NOVEL CHRYSAN KARYA HAPIE JOSEPH ALOYSIA: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra

NOVEL CHRYSAN KARYA HAPIE JOSEPH ALOYSIA: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh

RURIE MUR ARRUMY

C 0205044

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

commit to user

commit to user

commit to user

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:  Kedua orang tuaku: Ary Suroso dan

Mur Nugrahaningsih , sebagai tanda bakti atas banyak kebahagiaan yang telah diwujudkan selama ini.

 Keluarga Besar Broto Rahardjo dan Soewardi , atas doa-doanya.

 Kakakku: Bayu Arya Nugraha beserta istrinya; Ana Khabibati.

 Adikku: Riza Nur Aziza  Almamater  Pecinta Sastra

commit to user

MOTTO MAN JADDA WA JADA

(orang yang bersungguh-sungguh maka akan mendapatkan)

commit to user

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah Swt semata atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan taufik-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Semua ini tidak akan tercapai tanpa campur tangan-Nya. Penulisan skripsi ini sebagai syarat memperoleh gelar sarjana tidak akan berjalan dengan baik manakala tidak ada bantuan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait. Untuk itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu berikut ini.

1. Drs. Riyadi Santosa, M. Ed, Ph. D., Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian ini.

2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.

3. Dra. Chattri S. Widyastuti, M.Hum., Sekretaris Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang penuh perhatian selama pelaksanakan penelitian.

4. Drs. Wiranta, M.S., Dosen Pembimbing skripsi. Terima kasih atas kesediaan Bapak dalam mendampingi, mengarahkan, dan membimbing selama peneliti melaksanakan penelitian.

commit to user

kesediaan Ibu menjadi penelaah proposal skripsi peneliti serta arahan-arahan yang telah diberikan selama ini.

6. Miftah Nugroho, S.S, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing peneliti selama menempuh studi di Jurusan Sastra Indonesia.

7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa khususnya Jurusan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan wawasannya yang sangat berguna bagi peneliti.

8. Orang-orang tercinta: Ibu, Bapak, mbak Ana, mas Bayu, dik Riza, keluarga besar Broto Rahardjo dan Soewardi; untuk doa, kasih sayang, dan banyak pengertian yang telah diberikan selama ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan .

9. Teman-teman Sastra Indonesia angkatan 2005: Agus, Alief, Ian, Ana, Dea, Canggih, Mila, Devi, Wiwid, Ephit, Eko, Endah, Erna, Erwin, Hendry, Opik, Lina, Lita, Muryanto, Said, Andi, Maya, Sinta, A’am, Sigit, dan Wira; terima kasih atas persahabatan dan kebersamaannya selama ini. ”Aku Sayang Kita”.

10. Teruntuk Indah yang siap membantu dan mendorong penulis untuk segera menyelesaikan, terima kasih atas kesediaan waktu untuk bertukar pikiran selama dalam masa penyelesaian skripsi.

11. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga semua kebaikan yang telah diberikan tersebut mendapatkan balasan dari Rabb Yang Maha Pemurah. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini

commit to user

Akhirnya, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya pada Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juni 2012

Peneliti

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dan Mieke Bal,1984:23). Sastra juga selalu berubah-ubah dari zaman ke zaman. Sebab, sastrawan atau para penulis dalam menghasilkan suatu karya secara kreatif dipengaruhi zaman dan lingkungan ia hidup dan berada. Lingkungan tersebut dari waktu ke waktu selalu berubah sehingga batasan-batasan sastra yang ada dalam masyarakat pun berubah-ubah.

Karya sastra adalah hasil pemikiran tentang kehidupan. Karya sastra merupakan fenomena tentang diri manusia yang kompleks. Karya sastra menggambarkan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Pengarang menyampaikan yang ia rasakan, ia lihat, dan yang ingin ia kemukakan melalui karyanya. Herman J. Waluyo menuturkan cerita yang ditampilkan pengarang mengandung permasalahan yang sesuai dengan permasalahan masyarakat pada zaman tertentu (1994:52). Karena itu, pengarang menyampaikan keadaan lingkungan ia berada melalui cerita-cerita dalam karyanya. Melalui karyanya, pengarang mengajak pembaca untuk ikut memikirkan dan memecahkan masalah kehidupan yang selalu kembali di setiap zaman. Salah satunya, banyak kaum gay dan lesbian di kalangan masyarakat saat ini. Hal tersebut membuat pengarang menghasilkan suatu karya untuk menyampaikan yang ia ketahui dan rasakan

commit to user

dari norma yang selama ini dijadikan tolak ukur kebenaran hidup, disampaikan pengarang melalui kehidupan para tokoh di setiap karyanya. Menurut Jakob Sumardjo, suatu karya sastra merupakan karya besar jika ia berhasil menyajikan pemikiran besar mengenai manusia (1982:23). Karya sastra merupakan cerminan keadaan lingkungan masyarakat di sekitar pengarang, dan fenomena tentang kehidupan diri manusia yang kompleks. Karena itu, penelitian terhadap karya sastra perlu dilakukan agar terungkap maksud dan tujuan serta keindahannya.

