Robert Langdon menatap lubang pada dinding belakang

BAB 39 Robert Langdon menatap lubang pada dinding belakang

bilik. Sebuah bentuk persegi empat sempurna melubangi dinding belakang bilik, tersembunyi di balik kain kanvas. Lubang itu, yang berukuran melintang kira-kira sembilan puluh sentimeter, tampaknya dibuat dengan melepaskan serangkaian batu bata. Sejenak, dalam kegelapan, Langdon mengira lubang itu adalah jendela menuju ruangan di baliknya.

Kini dia menyadari kekeliruannya. Lubang itu hanya memanjang beberapa puluh sentimeter

ke dalam dinding, lalu berakhir. Seperti lubang-surat yang dibuat secara kasar, cekungan ceruk itu mengingatkan Langdon pada ceruk museum yang dirancang untuk menampung sebuah patung kecil. Ceruk ini juga memajang sebuah benda kecil.

Dengan tinggi sekitar sembilan inci, benda itu berupa sebuah granit padat berukir. Permukaannya elegan dan halus, dengan keempat sisinya dipoles dan berkilauan dalam cahaya lilin.

Langdon tidak bisa memahami mengapa benda itu berada di sini. Piramida batu?

"Dari pandangan terkejutmu," ujar Sato, yang tampak puas dengan dirinya sendiri, "kurasa, benda ini bukan benda tipikal di dalam sebuah Bilik Perenungan?"

Langdon menggeleng. "Kalau begitu, kau mungkin ingin mengoreksi pernyataan-

pernyataanmu tadi mengenai legenda Piramida Mason yang tersembunyi di Washington?" Kini nada suaranya nyaris bangga.

"Direktur," jawab Langdon segera, "piramida kecil ini bukan piramida Mason."

"'Jadi hanya kebetulan jika kita menemukan sebuah piramida yang tersembunyi di jantung U.S. Capitol di dalam sebuah bilik rahasia milik seorang pemimpin Mason?”

Langdon menggosok-gosok mata dan mencoba berpikir' jernih. " Ma’am, piramida ini sama sekali tidak menyerupai mitosnya. Piramida Mason digambarkan sebagai piramida yang sangat besar, dengan puncak yang ditempa dari emas murni."

Lagi pula, Langdon tahu bahwa piramida kecil ini - dengan puncak rata - bahkan bukan piramida sejati. Tanpa puncaknya piramida ini menjadi simbol yang benar-benar berbeda. Dikenal sebagai Piramida yang Belum Selesai, benda ini merupakan peringatan simbolis bahwa kenaikan seseorang menuju potensi manusia sepenuhnya selalu berupa proses usaha yang tiada habisnya. Hanya sedikit orang yang menyadari bahwa simbol ini adalah simbol yang paling banyak dipublikasikan di dunia. Dicetak lebih dari dua puluh miliar. Menghiasi setiap uang kertas sepuluh dolar yang beredar, dengan sabar Piramida yang Belum Selesai itu menunggu batu-puncaknya yang berkilau, yang melayang di atasnya sebagai pengingat atas takdir Amerika yang belum dipenuhi dan pekerjaan yang masih harus dilakukan, baik sebagai negara maupun sebagai individual.

"Turunkan," ujar Sato kepada Anderson, seraya menunjuk "Turunkan," ujar Sato kepada Anderson, seraya menunjuk

Langdon mulai merasa seakan mereka adalah para perampok kuburan yang sedang mencemari kuil pribadi.

Anderson berjalan melewati Langdon, mengulurkan tangan ke dalam ceruk, dan meletakkan sepasang telapak tangannya pada kedua sisi piramida. Lalu, karena nyaris tak mampu mengangkat benda itu dari sudut aneh ini, dia menggelincirkan piramida itu ke arahnya dan menurunkannya dengan bunyi berdebuk keras ke atas meja kayu. Dia melangkah mundur untuk memberi Sato ruang.

