Pambudi, dan Pepeng. Dimanapun tempat dan keadaan nama Kania begitu enak disebut, renyah ditelinga, dan nyaman dihati. Bahkan, baying-bayang Kania hadir dimanapun

menggebu saat ia membayangkan bagaimana dengan tangkasnya Kania membela mereka. Hari pertama mereka sekolah, mereka langsung terkesan kepada Kania, mereka langsung jatuh hati kepada murid berlesung pipit dan suka mengepang rambutnya itu. (OMDS: 109)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa perasaan cinta Pambudi berawal ketika Kania membela Pambudi yang sedang dicela oleh teman-teman sekelasnya. Di mana sejak kejadian itu tumbuhlah perasaan cinta itu.

Perasaan cinta di antara Pambudi dan Kania memaknai Kania sebagai penyemangat Pambudi untuk semakin meningkatkan prestasinya dalam belajar. Hal ini membuktikan bahwa dalam novel ini percintaan tidak terlepas dari tema pokok yaitu mengenai pendidikan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Panuti Sudjiman (198: 55) Perasaan cinta di antara Pambudi dan Kania memaknai Kania sebagai penyemangat Pambudi untuk semakin meningkatkan prestasinya dalam belajar. Hal ini membuktikan bahwa dalam novel ini percintaan tidak terlepas dari tema pokok yaitu mengenai pendidikan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Panuti Sudjiman (198: 55)

semuanya memungkinkan, kita bisa

ita tumbuhkan hal-hal positif aja dalam hal ini, seperti yang pernah aku minta padamu dulu, kalau boleh berhubungan denganku asalkan kau bisa mengimbangiku, kau juga harus pintar, harus rajin belajar, dan nilai-nilai ulangan juga harus baik, dan yang penti

jadi tak terkendali, kau jadi mabuk kepayang. Aku ingin kenal Pam yang sekarang, -216).

Dari kutipan di atas terlihat sikap Kania kepada Pambudi. Kania memacu semangat Pambudi untuk belajar giat. Perasaan cinta di antara keduanya dimaknai positif oleh Kania untuk menumbuhkan hal-hal positif dari hubungan tersebut. Selain percintaan dan masalah kemiskinan. Novel ini juga bertemakan persahabatan yaitu persahabatan Faisal dengan ketiga anak alam (Pambudi, Yudi, Pepeng). Meskipun mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda tetapi mereka tetap bersahabat dengan baik. Mereka rela berkorban satu sama lain dan setia kawan. Faisal yang berasal dari keluarga cukup mampu selalu memikirkan nasib teman-temannya tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tema mayor dalam novel ini adalah pendidikan. Sedangkan tema minornya yaitu kemiskinan, percintaan, dan persahabatan.

b. Sudut pandang

Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi diartikan sebagai strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang merupakan masalah teknis yang digunakan pengarang untuk Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi diartikan sebagai strategi, teknik, dan siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang merupakan masalah teknis yang digunakan pengarang untuk

udut pandang campuran (2005:256-271). Dalam novel ini gaya penceritaanya menggunakan sudut pandang campuran yaitu

a ketiga

pengarang terlibat dalam cerita secara langsung. Pengarang adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dunia, menjelaskan peristiwa yang di alami, dirasakan, serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Seperti kutipan berikut ini:

Aku terus meraut batang lidi hingga batangnya terlihat mengecil dan kurus, aku diam-diam geli mendengar perkataan mereka, ternyata kebodohan membuat kita gampang tertipu, gampang naik pitam, dan mudah sekali diombang-ambingkan (OMDS:45).

apa yang dipikirkannya terhadap tokoh lain terhadap pemabaca. Ia memberikan penilaian bahwa kebodohan membuat orang mudah tertipu, mudah naik pitam, dan mudah terombang-ambing.

Wiwid Prasetyo merupakan pengisah seluruh kejadian yang

a Perhatika kutipan berikut ini: Napas kelegaan mengahampiri kami. Aku yang berada di

belakang bisa menyusul di antara mereka, terengah-engah, dan saling melepaskan lelah di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai.

engambil layangan saja tidak bisa

kita pulang dengan membawa layang-layang itu dan besuk kita Pepeng ikut-

(OMDS: 8).

Selain menggunakan sudut pandang persona pertama, pengarang menambahkan lagi dengan teknik sudut pandang persona k Selain menggunakan sudut pandang persona pertama, pengarang menambahkan lagi dengan teknik sudut pandang persona k

Aneh, mendengar perintah Mat Karmin, bocah itu seperti robot Jepang yang dikendalikan oleh remot control, selanjutnya ia melangkah menghampiri pintu dengan rasa perih di duburnya. Berjalan tertatih-tatih seperti orang habis sunat, kemudian meninggalkan teman-temannya tanpa ekspresi. Panji hanya diam, ia membayangkan seisi langit runtuh menimpanya, masa depannya jelas suram, kesedihannya menggelegak, seluruh air di dalam tubuhnya seakan-akan menghempaskannya ke dalam jurang yang teramat dalam (OMDS: 232).

Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa pengarang menggunakan sudut pandang campuran yakni menggunakan sudut

Hal ini sejalan dengan pernyataan Herman J Waluyo (2002: 184-185) yang menyatakan bahwa ketiga jenis metode ini (akuan, diaan, dan pengarang serbatahu) dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita agar tidak membosankan.

c. Penokohan

Dalam penelitian ini peneliti membedakan tokoh menjadi dua macam, yaitu (a) tokoh utama dan (b) tokoh tambahan. Penggunaan pembagian tokoh ini bertujuan untuk memudahkan dan membedakan mana tokoh yang perlu mendapat perhatian khusus dan mana yang tidak didasarkan pada seberapa jauh keterlibatan seorang tokoh dalam jalinan cerita.

Novel ini memiliki penokohan yang relatif banyak yang berpengaruh terhadap jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Adapun tokoh utama dalam novel ini adalah Faisal, ketiga Anak Alam (Pambudi, Yudi, Pepeng), Kania, Bu Mutia, Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, Yok Bek, dan Karisma. Sedangkan tokoh

Pambudi (Samijan), ayah Yudi (Giatno), ayah Pepeng (Sukisno), Ibu Yudi, Pak Zainal, Candil, A Kiong, Sinyo Dandi, Ustadz Muhsin, Kiai Khadis, Bang Anan, Denok, Warti, Guruh, Fajar, Anton, dan masih banyak lagi. Karena banyak tokoh, paparan hasil penelitian mengenai watak tokoh peneliti batasi hanya pada tokoh-tokoh utama saja tidak dipaparkannya karakter tokoh pendamping tidak akan mengurangi keutuhan isi laporan. Berikut deskripsi tokoh beserta wataknya.

1) Faisal (aku)

Faisal atau Faisal Ridowi nama lengkapnya merupakan pencerita kisah ini. Faisal mempunyai pandangan hidup yang progresif dan berkemauan keras. Hal ini tampak pada kutipan dibawah ini:

-banting demi cita-citaku sendiri yang terlalu kuat untuk terus sekolah, terus belajar dan terus mempelajari sesuatu, serta dibuat penasaran oleh buku. Itu semua demi satu keyakinan, aku akan bangkit dan meraih mimpi itu demi sebuah cita-cita yang akan kure (OMDS:239-240).

Dari kutipan di atas tergambar tekad Faisal untuk dapat meraih cita-cita. Ia rela melakukan apa saja untuk mewujudkan cita- citanya. Selain itu Faisal juga berjiwa pemberani. Terbukti ketika Gedong Sapi diamuk warga, ia berusaha menengahi. Ia tidak takut sedikitpun karena ia membela kebenaran. Ia membela mati-matian nasib ketiga Anak Alam. (OMDS: 154-155)

Secara sosiologis, sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati ia juga berempati dan berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam bias mengenyam pendidikan karena pendidikan adalah pondasi untuk menjalani masa yang akan datang. Ia juga memperhatikan Secara sosiologis, sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati ia juga berempati dan berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam bias mengenyam pendidikan karena pendidikan adalah pondasi untuk menjalani masa yang akan datang. Ia juga memperhatikan

Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek memelihara sapi- sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang Yok Bek-perempuan Cina itu-berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17).

Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan

pekerjanya

semena-mena.

Yok Bek memperlakukan orang tua ketiga Anak Alam dengan semaunya.

2) Pambudi

Pambudi merupakan salah satu Anak Alam. Secara fisik digambarkan bergigi kelinci dan berambut jagung. Perhatikan kutipan berikut:

Si gigi kelinci alias Pambudi mencoba berpikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorangpun dari kami yang merasa terbebani (OMDS: 8) Ya, nggak apa- saja membuat keputusan, rambut jagungnya tersiram cahaya matahari, membuatnya semakin coklat (OMDS: 30).

Gigi kelinci dan rambut inilah yang membedakan Pambudi dengan teman-teman yang lain. Pada semester ini tekad Pambudi terlihat kuat ditampilkan pada waktu ujian. Ia ingin belajar tapi catatannya kurang lengkap. Ia ingin meminjam Kania tapi ia sadar Gigi kelinci dan rambut inilah yang membedakan Pambudi dengan teman-teman yang lain. Pada semester ini tekad Pambudi terlihat kuat ditampilkan pada waktu ujian. Ia ingin belajar tapi catatannya kurang lengkap. Ia ingin meminjam Kania tapi ia sadar

Secara sosiologis, tokoh Pambudi merupakan seorang yang mempunyai jiwa pemimpin. Ia menjadi pemimpin bagi teman- temannya (Anak Alam) dan ia juga rela berkorban untuk temannya. Perhatikan kutipan berikut:

Si gigi kelinci alias Pambudi mencoba berpikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang pun dari kami yang merasa terbebani. Memang, kami tak pernah merasa menganggap Pambudi sebagai pemimpin kami, tetapi secara tak sadar,aku merasa segan dengan Pambudi. Ia sering kali banyak berkorban, selalu memutuskan sesuatu, dan memecahkan persoalan-persoalan pelik (OMDS: 8).

Jiwa pemimpin Pambudi selalu muncul ketika sekumpulan anak miskin ini mengalami masalah. Pambudi adalah pemimpin yang tak pernah diangkat secara langsung. Teman-temannya segan dengan kedewasaan Pambudi dalam menghadapi masalah. Pambudilah yang selalu berkorban untuk teman-teman yang lain.

3) Yudi

Wahyudi atau sering di sapa dengan sebutan Yudi secara fisik digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang berwajah lucu. Yudi seorang pribadi yang ramah, pandai bergaul, tempat berkeluh kesah, dan idenya cemerlang. Seperti kutipan dibawah ini:

Seandainya tidak ada Pambudi yang berjiwa leader, Pepeng yang lucu, pendiam, dan sok aksi, dan Yudi yang selain enak kalau di ajak ngobrol dan kadang idenya cemerlang ini, aku tidak bakal me (OMDS:21).

orang tuanya dan selalu menuruti apa yang menjadi perintah orang tuanya. Seperti saat ia disuruh berhenti sekolah oleh ayahnya. Ia pun menurut meskipun hatinya hancur. Selain itu Yudi juga merupakan anak yang rajin belajar dan rajin membantu orang tuanya. Ayah Yudi bekerja sebagai buruh di peternakan sapi sedangkan ibunya bekerja membuat pisang goreng dan menjualnya keliling kampung. Bahkan ia juga menjual pisang goreng itu ke sekolah untuk dijual pada teman-temannya. Ia tidak malu sedikitpun. Semua yang ia lakukan semata-mata untuk kebahagiaan kedua orang tuanya.

4) Pepeng

Secara fisik, Pepeng digambarkan sebagai seorang anak yang ceking, berambut ikal, berhidung pesek, dan bermata besar. Keanehan itu tergambar jelas di wajah Pepeng sehingga teman- temannya menjulukinya seperti ikan mas koki. Perhatikan kutipan berikut:

Pepeng tersipu malu, seperti gadis kecil yang disanjung puji hingga pipinya berwarna merah, tetapi Pepeng jelas bukan gadis kecil berwajah cantik, ia adalah lelaki ceking berwajah aneh, paduan dari ikan mas koki di matanya dan jambu mete dihidungnya yang nongkrong tetapi tulang hidungnya melesak ke bawah alias pesek (OMDS: 337).

Marpepeng yang biasa dipanggil Pepeng digambarkan secara sosiologis merupakan sosok pemalu. Sifat pemalunya terlihat pada saat perkenalan memasuki sekolah baru.perhatikan kutipan berikut:

Pepeng yang pemalu ini terlihat paling gugup, tubuhnya menggigil hingga keluar keringat dingin semua. Ia benar- benar seperti sesosok artis amatiran yang mengalami demam panggung, dalam hati ia bersumpah lebih memilih memandikan sapi, menyabiti rumput di pematang, dan membersihkan kandangnya dari kotoran daripada disuruh memperkenalkan dirinya di depan kelasnya yang baru. Untuk beberapa lamanya ia hanya terdiam, semua mata tertuju pada dirinya.

membujuk Pepeng.

Hai jangan gitu lho, jelek-jelek namamu itu kan pemberian orang tuamu, harus kau hargai itu, orang tuamu pasti punya

Dari kutipan diatas terlihat sifat pemalu Pepeng. Ia malu untuk memperkenalkan diri. Ia malu dan tidak percaya dengan nama Marpepeng yang disandangnya.

Secara psikologis, Pepeng digambarkan sebagai sosok yang pendiam dibandingkan teman-temannya yaitu Pambudi, Yudi, dan Faisal. Perhatikan kutipan di bawah ini:

Yudi dan Pambudi tidak bias menahan tawa, mereka tak menyangka, Pepeng yang pendiam itu bisa juga marah, tadinya mereka pikir Pepeng tak memganggap aksi perkenalan di depan kelas bukan suatu pengalaman seru tak tahunya justru anak pendiam itu yang lebih banyak memendam kebencian di dalam dadanya (OMDS: 110).

5) Kania

Kania secara fisik digambarkan dengan sosok yang cantik, tubuhnya mungil, kulitnya bersih, rambutnya lurus, dan suka di kepang dua. Perhatikan kutipan berikut:

Tanpa sadar mereka menoleh kearah Kania. Wow, gadis yang canti merah hati itu terukir manis di rambutnya yang hitam. Suatu kesempurnaan yang tiada bandingnya cantik, tetapi juga berhati emas, dan satu lagi ia berani menantang arus di tengah dominasi suara-suara minor tentang anak-anak alam (OMDS:97).

Kania merupakan gadis yang berparas cantik, rajin, pintar, bahkan ia juga jenius. Meskipun ia jenius tapi ia merupakan sosok yang mudah bergaul, bijak, selalu membela kebenaran. Ia berani membela ketiga Anak Alam ketika diolok-olok oleh teman-teman sekelas karena kemiskinan mereka. Perhatikan kutipan berikut: Kania merupakan gadis yang berparas cantik, rajin, pintar, bahkan ia juga jenius. Meskipun ia jenius tapi ia merupakan sosok yang mudah bergaul, bijak, selalu membela kebenaran. Ia berani membela ketiga Anak Alam ketika diolok-olok oleh teman-teman sekelas karena kemiskinan mereka. Perhatikan kutipan berikut:

Hei, Kania rupanya membela mereka ya, hingga berani menentang kam

Aku tak membela siapa-siapa, aku hanya membela kebenaran. Sudahlah, omongan anak-anak jangan dimasukkan hati ya, anak-anak kalau bercanda memang suka

-anak alam, mengobati rasa ragu yang selalu menggelayuti dada-dada mereka untuk kembali ke kehidupan liar mereka (OMDS: 97).

Kutipan di atas memberikan gambaran tentang keberanian Kania dalam membela kebenaran. Ia membela ketiga anak alam yang sedang di olok-olok teman satu kelas. Sedikitpun ia tidak takut.

6) Bu. Mutia

Bu Mutia merupakan guru kelas 1-2 di SD Kartini. Ia mempunyai nama lengkap Mudzalifah Hatta Sandyani. Secara fisik

ia digambarkan berwajah cantik, berbulu mata lentik di balik kaca mata minus, beralis mata tebal, dan rambutnya selalu tersanggul. Perhatikan kutipan berikut:

Sejenak aku bingung dengan kata-kata itu, tetapi setelah aku tanyakan pada Bu Mutia, Mudzalifah Hatta Sandyani lengkapnya, ibu guru dengan bulu mata lentik di balik kaca mata minus, beralis mata tebal, dan rambut yang tersanggul seperti Ibu Kartini itu hanya tersenyum penuh arti (OMDS:60:61).