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra. Karya sastra menyajikan pemikiran pengarangnya melalui wujud penggambarannya, yakni pengalaman konkret manusia dalam bentuk cerita. Menurut Jakob Sumardjo, novel merupakan usaha menggambarkan, mewujudkan, mengkonkretkan pengalaman subjektif seseorang. Novel menyajikan hasil pemikiran manusia melalui wujud penggambaran pengalaman manusia dalam bentuk cerita (1982:23). Di dalam novel terkandung makna yang perlu diungkap dan digali melalui pemahaman pembaca. Makna mengenai kehidupan manusia dalam novel dilakukan oleh pelaku yang bertugas membawa tema cerita ke sasaran tertentu. Tanpa adanya pelaku, tidak akan terbentuk sebuah cerita. Rene Wellek dan Austin Warren menyebutkan bahwa pelaku dalam novel disebut tokoh, yakni individu yang menggambarkan suatu kepribadian, menghidupkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai cara untuk mencirikan watak tokoh (1990:289).

Tokoh novel merupakan tokoh imajinasi atau rekaan, identifikasi dari tokoh atau manusia dalam kehidupan nyata. Tokoh novel memiliki watak atau

commit to user

mereka berlainan. Bahkan setiap tokoh memiliki motivasi yang berbeda dalam bersikap dan bertindak. Untuk mengetahui sifat maupun motivasi tokoh diperlukan ilmu bantu psikologi. Psikologi menurut Imam Bawani, yaitu ilmu yang membicarakan unsur jiwa manusia, tingkah laku manusia, dan tindakan manusia yang didasari pada sesuatu yang ada dalam jiwanya (1995:20). Singgih Dirgagunarsa menyatakan mempelajari psikologi berarti dapat menguraikan dan menggambarkan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari (1978:10). Karena itu, apabila psikologi dapat dipakai untuk mempelajari watak dan jiwa manusia, psikologi juga dapat diterapkan pada tokoh rekaan atau imajinasi dalam suatu karya sastra. Darmanto Jatman berpendapat sastra sebagai “gejolak kejiwaan”, di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang tampak melalui perilaku tokoh-tokohnya (1985:165). Seorang pembaca akan mengetahui watak tokoh dengan melihat reaksi tokoh dalam menghadapi suatu permasalahan, atau dari tingkah laku tokoh yang berlandaskan pada berbagai macam motivasi.

Dari hal tersebut terlihat bahwa sastra dan psikologi memiliki pertautan tidak langsung. Sebab, baik sastra maupun psikologi memiliki objek yang sama, yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang digambarkan oleh tokoh dalam novel maupun karya sastra yang lain dapat diteliti dengan psikologi. Hal ini dapat dipahami karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tidak langsung. Menurut Darmanto Jatman hubungan tidak langsung keduanya tersebut berguna sebagai sarana untuk mempelajari kejiwaan orang lain (1985:165).

commit to user

mempresentasikan kehidupan nyata. Novel tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat yang mulai mengabaikan norma kehidupan melalui tokoh utamanya. Tokoh utama yang terdapat dalam Chrysan mencerminkan kehidupan dua orang wanita yang saling mencintai. Kehidupan seks yang berbeda dari orang pada umumnya membuat mereka dipandang aneh oleh orang-orang di sekitarnya. Masyarakat selama ini mencibir penyuka sesama jenis, seperti pria dengan pria, maupun wanita dengan wanita. Perlakuan masyarakat selama ini hanya meremehkan dan menjauhkan kaum homoseksual tanpa mencari tahu penyebabnya. Masyarakat menganggap kaum homoseksual memiliki kelainan atau penyimpangan aktivitas seksual. Berbagai penelitian mengenai penyebab homoseksual telah banyak dilakukan. Penulis ingin mengetahui faktor tokoh utama menjadi homoseksual berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan para ahli psikologi. Karena itu, penulis melakukan analisis terhadap tokoh utama dalam novel Chrysan untuk mengetahui sebab-sebab tokoh utama menjadi lesbian.

Tokoh yang diteliti adalah tokoh utama yang terdapat pada novel Chrysan. Tokoh utama tersebut adalah Chantal Olgivie yang selanjutnya akan disebut Chantal. Dalam hal ini penulis tertarik untuk menganalisis kepribadian dan latar belakang kehidupan tokoh utama novel Chrysan untuk mengetahui faktor penyebab Chantal menjadi lesbian. Sebelum memahami kepribadian dan latar belakang yang menyebabkan tokoh utama dalam Chrysan menjadi lesbian, terlebih dahulu penulis akan mengkaji unsur instrinsik yang berpusat pada alur,

commit to user

instrinsik perlu dilakukan karena dalam penelitian sastra dengan metode psikologi sastra harus menekankan kajian secara keseluruhan, baik berupa unsur instrinsik maupun ekstrinsik. Kajian unsur instrinsik pada alur, tokoh, latar, serta tema dan amanat karena masing-masing unsur tersebut memiliki kaitan dalam pembentukan kepribadian dan penyebab menjadi lesbian. Selain itu, pendekatan secara struktural merupakan titik awal untuk menganalisis karya sastra, termasuk untuk menemukan aspek psikologi tokoh utama. Setelah menganalisis unsur instrinsik yang membangun jalannya cerita, penulis menganalisis tokoh utama Chrysan. Analisis dilakukan terhadap kepribadian tokoh utama novel Chrysan. Untuk menganalisis tokoh dalam novel Chrysan secara mendalam digunakan ilmu bantu psikologi. Penulis menggunakan psikologi karena psikologi dapat menelaah jiwa tokoh secara luas dan mendalam, baik dari segi sifat maupun sikap manusia. Tokoh utama dalam Chrysan merupakan tokoh yang mengalami persoalaan kejiwaan dalam hal aktivitas seksual sehingga patut dianalisis dengan ilmu psikologi, khususnya psikologi kepribadian dan psikoseksual.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah perlu dilakukan agar masalah tidak meluas sehingga penelitian lebih terfokus dan tepat sasaran. Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

commit to user

judul, gaya, dan tone. Namun, dalam penelitian ini hanya dibatasi pada analisis alur, tokoh, latar, serta tema dan amanat.