Direktur itu menempatkan lilin di dekat piramida dan mempelajari permukaan mengilapnya. Perlahan-lahan dia menelusurkan jari-jari mungilnya, meneliti setiap inci puncak datarnya, lalu sisi-sisinya. Dia mendekapkan kedua tangannya pada piramida untuk merasakan bagian belakangnya, lalu mengernyit menunjukkan kekecewaan.

"Profesor, tadi kau bilang Piramida Mason dibangun untuk melindungi informasi rahasia."

"Begitulah legendanya, ya." "Jadi, secara hipotetis, jika penculik Peter percaya ini adalah

piramida Mason, dia akan percaya bahwa benda ini berisi informasi rahasia."

Langdon mengangguk dengan putus asa. "'Ya, walaupun, seandainya dia menemukan informasi tersebut, dia mungkin tidak akan bisa membacanya. Menurut legenda, isi piramida disandikan, membuatnya tidak bisa dipahami... kecuali oleh orang-orang yang layak."

"Maaf?" Walaupun semakin tidak sabar, Langdon menjawab dengan

nada datar. "Harta karun mitologis selalu dilindungi oleh tes kelayakan. Seperti yang mungkin kau ingat, dalam legenda Pedang-dalam-Batu, batu itu menolak menyerahkan pedang kecuali kepada Arthur yang secara spiritual siap menggunakan kekuatan menakjubkan pedang itu. Piramida Mason didasarkan pada gagasan yang sama. Dalam hal ini, hartanya adalah informasi itu, dan dikatakan ditulis dalam bahasa sandi – bahasa sandi yang tersusun dari kata-kata yang telah terlupakan dalam sejarah - hanya bisa dibaca oleh orang- orang yang layak."

Senyum kecil tersungging di bibir Sato. "I tu mungkin menjelaskan mengapa kau dipanggil ke sini malam ini."

"Maaf?" Dengan tenang, Sato memutar piramida itu di tempatnya,

mememutarnya 180 derajat penuh. Kini sisi keempat piramida bersinar dalam cahaya lilin.

Robert Langdon menatap, benda itu dengan terkejut. "Tampaknya," ujar Sato, "seseorang percaya bahwa kita

layak."

BAB 40 Mengapa Trish begitu lama? Sekali lagi Katherine Solomon menengok arloji. Dia lupa

memperingatkan Dr. Abaddon mengenai perjalanan aneh menuju lab, tapi dia tidak bisa membayangkan kegelapan memperlambat mereka sampai sejauh ini. Seharusnya mereka memperingatkan Dr. Abaddon mengenai perjalanan aneh menuju lab, tapi dia tidak bisa membayangkan kegelapan memperlambat mereka sampai sejauh ini. Seharusnya mereka

Katherine berjalan menuju pintu keluar dan membuka pintu berlapis-timah itu, menatap ke dalam kekosongan. Dia mendengarkan sejenak, tapi tidak mendengar apa-apa.

“Trish?" panggilnya. Suaranya ditelan oleh kegelapan. Hening. Dengan bingung, dia menutup pintu, mengeluarkan ponsel,

lalu menelepon lobi. "I ni Katherine. Trish ada di sana?"

"Tidak, Ma’am," jawab penjaga lobi. "Dia dan tamu Anda berjalan ke dalam sekitar sepuluh menit yang lalu."

"Benarkah? Kurasa, mereka bahkan belum berada di dalam Bangsal 5."

"Tunggu. Akan saya cek." Katherine bisa mendengar jari- jari tangan penjaga itu menekan papan tik komputer. "Anda benar. Menurut catatan kartu-kunci Miss. Dunne, dia belum membuka pintu Bangsal 5. Akses terakhirnya sekitar delapan menit yang lalu... di Bangsal 3. Saya rasa, dia memberikan tur kecil kepada tamu Anda dalam perjalanan masuk."