Secara psikologis, Bu Mutia digambarkan memiliki pribadi yang sederhana, lemah lembut, dan penyayang. Namun ia juga tegas ketika menghadapi sesuatu hal yang memang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Perhatikan kutipan berikut:

Ibu guruku Bu Mutia. Di kelas satu adalah sosok ibu yang tak pernah tergantikan. Beliau adalah sosok penyayang dan lemah lembut. Selama empat puluh tahun mengabdi, sejak sekolah ini dibangun di masa awal kemerdekaan, sudah berapa murid yang di ajarkannya membaca. Aku bisa membaca karena Bu Mutia, aku benar-benar bangga Bu Mutia (OMDS: 89).

ramah dan menjadi teladan bagi murid-muridnya. Ia merupakan seorang pemandu bakat yang baik dan seorang pendidik sejati. Perhatikan kutipan berikut:

Bu Mutia benar-benar seorang pemandu bakat yang luar biasa. Kau bisa melihat dari sorot matanya, ia benar-benar menginginkan mereka menjadi murid-murid luar biasa, menyanjung-nyanjung

mereka,

mengibarkan dan mengunggulkan bakat-bakat terpendam mereka agar nampak berkilat. Mereka merasa senang sebab Bu Mutia benar-benar seorang pendidik sejati. Ia tak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi sorot matanya yang meneduhkan itu

(OMDS: 115).

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana sosok Bu Mutia yang luar biasa. Seorang guru yang berdedikasi tinggi. Ia melakukan apa saja untuk bisa membuat murid-muridnya pandai.

7) Mat Karmin

Mat Karmin digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun, dan bulu sudah tumbuh. Mat Karmin merupakan penjual mainan anak-anak di Kampung Genteng. Ia digambarkan sebagai seorang yang licik. Di samping sifat liciknya ia juga mempunyai sifat pedophilia, yakni seorang yang mempunyai penyimpangan seksual pada seorang anak. Hal ini dikarenakan ia sering bergaul dengan anak kecil.

kepolisian berhasil mengungkap satu kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang pedophilis. Mat Karmin begitu mengagetkan karena lelaki pendiam itu punya kecenderungan aneh. Ia tidak normal karena menyukai anak-anak kecil untuk dijadiakan objek

(OMDS: 235).

Dari kutipan di atas memberi kejelasan mengenai perilaku Mat Karmin yang aneh. Di satu sisi Mat Karmin seorang yang pendiam, namun di sisi lain dia menyimpan perilaku menyimpang yang sangat merugikan orang lain, terlebih anak-anak.

Karisma merupakan teman sekelas anak alam yakni 1-2. Ia adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang juragan sablon yang beromset lumayan. Secara fisik, ia digambarkan sebagai anak laki-laki yang bertubuh kurus, berkulit hitam, dan berambut jagung. Perhatikan kutipan berikut:

Semua pandangan menoleh kearah anak kecil bertubuh tipis seperti triplek, berkulit hitam, dan rambut jagungnya sangat khas sekali (OMDS:392).

Karisma merupakan anak yang usil, pemalas, berotak tumpul, dan saat diberi pelajaran tidak mau mendengarkan. Perhatikan kutipan berikut ini:

Semua murid sibuk mendengarkan secara seksama, tetapi pikiran Kharisma melayang entah kemana, walaupun matanya memandani huruf-huruf pada buku cetak bagi serombongan semut hitam yang sedang berbaris rapi. Pikiran Kharisma melayang dirumahnya, membayangkan keasyikan selepas pulang sekolah ia akan segera main video game bersama teman-

(OMDS:285).

Kutipan di atas menggambarkan bagaimana bentuk kemalasan Kharisma. Ia malas sekolah walaupun masuk sekolah pikirannya tidak pernah fokus ke pelajaran. Akibatnya pada saat kenaikan kelas ia tidak naik kelas.

9) Rena

Rena merupakan teman sekelas anak alam yakni di kelas 1-

2. Ia digambarkan sebagai anak perempuan yang cantik, berasal dari keluarga kaya. Namun di samping itu Rena memiliki sifat ketus, tinggi hati, asosial, pilih-pilih dalam berteman, suka menghina orang lain terutama yang miskin, dan egois. Perhatikan kutipan berikut ini:

Ia sedang di alam mimpi, setengah mengantuk hingga suara daun pintu yang berkeretan merobek alam bawah sadarnya. Rena ternyata yang keluar, menunujukkan sikap yang tak berubah, ketus, dan tinggi hati, apalagi tahu siapa yang Ia sedang di alam mimpi, setengah mengantuk hingga suara daun pintu yang berkeretan merobek alam bawah sadarnya. Rena ternyata yang keluar, menunujukkan sikap yang tak berubah, ketus, dan tinggi hati, apalagi tahu siapa yang

Dari kutipan di atas memberi gambaran bahwa sifat Rena tidak pantas untuk ditiru apalagi ia memiliki sifat sosial yang rendah.

10) Yok Bek

Yok Bek merupakan pemilik peternakan sapi di Gedong Sapi, tempat orang tua ketiga Anak Alam bekerja dan menggantungkan hidup. Ia adalah seorang keturunan Cina. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang sudah uzur. Seperti layaknya kebanyakan orang Cina, ia digambarkan sebagai sosok yang ulet dalam bekerja karena sampai usia uzur ia tetap masih mengurusi peternakan. Perhatikan kutipan berikut:

Yok Bek adalah peternak sapi yang ulet, susu sapinya sudah terkenal se Jawa Tengah dan selalu dipasok setiap hari, ditempatkan dalam termos-termos besar dam diangkut

(OMDS: 16).

Yok Bek merupakan pribadi yang keras, suka memeras, pelit, dan terkadang kasar pada pekerjanya. Sering memaki-maki pekerjanya bila pekerjaanya tidak sempurna. Perhatikan kutipan berikut:

Ayah ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang Yok Bek- Perempuan Cina-itu berdiri berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temenku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17).

Secara sosiologis, ia digambarkan sangat menjaga jarak, tertutup, dan jarang bersosialisasi dengan kaum pribumi di Secara sosiologis, ia digambarkan sangat menjaga jarak, tertutup, dan jarang bersosialisasi dengan kaum pribumi di

Orang-orang Cina memang sengaja menjaga jarak dengan kami, orang Jawa. Budaya mereka sangat tertutup, terhalang oleh tembok-tembok tinggi, getho-getho yang sengaja dibangun untuk menutup diri dari dunia luar. Apa yang mereka lakukan, orang-orang kampung tak pernah tahu, kecuali hanya para pekerja, ketiga ayah temanku itu. Aku sebagai orang luar dan hanya baru-baru ini saja bermain ke Gedong Sapi dibuat terheran-heran, mengapa rumah orang- orang Cina begitu tertutup (OMDS: 18).

11) Pak Cokro

Pak Cokro dalam cerita ini merupakan seorang laki-laki tua, ia merupakan seorang dukun yang sangat dipercaya warga kampung Genteng untuk mengobati penyakit dan tempat berkonsultasi dengan sesuatu yang bersifat gaib. Padahal sebenarnya ia tidak mempunyai kemampuan dalam hal itu. Ia hanya seorang laki-laki tua bodoh yang pekerjaannya hanya menipu dan mengakali warga dengan praktik perdukunannya itu.

d. Plot atau Alur

Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiantoro, 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi tentang urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat dan peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

1) Eksposition (Paparan Awal Cerita)

Awal cerita dimulai dengan penceritaan kemeriahan musim layang-layang di kampung. Cerita awal berlansung siang hari ketika sekumpulan anak kampung bermain layang-layang. Pemainan Awal cerita dimulai dengan penceritaan kemeriahan musim layang-layang di kampung. Cerita awal berlansung siang hari ketika sekumpulan anak kampung bermain layang-layang. Pemainan

Musim layang-layang telah tiba. Di kampong kami, jika musim layang-layang tiba, langit tiba-tiba penuh dengan hiasan warna-warni. Layang-layang yang terbuat dari kertas minyak dan ditarik dengan benang gelasan itu ada yang berbentuk ikan dengan mata yang bisa berkedip-kedip, ular naga, barongsai, capung, Superman, bahkan ada yang

(OMDS: 5).

2) Inciting Moment (Muncul Konflik)

Pengalaman dibohongi ini terjadi karena mereka buta huruf, tidak bisa membaca papan nama yang ada di atas pintu. Di sini mulai disinggung-singgung ketidakbiasaan anak alam dalam hal membaca, sehingga mengakibatkan mereka mudah dibohongi. Mereka tidak bisa sekolah karena mereka memang tidak sekolah. Mereka tidak bisa sekolah karena memang kondisi keluarga mereka yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja kadang masih susah.

Hidup mereka serba kekurangan, rumah mereka sempit serta kumuh, sungguh berbeda dengan kondisi rumah Yok Bek (OMDS: 16-18).

Anak alam berasal dari keluarga buruh yang teramat miskin, orang tuanya seumur hidup mengabdi pada Yok Bek, pemilik peternakan sapi di Gedong Sapi.

Ayah ketiganya bekerja pada Yok Bek, memlihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, (OMDS: 20).

Faisal sangat prihatin melihat nasib ketiga sahabatnya yang sudah sebesar itu tapi belum bisa membaca menulis. Ia kemudian bertekad mengajak ketiga temannya tersebut untuk sekolah, agar tidak buta huruf lagi. Tapi sekali lagi mereka terbentur dengan

.jangankan berpikir sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah (OMDS: 59-66).

Faisal mempunyai tekad yang kuat untuk mengajak ketiga temannya itu bersekolah. Sehingga ia mengusahakan berbagai cara untuk itu, salah satunya dengan menemui Pak Zainal, kepala sekolah SD Kartini untuk memimta keringanan biaya bagi ketiga temannya tersebut. Hingga kemudian anak alam bisa sekolah. Keputusan untuk sekolah bukanlah tanpa resiko. Mereka harus membiayai sendiri, dengan cara sekolah sambil bekerja. Hal ini yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Selama ini mereka yang tahu hanyalah bekerja membantu orang tua untuk makan. Tidak terlintas sama sekali sama mereka harus bekerja keras untuk bisa sekolah. Karena sangat mengandalkan penghasilan orang tua yang hanya jadi buruh Yok Bek (OMDS: 67-82).

3) Ricing Action ( peningkatan konflik)

Yok Bek merupakan seorang pengusaha peternakan sapi di Gedong Sapi. Ia kaya raya. Ia mempunyai tiga orang pekerja yang tak lain adalah ayah ketiga anak alam itu. Tiga orang itulah yang setiap hari mengurus peternakan, mulai dari membersihkan kandang, memberi makan, memerah susu, dan membuat pupuk dari kotoran sapinya. Gedong Sapi letaknya agak jauh dari pemukiman warga agar baunya tidak mengganggu warga kampung Genteng. Tetapi bagaimanapun juga bau itu tetap tercium juga. Hingga kemudian warga mengadu pada ketua RT agar memperingatkan Yok Bek untuk memindahkan peternakan sapinya. Masyarakat tidak tahan karena setiap hari mereka harus melahap bau kotoran sapi (OMDS: 123-127)

Mendengar pengaduan masyarakat itu, Yok Bek sadar bahwa sekarang zaman sudah berubah. Sudah banyak pribumi yang bersekolah. Mereka tidak dapat dibohongi seperti dulu lagi.

segera memanggil orang tua mereka. Dia menyuruh ketiga orang tua itu untuk melarang anak alam sekolah, dengan dalih ia butuh tenaga banyak serta berjanji di kemudian hari akan menyekolahkan ketiga anak alam itu. Ketiga orang tua itu pun bak dicocok hidungnya, mereka menyuruh ketiga anak mereka untuk berhenti sekolah saja. Padahal pada saat itu ketiga anak alam sedang semangat- semangatnya sekolah. Harapan mereka untuk sekolah pun pupus lagi. Mereka patah arang dengan cita-cita yang dibangunnya selama ini. (OMDS: 128-140)

4) Complication (Konflik Semakin Rumit)

Belum habis duka anak alam karena putus sekolah, Gedong Sapi tempat orang tua mereka bekerja menggantungkan hidup, didemo warga sekitar karena karena peringatan yang disampaikan selama ini tidak digubris. Mereka pun bertindak anarki. Merusak apa saja yang ada di rumah Yok Bek (OMDS: 143-145).

5) Climax (Puncak Konflik)

Kehidupan berubah drastis semenjak Gedong Sapi diamuk warga. Yok Bek menjual semua sapi-sapinya. Ia pun hidup ikut anaknya. Hal ini secara otomatis berimbas pada keluarga ketiga anak alam tersebut, yang notabennya mereka selama ini hidup menggantungkan diri dan mengabdi penuh untuk Yok Bek. Duka anak alam semakin mendalam. Sudah digusur malah tambah lagi dengan putus sekolah.

Puncaknya lagi ketika warga dihebohkan dengan perbuatan Mat Karmin yang ternyata Pedophilia. Ia mencabuli anak-anak yang tengah bermain di rumahnya. Hal ini sontak mengundang kemurkaan warga untuk yang kedua kalinya setelah aksi di gedong sapi dulu. Mat Karmin pun digelandang ke balai desa. Rumahnya pun tak lepas dari amuk massa. Massa yang terbakar emosinya pun merusak rumah Mat Karmin. Tak cukup sampai di situ, mereka Puncaknya lagi ketika warga dihebohkan dengan perbuatan Mat Karmin yang ternyata Pedophilia. Ia mencabuli anak-anak yang tengah bermain di rumahnya. Hal ini sontak mengundang kemurkaan warga untuk yang kedua kalinya setelah aksi di gedong sapi dulu. Mat Karmin pun digelandang ke balai desa. Rumahnya pun tak lepas dari amuk massa. Massa yang terbakar emosinya pun merusak rumah Mat Karmin. Tak cukup sampai di situ, mereka

Esok paginya penduduk gempar, banyak orang tua yang merasa kehilangan anaknya, ada lebih dari sepuluh anak yang dinyatakan hilang, dan semua itu dimulai ketika mereka bermain- main ke rumah Mat Karmin. Rumah Mat Karmin digedor-gedor, penduduk yang marah tak sabar dan segera mengobrak-abrik seisi rumah, seluruh rak buku dijungkirbalikkan, rumah berdinding papan itu dicincang dengan kapak dan golok. Tak hanya itu, mereka menggebrak kamar pribadi Mat Karmin yang pengap dan menemukan kejanggalan di sana, bau sperma kering dan beberapa celana dalam laki-laki. Ini semua menjadi barang bukti di kepolisian. Mat Karmin sendiri dibetot tangannya oleh beberapa anak muda, diikat tangannya kebelakang dengan tali tambang, kemudian digelandang ke balai desa dengan segenggam sesal yang tak terperi (OMDS: 233)

6) Falling Action (Konflik Menurun)

Setelah kejadian pengerusakan rumah Yok Bek, Faisal mencari tempat tinggal anak alam. Ternyata mereka tinggal di kolong jembatan. Mereka pun kemudian berbagi cerita. Faisal sangat prihatin dengan kondisi ketiga anak alam tersebut. Kemudian ia kembali menyemangati ketiganya untuk bisa kembali sekolah mewujudkan cita-cita mereka yang sempat terputus (OMDS: 187- 194)

Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk sekolah lagi dengan beban mereka harus membiayai sekolah mereka sendiri. Kembalinya mereka ke sekolah di sambut hangat oleh Bu Mutia dan teman-teman sekelasnya.

7) Denovemen (penyelesaian)

Perjuangan keras mereka akhirnya berhasil, walaupun harus bekerja untuk membiayai sekolahnya sendiri. Dan akhirmya pun Perjuangan keras mereka akhirnya berhasil, walaupun harus bekerja untuk membiayai sekolahnya sendiri. Dan akhirmya pun

e. Latar

1) Latar Tempat

Secara umum novel Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Kejadian dalam novel ini, mulai dari bab pertama sampai terakhir bertempat di Semarang. Perhatikan kutipan Berikut:

Kampung Genteng, itulah asal mula nama kampungku, entah dari mana nam itu berasal, konon menurut ayahku, kampungku itu pemasok genteng yang tiada duanya di

hanya saja nama-nama kampong sepanjang tiga kilometer ke sebuah pasar Semarang terbesar itu, yaitu Pasar Johar, menarikku untuk meneliti nama-nama kampung itu satu persatu (OMDS: 11).