2. Analisis psikologi sastra dibatasi pada analisis psikologi tokoh dalam novel Chrysan yang meliputi penyebab psikologis yang dialami tokoh.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana gambaran unsur instrinsik dalam novel Chrysan yang memiliki kaitan dalam pembentukan kepribadian dan penyebab tokoh utama menjadi lesbian, meliputi alur, tokoh, latar, serta tema dan amanat?

2. Bagaimana kepribadian tokoh utama dan apa saja faktor yang menyebabkan tokoh utama menjadi lesbian dalam novel Chrysan?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan unsur instrinsik Crhysan yang meliputi alur, tokoh, latar, serta tema dan amanat.

2. Mendeskripsikan kepribadian yang dimiliki tokoh utama dan faktor yang menyebabkan tokoh utama menjadi lesbian dalam novel Chrysan.

commit to user

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan praktis sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis Penelitian ini membantu pembaca untuk memahami penerapan teori psikologi sastra dalam penelitian novel Indonesia. Selain itu, juga dapat digunakan sebagai pijakan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis Secara praktis penelitian ini mampu membantu pembaca untuk mengenal dunia luar dalam hal perilaku yang menyimpang, terutama kehidupan homoseksual yang banyak terjadi di masyarakat sebagai akibat dari salahnya pergaulan.

F. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, dalam penelitian ini penulis membagi dalam beberapa bab, dan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar balakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab dua merupakan landasan teori, yang meliputi teori struktural, dan teori psikologi sastra yakni teori kepribadian Carl Gustav Jung. Bab tiga merupakan metode penelitian yang terdiri dari pendekatan, objek penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta

commit to user

kualitatif deskriptif, maka data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, konsep-konsep gambar. Karena itu, data yang dikumpulkan bukan berupa angka- angka.

Bab empat merupakan inti dari penelitian. Dalam bab empat berisi pembahasan mengenai analisis struktural novel Chrysan. Yang pertama novel Chrysan akan dikaji dengan menggunakan teori struktural yang membahas unsur- unsur pembangun karya sastra yang meliputi alur, tokoh, latar, serta tema dan amanat.

Bab lima merupakan lanjutan pembahasan. Pada bab lima berisi pembahasan menggunakan teori psikologi kepribadian Carl Gustav Jung. Pada bab analisis ini di dalamnya membahas tentang kepribadian yang dimiliki tokoh utama dan faktor apa saja yang menyebabkan tokoh utama menjadi lesbian dalam novel Chrysan.

Bab enam merupakan penutup yang meliputi simpulan dan saran. Pada bagian akhir penelitian ini akan dilengkapi dengan daftar pustaka

yang digunakan sebagai referensi dalam melakukan penelitian ini. Lampiran tersebut terdiri dari sinopsis novel Crhysan.

commit to user

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Terdahulu

Pembahasan menPgenai novel Chrysan karya Hapie Joseph Aloysia sebelumnya sudah pernah diulas dan dimuat dalam sebuah surat kabar yang terbit di Kota Bali, yaitu Balipost. Ulasan mengenai novel Chrysan ini dimuat dalam surat kabar Balipost pada edisi Senin tanggal 29 Mei 2011 ditulis oleh Putu Pertiwi. Dalam surat kabar tersebut Putu Pratiwi menuliskan resensi dari novel karya Hapie Joseph Aloysia di dalamnya mengulas mengenai isi dari cerita yang ditulis Hapie Joseph Aloysia. Dari yang dituliskan Putu Pertiwi dapat terlihat untaian cerita secara struktural dan mendasar dalam penciptaan novel. Hal tersebut ditujukan untuk memperkenalkan novel Chrysan pada khalayak pembaca. Pada surat kabar Balipost tersebut Putu Pertiwi hanya mengulas bagian luar dari novel Chrysan, yakni beberapa ulasan mengenai tokoh, karakter, alur cerita, serta hal-hal yang sifatnya menunjang agar novel Chrysan dapat diterima dan diminati masyarakat pembaca. Resensi buku yang termuat dalam surat kabar Balipost ditulis dengan tujuan pembaca tertarik dan lebih mudah memahami isi cerita dalam novel Chrysan.

Hal yang membedakan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini meneliti novel yaitu Chrysan lebih detail dan mendalam. Penelitian ini menggunakan pendekatan Psikologi Kepribadian Carl Gustav Jung. Analisis novel ini melalui beberapa tahap, yaitu membedah novel tersebut dengan aspek

commit to user

kepribadian tokoh yang terdapat dalam novel dengan teori Psikologi Kepribadian Carl Gustav Jung.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan unsur-unsur struktur novel. Dengan demikian, dapat membentuk kepaduan cerpen, mengungkapkan kepribadian tokoh yang terdapat dalam novel, serta hal-hal yang menyebabkan timbulnya perilaku penyimpangan seksual, khususnya lesbi yang dialami tokoh utama novel Chrysan. Peneliti memanfaatkan penelitian terdahulu sebagai tambahan wacana dalam proses penulisan skripsi ini.