Dari kutipan di atas, nama-nama tempat seperti kampung Genteng dan pasar johar cukup memperkuat bahwa latar tempat cerita dalam novel ini adalah di Semarang. Selain itu, ada beberpa tempat yang paling sering menjadi latar cerita novel ini. (a) Sekolah Dasar Kartini

Sekolah ini merupakan tempat yang paling sering menjadi latar tempat dalam novel ini karena sekolah ini merupakan tempat di mana tokoh utama bersekolah. Perhatikan kutipan berikut ini:

Tak heran, Yudi terkaget-kaget dengan SD Kartini, sekolah kami tak ubahnya seperti sekolah yang baru saja terkena gempa bumi. Mulai dari atapnya, engkau bisa melihat eternit yang jebol. Tembok-tembok di keempat Tak heran, Yudi terkaget-kaget dengan SD Kartini, sekolah kami tak ubahnya seperti sekolah yang baru saja terkena gempa bumi. Mulai dari atapnya, engkau bisa melihat eternit yang jebol. Tembok-tembok di keempat

Dari kutipan di atas SD Kartini digambarkan sebaagai sekolah sederhana dengan kondisi fisiknya yang sudah mulai rapuh, seperti eternit yang jebol, cat yang mulai mengelupas, lantai dari ubin teraso yang sebagian lapisan semen dipinggirannya terkelupas.

(b) Gedong Sapi

Gedong sapi merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk beternak sapi.

Aku menemui ketiga temanku itu disebuah tempat yang di sebut Gedong Sapi. Tiga ratus meter dari tempat tinggalku kearah selatan, melewati lapangan tempat kami beradu layang-layang sebelum menuju ke tempat mereka. Dinamai Gedong Sapi, karena temp (OMDS: 16)

(c) Rumah Yok Bek

Rumah Yok Bek digambarkan sangat megah dan tertutup tembok-tembok tinggi atau getho-getho, yang seolah memberi kesan tidak ingin bergaul dengan sekelilingnya. Perhatikan kutipan berikut ini:

Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berasitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, bersembrangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan

(OMDS: 18).

dalam adalah sebuah rumah yang sejuk dari serapan batu marmer dibawahnya. Di ruang tamu itu terpajang foto, seseorang yang mirip dengan Yok Bek, foto itu dipigura yang

dipinggirnya

bermotif

kembang-kembang, kemudian di kiri kanannya ada lilin-lilin kecil berwarna merah yang menyala redup, kemudian ada dupa di depan fotonya dan berbagai alat-alat sembahyang yang tak aku ketahui namanya satu persatu. Jika kau mengitari pintunya, kau akan kecewa, sebab pintu itu tertutp rapat. Di depan pintunya ada terali besi, mirip pintu lipat yang pernah aku lihat di ruko-ruko sepanjang Mataram (OMDS: 19).

Rumah Yok Bek dijadiakan latar ketika peristiwa warga menyerbu rumah Yok Bek. (d) Rumah Pambudi, Yudi, dan Pepeng

Rumah Pambudi, Yudi, dan Pepeng berada di dalam kawasan Gedong Sapi, karena ayah ketiganya merupakan pekerja Yok Bek. Rumah ketiganya di gambarkan kumuh, pengap, kotor, dan sempit. Sungguh berbeda dengan rumah Yok Bek yang kesemuanya serta indah dan mewah. Perhatikan kutipan berikut ini:

Sejak dari pintu masuk Gedong Sapi tadi, suara kecilku sudah begitu nyaring terdengar, menyibak dedaunan, anslup ke balik dedaunan yang rimbun, lantas menggema hingga ke depan rumah Yok Bek. Mataku terus mengedarkan pandangan sekeliling, tetapi ketiga anak sialan itu tidak nampak sekali batang hidungnya, hingga aku cari-cari ke dalam rumah mereka yang kumuh dan sempit itu hanya ada ranjang dengan kasur kempet dan seprei acak-acakan, dinding-dinding gedhek itu seakan manampung kesendirianku, tetapi aku tak peduli, aku longok sampai ke bawah kolong tempat tidur, ke dapur, ke dalam genthong air, di balik krak

(OMDS: 22).

Kutipan di atas memberikan gambaran kekumuhan rumah Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Sebenarnya rumah mereka tidak layak huni karena sangat sempit dan pengap, Namun Kutipan di atas memberikan gambaran kekumuhan rumah Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Sebenarnya rumah mereka tidak layak huni karena sangat sempit dan pengap, Namun

Latar rumah Faisal berisi peristiwa ketika Faisal jatuh sakit akibat dipukuli warga yang sedang menyerbu Gedong Sapi. Selain tu rumah Faisal juga menjadi latar ketika Faisal Sunat. Perhatikan kutipan berikut ini:

Ketika sampai di rumah, ktak ada pesta, tratak, atau kursi yang berjejer di jalan. Sunatanku diselenggarakan dengan cara seder (OMDS: 436).

(f) Rumah Bu. Mutia

Latar rumah Bu. Mutia berisi peristiwa ketika Pambudi meminjam catatan Bu. Mutia untuk disalin di rumah, karena catatannya banyak yang tertinggal. Perhatikan kutipan berikut:

Sebuah rumah mungil yang nomor rumahnya tertutup oleh anggrek yang menjalar hingga tembok-temboknya. Dari depan, rumah itu begitu rimbun karena beberapa buah pot gantung yang dipajang di luar. Tak ada identitas siapa pemilik rumah itu selain nomor rumah itu sendiri. Pambudi yakin itu rumah Bu Mutia, apalagi ia melihat sepeda motor yang parkir di dalamnya, persis seperti yang di naiki oleh suami Bu Mutia (OMDS: 345)

Bu Mutia kemudian bangkit, ia kemudian masuk ke dalam meninggalkan Pambudi untuk duduk di ruang tamu sendirian. Rasa haus membuatnya tanpa sungkan segera meminum segelas teh yang ada di depannya.

kebebasan tanpa malu- (OMDS: 351).

(g) Podok Baca Pak Cokro

Podok Pak Cokro menjadi latar peristiwa ketika Pak Cokro mengajari warga kampung Genteng belajar membaca dan menulis. Seperti kutipan berikut ini: Podok Pak Cokro menjadi latar peristiwa ketika Pak Cokro mengajari warga kampung Genteng belajar membaca dan menulis. Seperti kutipan berikut ini:

(h) Rumah Mat Karmin

Latar rumah Mat Karmin berisi peristiwa ketika ketiga Anak Alam dan Faisal ingin menantang Mata Karmin beradu layang-layang. Selain itu, rumah Mat Karmin juga digunakan ketika ia menyodomi anak-anak tak berdosa di kampungnya. Perhatikan kutipan berikut:

Kamar Mat Karmin gelap dan pengap, hanya ada sebuah lampu yang setelah di panjar terus menerus selama Sembilan bulan, kini rusak dan tak bisa dinyalakan. Di sekelilingnya berserakan buku-buku sampah yang jelas lagi jenisnya, semua tampak kabur dan gelap. Dalam kegelapan seperti ini susah bagi Panji untuk menerka maksud tersembunyi dari Mat Karmin, yang jelas dalam suasana gelap seperti ini Panji merasa tak enak saja (OMDS: 231).

(i) Kelurahan

Kelurahan berisi saat Faisal mengajar membaca dan menulis untuk warga kampung Genteng yang masih buta huruf. Aku memenuhi janjiku untuk menjadi tentor bagi

orang-orang tua yang tak pernah sekolah sulit membaca. Maka sore itu aku sudah mengayuh sepedaku ke kelurahan, kira-kira dua kilometer dari tempat tinggalku (OMDS: 205).

Ki Hajar Laduni adalah seorang penulis buku mengenai ketrampilan membuat layang-layang. Faisal dan ketiga Anak Alam ingin belajar padanya, sehingga mereka pergi ke Ungaran kerumah Ki Hajar Laduni.

Gogik adalah nama desa dari sebuah wana wisata terkenal di kaki gunung Ungaran yakni air terjun Semiran (OMDS: 33).

Lalu terpampanglah sebuah rumah, beratap dari selonjor batang kelapa, rangkanya dari bambu, temboknya dari gedhek, lantainya dari pasir dan semen yang telah dihaluskan, bebatuan kali kecil-kecil berjajar rapi di halamannya. Rumah itu diapit oleh pohon jati tua yang tumbuh subur di belakang dan meneduhi sekitarnya, cahaya matahari nyaris tak dapat menembus kelebatan pohon, hingga suasana gelap dalam rumah itu

(OMDS: 38).

2) Latar waktu

Latar waktu dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah dikaitkan dengan peristiwa reformasi 1988. Seperti kutipan berikut ini: Yok Bek merasa terusik dengan tidur siangnya akibat polah

anak-anak alam yang cekikikan dalam bekerja membantu ayah mereka di dalam kandang sapi. Matanya tak juga terpejam, pikirannya masih melayang kemana-mana memikirkan nasib kehidupannya yang sungguh tragis. Tempat usahanya beternak sapi mulai diganggu warga, mereka mulai berani menganggapnya bukan tokoh penting dalam Kampung Genteng setelah reformasi 1988 (OMDS: 123).

3) Latar sosial (a) Adat istiadat dan kepercayaan

Adat istiadat merupakan sebagai perilaku yang turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Adapun adat istiadat yang menjadi latar novel itu yaitu adat istiadat Adat istiadat merupakan sebagai perilaku yang turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Adapun adat istiadat yang menjadi latar novel itu yaitu adat istiadat

Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang rata- rata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian memperhatikan sikapnya yang mundhuk-mundhuk, dengan badan mencoba dibungkukkan sedikit sambil melewatiku. Ayah menasihatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannnya (OMDS: 415).

Kutipan di atas memberikan informasi mengenai adat istiadat orang Jawa. Meskipun yang muda lebih berilmu, tapi tetap harus menghormati yang lebih tua. Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal kepada Faisal agar jangan suka diperlakukan mundhuk-mundhuk oleh muridnya.

Selain berlatarkan masyarakat Jawa, pengarang juga memberikan sentuhan lain dalam novelnya, yakni pemunculan budaya Cina pinggiran, yang dalam novel ini digambarkan menjaga jarak dengan warga pribumi, tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.

Aku kemudian berlari-lari ingin segera sampai ketempat mereka kali ini. Setelah melewati tanah lapang, tembok- tembok Gedong Sapi kira-kira setinggi tiga meteran itu seakan-akan sebuah benteng Belanda, atau bisa juga getho-getho kaum Cina yang sengaja memisahkan diri dari orang orang Jawa, apalagi dari perkampungan kami yang sempit. Orang Jawa itu identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan primitif, bahkan pembagian pekerjaan pun pasti kebahagiaan pekerja-pekerjaan kotor, sepeti ketiga temanku yang telah mengabdi kepada Yok Bek Aku kemudian berlari-lari ingin segera sampai ketempat mereka kali ini. Setelah melewati tanah lapang, tembok- tembok Gedong Sapi kira-kira setinggi tiga meteran itu seakan-akan sebuah benteng Belanda, atau bisa juga getho-getho kaum Cina yang sengaja memisahkan diri dari orang orang Jawa, apalagi dari perkampungan kami yang sempit. Orang Jawa itu identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan primitif, bahkan pembagian pekerjaan pun pasti kebahagiaan pekerja-pekerjaan kotor, sepeti ketiga temanku yang telah mengabdi kepada Yok Bek

(b) Bahasa

Dalam novel Orang Miskin Dilarang Semarang, Jawa Tengah, serta pengarangnya juga asli Semarang. Maka dalam novel ini banyak diwarnai istilah bahasa Jawa. Seperti kutipan di bawah ini:

Aku nyelusup di anatara tumpukan kertas hingga nyundul sampai ke atas rumah (OMDS: 14).

Dari kata nyelusup, dan nyundul menyatakan bahwa cerita ini berlatar di pulau Jawa. Selain bahasa jawa juga terdapat istilah dalam bahasa Cina seperti kutipan di bawah ini:

Owe perlu nyiapin tempatnya dulu, nggak bisa sekali

Engkoh susu-susu sapi Engkoh untuk perbaikan gizi sehari saja, agar anak- (OMDS: 125)

(c) Kebiasaan

Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat Jawa pada umumnya yang tidak lepas dari keadaan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal, yakni kaum buruh yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras setengah mati. Ayah ketiga anak alam setiap hari bekerja mengurus peternakan sapi milik Yok Bek. Jadi kebiasaan mereka sehari-hari hanya begitu-begitu saja seperti memandikan sapi, membersihkan kotoran sapi, membajak tanah, dan mencari Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat Jawa pada umumnya yang tidak lepas dari keadaan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal, yakni kaum buruh yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras setengah mati. Ayah ketiga anak alam setiap hari bekerja mengurus peternakan sapi milik Yok Bek. Jadi kebiasaan mereka sehari-hari hanya begitu-begitu saja seperti memandikan sapi, membersihkan kotoran sapi, membajak tanah, dan mencari

Pagi yang cerah, ayah Pambudi, Pepeng, dan Yudi kembali bekerja seperti biasa. Pagi itu ayah Yudi, Giatno, membersihkan kandang yang dipenuhi kotoran dan membuat sapi-sapi itu jadi tak nyaman. Lalat-lalat hijau yang berpesta kotoran dan membuat sapi-sapi itu jadi tak nyaman. Sementara Samijan, ayah Pambudi sibuk menggososk-gosok punggung sapi yang warnanya mulai kecoklatan karena terkena kotoran, peluhnya bercucuran hingga ia menyeka dengan tangannya yang basah, ia tampak kepayahan sekali. Sementara itu Sukisno, ayah Pepeng sibuk membajak tanah pupuk dengan cangkulnya (OMDS: 135).

(d) Pandangan hidup tokoh

Tokoh utama dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah adalah Faisal (aku). Di sini peneliti mengangkat pandangan hidup tokoh utama yaitu Faisal. Faisal mempunyai jiwa sosial yang tinggi, berkemauan yang keras untuk menata masa depannya. Melalui pandangan hidup tokohnya, novel ini memberi motivasi dan inspirasi kepada pembaca untuk lebih berpikiran maju dan berkemauan keras untuk mengejar mimpi.

Tubuhku telah terbanting-banting demi cita-citaku sendiri yang terlalu kuat untuk terus sekolah, terus belajar dan mempelajari sesuatu, serta dibuat penasaran oleh buku. Itu semua demi satu keyakinan, aku akan bangkit dan meraih mimpi itu demi sebuah cita-cita yang akan ku rengkuh kelak (OMDS: 239-240).

Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak bersekolah, ia sangat simpati pada ketiga anak alam dan berusaha agar bagaimana ketiga anak alam tersebut dapat mengenyam pendidikan dengan layak. Faisal sangat paham Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak bersekolah, ia sangat simpati pada ketiga anak alam dan berusaha agar bagaimana ketiga anak alam tersebut dapat mengenyam pendidikan dengan layak. Faisal sangat paham

Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang yok Bek-perempuan Cina itu berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, di bentak- bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17).

4) Amanat

Novel ini mengajarkan untuk tidak takut bermimpi, memberi motivasi yang kuat kepada para pembaca agar tidak mudah menyerah dengan keadaan. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Pasti ada jalan untuk meraih sebuah cita-cita.

Kemiskinan tidak akan menghalangi kita untuk terus maju, engkau harus bisa membuktikan pada orang-orang kalau kita mampu. Tekad itu yang membuat Pambudi mampu menantang jalan raya, menaklukkan rintangan yang sesungguhnya hanya sebesar biji sawi saja. Jika kita mau menguatkan tekad kita, semua masalah akan terasa mudah. Keinginan kita untuk terus bersekolah setinggi mungkin untuk menuntaskan cita-cita yang sepertinya sulit terwujud,

(OMDS: 317-318).

Setiap karya sastra akan selalu menceritakan kehidupan masyarakat, baik itu yang negatif atau positif, fiksi atau non fiksi merupakan cerminan masyarakat itu sendiri. Salah satu peran karya sastra adalah memaparkan kehidupan masyarakat antara orang kaya dan miskin. Oleh karena itu kehidupan kaya dan miskin selalu menjadi hal yang utama dalam penulisan karya sastra. Berkaitan dengan hal tersebut akan terjadi juga lapisan sosial para tokohnya dalam karya nsastra tersebut.

Di dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo, pengarang menampilkan lapisan sosial dari segi kedudukan ekonomi (kaya dan miskin) yang dimiliki para tokohnya. Hal ini dapat ditemukan dalam kutipan berikut:

Ayah ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang Yok Bek-perempuan Cina itu- berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak- (OMDS: 17).

Dari sini aku belajar lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli

(OMDS: 17).

Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa orang yang memliki kedudukan dan berkuasa selalu dihormati. Uang dapat membeli apa pun yang dia inginkan walaupun kehormatan dan harga diri. Pekerja harus menghormati majikan di mana ia bekerja. Sangat terlihat sekali perbedaan si kaya dan si miskin dalam kutipan di atas. Lapisan yang terdapat dalam kalimat di atas adalah lapisan atas atau majikan terhadap lapisan bawah atau pembantu.

Ketiganya menempati sebuah rumah berpetak-petak dengan atap dari seng dan panas, dan tak ada lantai ubin, dindingnya dari anyaman bambu (gedhek), sedangkan petakan petakan itu tak lebih luas dari tempat tidur di rumahku, bisa dibayangkan sendiri kan sempitnya, belum lagi ruangan itu menjadi satu antara ruang tidur dan dapur. Tak ada kompor, hanya batu bata yang ditumpuk- Ketiganya menempati sebuah rumah berpetak-petak dengan atap dari seng dan panas, dan tak ada lantai ubin, dindingnya dari anyaman bambu (gedhek), sedangkan petakan petakan itu tak lebih luas dari tempat tidur di rumahku, bisa dibayangkan sendiri kan sempitnya, belum lagi ruangan itu menjadi satu antara ruang tidur dan dapur. Tak ada kompor, hanya batu bata yang ditumpuk-

Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama kota Semarang yang berarsitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, bersebrangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit. Jurang kesenjangan itu sedemikian lebar, hingga aku kerap menangis sendiri menyaksikan keadaan tiga temanku yang sama sekali tidak bersedih dengan keadaannya, mereka justru tertawa, gembira, dan menatap matahari esok dengan muka sumringah (OMDS: 18).

Kutipan di atas menggambarkan betapa jauhnya perbedaan antara si kaya dan si miskin dilihat dari segi ekonomi yaitu tempat tinggal yang ditempati. Orang kaya bisa membeli apa yang ia inginkan, menempati rumah yang serba mewah, dan melakukan sesuatu sesuka hatinya. Berbeda dengan orang miskin yang harus hidup serba kekurangan dan tidak jarang untuk dihina oleh majikannya. Sekalipun kesenjangan ekonomi sangat terlihat dalam kalimat di atas tapi kebahagiaan di dapat bukan hanya dari uang tetapi ketenangan jiwa orang tersebut.

3. Nilai Pendidikan Sosial Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah

Novel Orang Miskin Di Larang Sekolah banyak menyoroti fenomena masyarakat kampung Genteng, yaitu merupan kampung kecil di Semarang pada waktu itu, yakni menyoroti ketimpangan sosial yang ada dalam tatatan masyarakat tersebut. Ketimpangan sosial itu tampak adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan antara pendatang dari Cina yang hidup makmur dengan masyarakat asli kampung Genteng yang mayoritas masyarakatanya berada di bawah garis kemiskinan.

Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari novel Orang Miskin Dilarang Sekolah terutama dari segi pelajaran sosialnya. Hal ini terlihat dari pemikiran juga perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh Faisal. Faisal mempunyai solidaritas dan jiwa sosial yang tinggi. Ia peduli dengan Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari novel Orang Miskin Dilarang Sekolah terutama dari segi pelajaran sosialnya. Hal ini terlihat dari pemikiran juga perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh Faisal. Faisal mempunyai solidaritas dan jiwa sosial yang tinggi. Ia peduli dengan

Aku tak tahu nasib mereka, yang jelas kehidupan mereka akan semakin mengenaskan, masa depan yang tak jelas, kehidupan yang suram, karena tak ada yang bisa diharapkan selain cita-citanya itu. Beberapa bulan ini mereka mulai sekolah, mereka kelihatan semangat sekali, tetapi orang-orang kampung itu mengubur semangatnya dan mencampakkannya di tempat sampah. Kau bisa bayangkan sendiri bagaimana kecewanya aku, aku bersusah payah mengembalikan rasa percaya dirinya, aku juga menjamin pada kepala sekolah kalau anak-anak alam ini sungguh-sungguh untuk

OMDS: 165-166)

Selain tokoh Faisal ada juga tokoh Pak Cokro yang mempunyai kepedulian dengan sesama. Setelah ia pensiun dari praktik perdukunannya ia ingin memberikan sesuatu yang berharga bagi kampungnya, ia bercita- cita untuk membuat kampung Genteng menjadi kampung melek huruf. Perhatikan kutipan berikut ini:

pengobatan itu kepada seluruh muridnya. Sebab kehidupan ini seperti orang berlari menuju finish, kita semua sedang menuju kematian, tetapi di dalam proses situ banyak orang yang terlena, ada yang menghabiskan waktunya dengan tidur sepanjang waktu. Bias dibayangkan sendiri, jika sehari semalam kita tidur delapan jam, berapa tahun umur kita telah sia-sia?(OMDS:222)

Selain itu, pengarang juga menyoroti masalah sosial yakni kesenjangan sosial yang ada dalam tatanan masyarakat di Semarang khususnya Gedong Sapi. Kesenjangan itu tampak antara kaum Cina pinggiran dengan masyarakat pribumi, yaitu Yok Bek dengan keluarga anak alam. Perhatikan kutipan berikut ini:

Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama kota Semarang yang berarsitektur campuran italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama kota Semarang yang berarsitektur campuran italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh,

Jurang pemisah ini sudah sangat biasa terjadi dalam masyarakat kita. Orang kaya biasanya bersikap sombong acuh tak acuh terhadap orang yang mereka anggap kurang sederajat. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi jika orang tua memberikan pengertian yang luas kepada anak-anak mereka untuk senantiasa bersosialisasi dengan baik kepada sesama dengan tidak membedakan si kaya dan si miskin. Orang kaya hendaknya senantiasa membantu yang kurang mampu dan orang yang kurang mampu hendaknya berusaha agar tidak diremehkan dengan orang kaya agar kesenjangan sosial tidak semakin berkembang dalam masyarakat.

Psikologi pengarang dan psikologi pembaca pengarang menganggap dunia pendidikan dan dunia kepenulisan adalah dua dunia yang saling melengkapi. Ia punya mimpi seandainya seorang pendidik memiliki keahlian menulis maka generasi muda kita tidak akan terseret dalam jurang degradasi moral yang amat dalam. Sehingga Ia berusaha untuk menyatukan kedua dunia tersebut. Novel ini ditujukan kepada semua kalangan agar kita lebih peka terhadap nasib orang miskin, terutama dalam

sistematisasi kemiskinan di negeri ini, dari sudut pandang sang bocah yang

B. Analisis Makna Gaya Bahasa Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo Pemakaian gaya bahasa dalam novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo setelah dilakukan teknik analisis dokumen data yang diperoleh sebanyak data, berupa kalimat yang mengandung gaya bahasa yang terdiri dari jenis gaya bahasa, berikut akan dianalisis makna yang terkandung dari tiap-tiap gaya bahasa.

a. Ibu dengan daster hijau yang bersimbah peluh dan tangan yang berbau diterjen itu menunujuk kami. (hal 6)

Hiperbola adalah ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan baik jumlah, ukuran, atau sifatnya. Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan yang berlebihan. Kata yang menunujukkan bahwa kalimat diatas termasuk jenis kalimat yang menggunakan gaya bahasa hiperbola terletak pada kata bersimbah peluh. Makna kalimat diatas adalah Ibu dengan daster hijau yang berkeringat dan tangan yang berbau diterjen itu menunujuk kami.

b. Pada saat itulah, sebuah suara mengguntur di telingaku.(hal. 7) Hiperbola adalah ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang

sebenarnya dimaksudkan baik jumlah, ukuran, atau sifatnya. Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan yang berlebihan. Kata yang menunujukkan bahwa kalimat diatas termasuk jenis kalimat yang menggunakan gaya bahasa hiperbola terletak pada kata mengguntur. Makna kalimat diatas adalah pada saat itu ada suara keras kudengar.

c. Tiba-tiba suara Pepeng memecah telinga. (hal. 26) Hiperbola adalah ungkapan kata yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan baik jumlah, ukuran, atau sifatnya. Kalimat

diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan yang berlebihan. Pada kalimat diatas dinyatakan suara Pepeng memecah telinga , maksud dari kalimat tersebut adalah suara Pepeng yang telalu keras.

d. Sorot matanya yang tajam membuatku tak mampu memandang wajahnya. (hal 85). Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena

mengandung pernyataan yang berlebihan. Sorot matanya yang tajam dan tak mampu memandang adalah kata kata yang dinyatakan secara mengandung pernyataan yang berlebihan. Sorot matanya yang tajam dan tak mampu memandang adalah kata kata yang dinyatakan secara

e. Segebung semangat menyala di hati kami. (hal. 87) Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan yang berlebihan. Segebung semangat menyala

jika apabila dilihat kenyataannya hal seperti itu tidak pernah ada. Berdasarkan konteksnya makna kalimat diatas adalah semangat yang besar di hati kami.

f. Alloh Maha Pengampun, akan mengampuni dosa manusia seluas lautan ataupun setinggi gunung. (hal. 100) Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena

mengandung pernyataan yang berlebihan. Mengampuni dosa manusia seluas lautan ataupun setinggi gunung pada kalimat tersebut merupakan bahasa hiperbola yang mempunyai makna dosa yang besar. Makna kalimat diatas adalah Alloh Maha Pengampun, akan mengampuni dosa manusia yang besar.

g. Pintu berlapis dari kayu jati dan lapisan depannya adalah teralis besi itu disibakkan hingga menimbulkan suara logam beradu yang

memekakkan telinga sekaligus menyentak perhatian mereka. (ha.l 135) Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat diatas karena mengandung pernyataan mengenai suatu hal yang berlebihan. Memekakkan telinga adalah kata yangg mengandung bahasa hiperbola yang bermakna terdengar nyaring ditelinga atau suara yang sangat keras. Makna kalimat diatas adalah pintu berlapis dari kayu jati dan lapisan depannya adalah teralis besi itu disibakkan hingga menimbulkan suara logam beradu yang menimbulkan suara yang keras di telinga sekaligus menyentak perhatian mereka.

h. Lantai ubin itu begitu dingin terasa mencucuk tulang sampai ke kepala. (hal. 137)

Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan yang berlebihan. Mencucuk tulang sampai ke Kalimat diatas menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan yang berlebihan. Mencucuk tulang sampai ke

i. Bergemuruh layaknya ribuan tawon mengamuk. (151) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola karena melebih-

lebihkan keadaan sebenarnya. Kata gemuruh digambarkan seperti ribuan tawon mengamuk. Pada kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola. Makna kalimat di atas adalah melukiskan suara gemuruh yang sangat keras.

j. Suara-suara itu membelah angkasa, memecah langit, menjadi mendung yang diseret angin, bertabrakan ion positif dan negatif, lantas guntur

menggelegar. (hal. 151) Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat diatas karena mengandung pernyataan mengenai suatu hal yang berlebihan. Dalam kenyataan tidak mungkin terjadi ada suara yang mampu membelah angkasa, memecah langit, menyeret angin, dan menimbulkan guntur. Berdasarkan konteksnya makna kalimat diatas adalah suara yang keras.

k. Suaranya benar-benar memekakkan telinga. (hal. 151)

Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat diatas karena mengandung pernyataan mengenai suatu hal yang berlebihan. Dalam kenyataan tidak mungkin terjadi ada suara yang mampu memekakkan telinga. Makna kalimat di atas dalah suara yang sangat keras.

l. Semburan air mata deras di pipinya. (hal. 176) Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat diatas karena

mengandung pernyataan mengenai suatu hal yang berlebihan. Pada kalimat di atas dinyatakan semburan air mata deras di pipinya, maksudnya adalah ia menangis tersedu-sedu.

Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat di atas karena mengandung pernyataan mengenai suatu hal yang berlebihan. Dalam kenyataan tidak mungkin terjadi jiwa yang di sayat-sayat. Seperti yang kita ketahui bahwa jiwa merupakan ruh yang tidak mungkin dapat di sayat. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah dalam keadaan yang sangat sedih.

n. Tetapi meledaklah tangis Pambudi, tangis yang mengharu-biru dan memecah langit. (hal 191)

Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat diatas karena mengandung pernyataan mengenai suatu hal yang berlebihan. Dalam kenyataan tidak mungkin terjadi ada tangis yang meledak dan suara tangis yang dapat memecah tangis. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah Pambudi menangis dengan kerasnya.

o. Dengan peluh membanjir di tubuh dan serbuk kapur yang kadang bisa memerihkan mata menandakan kalau iya begitu sungguh-sungguh agar

murid yang diajarinya paham. (hal. 200) Kalimat tersebut termasuk jenis kalimat yang menggunakan gaya bahasa hiperbola karena menyatakan sesuatu yang ada secara berlebihan. Peluh membanjir dalam konteks ini mempunyai arti banyak mengeluarkan keringat.

p. Keringat mereka membanjir. (hal. 212) Kalimat tersebut termasuk jenis kalimat yang menggunakan gaya bahasa hiperbola karena menyatakan sesuatu yang ada secara

berlebihan. Peluh membanjir dalam konteks ini mempunyai arti banyak mengeluarkan keringat.

q. Walaupun diejek oleh seluruh manusia di seluruh dunia. (hal. 264) Hiperbola adalah gaya bahasa yang membesar-besarkan sesuatu dari hal yang sebenarnya. Dikatakan manusia di seluruh dunia yang mengejek

tetapi kenyataannya hanya beberapa saja. Kalimat tersebut membesar- besarkan dari maksud yang ada.

melengking. (hal. 268) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa hiperbola karena mengandung pernyataan mengenai suatu hal berlebihan. Makna kalimat di atas adalah tangis yang mulanya biasa-biasa saja kemudian menangis secara terisak-isak. Pengarang menggunakan kata sayatan melengking bertujuan untuk menonjolkan kejadian yang diceritakan.

s. Kita akan hidup seribu tahun lagi. (hal. 339) Pemanfaatan gaya bahasa hiperbola nampak pada kalimat tersebut

karena menyatakan sesuatu yang ada secara berlebihan. hidup seribu tahun lagi dalam konteks ini adalah bahwa hidup lebih lama lagi maka dilukiskan ingin hidup seribu tahun lagi.

2. Gaya Bahasa Paradoks

a. Di depannya terdampar taman-taman gedong sapi yang ditumbuhi aneka macam tanaman liar. Tetapi, ayah Pepeng tak menjumpai apa pun selain kekosongan yang melompong disudut matanya. (hal. 79)

Pemanfaatan gaya bahasa paradoks tampak pada kalimat di atas karena mengandung pernyataan bertentangan namun mengandung kebenaran. Dalam konteks ini jelas sekali terlihat pertentangan antara frasa Di depannya terdampar taman-taman gedong sapi yang ditumbuhi aneka macam tanaman liar dengan frasa ayah Pepeng tak menjumpai apa pun selain kekosongan yang melompong disudut matanya. Akan tetapi hal tersebut mengandung kebenaran karena ayah Pepeng merasa beban bertumpuk-tumpuk di kepalanya. Kebodohan dan beban hidup membuatnya tak dapat berpikir jernih, mana yang terbaik buat dirinya kelak ataupun untuk kebanggaan dirinya sebagai orang tua.