B. Kajian Pustaka

1. Teori Struktural

Sebuah penelitian sastra tidak terlepas dari pemahaman struktural. Pemahaman secara struktural merupakan sebuah model pendekatan atau teori yang menjadi pijakan awal untuk meneliti sebuah teks sastra. Pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai sebuah karya yang memiliki struktur bangun yang tertib dan memiliki relasi kekhasan dalam menggali cermat, detail, teliti, serta dalam mengenai keterkaitan dan keterjalinan semua aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (A Teeuw, 1988:135).

Pendekatan struktural mengasumsikan karya sastra sebagai sebuah fenomena yang memiliki struktur dan saling terkait satu sama lain. Relasi antarstruktur dalam sebuah karya sastra membentuk sebuah sistem yang baku dan bersifat otonom. Hal ini memiliki arti bahwa pemahaman karya sastra dapat

commit to user

pembangun karya sastra yang membentuk sebuah makna secara utuh. Burhan Nurgiyantoro (2005:37) menambahkan bahwa analisis struktural dilakukan dengan mengidentifikasi dan mendeskripsikan masing-masing unsur tersebut sehingga secara bersama membentuk totalitas kemaknaan yang padu.

Novel sebagai karya sastra memiliki unsur internal pembangunnya dan saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Unsur-unsur pembangun tersebut adalah unsur alur, tokoh, latar, tema dan amanat.

Seluruh unsur tersebut merupakan dasar pemahaman teoretis yang digunakan dalam sebuah penelitian. Hal ini juga berkaitan dengan penganalisisan teori psikologi sastra.

a. Alur Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam pengertian, alur mengatur tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, cara tokoh-tokoh yang digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam satu kesatuan waktu (Attar Semi, 1993:43)

Alur atau plot adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Plot merupakan urutan peristiwa atau kejadian yang

commit to user

menyebabkan peristiwa lainnya (Burhan Nurgiyantoro, 2005:119). Dalam menganalisis alur Muchtar Lubis membedakan tahapan alur menjadi lima bagian.

a. Tahap situation (tahap penyituasian) merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.

b. Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik) merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.

c. Tahap rising action (tahap peningkatan konflik) merupakan tahap di mana konflik yang muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan- benturan antar kepentingan, masalah dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.

d. Tahap climax (tahap klimaks). Konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin saja memiliki lebih dari satu klimaks.

e. Tahap denounment (tahap penyelesaian). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi jalan keluar, dan cerita diakhiri (dalam Burhan Nurgiantoro, 2005:149-150).

commit to user

waktu: kronologis dan tak kronologis. Yang pertama disebut sebagai plot lurus, maju atau dapat juga dinamakan progresif, sedang yang kedua adalah sorot-balik, mundur, flash-back, atau dapat juga disebut regresif.

1) Plot Lurus, Progresif. Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa(-peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara urutan cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot progresif tersebut akan berwujud sebagai berikut.

A --------------- B --------------- C --------------- D --------------- E Simbol A melambangkan tahap awal cerita, B – C – D melambangkan kejadian-kejadian berikutnya, tahap tengah, yang merupakan inti cerita, dan E merupakan tahap penyelesaian cerita

2) Plot Sorot-balik, Flash-back. Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan. Jika digambarkan dalam bentuk skema, plot sorot-balik tersebut sebagai berikut.

D1 ---------- A ---------- B ---------- C ---------- D2 --------- E

commit to user

disorot balik, D2 (sengaja dibuat demikian untuk menegaskan pertalian- kronologisnya dengan D1) dan E merupakan kelanjutan langsung peristiwa- cerita awal D1.

3) Plot Campuran. Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak berplot lurus- kronologis atau seballiknya sorot-balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik. Demikian pula sebaliknya. Skema plot campuran dapat digambarkan sebagai berikut.

E ------------ D1 ------------ A ------------ B ------------ C ----------- D2 Adegan A – B – C yang berisi inti cerita novel, diceritakan secara runtut- progresif–kronologis. Adegan tersebut mengantarai adegan D1 dan D2 yang juga lurus–kronologis. Adegan E yang menunjukkan kelanjutan langsung dari peristiwa D2 justru ditempatkan di awal cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005:153-156).

Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat dijelaskan bahwa alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang ada dalam cerita yang berurutan dan membangun tulang punggung cerita baik secara lurus, balik, ataupun keduanya. Dalam pengembangan sebuah alur, unsur yang amat esensial adalah peristiwa, konflik, dan klimaks.

b. Tokoh Dalam suatu karya sastra, masalah tokoh merupakan satu hal yang kehadirannya amat sangat penting dan bahkan menentukan, karena tidak akan

commit to user

membentuk alur cerita (Attar Semi, 1993:36). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh mempunyai peranan penting dalam cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik dalam sebuah cerita rekaan. Penggambaran tokoh yang baik adalah penggambaran watak yang wajar, dapat dipertanggungjawabkan secara nalar baik dari dimensi psikologis, sosiologis, maupun fisiologis.

Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dan dimensi fisiologis. Dimensi fisiologis merupakan ciri fisik seperti usia yang menggambarkan kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh dan ciri fisik yang khas yang menguatkan karakter tokoh. Dimensi sosiologis meliputi ciri atau pola kehidupan sosial yang digambarkan seperti status, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat serta tingkat pendidikan, penghasilan, pandangan hidup, agama, dan ciri sosial yang mampu memberi nilai lebih terhadap dimensi ini. Dimensi psikologis meliputi latar belakang kejiwaan yang memiliki ukuran mentalitas, moral untuk membedakan mana yang baik dan buruk, temperamen, kecerdasan, tingkah laku, keinginan, IQ, keahlian khusus dalam satu bidang dalam dan ciri psikologis yang lain ( Herman J. Waluyo, 1994:171).