3. Gaya Bahasa Personifikasi

a. Lalu galah sepanjang dua meter itu mulai menggapai-gapai layang- layang yang menari-nari dan berputar-putar tak tentu arah. (hal. 6)

Personifikasi adalah gaya bahasa yang membandingkan benda mati atau tidak dapat bergerak seolah olah bernyawa dan dapat berperilaku

personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Pada kalimat Lalu galah sepanjang dua meter itu mulai menggapai-gapai layang-layang yang menari-nari dan berputar-putar tak tentu arah ditemukan kata yang acuannya bukan manusia tetapi diberi ciri insani, yaitu galah sepanjang dua meter yang dinyatakan bisa menggapai-gapai layang- layang. Menggapai-gapai merupakan tindakan manusia melalui indra peraba yaitu tangan. Pemanfaatan gaya bahasa personifikasi ini bertujuan agar alur cerita lebih hidup. Makna kalimat di atas melukiskan galah yag digunakan Faisal untuk mengambil layang- layang yang tersangkut di kabel listrik. Kalimat di atas tidak akan terlihat bernyawa apabila pengarang hanya menulis kalimat galah digunakan untuk mengambil layang-layang. Oleh karena itu, pengarang membubuhkan kata-kata yang mengacu pada sifat-sifat insani agar nampak nilai estetisnya. Layang-layang dinyatakan bisa menari-nari dan berputar-putar. Layang-layang tidak mempunyai kemampuan untuk menari-nari dan berputar-putar selayaknya manusia apabila mendengar suara musik. Menari-nari dan berputar-putar dalam konteks ini berarti layang-layang bergerak-gerak karena ditiup angin. Nilai rasanya akan berkurang apabila dinyatakan dengan kalimat layang-layang bergerak ditiup angin. Oleh karena itu, agar mencapai nilai estetis pengarang menggunakan Menari-nari dan berputar-putar untuk menggantikan kata bergerak.

b. Matahari merayap ke barat. (hal. 25) Personifikasi adalah gaya bahasa yang menganggap benda mati dapat

bertindak seperti manusia. Matahari dilukiskan seperti makluk hidup yang dapat merayap. Merayap biasanya dapat dilakukan oleh hewan seperti cicak yang dapat merayap di dinding. Maksud kalimat matahari merayap kebarat adalah hari yang mulai senja karena matahari sudah bertindak seperti manusia. Matahari dilukiskan seperti makluk hidup yang dapat merayap. Merayap biasanya dapat dilakukan oleh hewan seperti cicak yang dapat merayap di dinding. Maksud kalimat matahari merayap kebarat adalah hari yang mulai senja karena matahari sudah

c. Rambut jagungnya tersiram cahaya matahari, membuatnya semakin coklat. (hal. 30) Kalimat tersebut bersifat personifikasi karena menggambarkan hal yang

tidak bernyawa, yaitu matahari seolah-olah memiliki sifat dan dapat bertindak selayaknya manusia. Kalimat di atas menggambarkan sinar matahari yang dapat menyirami rambut Pambudi. Berbeda nilai rasanya apabila pengarang mengatakannya dengan kalimat rambut jagungnya kepanasan terkena cahaya matahari. Melalui pelukisan seperti ini, pengarang ingin alur cerita yang disajikan lebih imajinatif.

d. Merasakan bagaimana saat guyuran air terjun itu memaku tubuhnya dengan palu godam raksasa. (hal. 43) Personifikasi adalah gaya bahasa yang menganggap benda mati dapat

bertindak seperti manusia. Air terjun dikatakan dapat memaku tubuh dengan palu godam raksasa, sedangkan yang kita tahu bahwa air terjun adalah benda mati yang tidak dapat bertindak seperti manusia. Maksud dari konteks kalimat di atas adalah air terjun yang jatuh di atas tubuh terasa seperti memaku-maku tubuh. Pengarang menggunakan kata memaku agar cerita tampak lebih hidup dan memunculkan nilai estetisnya.

e. Hingga senja merayap dan semburat merah di cakrawala. (hal. 49) Kalimat tersebut bermajas personifikasi. Senja yang merupakan benda mati diibaratakan mempunyai sifat seperti makluk hidup yaitu binatang sejenis cicak dan sebagainya yang dapat merayap. Pengarang memilih

kata merayap karena mengibaratkan senja perlahan mulai berubah menjadi malam. Pemilihan kata merayap dalam kalimat di atas mewakili kata efek estetis yang akan disampaikan pengarang.

bocor dan menyebabkan pemanasan global. (hal. 52 Polutan dianggap sebagai makluk hidup yaitu sejenis binatang karnifora yang mencabik-cabik mangsa dengan gigi taringnya. Maksud dari kata mencabik-cabik adalah mencemari. Kalimat di atas akan terkesan biasa saja yakni jauh dari kesan estetis jika menggunakan kalimat Polutan dari asap itu juga mencemari ozon di atmosfer sehingga bocor dan menyebabkan pemanasan global karena kalimat tersebut tidak akan mewakili pesan yang akan disampaikan pengarang kepada pembaca. Pesan yang terkandung dalam kalimat di atas adalah hendaknya manusia lebih menjaga kelestarian alam agar tidak mencemari lingkungan dengan asap kendaraan bermotor dan limbah-limbah pabrik agar terjadi pemanasan global yang akan berdampak pada seluruh makluk hidup di bumi.

g. Di dalam timbunan gelap yang mengungkung dirinya itu ia merasakan kedamaian, hanya diasuh dan dibesarkan oleh kegelapan yang melumut

malu. (hal. 55) Kalimat tersebut mengandung kaya bahasa personifakasi karena menganggap benda mati seolah-olah dapat bertindak seperti manusia dan bertujuan untuk mendekatkan gagasan dengan pengalaman manusia. Gelap dilukiskan dapat mengungkung orang dan dapat membesarkan orang seseorang serta mempunyai sifat malu. Gelap merupakan benda mati yang tak dapat melakukan tindakan yang seperti dilakukan oleh manusia. Pemanfaatan gaya bahasa ini dapat menambah nilai estetis alur cerita dan bertujuan agar pembaca hanyut imajinasi ketika menafsirkan makna setiap kalimat-kalimatnya.

h. Kemudian, yang terjadi adalah kesunyian mencengkam. (hal. 72) Kalimat tersebut bersifat personifikasi karena sunyi tidak dapat berperilaku selayaknya manusia yaitu mencengkam. Berdasarkan

konteksnya makna kalimat kemudian, yang terjadi adalah kesunyian mencengkam adalah suasana yang sunyi dan sepi tak ada suara.

Kalimat tersebut mengandung majas personifikasi karena kata-kata yang dimaksud dilukiskan selayaknya manusia yang dapat menikam jantung seseorang dengan benda tajam. Maksud dari kata-kata menikam jantung adalah kata-kata yang menyakitkan hati. Nilai estetisnya akan berkurang jika pengarang menggunakan kata Walaupun kata-kata Yok Bek itu menyakiti hatinya.

j. Matahari mulai merangkak pelan, sinar ultravioletnya yang keemasan menerpa wajah legam dan gosong dari anak-anak alam. (hal. 86)

Makna kalimat tersebut adalah pagi hari ketika matahari bersinar dengan warna keemasan yang tampak di langit. Mengandung gaya personifikasi karena menganggap matahari dapat berlaku seperti manusia yaitu merangkak yang biasa dilakukan oleh balita yang belajar merangkak sebelum dia belajar berjalan. Melalui pelukisan seperti ini, pengarang ingin alur cerita yang disajikan, lebih imajinatif dan lebih segar.

k. Sebuah jawaban tanpa dosa menindas telingaku. (hal. 105)

Berdasarkan konteksnya makna kalimat tersebut adalah kaget ketika mendengar jawaban anak kost kebanggannya sudah pamit. kata menindas pada kalimat tersebut bersifat personifikasi karena sebuah jawaban diibaratkan dapat melakukan aktifitas yang dapat dilakukan oleh manusia, yaitu mempunyai kaki yang digunakan untuk menindas. Pemanfaatan gaya bahasa ini dapat menambah nilai estetis alur cerita dan bertujuan agar pembaca hanyut dengan imajinasinya ketika menafsirkanmakna setiap kalimat-kalimatnya.

l. Meskipun sederhana dan ada lubang kecil yang mengintip ketiaknya. (hal. 113)

Kalimat tersebut bersifat personifikasi karena lubang kecil seolah-olah dilukiskan selayaknya manusia yang dapat mengintip ketiak. Berdasarkan konteksnya maksud kalimat tersebut adalah ada lubang keci di baju Yudi yang membuat ketiaknya kelihatan.

Kalimat tersebut mengandung majas personifikasi karena mata dilukiskan mempunyai sifat dan bertindak seperti manusia yaitu mempunyai tangan dan memegang pisau atau belati untuk menghujam tekad. Kata tekad adalah kata benda yang sebenarnya tidak dapat di hujam. Pengarang menggunakan kata menghujam dengan tujuan agar lebih terkesan imajinatif dalam mencapai efek estetis.

n. Gerimis cabe rawit itu membasuh amarah di dada mereka yang tadinya berkobar. (hal. 152)

Personifikasi adalah gaya bahasa yang menggambarkan benda-benda mati seolah-olah dapat bertindak seperti manusia. Apabila dilihat kenyataanya sudah jelas bahwa gerimis tidak akan dapat membasuh amarah sesorang. Tujuan pengarang memanfaatkan gaya bahasa personifikasi kalimat diatas agar kemasan cerita lebih indah dan tidak monoton.

o. Langit telah merestuinya. (hal. 154) Kalimat tersebut mengandung majas personifikasi karena langit dilukiskan memiliki sifat seperti manusia yaitu dapat merestui. Kata

merestui lazim digunakan orang tua kepada anaknya. Pengarang menggunakan kata merestui bertujuan agar alur cerita lebih hidup.

p. Pena yang biasanya menari-nari lincah di atas kertas, tiba-tiba macet dan kering. (hal. 204)

Kalimat tersebut mengandung gaya personifikasi karena pena dianggap bisa menari-nari selayaknya manusia yang bisa menari dengan tangan dan tubuhnya yang bergerak mengikuti irama lagu dengan lemah gemulai. Pemanfaatan gaya bahasa ini dapat menambah nilai estetis alur cerita dan bertujuan agar pembaca hanyut dengan imajinasinya ketika menafsirkan makna setiap kalimat-kalimatnya.

lorong hitam penderitaan yang tak berujung. (hal. 231) Berdasarkan konteksnya makna kalimat tersebut adalah Panji merasa ketakutan ketika diancam oleh Mat Karmin. Kata menikam pada kalimat tersebut bersifat personifikasi karena pandangan diibaratkan melaukukan aktifitas yang dilakukan manusia, yaitu mempunyai tangan dan memegang pisau atau belati untuk menikam. Pemanfaatan gaya bahasa ini dapat menambah nilai estetis alur cerita dan bertujuan agar pembaca hanyut dengan imajinasinya ketika menafsirkan makna setiap kalimat-kalimatnya.

r. Bulu mata yang memanggil-manggil itu seakan-akan berkata pada Bu. Mutia. (hal. 246). Bulu mata dalam konteks ini dilukiskan memiliki sifat seperti manusia yaitu bisa memanggil-manggil. Sejatinya makna kalimat diatas adalah

ketiga anak yang ingin berkata kepada Bu. Mutia tetapi tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka hanya mampu berkedip-kedip untuk mengatakan apa isi hati mereka. Pengarang memilih kalimat Bulu mata yang memanggil-manggil itu seakan-akan berkata pada Bu. Mutia bertujuan untuk mengajak pembaca agar dapat menggunakan imajinasinya dalam menafsirkan pesan yang akan disampaikan pengarang melalui kalimat tersebut.

s. Dengan tahi lalat yang melambai-lambai seakan mengejeknya itu membuat darahnya menggelegak. (hal. 262) Kalimat tersebut bersifat personifikasi karena menggambarkan hal yang

tidak bernyawa yaitu tahi lalat seolah-olah memiliki sifat dan dapat bertindak selayaknya manusia. Melambai-lambai merupakan tindakan yang dilakukan oleh manusia melalui indra peraba. Pemanfaatan gaya personifikasi ini bertujuan agar alu cerita lebih hidup. Makna kalimat di atas tidak akan terlihat bernyawa apabila pengarang hanya menuliskan tahi lalat yang besar. Oleh karena itu, pengarang membubuhkan kata- kata yang mengacu pada sifat-sifat insani agar Nampak nilai estetisnya.

tengkuknya, hingga ia merasakan keterasingan yang sangat. (343). Keheningan tidak mempunyai kemampuan untuk menyapa selayaknya manusia. Menyapa dalam konteks ini berarti suasana yang hening hanya ada suara angin. Pemanfaatan gaya bahasa personifikasi dalam kalimat diatas bertujuan untuk aspek nilai estetis dan alur cerita lebih hidup.

u. Baru saja sang waktu berjalan dalam hitungan menit. (hal. 372)

Personifikasi adalah gaya bahasa yang menganggap benda mati dapat bertindak seperti manusia. Kalimat tersebut mengandung gaya personifikasi karena menanggap waktu dapat berjalan selayaknya manusia yang mempunyai kaki untuk berjalan. Berdasarkan konteksnya makna kalimat Baru saja sang waktu berjalan dalam hitungan menit adalah melukiskan pergantian waktu yang baru saja berlalu. Meskipun kalimat diatas terkesan biasa saja tetapi lebih mempunyai kesan imajinatif daripada diungkapkan dengan kalimat baru saja waktu berlalu. Sama-sama akan melukiskan waktu yang telah berlalu, pemilihan kata berjalan dalam hitungan menit tepat digunakan pengarang untuk mengungkapkan gagasannya. Selain mencapai efek estetis, tujuan lainnya adalah mengajak pembaca agar dapat menginterpretasikan pesan yang disampaikan. Kalimat di atas mempunyai pesan kalau waktu yang ada tidak digunakan sebaik- baiknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif.

v. Tetapi sedalam apapun kata-kata itu menyiram hatinya, tak sekuncup

tunas keyakinan pun tumbuh dan bersemi. (hal. 390) Kalimat tersebut bermajas personifikasi. Unsur yang dibandingkan adalah kata-kata dan hati. Komponen penyama menyiram. Kata-kata tidak mungkin mempunyai kemampuan untuk untuk menyiram hati. Sebaliknya hati tidak mungkin bisa disiram oleh-kata-kata. Menyiram dalam konteks ini berarti menyenangkan hati karena diberi harapan dan semangat.

Kalimat tersebut mengandung majas personifikasi karena sunyi dalam konteks ini dilukiskan memiliki sifat seperti manusia yaitu mencengkam. Berdasarkan konteksnya pemanfaatan gaya personifikasi ini bertujuan untuk melukiskan suasana yang sangat sepi. Pengarang menggunakan kata dicekam bertujuan untuk memberikan nilai estetis dalam alur cerita agar tampak lebih hidup.

x. Matahari berjalan ke arah barat, tergelincir dalam ufuk cakrawala. (hal. 418)

Makna kalimat tersebut adalah hari yang telah berganti menjadi sore hari karena matahari telah berada di ufuk barat. Mengandung gaya personifikasi karena menganggap matahari dapat berjalan selayaknya manusia yang berjalan dengan kedua kakinya. Majas personifikasi terlihat pula pada kata tergelincir yang lazim dilakukan oleh manusia ketika menemukan jalan yang licin. Melalui pelukisan seperti ini, pengarang ingin mencipatakan alur cerita yang lebih segar dan imajinatif serta menimbulkan nilai estetis.

4. Gaya Bahasa Simile

a. Tetapi mereka masih membungkuk, mirip seperti batang pohon kelapa.