Dilihat dari segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi dua jenis, yaitu tokoh sederhana (simple/flat character) dan tokoh kompleks (coplexs/round characters). Tokoh sederhana atau tokoh datar adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan

commit to user

dalam kategori tokoh sederhana atau datar adalah semua tipe tokoh yang sudah biasa, yang sudah familier, atau yang stereotip dalam fiksi. Tokoh kompleks atau tokoh bulat adalah tokoh yang dapat dilihat semua sisi kehidupannya. Dibandingkan dengan tokoh datar, tokoh bulat memiliki sifat lifelike karena tokoh itu tidak hanya menunjukkan gabungan sikap dan obsesi yang tunggal (Suminto

A. Sayuti, 2000:78) Attar Semi berpendapat bahwa ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dalam fiksi. Pertama secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Kedua secara dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan dan sebagainya. Selain itu dapat dilihat melalui dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain (1993:40).

c. Latar Latar atau setting adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra. Latar yang digarap dengan teliti dan hati-hati oleh pengarang dimaksudkan untuk mengesani pembaca agar karya itu tampak realistis, terlihat sungguh-sungguh diangkat dari latar faktual disebut latar tipikal. Latar tipikal yang digunakan dalam novel memberikan kesan mendalam dan imajinasi konkret

commit to user

(Burhan Nurgiyantoro, 2005:222). Unsur latar dibedakan dalam beberapa indikator. Abrams dalam Zainuddin Fanani (2002:99) berpendapat, latar dibedakan menurut tiga indikator yaitu, general locate (tempat secara umum), historical time (waktu historis), dan social circumstance (lingkungan sosial).

Senada dengan Abrams, dalam Burhan Nurgiyantoro (2005:227) juga membedakan latar menjadi tiga kategori.

a) Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

b) Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

c) Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Latar tidak hanya menunjukkan di mana dan kapan cerita itu terjadi. Lebih dari itu, latar juga harus sesuai dengan situasi sosial dan diagesis atau logika ceritanya. Hal ini diungkapkan oleh Zainuddin Fananie (2002:99) bahwa dalam telaah setting atau latar sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa, dan situasi sosialnya, melainkan juga konteks diagesis-nya, kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak tokohnya sesuai dengan situasi pada saat karya itu diciptakan. Karena itu, dari telaah yang dilakukan harus diketahui sejauh mana

commit to user

pandangan masyarakat yang berlaku saat itu.

d. Tema dan Amanat Seorang pengarang tentu mempunyai ide dasar dalam karya yang ditulisnya. Ide dasar dalam cerita juga disebut sebagai tema. Definisi tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau pun tidak (Panuti Sudjiman, 1988:74).

Tema dan amanat sangat erat kaitannya. Amanat merupakan pemecahan persoalan yang terkandung dalam tema. Amanat juga merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam rangka menyelesaikan persoalan yang ada.

Tema dan amanat dalam karya sastra dapat disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung atau implisit. Secara langsung, apabila pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita. Secara implisit apabila jalan keluar atau ajaran moral yang disampaikan pengarang hanya diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh atau peristiwa.

2. Teori Psikologi Kepribadian Carl Gustav Jung

Psikologi digunakan sebagai alat penelaah jiwa seseorang secara luas dan mendalam, baik dari sifat maupun sikap manusia. Psikologi dalam penelitian ini merupakan ilmu bantu yang digunakan untuk mengetahui kepribadian tokoh utama dan yang menyebabkan menjadi homoseksual. Psikologi sastra adalah

commit to user

Endaswara, 2008: 96). Teori kepribadian dengan pendekatan psikologi analitis dikembangkan oleh Carl Gustav Jung. Dalam memandang manusia, Jung menggabungkan pandangan teleologi dan kausalitas. Jung memandang bahwa tingkah laku manusia ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu dan rasi (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi individu (teleologi). Menurut Jung masa lampau individu sebagai potensialitas sama-sama membimbing tingkah laku individu (orang).

Pandangan Jung tentang kepribadian adalah prospektif dan retrospektif. Prospektif dalam arti bahwa ia melihat kepribadian itu ke depan ke arah garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan retrospektif dalam arti bahwa ia memperhatikan masa lampau sang pribadi.

Bagi Jung, dalam hidup ini ada perkembangan yang konstan dan sering kali kreatif, pencarian ke arah yang lebih sempurna serta kerinduan untuk lahir kembali. Jung melihat kepribadian individu sebagai produk dan wadah sejarah leluhur. Manusia modern dibentuk kedalam bentuknya yang sekarang oleh pengalaman kumulatif generasi masa lampau yang merentang jauh ke belakang sampai asal manusia yang samar dan tidak diketahui. Dasar kepribadian bersifat arkhaik, primitif, bawaan, tak sadar dan mungkin universal.

Jung menjelaskan adanya kepribadian kolektif yang dibentuk berdasarkan ras yang secara selektif menjangkau dunia pegalaman yang diterima individu.

commit to user

daya dari luar individu.

1.) Struktur Kepribadian

Jung berpendapat bahwa kepribadian itu adalah seluruh pemikiran, perasaan, dan perilaku nyata baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Adapun struktur kepribadian manusia terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi kesadaran dan dimensi ketidaksadaran. Kedua dimensi ini saling mengisi dan mempunyai fungsi masing-masing dalam penyesuaian diri.

a.) Dimensi Kesadaran Kepribadian

Dimensi kesadaran dari kepribadian ini adalah ego. Ego adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran, perasaan sadar manusia. Ego melahirkan perasaan identitas dan kontinuitas seseorang.

Dimensi kesadaran manusia mempunyai dua kelompok pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa, yang masing-masing mempunyai peranan penting dalam orientasi manusia dalam dunianya. Fungsi jiwa adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda- beda. Jung membedakan empat fungsi jiwa yang pokok yaitu, pikiran, perasaan, pendriaan, dan intuisi. Pikiran dan perasaan adalah fungsi jiwa yang rasional. Sedangkan kedua fungsi jiwa yang irrasional yaitu pendriaan dan intuisi. Pada dasarnya setiap manusia memiliki keempat fungsi jiwa itu, akan tetapi biasanya hanya salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan). Fungsi yang paling berkembang itu merupakan fungsi superior dan menentukan tipe

commit to user

intuitif. Komponen kedua dari dimensi kesadaran manusia adalah sikap jiwa. Sikap jiwa adalah arah dari energi psikis atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis itu dapat keluar atau ke dalam diri individu. Setiap orang mengadakan orientasi terhadap dunia sekitarnya. Namun demikian, dalam caranya mengadakan orientasi itu setiap orang berbeda-beda.

Berdasarkan atas sikap jiwanya, manusia dapat digolongkan menjadi dua tipe yaitu manusia yang bertipe ekstravers dan manusia yang bertipe introvers. Orang yang ekstravers terutama dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia luar di luar dirinya. Orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, dan tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial. Orang yang bertipe ekstravers bersikap positif terhadap masyarakatnya, hatinya terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain efektif. Adapun bahaya orang bertipe ektravers ini ialah apabila keterkaitan kepada dunia luar itu terlampau kuat, sehingga ia tenggelam di dalam dunia objektif, kehilangan dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya sendiri.

Orang yang bertipe introvers terutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam dirinya. Pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan ditentukan oleh faktor subjektif. Penyesuaian dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain, dan kurang dapat menarik

commit to user

kepribadian introvers ini ialah kalau jarak dengan dunia objektifnya terlalu jauh, maka orang tersebut lepas dari dunia objektifnya. Jadi orang yang kesadarannya bertipe pemikir maka ketidaksadarannya adalah perasa. Orang yang kesadarannya ekstravers , ketidaksadarannya bersifat intravers.

Apa yang telah dikemukakan di atas adalah keadaan kehidupan alam sadar yang sebenarnya. Masih ada suatu permasalahan lagi yaitu bagaimana orang itu dengan sadar menampakkan diri ke luar. Cara ini oleh Jung disebut persona. Persona merupakan kompromi antara individu dan masyarakat; antara strutur batin sendiri dengan tuntutan sekitar mengenai bagaimana seharusnya orang berbuat. Apabila orang dapat menyesuaikan diri ke luar dengan baik, maka persona itu akan merupakan selubung yang elastis, yang dengan lancar dapat dipergunakan. Akan tetapi apabila penyesuaian diri ke dunia luar itu kurang baik, maka persona dapat merupakan topeng yang kaku dan beku dalam menyembunyikan kelemahan dirinya.

b.) Dimensi Ketidaksadaran Kepribadian

Dimensi ketidaksadaran kepribadian seseorang mempunyai dua lingkaran, yaitu, ketidaksadaran pribadi dan ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran pribadi berisi hal yang diperoleh individu selama hidupnya namun tertekan dan terlupakan. Ketidaksadaran pribadi terdiri dari pengalaman yang disadari tetapi kemudian ditekan, dilupakan, diabaikan, serta pengalaman yang terlalu lemah untuk menciptakan kesan sadar pada pribadi seseorang. Ketidaksadaran pribadi berisi hal yang teramati, terpikirkan, dan terasakan di bawah ambang kesadaran.

commit to user

igatan yang terdapat dalam ketidaksadaran pribadi. Kompleks memiliki inti yang bertindak seperti magnet menarik berbagai pengalaman ke arahnya.

Ketidaksadaran kolektif atau transpersonal adalah gudang bekas ingatan laten yang diwariskan dari masa lampau leluhur seseorang. Masa lampau itu tidak hanya sejarah ras manusia sebagai suatu spesies tersendiri tetapi juga leluhur pramanusiawi atau nenek moyang binatangnya. Ketidaksadaran kolektif adalah sisa psikis perkembangan evolusi manusia yang menumpuk akibat dari pengalaman yang berulang selama banyak generasi. Ketidaksadaran kolektif hampir sepenuhnya terlepas dari segala segi pribadi dalam kehidupan seseorang dan nampaknya bersifat universal.

Ketidaksadaran kolektif merupakan landasan ras yang diwariskan dalam keseluruhan struktur kepribadian. Kesadaran kolektif ini berperan dalam mengarah atau menyeleksi tingkah seseorang sejak awal kehidupannya. Pengalaman seseorang tentang dunia sebagian besar dibentuk olek ketidaksadaran kolektif, walaupun tidak sepenuhnya. Ini menyebabkan adanya variasi dalam perkembangan seseorang.

Ketidaksadaran adalah hal yang tidak disadari. Untuk mengenal dan mengetahui ketidaksadaran, diperoleh secara tidak langsung melalui manifestasinya. Manifestasi ketidaksadaran dapat berbentuk simtom dan kompleks, mimpi, fantasi, khayalan, dan arketipe e.