(hal. 17) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simili karena terdapat perbandingan seperti. Dalam konteks ini sebenarnya menceritakan sebuah rumah berpetak-petak dengan atap dari seng dan panas, dan tak ada lantai ubin, dindingnya dari anyaman bambu, dapur dan tempat tidur jadi satu, tak ada kompor, hanya batu bata yang ditumpuk- tumpuk dan bahannya dari kayu bakar, tak ada penerangan kecuali lampu 15 watt yang menerangi hingga membuat rumah kian pengap. Jika ada yang masuk ke dalamnya, tubuhnya merunduk karena pintu masuknya tak lebih dari satu setengah meter, maka kebiasaanya membungkuk itu juga berlaku diluar rumah, hingga tak menyadari keadaan di luar tak ada batas bagi ketinggian kita. Makna kalimat di (hal. 17) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simili karena terdapat perbandingan seperti. Dalam konteks ini sebenarnya menceritakan sebuah rumah berpetak-petak dengan atap dari seng dan panas, dan tak ada lantai ubin, dindingnya dari anyaman bambu, dapur dan tempat tidur jadi satu, tak ada kompor, hanya batu bata yang ditumpuk- tumpuk dan bahannya dari kayu bakar, tak ada penerangan kecuali lampu 15 watt yang menerangi hingga membuat rumah kian pengap. Jika ada yang masuk ke dalamnya, tubuhnya merunduk karena pintu masuknya tak lebih dari satu setengah meter, maka kebiasaanya membungkuk itu juga berlaku diluar rumah, hingga tak menyadari keadaan di luar tak ada batas bagi ketinggian kita. Makna kalimat di

b. Tubuh mereka benar-benar seperti Tarzan, terlihat kekar dan

berambut awut-awutan.(hal. 23) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Keadaan tubuh yang kekar dan rambut terlihat awut-awutan diibaratkan sama dengan tubuh Tarzan yaitu tokoh yang ada dalam cerita anak yang belum diketahui benar kenyataannya. Makna kalimat tersebut adalah menceritakan kebiasaan hidup di alam bebas dengan tubuh kekar dan rambut yang tidak diatur dengan cara disisir rapi.

c. Pepeng terlihat malas dan bertopang dagu, matanya yang membelalak

terasa melompong seperti longsongan peluru. (hal. 26) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Seperti dalam konteks ini mengandung makna bahwa Pepeng sedang tidak memikirkan apapun dengan kata lain dia sedang melamun. Pesan yang ingin pengarang sampaikan dalam kalimat tersebut adalah melamun tidak ada gunanya, lebih baik memikirkan yang berguna bagi kita.

d. Hanya pambudilah yang masih antusias menatap barisan tulisan seperti semut hitam berbaris rapi itu sambil mendengarkan dengan

seksama. (hal. 26) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Tulisan seperti semut hitam berbaris rapi dalam konteks ini mengandung makna bahwa tulisan yang ditulis dengan tinta berwarna hitam dengan gaya penulisan yang tersusun rapi. Pesan yang ingin seksama. (hal. 26) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Tulisan seperti semut hitam berbaris rapi dalam konteks ini mengandung makna bahwa tulisan yang ditulis dengan tinta berwarna hitam dengan gaya penulisan yang tersusun rapi. Pesan yang ingin

e. Mata Yudi sendiri terbelalak seperti lampu neon. (hal. 26)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile. Hal ini terlihat dalam kalimat tersebut menggunakan kata seperti yaitu kata perbandingan yang bersifat eksplisit yang secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Mata Yudi sendiri terbelalak dinyatakan seperti lampu neon. Makna kalimat tersebut adalah Yudi terkejut seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pesan yang ingin disampaikan pengarang lewat kalimat di atas adalah apa yang dilihat dengan mata kepala belum tentu semua itu benar.

f. Aku seperti berada di pusaran angin topan, namun tak menghancurkanku. (hal. 27).

Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Tokoh aku dalam kalimat tersebut dikatakan berada di pusaran angin topan. Makna kalimat di atas adalah melukiskan keadaan sesorang yang dalam situasi sulit. Kalimat di atas mengandung pesan bahwa untuk meyakinkan orang agar mau ikut dengan kita itu tidak semudah yang kita bayangkan terkadang harus mendapatkan kesulitan yang tidak pernah kita sangka sebelumnya.

g. Memanjat pohon secara cepatnya seperti sekumpulan kera pohon.

(hal. 28) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Dalam konteks ini Memanjat pohon secara cepatnya diibaratkan dengan sekumpulan kera pohon. Makna kalimat diatas melukiskan kebiasaan anak-anak yang bermain memanjat pohon karena sudah terbiasa sehingga mudah bagi

Pesan kalimat diatas adalah bisa karena terbiasa.

h. Pambudi berada di ketiak seorang ibu setengah tua yang berbadan

seperti gentong raksasa. (hal. 33). Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile. Hal ini terlihat dalam kalimat tersebut menggunakan kata seperti yaitu kata perbandingan yang bersifat eksplisit yang secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Makna kalimat di atas adalah melukiskan keadaan yang terjepit oleh seorang ibu setengah tua yang mempunyai badan gemuk.

i. Ia melihatnya terus seperti kucing mengincar tikus yang akan keluar

dari bawah lubang. (hal. 36). Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Seperti kucing mengincar tikus dalam konteks ini mengandung makna merasa selalu diawasi di setiap gerak yang dilakukan.

j. Anak gembel itu larinya seperti menjangan. (hal. 36).

Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Dalam konteks ini cara berlari anak gembel diibaratkan dengan menjangan yaitu dapat berlari dengan secepat kilat.

k. Penjelasan yang membingungkan seperti benang kusut melilit itu bisa

kuurai satu per satu. (hal. 48). Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile. Hal ini terlihat dalam kalimat tersebut menggunakan kata seperti yaitu kata perbandingan yang bersifat eksplisit yang secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Penjelasan yang membingungkan diibaratkan dengan benang kusut melilit. Makna kalimat di atas adalah tidak semua yang dijelaskan orang lain mampu kita serap sepenuhnya kuurai satu per satu. (hal. 48). Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile. Hal ini terlihat dalam kalimat tersebut menggunakan kata seperti yaitu kata perbandingan yang bersifat eksplisit yang secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Penjelasan yang membingungkan diibaratkan dengan benang kusut melilit. Makna kalimat di atas adalah tidak semua yang dijelaskan orang lain mampu kita serap sepenuhnya

mampu meraba apa pun di dalam otak mereka yang masih orisinil. (hal. 48) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile. Hal ini terlihat dalam kalimat tersebut menggunakan kata seperti yaitu kata perbandingan yang bersifat eksplisit yang secara langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Otak dibaratkan dengan kaset yang kosong. Makna kalimat di atas adalah tidak semua yang dijelaskan orang lain mampu kita serap sepenuhnya karena manusia mempunyai daya tangkap dan daya ingat yang berbeda. Pesan yang ingin disampaikan pengarang pada kalimat di atas adalah selagi masih muda tuntutlah ilmu setinggi-tingginya agar tidak mudah dibohongi oleh orang lain.

m. Bahasa-bahasa asing bergitu banyak dan bersliweran seperti laju

kendaraan bermotor. (hal. 49) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Bahasa-bahasa asing bergitu banyak dan bersliweran diibaratkan dengan laju kendaraan bermotor. Makna dari kalimat di atas adalah di bumi ini banyak bahasa, hampir setiap daerah mempunyai bahasa masing-masing. Pesan yang ingin di ungkapkan pengarang pada kalimat di atas adalah walaupun mempunyai latar bahasa yang berbeda namun harus bisa hidup rukun dalam suatu wilayah.

bayi sejarah yang akan dikenal, dirasakan, kemudian tumbuh menjadi besar. (hal. 61). Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Menulis diibaratkan dengan seorang bidan yang membantu kelahiran bayi-bayi sejarah yang akan dikenal, dirasakan, kemudian tumbuh menjadi besar. Makna kalimat tersebut adalah menulis tidak hanya menulis saja melainkan harus diresapi makna dalam tulisan tersebut.

o. Bulu mata lentik Bu. Mutia berkedip-kedip seperti magnet burung

merak yang menarik. (hal. 62) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Dalam konteks ini bulu mata diibaratkan dengan magnet burung merak. Makna kalimat diatas adalah bulu mata Bu. Mutia sangat indah dilihat apalagi saat berkedip akan terlihat semakin indah.

p. Brewoknya seperti lumut kamar mandi. (ha. 64) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena

membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Brewok diibaratkan denga lumut kamar mandi. Makna kalimat tersebut adalah brewok sesorang yang tidak teratur dan terkesan kumuh sehingga terlihat tampak menjijikkan. Pesan yang terkandung dalam kaliat diatas adalah pintar-pintarlah merawat diri karena itu menunjukkan jati diri kita.

q. Aku mengenalmu dari kulitmu yang putih pucat seperti sapi. (hal. 69) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu

dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Makna dari kalimat dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Makna dari kalimat

kataku. (hal. 71) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata seperti. Makna kalimat di atas adalah mata yang berkedip-kedip tanda ia memikirkan sesuatu.

s. Mereka bertiga seperti kerbau dicocok hidungnya segera datang

dengan tergopoh-gopoh. (hal. 73) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Makna dalam kalimat di atas adalah orang yang selalu mengikuti orang lain. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam kalimat di atas adalah jangan mudah untuk diperbudak orang lain. Orang bodoh makanannya orang pintar.

t. Suaranya hanya seperti cicit burung pipit di pagi hari. (hal. 93)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Suara manusia diibaratkan dengan suara burung pipit. Makna kalimat di atas adalah dalam keadaan yang tegang tak ada reaksi apapun hanya ada bisikan pelan. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam kalimat di atas adalah pengalaman pertama memberikan kesan tersendiri.

u. Bagai petir disiang bolong, aku seperti tak percaya dengan kata-

katanya. (hal. 105) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu katanya. (hal. 105) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu

v. Murid-murid berhamburan pulang sekolah seperti sekumpulan tawon

yang keluar dari sarangnya. (hal. 117) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata seperti. Murid- murid berhamburan pulang sekolah diibaratkan dengan sekumpulan tawon yang keluar dari sarangnya. Makna kalimat di atas adalah adalah melukiskan betapa ramai dan riuhnya saat pulang sekolah, siswa berhamburan keluar kelas dengan bersama-sama.

w. Tetapi lantai rumahku rasa-rasanya seperti lapangan salju yang

membeku, terasa dingin mencucuk tulang. (hal. 161) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Kalimat di atas menggambarkan keadaan lantai rumah yang terasa sangat dingin, sehingga pengarang melukiskannya seperti lapangan salju yang membeku, terasa dingin mencucuk tulang.

x. Ingatanmu akan terbang seperti debu tertiup angin. (hal. 162)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Ingatan diibaratkan dapat terbang seperti debu yang tertiup angin. Makna kalimat di atas adalah bahwa ingatan seseorang apabila tidak diasah akan berkurang karena banyak faktor yang mempengaruhinya, Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Ingatan diibaratkan dapat terbang seperti debu yang tertiup angin. Makna kalimat di atas adalah bahwa ingatan seseorang apabila tidak diasah akan berkurang karena banyak faktor yang mempengaruhinya,

membandingkan dua hal secara eksplist atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Kalimat di atas menggambarkan sosok orang yang tiba-tiba menghilang begitu saja, sehingga pengarang menggambarkannya seperti hilang ditelan bumi.

z. Aku tentu juga ingin tahu mengapa orang-orang bodoh bisa begitu

mudahnya digiring seperti kerbau. (hal. 164) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Kalimat di atas menggambarkan keadaan orang-orang bodoh yang dengan mudah dapat dibodohi, sehingga pengarang mengibaratkannya seperti kerbau. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dari kalimat di atas adalah orang bodoh mudah untuk dimanfaatkan orang pintar.

aa. Pikiranku seperti percikan api yang menyala-nyala dalam tungku. (hal. 169)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Kalimat di atas menggambarkan pikiran seseorang yang terinspirasi dari kata-kata orang lain, sehingga memacu semangat untuk meyakinkan hatinya sendiri bahwa apa yang ia lakukan itu benar.

bb. Aku sendiri seperti gelas kosong yang harus segera diisi. (hal. 200) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu

sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Makna kalimat di atas adalah pelajar yang sudah lama tak sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Makna kalimat di atas adalah pelajar yang sudah lama tak

cc. Otakku rasanya seperti handuk yang sedang diperas. (hal. 209) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu

sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Otak diibaratkan dengan handuk yang dapat diperas ketika selesai dicuci. Makna kalimat di atas adalah terlalu banyak berpikir.

dd. Kehidupan ini seperti orang berlari menuju garis finish. (hal. 222) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu

sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Kehidupan diibaratkan dengan orang berlari menuju garis finish. Makna kalimat di atas adalah kita semua sedang menuju kematian, tetapi dalam prose situ banyak orang yang terlena, ada yang menghabiskan waktunya dengan terus melakukan maksiat, menyusun rencana jahat, ada pula yang menghabiskan waktunya dengan tidur sepanjang waktu. Bisa dibayangkan sendiri, jika sehari semalam kita tidur delapan jam, berapa tahun umur kita telah tersia-sia. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam kalimat di atas adalah jangan menyia-nyiakan waktu karena waktu sangat berharga.

ee. Seluruh tulang tubuhnya serasa di presto laksana bandeng duri lunak. (hal. 232). Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena

membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata laksana. Tulang diibaratkan dengan bandeng duri lunak. Makna yang terkandung dalam kalimat di atas adalah dalam situasi ketakutan sehingga membuat tubuhnya merinding tak bisa berbuat apa-apa.

344) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Tubuh diibaratkan dengan dedaunan patah. Makna kalimat di atas adalah tubuh Pambudi yang tak punya tenaga dan berjalan gontai.

gg. Tubuhnya seperti batang pohon pisang yang hampir ambruk. (hal. 360)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa simile karena membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata tugas seperti. Tubuh diibaratkan dengan batang pohon pisang yang hampir ambruk. Makna kalimat di atas adalah keadaan tubuh seseorang yang sudah tua dan tenaga yang berkurang sehingga tubuhnya tidak dapat lagi bekerja seperti saat muda dulu.

hh. Ia tegar bagai batu karang yang menerjang. (hal. 366) Pemanfaatan gaya bahasa tampak pada kalimat di atas karena

membandingkan dua hal secara eksplisit atau menyatakan sesuatu dengan hal lain dengan menggunakan kata pembanding bagai. Dalam konteks ini tegar diibaratkan dengan batu karang. Makna kalimat di atas adalah orang yang tegar walaupun dalam keadaan semenderita apapun. Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam kalimat di atas adalah dalam menghadapi kesulitan apapun kita harus tegar agar tidak mudah putus asa.

5. Gaya Paralelisme

a. Baginya aku mungkin tak berarti, karena hanya sosok anak kecil, prengus, kotor, dengan ingus yang mengalir dari lubang hidungku. (hal. 13)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme karena berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang

(keraf, 2004: 126). Dalam konteks tersebut kata prengus, kotor, dengan ingus yang mengalir dari lubang hidung sejajar dengan kata sosok anak kecil. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah sosok anak kecil dengan prengus, kotor, serta ingus yang mengalir dari lubang hidung.

b. Karena ku dengar Bandung juga tercemar polusi, limbah sampah, dan corong-corong pabrik industri yang membuat langit menjadi mendung kelabu. (hal. 33)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme karena berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (keraf, 2004: 126). Dalam konteks tersebut kata limbah sampah, dan corong-corong pabrik industri sejajar dengan kata polusi.

c. Sejak dulu di Kmpung Genteng, perjudian adalah hal yang biasa, judi kupruk setiap bulam Ramadhan, atau jenis-jenis judi yang lain, seperti

capsa, remi, bingo, hingga sabung ayam, dan adu jangkrik berhadiah jangkrik pula sudah biasa dilakukan,(hal. 100) Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Haris Sumandiria, 2006: 169). Dalam konteksnya kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme yaitu dengan menggunakan kata capsa, remi, bingo, hingga sabung ayam, dan adu jangkrik sejajar dengan kata judi.

d. Ibuku yang suka menanam tanaman seperti mangga, srikaya, anggur,

bunga matahari, anggrek, alamanda. (hal. 158) Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Haris Sumandiria, 2006: 169). Dalam konteksnya kalimat tersebut bunga matahari, anggrek, alamanda. (hal. 158) Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Haris Sumandiria, 2006: 169). Dalam konteksnya kalimat tersebut

e. Pembicaraan itu pasti berputar pada murid yang nakal, yang suka bikin ulah, pembuat gaduh, dan dianggap paling bandel dan dianggap

sebagai pemimpin geng. (hal. 260) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme karena berusaha mencapai kesejajaran dengan dalam pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Gorys Keraf, 2004: 126). Dalam konteks tersebut kata yang suka bikin ulah, pembuat gaduh, dan dianggap paling bandel dan dianggap sebagai pemimpin geng sejajar dengan kata nakal. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah anak yang suka membuat ulah, pembuat gaduh, dan dianggap paling bandel dan dianggap sebagai pemimpin geng adalah anak yang nakal.

f. Setelah sekian lama ia menderita dengan pelajaran bahasa, membaca, menulis.(hal. 272) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme karena

berusaha mencapai kesejajaran dengan dalam pemakaian kata-kata yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Gorys Keraf, 2004: 126). Kata membaca dan menulis sejajar dengan kata bahasa, karena pelajaran bahasa kebanyakan mempelajari tentang membaca dan menulis. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah pelajaran bahasa tentang membaca dan menulis.

g. Karisma adalah anak seorang juragan tukang sablon yang beromset lumayan, sering dapat order parpol pemilu, entah itu berupa stiker, kaus, baliho, sampai bendera. (hal. 288)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme karena berusaha mencapai kesejajaran dengan dalam pemakaian kata-kata Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme karena berusaha mencapai kesejajaran dengan dalam pemakaian kata-kata

h. Enam bulan yang lalu mereka tak lebih dari anak-anak kampung yang

dekil, kotor, menjijikkan, serta bodoh pula. (hal. 331) Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama ( Haris Sumandiria, 2006: 169). Dalam konteksnya kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme yaitu dengan menggunakan kata kotor, menjijikkan, dan bodoh adalah kata-kata yang sejajar dengan kata dekil. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah menggambarkan keadaan anak-anak kampung yang cenderung dekil, kotor, menjijikkan, serta bodoh pula.

i. Tentu mereka akan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan kasar mereka, kuli batu, kuli pasar, penjual es mambo, atau tukang becak. (hal. 413) Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai

kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama ( Haris Sumandiria, 2006: 169). Dalam konteksnya kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa paralelisme yaitu dengan menggunakan kata kuli batu, kuli pasar, penjual es mambo, dan tukang becak sejajar dengan kata pekerja kasar.