Simtom adalah gejala dorongan jalannya energi yang normal yang dapat berbentuk kejasmanian maupun kejiwaan. Simtom adalah tanda bahaya yang

commit to user

dari kejiwaan yang telah terpecah dan lepas dari kontrol kesadaran dan mempunyai kehidupan sendiri dalam kegelapan alam ketidaksadaran yang dapat menghambat atau memajukan prestasi. Mimpi sering timbul dari kompleks yang mempunyai hukum dan bahasa sendiri. Dalam mimpi sebab akibat, ruang dan waktu tidak berlaku, bahasanya bersifat lambang dan untuk memahaminya perlu penafsiran. Disamping mimpi Jung juga mengemukakan tentang fantasi dan khayalan sebagai bentuk manifestasi (perwujudan) ketidaksadaran. Fantasi dan khayalan ini berkaitan dengan mimpi dan timbul pada taraf kesadaran rendah. Variasi fantasi dan khayalan itu tidak terhingga mulai dari mimpi siang hari serta mimpi tentang keinginan sampai khayalan khusus orang-orang yang dalam keadaan kegirangan yang luar biasa.

Adapun arketipe adalah bentuk pendapat instinktif dan reaksi instinktif terhadap situasi tertentu yang terjadi di luar kesadaran. Arketipe itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia. Jadi arketipe tidak bergantung pada manusia perseorangan. Arketipe merupakan pusat serta medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia.

Terdapat beberapa bentuk khusus dari isi ketidaksadaran yaitu, bayang- bayang, proyeksi atau imago, animus dan anima. Bayang-bayang yaitu segi lain dari kepribadian yakni kekurangan yang tidak disadari. Bayang-bayang ini terbentuk dari fungsi inferior serta sikap jiwa yang inferior yang karena pertimbangan lain dimasukkan ke dalam ketidaksadaran karena tidak serasi

commit to user

kepribadian yang tidak terikat kepada individu (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 83).

Proyeksi atau imago diartikan menempatkan isi batin sendiri pada obyek lain di luar dirinya secara tidak sadar. Imago yang terpenting pada orang dewasa adalah animus bagi orang perempuan dan anima pada orang laki-laki yaitu sifat atau kualitas jenis kelamin lain yang ada dalam ketidaksadaran manusia. Setiap manusia itu bersifat biseksual, jadi setiap manusia itu mempunyai sifat yang tedapat pada jenis kelamin lawannya. Orang laki-laki ketidaksadarannya adalah perempuan dan orang perempuan ketidaksadaranna adalah laki-laki (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 84).

Anima dan animus mempunyai hubungan yang langsung dengan persona. Persona menyesuaikan diri ke luar, sedangkan animus menyesuaikan diri ke dalam. Jadi persona adalah fungsi perantara antara aku dan dunia luar, sedangkan anima dan animus adalah fungsi perantara antara aku dan dunia dalam. Makin kaku persona maka makin rendah diferensiasi anima atau animus dan makin diproyeksikan kepada orang. Anima dan animus adalah istilah yang dibuat oleh Jung untuk menggambarkan karakteristik dari seks yang berlawanan, yang ada dalam setiap diri laki-laki dan perempuan. Anima adalah sifat kewanitaan yang tersembunyi di dalam diri laki-laki, sedangkan animus adalah sifat kelaki-lakian yang tersembunyi dalam diri perempuan. Anima adalah pusat kasih sayang, emosi, naluri, dan intuisi dari sisi kepribadian laki-laki. Arketipe ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh perempuan yang dikenali oleh seorang laki-laki dalam

commit to user

kepribadiannya memungkinkan seorang laki-laki untuk mengembangkan sisi sensitif dari tabiatnya, sehingga memungkinkannya untuk menjadi individu yang tidak terlalu agresif, baik hati, hangat dan penuh pengertian. Memungkiri atau menekan anima mengakibatkan timbulnya sifat keras kepala, keras, kaku, dan bahkan kejam secara fisik maupun emosi. Animus adalah sisi praktis, independen, percaya diri, dan keberanian mengambil resiko dari kepribadian wanita. Sebagai sebuah arketipe, hal ini merupakan bentuk kolektif dari seluruh laki-laki yang dikenal oleh seorang wanita di dalam hidupnya, terutama ayahnya sendiri. Bergabungnya sifat ini ke dalam memungkinkan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, pengelola yang baik, dan pencari nafkah. Namun, jika seorang wanita mengabaikan aspek-aspek ini dalam dirinya, maka ia menjadi cengeng, tergantung, cerewet, dan tidak aman.

Dengan adanya kesepakatan terhadap arketipe ini, memungkinkan laki- laki dan wanita dapat memahami dengan lebih baik terhadap lawan jenisnya. Hal ini juga akan memberdayakan mereka untuk memperluas dan mengembangkan kemampuan mereka secara maksimal. Munculnya anima atau animus dalam mimpi seseorang menunjukkan integrasi kepribadian.

2.) Dinamika Kepribadian

Dinamika kepribadian itu disebabkan oleh energi psikis yang disebut libido. Libido itu adalah intensitas kejadian psikis yang hanya dapat diketahui lewat peristiwa psikis. Pengertian libido ini sama dengan pengertian energi dalam ilmu alam yaitu sebagai abstraksi (gambaran) yang menyatakan relasi dinamis.

commit to user

entropi. Prinsip ekuivalensi dalam kepribadian menyatakan bahwa apabila sesuatu nilai menurun atau hilang, maka jumlah energi yang didukung oleh nilai itu tidak hilang dari kepribadian melainkan akan muncul kembali dalam nilai baru. Jadi dalam seluruh sistem kepribadian itu banyaknya energi tetap hanya distribusinya yang berubah (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 85).