6. Gaya Bahasa Anafora

a. Giliran terang mereka jalan, giliran diam mereka berhenti. (hal. 152) Pemanfaatan gaya bahasa anafora nampak pada kalimat tersebut

karena terdapat pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya yaitu dengan mengulang kata Giliran. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Makna kalimat di atas adalah seorang pengecut yang hanya mengekor pada suatu kejadian karena terdapat pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya yaitu dengan mengulang kata Giliran. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Makna kalimat di atas adalah seorang pengecut yang hanya mengekor pada suatu kejadian

b. Ingin dan ingin lagi mendedahkan nasihat tentang kebersihan. Ingin dan ingin lagi mmengurai bagaimana keadaan jiwa kita seandainya yang hadir adalah kekotoran tubuh. (hal. 270)

Pemanfaatan gaya bahasa anafora nampak pada kalimat tersebut karena terdapat pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya yaitu dengan mengulang kata Ingin dan ingin lagi. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya yaitu keinginan yang terjadi berulang-ulang.

c. Mereka bertiga terdiam di tengah deru tawa. Mereka bertiga terluka di tengah tingkah polah Karisma yang gerakannya bagai boneka kayu. (hal. 281) Pemanfaatan gaya bahasa anafora nampak pada kalimat tersebut

karena terdapat pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya yaitu dengan mengulang kata mereka bertiga. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Makna kalimat di atas adalah kumpulan anak yang berjumlah tiga orang.

d. Rasanya Karisma ingin menangis, ingin berlari menghindari

kenyataan. (hal. 374) Pengulangan kata ingin menunjukkan bahwa kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa anafora. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Makna kalimat di atas adalah dalam keadaan putus asa.

e. Semakin banyak membaca semakin banyak tahu, semakin banyak tahu akan semakin tinggi rasa penasaran yang nantinya harus mereka

serap. (hal. 439) Pengulangan kata semakin menunjukkan bahwa kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa anafora. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Makna kalimat di atas adalah sesuatu hal yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh maka hasilnya serap. (hal. 439) Pengulangan kata semakin menunjukkan bahwa kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa anafora. Makna kalimat di atas dapat ditentukan berdasarkan konteksnya. Makna kalimat di atas adalah sesuatu hal yang kita lakukan dengan sungguh-sungguh maka hasilnya

7. Gaya Bahasa Metafora

a. Maka diam-diam mencuri badan jalan atau lengkong-lengkong sempit untuk dijadikan halaman. (hal .6)

Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora. Metafora berusaha membandingkan dua hal yang dinyatakan secara eksplisit (Burhan Nurgiantoro, 2005: 299). Mencuri badan jalan merupakan gambaran dari rumah-rumah kampung yang saling berdesakan sehingga tak punya tempat untuk halaman dan jalan raya pun dijadikan untuk halaman rumah-rumah mereka.

b. Mat Karmin tak ingin kehilangan muka. (hal. 8) Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora. Metafora

berusaha membandingkan dua hal yang dinyatakan secara eksplisit. Dalam konteks ini Mat Karmin dianggap tidak ingin kehilngan muka, yakni hidung, mata, mulut, alis, dan sebagainya. Makna kalimat di atas adalah Mat Karmin tidak ingin dipermalukan, oleh sebab itu ia berusaha agar tetap menjadi yang paling benar sehingga kebohonganpun tak jarang ia lakukan.

c. Yudi hanya berdiri mematung. (hal. 44) Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki

kesamaan makna. Dalam konteks ini Yudi dianggap seperti patung dalam arti tidak melakukan aktivitas apa pun, tidak tidak beranjak dari tempat atau berdiam diri. Pengarang lebih memilih kata mematung untuk mengungkapkan gagasannya daripada berdiam diri.

d. Penduduk berlomba-lomba mendirikan bangunan dan memelarkan tanah. (hal. 66) Kailimat tersebut bermajas metafora karena membandingkan dua hal

yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki kesamaan makna. Dalam konteks ini memelarkan tanah merupakan gambaran dari yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki kesamaan makna. Dalam konteks ini memelarkan tanah merupakan gambaran dari

e. Tiba-tiba, setitik air mata menetes di pipinya, ia pasti terharu dan batu di dalam hatinya akan pecah mendengar cerita sedih mereka. (hal. 92) Kailimat tersebut menggunakan majas metafora yang lazim digunakan

bagi orang yang tergugah hatinya karena terharu setelah mendengar cerita sedih seseorang. Pengarang menggunakan bahasa kias batu di dalam hatinya dengan tujuan agar pembaca kritis dalam mengintreprestasikan makna kalimatnya. Nilai kalimat di atas akan berkurang apabila pengarang mengungkapkan gagasannya dengan kalimat Tiba-tiba, setitik air mata menetes di pipinya, ia pasti terharu dan luluh hatinya mendengar cerita sedih mereka. Kalimat tersebut mengandung ketulusan sesorang untuk membantu orang lain.

f. Si bintang jatuh yang berotak emas itu. (hal . 192) Kailimat tersebut menggunakan majas metafora yang lazim digunakan untuk menggambarkan kepintaran seseorang. Berotak emas bukan

berarti orang yang memiliki otak emas. Nilai kalimat di atas akan berkurang apabila menggunakan kata pintar dan mengubah kalimatnya menjadi Si bintang jatuh yang pintar itu.

g. Bisa melupakan sejenak seluruh beban yang menggantung di pikiranku. (hal. 198) Kailimat tersebut menggunakan majas metafora. Kata menggantung di

pikiranku menggambarkan seseorang yang sedang memikirkan sesuatu. Pengarang lebih memilih kata menggantung di pikiranku untuk mengungkapkan gagasannya daripada sedang memikirkan sesuatu.

h. Sebagai sebuah petaka yang akan dikunyah-kunyahnya sendiri segala dera deritanya. (hal. 231)

Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki

i. Padahal dia sendiri adalah seorang wanita berdarah biru. (hal. 266) Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara

langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Berdarah biru adalah sebutan bagi orang yang mempunyai keturunan bangsawan, bukan orang tersebut mempunyai darah berwarna biru. Darah manusia lazimnya berwarna merah. Pengarang menggunakan berdarah biru untuk mengungkapkan gagasannya daripada menggunakan keturunan bangsawan.

j. Mereka menjelma menjadi batu. (hal. 266) Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki

kesamaan makna. Dalam konteks ini manusia dianggap dapat menjelma menjadi batu yang tidak mau bernajak dari tempat apabila tidak ada orang yang berusaha menyingkirkannya. Berdasarkan konteksnya makna kalimat di atas adalah menahan kesedihan sehingga tak mampu beranjak pergi.

k. Pagi itu, hari Selasa, tetapi tampak gelap di hati Kharisma. (hal. 279) Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. gelap di hati dalam

konteks ini adalah kesedihan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Kharisma kelihatan sedih pada Selasa pagi. Kalimat di atas mengandung pesan jangan terlalu larut dalam keterpurukan.

membelenggu ini, kita sedang keluar dari lubang hitam yang teramat gelap. (hal. 295) Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Lubang hitam dalam konteks ini adalah hidup dalam keadaan miskin. Kalimat di atas mengandung pesan kita tak boleh menyesali hidup karena menjadi miskin, kemiskinan bukan menjadi penghalang untuk mewujudkan cita- cita.

m. Relung hatinya serasa di cuci kembali, dibersihkan dari debu-debu

karat, hingga seperti orang yang baru lahir. (hal. 310) Kailimat tersebut menggunakan majas metafora yang lazim digunakan untuk menggambarkan orang yang telah mendapatkan nasihat dari orang lain dan membuatnya sadar dengan apa yang dia lakukan selama ini. Pengarang menggunakan bahasa kias Relung hatinya serasa di cuci kembali dengan tujuan agar pembaca kritis dalam menginterpretasikan makna kalimatnya.

n. Dalam sekejab ia telah menantang pedasnya debu-debu jalanan dari asap knalpot kendaraan maupun debu-debu jalanan yang tersibak oleh kendaraan-kendaraan besar dijalanan. (hal. 317)

Dikatakan sebagai gaya bahasa metafora karena dalam kalimat tersebut dua hal yang berbeda dibandingkan secara lansung, sehingga satu hal seolah-olah sama persis dengan hal lain yang digunakan sebagai pembanding. Kalimat di atas lazimnya digunakan untuk melukiskan orang yang mempunyai keinginan dan semangat yang kuat untuk mencapainya walaupun dalam situasi apapun. Pesan yang dapat di ambil dari kalimat di atas adalah berjuang demi cita-cita walaupun banyak rintangan yang harus dihadapi.

berawan. (hal. 328) Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki kesamaan makna. Dalam konteks ini kebahagiaan dilukiskan dengan dunia tak pernah berawan. Berdasarkan kontesnya kalimat di atas mempunyai makna karena senyuman seseorang yang dicintainya akan membuat kebahagiaan yang tiada tara.

p. Kau begitu baik, kau benar-benar berhati emas. (hal. 329)

Kailimat tersebut menggunakan majas metafora yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebaikan seseorang. Berhati emas bukan berarti orang yang memiliki hati emas. Nilai kalimat di atas akan berkurang apabila menggunakan kata baik. Berdasarkan konteksnya kalimat di atas mempunyai makna kebaikan seseorang yang dilakukan dengan tulus.

q. Seperti baru kemarin mereka mengunyah-kunyah pelajaran dari ibu Mutia. (hal. 331) Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena

membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki kesamaan makna. Kata mengukunyah-kunyah pelajaran mengandung makna mempelajari ilmu dengan seksama. Nilai yang terkandung dalam kalimat di atas adalah seperti baru kemarin mereka belajar yang diajarkan bu. Mutia di sekolah.

r. Wajahnya tak punya sinar. (hal. 360) Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Tak punya sinar dalam konteks ini adalah tampak tak bahagia. Nilai dalam kalimat tersebut

akan berkurang apabila pengarang menggunakan gagasannya dengan kalimat wajahnya tampak tak bahagia.

Kailimat tersebut menggunakan majas metafora yang lazim digunakan untuk menggambarkan kebaikan seseorang. Mencoreng arang di wajah orang tuanya bukan berarti Rena telah mencoreng muka kedua orang tuanya menggunakan arang. Mencoreng arang di wajah orang tuanya lazim digunakan untuk melukiskan anak yang mempermalukan kedua orang tuanya karena perbuatannya sendiri. Makna dalam kalimat di atas adalah seorang anak harus menjaga nama baik kedua orang tuanya dengan cara menjaga nama baik diri sendiri.

t. Sabtu mendung kelabu ketika terima rapor. (hal. 398)

Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Mendung kelabu dalam kalimat di atas mengandung makna suasana hati yang kurang bahagia, bukan mengandung makna langit sedang mendung berwarna kelabu. Pengarang menggunakan kata mendung kelabu dengan tujuan agar pembaca kritis dalam menginterpretasikan makna kalimatnya.

u. Perempuan itu berhadapan dengan perempuan berhati baja yang tak bisa di bengkokkan sedikitpun. (hal. 403)

Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki kesamaan makna. Dalam konteks ini berhati baja bukan mengandung arti seorang perempuan yang hatinya terbuat dari baja melainkan menggambarkan seorang perempuan yang mempunyai pendirian yang kuat. Pengarang menggunakan kata berhati baja dengan tujuan agar pembaca kritis dalam menginterpretasikan makna kalimatnya. Dari kalimat di atas pengarang menyampaikan pesan bahwa perempuan juga harus memiliki kemauan dan pendirian yang kuat agar tidak mudah diremehkan orang lain.

v. Maka, batu yang ada di dalam hatiku ini pecah. (hal. 416)

Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki Kalimat tersebut merupakan bentuk bahasa kias metafora karena membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda dianggap memiliki

8. Gaya Bahasa Sarkasme

a. Dasar Anak-anak, awas kalu ku tangkap. (hal. 7)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sarkasme karena berupa sindiran yang menyatakan hinaan terhadap sesorang. Ejekan tersebut lebih kasar dari ironi. Apabila diujarkan akan menyakiti perasaan orang yang mendengarkannya, Gorys Keraf (2004: 143). Penggunaan kata dasar Anak-anak mengandung kata yang bernilai kasar. Makna kalimat di atas adalah menyatakan ketidaksenangan pada anak-anak.

b. Tetapi ketiga anak sialan itu tidak nampak sekali batang hidungnya.

(hal. 21) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sarkasme. Hal ini tampak pada penggunaan kata sialan yang dianggap bernilai kasar. Makna kalimat di atas adalah melukiskan sesorang yang geram atau tidak menyukai seseorang yang mempunyai tingkah laku yang kurang baik.

c. Anak gembel yang terus menerus berteriak-teriak kegirangan. (hal. 43) Pemanfaatan gaya bahasa sarkasme nampak pada penggunaan kata gembel penggunaan kata tersebut mengandung kata yang bernilai

kasar. Makna kalimat di atas adalah menggambar ketidaksukaan seseorang pada sesorang karena di rasa orang itu tidak berpakaian pantas..

d. Nasib mereka benar-benar barakhir di tempat terkutuk ini. (hal. 74) Pemanfaatan gaya bahasa sarkasme nampak pada penggunaan kata

tempat terkutuk. Kata tersebut mewakili kata kasar. Makna kalimat di atas adalah melukiskan sesorang yang tidak menyukai suatu tempat yang membuat nasib menjadi makin buruk.

sepicik itu. (hal. 76) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sarkasme. Penggunaan kata picik dalam kalimat di atas dianggap bernilai kasar. Makna kalimat di atas adalah menggambar ketidaksukaan Pambudi pada ayahnya karena ayahnya mudah dipengaruhi oleh orang-orang yang tidak berpendidikan.

f. Memangnya sekolah ini sekolah bapak moyang Lu, seenaknya pakai

sandal jepit, dasar udik!. (hal. 110)

Pemanfaatan gaya bahasa nampak pada kalimat diatas. Terbukti dengan pemilihan kata dasar udik. Kata tersebut mengandung makna orang yang dianggap berpenampilan seperti orang pedalaman. Kalimat di atas lazim digunakan untuk menghujat orang dari penampilannya.

g. Kamu membaca saja tak becus. (hal. 117)

Pemanfaatan gaya bahasa sarkasme nampak pada penggunaan kata becus. Penggunaan kata tersebut mengandung kata yang bernilai kasar. Becus sama artinya dengan bisa. Kalimat di atas lazim digunakan untuk menghujat orang yang tidak pandai untuk membaca.

h. Kurang ajar bener. Itu anak-anak tak tahu diri. (hal. 131)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sarkasme. Terbukti dengan pemilihan kata Kurang ajar. Makna kalimat di atas adalah menggambar ketidaksukaan seseorang pada tingkah laku seseorang.

9. Gaya Bahasa Sinisme

a. Pepeng yang lucu, pendiam, dan sok aksi. (hal. 21)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati, Gorys Keraf (2004: 143). Terbukti dengan adanya kata sok aksi. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan kepada seseorang yang sebenarnya berperilaku berlebihan. Pesan yang terkandung dari kalimat di atas adalah seberapa besar ketidaksenangan kita akan Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati, Gorys Keraf (2004: 143). Terbukti dengan adanya kata sok aksi. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan kepada seseorang yang sebenarnya berperilaku berlebihan. Pesan yang terkandung dari kalimat di atas adalah seberapa besar ketidaksenangan kita akan

b. Pambudi sudah berada di dekat Kania, ia merasa sok jantan. (hal.

119) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati, Gorys Keraf (2004: 143). Terbukti dengan adanya kata sok jantan. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan kepada seseorang yang sebenarnya berperilaku kurang baik. Pesan yang terkandung dari kalimat di atas adalah seberapa besar ketidaksenangan kita akan perbuatan seseorang kita tidak boleh mengolok-oloknya dengan perkataan yang dapat menyinggung perasaan.

c. Kamu itu kelihannya cantik, pintar, tetapi benar-benar sombong. (hal.

119) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati. Terbukti dengan pemilihan kata benar-benar sombong. Makna kalimat tersebut adalah menyatakan sifat seseorang yang di rasa kurang baik.

d. Bagi perempuan tua yang uzur yang sudah kisut kulitnya itu. (hal.

127) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati. Terbukti dengan pemilihan kata perempuan tua. Makna kalimat di atas adalah menyatakan umur seorang wanita yang sudah berumur.

e. Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme. Terbukti dengan

adanya kata ingusan. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan kepada sosok anak kecil. Makna kalimat di atas adalah menyatakan celaan pada seorang anak kecil yang suka mencampuri orang dewasa.

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme. Terbukti dengan adanya kata lumutan. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan pada sosok kakek yang sudah tua karena merasa dihina. Makna kalimat di atas adalah menyatakan celaan pada seorang laki-laki yang sudah berumur tetapi masih suka menghina orang lain.

g. Dibenarkan oleh pemuda-pemuda idiot. (hal. I61)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati. Terbukti dengan pemilihan kata idiot. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketiadaksenangannya kepada pemuda yang mudah dipengaruhi oleh orang lain. Makna kalimat di atas adalah menyatakan celaan pada pemuda yang tidak bisa diandalkan dan dapat dengan mudah dipengaruhi orang lain.

h. Mengapa kamu menjadi sok pahlawan begitu. (hal. 162)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati, Gorys Keraf (2004: 143). Terbukti dengan adanya kata sok pahlawan. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan kepada seseorang yang sebenarnya berperilaku tidak baik. Pesan yang terkandung dari kalimat di atas adalah seberapa besar ketidaksenangan kita akan perbuatan seseorang kita tidak boleh mengolok-oloknya dengan perkataan yang dapat menyinggung perasaan.

i. Anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian. (hal. 326)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa sinisme karena mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati, Gorys Keraf (2004: 143). Terbukti dengan adanya kata sok pintar. Kalimat di atas bermaksud untuk menyatakan ketidaksenangan kepada seseorang yang sebenarnya berperilaku tidak baik. Pesan yang terkandung dari kalimat di atas adalah seberapa besar ketidaksenangan kita akan perbuatan seseorang kita tidak boleh mengolok-oloknya dengan perkataan yang dapat menyinggung perasaan.

a. Ingin dan ingin lagi mendedahkan nasihat tentang kebersihan. (hal.

270) Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa pleonasme karena kata yang dianggap berlebihan apabila dihilangkan maka artinya tetap utuh. Dalam konteks ini terdapat kata Ingin dan ingin lagi apabila kata ingin dan dan dihilangkan maka tidak akan mengubah makna kalimat yaitu ingin lagi. Berdasarkan koteksnya makna kalimat di atas adalah ingin lagi mendedahkan nasihat tentang kebersihan.

b. Setelah sekian lama ia menderita dengan pelajaran bahasa, membaca,

menulis. (hal. 272) Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa pleonasme karena kata yang dianggap berlebihan apabila dihilangkan maka artinya tetap utuh. Dalam konteks ini terdapat kata pelajaran bahasa, membaca, menulis apabila diganti dengan pelajaran bahasa Indonesia saja tidak akan mengubah makna. Membaca dan menulis termasuk dalam pelajaran bahasa. Berdasarkan koteksnya makna kalimat di atas adalah setelah sekian lama ia menderita dengan pelajaran bahasa.

c. Menyerap satu demi satu pendar-pendar cahaya ilmu yang ditabung

ke dalam otaknya. (hal. 331) Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa pleonasme karena kata yang dianggap berlebihan apabila dihilangkan maka artinya tetap utuh. Dalam konteks ini terdapat kata cahaya ilmu apabila kata cahaya dihilangkan maka tidak akan mengubah makna kalimat.

mana. (hal. 332) Pleonasme adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Kalimat di atas menggunakan gaya bahasa pleonasme karena kata yang dianggap berlebihan apabila dihilangkan maka artinya tetap utuh. Dalam konteks ini terdapat kata setitik butir ilmu apabila diganti dengan kata sebutir ilmu tidak akan mengubah makna kalimat.

11. Gaya Bahasa Klimaks

a. Wajahnya putih, matanya sipit, hidungnya mbangir, dan lengkaplah

sudah kesempurnaan fisiknya. (hal. 19) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya, Gorys Keraf (2004: 124). Dalam konteks ini terlihat bahwa rangkaian kata-kata di atas merupakan majas klimaks. Makna dari kalimat di atas adalah menggambarkan kesempurnaan fisik seseoramg.

b. Suara jangkrik dan katak mulai beradu nyanyi, lenguh sapi yang mulai malas dengan lalat-lalat yang menempel di tubuhnya dibalas dengan lecutan ekor yang berfungsi seperti cemeti, menggeletar-geletar ke

tubuhnya sendiri, menghempaskan lalat-lalat itu ke peristirahatannya yang terakhir. (hal. 25) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya, Gorys Keraf (2004: 124). Dalam konteks ini terlihat bahwa rangkaian kata-kata di atas merupakan majas klimaks. Makna kalimat di atas adalah hewan-hewan yang asik dengan kehidupan mereka.

mengantuk sekali, duduk-duduk dan hanya mendengarkan aku mengeja isi dalam buku itu. (hal. 26) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya, Gorys Keraf (2004: 124). Dalam konteks ini terlihat bahwa rangkaian kata-kata di atas merupakan majas klimaks. Inti dari kalimat di atas bermakna Yudi mengantuk.

d. Angan-angan melambung, cita-cita setinggi gunung, harapan memeluk rembuan, dan memetik bintang-bintang di angkasa perlahan-lahan menciptakan mimpi buruk bagi mereka. (hal. 96).

Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya, Gorys Keraf (2004: 124). Dalam konteks ini terlihat bahwa rangkaian kata-kata di atas merupakan majas klimaks. Makna dari kalimat di atas adalah mengharapkan sesuatu harus sesuai kemampuan agar jika kelak tidak kesampaian, maka tidak akan terlalu menyakitkan.

e. Aku tak tahu bagaimana nasib mereka, yang jelas kehidupan mereka akan semakin mengenaskan, masa depan yang tidak jelas, kehidupan

yang suram, karena tak ada yang bisa diharapkan selain cita-cita itu. (hal. 165) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya, Gorys Keraf (2004: 124). Dalam konteks ini terlihat bahwa rangkaian kata-kata di atas merupakan majas klimaks. Makna dari kalimat di atas adalah kekecewaan yang teramat karena apa yang telah di usahakan selama ini ternyata sia-sia.

angka yang di dalam bukunya itu kemudian berputar-putar di kepalanya bersama bintang-bintang yang bertaburan, pandangan matanya tiba-tiba menjadi gelap, kabur, suram, berkunang-kunang, dan beratnya minta ampun, dan pecahlah sebuah suara dari Kharisma. (hal. 320) Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan- urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya, Gorys Keraf (2004: 124). Dalam konteks ini terlihat bahwa rangkaian kata-kata di atas merupakan majas klimaks. Makna dari kalimat di atas adalah Kharisma kesulitan dalam mengerjakan soal matematika yang di anggapnya sebagai pelajaran paling sulit dibandingkan dengan pelajaran yang lain.

12. Gaya Bahasa Antitesis.

a. Aku yang paling hebat di antara teman-temanku saja merasa ciut di

hadapan Candil. (hal. 47) Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa antithesis karena mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Kata hebat dan ciut merupakan dua hal bertentangan untuk menyatakan keadaan yang dinamis atau berubah-ubah menurut situsi. Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan- gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan, Gorys Keraf (2004: 126). Pesan yang terkandung dalam kutipan di atas adalah bahwa sepintar-pintar manusia pasti ada yang lebih pintar.

b. Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk

memperoleh pendidikan. (hal. 97) Dalam konteks ini terdapat kata yang berlawanan arti yaitu kata miskin berlawanan arti dengan kata kaya. Maksud kalimat di atas adalah menyatakan keadaan yang dinamis atau berubah-ubah menurut situasi.

kalimat yang menggunakan gaya bahasa antitesis.

c. Iya, kami sehidup semati denganmu. (hal. 220)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa antitesis karena mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan konteksnya kalimat di atas dinyatakan bahwa kata sehidup berlawanan arti dengan kata semati. Makna kalimat di atas adalah bersama-sama mengahadapi kenyataan hidup baik senang maupun duka.

d. Dalam dunia pendidikan tak mengenal tua muda, tak mengenal kaya

dan miskin. (hal. 239) Pemanfaatan gaya bahasa nampak pada pada kalimat tersebut karena kata atau kelompok kata yang digunakan berlawanan arti, dengan kata lain gaya bahasa antitesis terdapat pemakaian antonim. Dalam konteks ini dinyatakan bahwa tua berlawanan arti dengan kata muda, dan kata kaya berlawanan arti dengan kata miskin. Makna kalimat di atas adalah dalam dunia pendidikan tidak mengenal latar belakang seseorang semua derajat di anggap sama yang membedakan hanyalah kepekaan seseorang untuk menyerap pelajaran.

e. Ia meninggalkan diriku dengan langkah yang pendek-pendek, sosoknya timbul tenggelam di jalanan yang menanjak dan menurun. (hal. 241)

Pemanfaatan gaya bahasa nampak pada pada kalimat tersebut karena kata atau kelompok kata yang digunakan berlawanan arti, dengan kata lain gaya bahasa antitesis terdapat pemakaian antonim. Dalam konteks ini dinyatakan bahwa kata timbul berlawanan arti dengan kata tenggelam, dan kata menanjak berlawanan arti dengan kata menuru.

haram, asalkan tetap bisa terlihat pintar di depan teman-temannya ataupun gurunya. (hal. 383) Pemanfaatan gaya bahasa nampak pada pada kalimat tersebut karena kata atau kelompok kata yang digunakan berlawanan arti, dengan kata lain gaya bahasa antitesis terdapat pemakaian antonim. Dalam konteks ini dinyatakan bahwa kata halal berlawanan arti dengan kata haram. . Makna kalimat di atas adalah dengan cara mencontek dianggap jalan pintas agar tetap terhomat untuk mendapatkan nilai yang baik, namun kenyataanya akan menuai kekecewaan pada akhirnya karena dengan menyontek sama saja dengan membohongi kemampuan kita sendiri.

g. Suasana panas dingin mnyelimuti mereka. (hal. 388)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa antitesis karena mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan konteksnya kalimat di atas dinyatakan bahwa kata panas berlawanan arti dengan kata dingin. Makna kalimat di atas adalah dalam suasana tidak menentu untuk menunggu sebuah kepastian.

h. Dulu ia tertawa kini harus menangis. (hal. 395)

Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa antitesis karena mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Berdasarkan konteksnya kalimat di atas dinyatakan bahwa kata tertawa berlawanan arti dengan kata menangis. Makna kalimat di atas adalah tak selamanya kita berada di atas roda kehidupan suatu saat pasti ada di bawah. Jika kita melakukan kejahatan pada orang lain maka suatu saat akan mendapat balasannya juga.

a. Maka jangan sampai mereka tahu dunia kegelapan itu sebelum mengenal sekolah lebih dulu. Sekolah itu benteng moral, seperti

halnya ajaran Islam untuk mengerem dorongan bawah sadar mereka yang tak bisa terkekang. (hal. 68) Gorys Keraf (2004: 140) menyatakan Alegori adalah cerita singkat yang mengandung kiasan. Dengan kata lain alegori merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan perlambang mengandung nilai-nilai moral. Kalimat tersebut dikategorikan menggunakan gaya bahasa alegori karena dalam kalimat tersebut mengandung nilai-nilai moral yang disampaikan penulis lewat sekolah.

b. Aku belajar satu hal lagi, kehidupan yang aku tinggali ini semua serba materi, semua di ukur dengan uang, semua serba uang, semua tak bisa

dipisahkan dari uang. Konon, tanpa uang kita tak bisa apa-apa. Banyak nilai yang telah tergerus dan hanya menjadi petaka, karena ketergantungan mereka dengan uang. (hal. 167) Kalimat tersebut dikategorikan menggunakan gaya bahasa alegori karena dalam kalimat tersebut mengandung nilai-nilai moral yang disampaikan penulis lewat kata uang yang di dalamnya terkandung nilai moral.

14. Gaya Bahasa Elipsis

a. Orang-orang terpelajar yang mengenyam bangku sekolah .(hal. 128) Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan sesuatu unsur kalimat yang dengan mudah diisi atau ditafsirkan oleh

pembaca. (Gorys Keraf, 2004: 132). Kalimat Orang-orang terpelajar yang mengenyam bangku sekolah mengalami gejala elipsis. Maksud dari kalimat di atas adalah orang-orang terpelajar yang pernah bersekolah. Apabila kita cermati tidak mungkin orang memakan bangku sekolah.

Kalimat di atas mengalami gejala ellipsis. Adapun maksud dari kalimat di atas adalah bayangan ayah terlihat dari jendela luar. Apabila kita cermati tidak mungkin bayangan dapat dibingkai. Tanpa harus menuliskan dengan kata terlihat pembaca dengan mudah dapat menafsirkan maksud dari kalimat di atas.

Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS TEKS EKSPOSISI MENGGUNAKAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN METODE INKUIRI DI MAN 2 FILAIL PONTIANAK Sajidin Muttaqin Putra. Nanang Heryana. Syambasril. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak

0 0 10

PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS DENGAN TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER DI SDN 24 PONTIANAK TENGGARA Hajar Mariani, Sugiyono, Syamsiati. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Pendidikan Dasar FKIP Untan Pontianak Email: marianiriri606gmail.com Abst

0 0 13

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MENGGUNAKAN MEDIA MANIPULATIF KELAS III SD NEGERI 21 PONTIANAK BARAT Nadhirah AR, K.Y Margiati, Kaswari. Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Pendidikan Dasar FKIP Untan Pontianak Email: nadhirah_arasyid

0 0 14

Hayana Indryani, Suryani, Sri Utami Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Untan Pontianak Email : hayanaindryaniyahoo.com Abstract - PENGARUH PENGGUNAAN MODEL EXAMPLE NON EXAMPLE TERHADAP HASIL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI SEKOLAH

0 0 8

KAJIAN STRUKTURALIAME DAN NILAI-NILAI PADA HIKAYAT HANG TUAH JILID I KARYA MUHAMMAD HAJI SALEH Fiky Indra Gunawan Saputra, Antonius Totok Priyadi, Agus Wartiningsih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan, Pontianak Email : fikyind

0 0 14

PENGARUH TYPE THINK PAIR SHERE TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SDN 39 PONTIANAK KOTA Niki Anggraini, Tahmid Sabri, Hery Kresnadi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP Untan, Pontianak Email: anggraininikigmail.com Abstract - PENGARUH TYPE THINK PAIR

0 0 8

Muhamad Ramadhan, Gusti Budjang A, Supriadi Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : muhamadramadhan441gmail.com Abstract - PENGENDALIAN SOSIAL PERILAKU INDISIPLINER SISWA OLEH GURU DALAM PROSES PEMBELAJARAN SOSIOLOGI DI SMA

0 1 12

Safitri, Nuraini Asriati, Supriadi Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Untan Pontianak Email : safitri1915yahoo.co.id Abstract - UPAYA ORANG TUA DALAM MENGATASI REMAJA PUTUS SEKOLAH (STUDI DI DUSUN TUMPUAN HATI DESA BENTUNAI KECAMATAN SELAKAU)

0 0 8

NOVEL CHRYSAN KARYA HAPIE JOSEPH ALOYSIA: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra

0 4 111

Busana sebagai identitas (Kajian Fenomenologi tentang Cara Berbusana Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS)

0 3 125