Prinsip kedua dalam dinamika kepribadian adalah entropi. Prinsip ini mengatakan bahwa apabila dua benda yang berlainan penasnya bersentuhan, maka panas akan mengalir dari yang lebih panas pada yang lebih dingin. Bekerjanya prinsip entropi ini menghasilkan keseimbangan kekuatan. Prinsip ini diambil oleh Jung untuk menggambarkan dinamika kepribadian yaitu distribusi energi di dalam kepribadian itu selalu menuju keseimbangan (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 86).

Gerakan energi dalam kepribadian itu mempunyai arah, gerakannya itu dapat dibedakan antara gerak progresif dan gerak regresif. Gerak progresif adalah gerak yang menuju ke kesadaran dan berbentuk proses penyesuaian yang terus menerus terhadap tuntutan kehidupan sadar. Gerak progresif terjadi atas dasar keharusan individu meneysuaikan diri terhadap dunia luar. Regresif terjadi atas dasar keharusan individu menyesuaikan diri ke dalam diri sendiri (Syamsu Yusuf & Juntika, 2008: 88).

3.) Perkembangan Kepribadian

Jung mengemukakan bahwa manusia selalu menuju atau mengejar kemajuan, dari taraf perkembangan yang kurang sempurna ke taraf yang lebih tinggi. Tujuan perkembangan manusia itu adalah aktualisasi diri. Aktualisasi diri

commit to user

kepribadian manusia. Ini berarti psyche memiliki pusat baru yaitu diri yang menggantikan tempat aku.

Di dalam proses perkembangan kepribadian, dapat terjadi gerak maju (progresi) atau gerak mundur (regresi). Dalam perkembangan kepribadian, terjadi energi psikis yang dipindahkan, artinya dapat ditransfer dari satu aspek atau sistem ke sistem lain. Transfer yang progresif disebut sublimasi, yaitu transfer dari proses yang lebih primitif, instinktif, dan rendah deferensiasinya (aktualisasinya) ke proses yang bersifat kultural, spiritual, dan tinggi deferensiasinya. Sublimasi itu progresif, menyebabkan jiwa bergerak maju dan menambah rasionalitas. Adapun represi itu regresif, menyebabkan jiwa bergerak mundur dan menghasilkan irrasionalitas.

Untuk mencapai kepribadian yang integral serta sehat, maka setiap sistem atau aspek kepribadian itu harus mencapai tahap diferensiasi dan berkembang sepenuhnya. Proses diferensiasi dan berkembang secara penuh ini disebut proses pembentukan diri. Jung mneyebutnya proses pembentukan diri ini sebagai proses individuasi.

4.) Tahap-tahap Perkembangan Kepribadian

Proses individu ini ditandai oleh bermacam-macam perjuangan batin melalui bermacam-macam tahap perkembangan.

commit to user

Membuat sadar fungsi pokok serta sikap jiwa yang ada alam ketidaksaaran. Dengan cara ini, tegangan dalam batin berkurang dan kemampuan untuk mengadakan oreintasi serta penyesuaian diri meningkat.

b. Tahap Kedua Membuat saat imago. Dengan menyadari imago ini, orang akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya sendiri yang diproyeksikan.

c. Tahap Ketiga Menyadari bahwa manusia hidup dalam berbagai tegangan pasangan yang berlawanan, baik rohaniah maupun jasmaniah. Manusia harus tabah menghadapi masalah ini serta dapat mengatasinya.

d. Tahap Keempat Adanya hubungan yang selaras antara kesadaran dan ketidaksadaran, adanya hubungan yang selaras antar segala aspek dari kepribadian yang ditimbulkan oleh titik pusat kepribadian diri.

3. Teori Psikoseksual

Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah, psikologik, dan kebudayaan yang berhubungan langsung dengan manusia. Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, kehangatan, kemesraan dan cinta, termasuk di dalamnya memandang, berbicara, bergandengan tangan. Seksualitas mengandung arti yang luas bagi manusia, karena sejak manusia hadir ke muka bumi ini hal tersebut sudah menyertainya (http://team12jiwa2.blogspot.com).

commit to user

yang dialami pria maupun wanita. Perilaku homoseksual menurut Supratiknya adalah perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis, bila pria dengan pria disebut gay, dan bila terjadi di antara wanita disebut lesbian (1995:94).

Menurut Sawitri Supardi Sadarjoen, homoseksualitas dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang kuat akan daya tarik erotis seseorang terhadap jenis kelamin yang sama (2005:41).

Homoseksual berarti ketertarikan seksual pada sesama jenis, ini berkebalikan dengan heteroseksual. Homoseksualitas di kalangan wanita disebut cinta lesbi atau lesbianisme. Dalam prosesnya, lesbianisme biasanya diperankan oleh pasangan wanita dengan penampilan tomboy dan perempuan dengan sisi feminimnya. Namun tidak semua wanita yang berpenampilan tomboy menjalin hubungan dengan sesama jenis. Tomboy akan tampak pada diri seorang perempuan yang lebih maskulin atau memiliki ciri-ciri kelaki-lakian baik secara biologis maupun psikologinya.