Katherine mengernyit. Tampaknya. Berita itu sedikit aneh, tapi setidaknya dia tahu Trish tidak akan lama berada di dalam Bangsal 3. Baunya sangat tidak enak di dalam sana. "Terima kasih. Kakakku sudah datang?"

"Belum, Ma’am, belum." "Terima kasih." Ketika menutup telepon, Katherine merasakan sedikit rasa

gelisah yang tak terduga. Perasaan tidak nyaman ini membuatnya berhenti, tapi hanya sejenak. I tu ketidaktenangan yang sama yang tadi dirasakannya ketika gelisah yang tak terduga. Perasaan tidak nyaman ini membuatnya berhenti, tapi hanya sejenak. I tu ketidaktenangan yang sama yang tadi dirasakannya ketika

Tidak ada apa-apa, kata Katherine kepada diri sendiri.

BAB 41

Robert Langdon meneliti piramida batu itu.

I ni mustahil.

"Bahasa sandi kuno," ujar Sato tanpa mendongak. "Katakan, apakah ini memenuhi syarat?"

Pada sisi piramida, enam belas karakter terukir dengan cermat pada permukaan batu yang halus.

(Gambar 3)

Di samping Langdon, mulut Anderson kini ternganga, mencerminkan keterkejutan Langdon sendiri. Anderson tampak seakan baru saja melihat semacam keyboard makhluk luar angkasa.

"Profesor?" tanya Sato. "Kuasumsikan kau bisa membacanya? "

Langdon menoleh. "Mengapa kau berasumsi seperti itu?" "Karena kau dibawa kemari, Profesor. Kau dipilih. I nskripsi

ini tampaknya semacam kode dan, mengingat reputasimu, tampaknya jelas bagiku bahwa kau dibawa kenari untuk memecahkannya.”

Langdon harus mengakui bahwa, setelah pengalamannya di Roma dan Paris, permintaan terus mengalir untuk memecahkan beberapa kode terkenal yang belum terpecahkan dalam sejarah Cakram Phaistos, Cipher Dorabella, Manuskrip Voynich yang misterius.

Sato menelusurkan jari tangannya pada inskripsi itu. “Bisa kau ceritakan arti ikon-ikon ini?" Bukan ikon, pikir Langdon. Semuanya simbol. Bahasanya

langsung dikenali oleh Langdon - bahasa kode dari abad ke-1

7. Langdon tahu sekali cara memecahkannya. " Ma'am, " ujarnya bimbang, "piramida ini harta pribadi Peter."

"Pribadi atau bukan, jika kode ini memang alasan kau dibawa ke Washington, aku tidak memberimu pilihan. Aku ingin tahu apa yang dikatakannya."

BlackBerry Sato berdenting keras, dan dia mengeluarkannya dari saku, membaca pesan yang masuk selama beberapa saat. Langdon mengagumi jaringan nirkabel internal Gedung Capitol yang menjangkau hingga sejauh ini.

Sato menggeram dan mengangkat sepasang alisnya, memandang Langdon dengan aneh.

"Chief Anderson?" panggilnya, seraya berbalik kepada lelaki itu, "Bisa bicara secara pribadi?" Direktur itu mengisyaratkan Anderson untuk bergabung bersamanya, dan mereka menghilang ke dalam lorong gelap gulita, meninggalkan

Langdon sendirian dalam cahaya filin berpendar-pendar di Bilik Perenungan Peter.

Chief Anderson bertanya-tanya kapan malam ini akan berakhir. Tangan terpenggal di Rotundaku? Kuil kematian di ruang bawah tanah? Ukir-ukiran aneh pada piramida batu? Entah bagaimana, pertandingan Redskins tidak lagi terasa penting.

Seiring mengikuti Sato ke dalam kegelapan lorong, Anderson menyalakan senter. Cahayanya lemah, tapi lebih baik daripada tidak ada. Sato menuntunnya beberapa meter ke dalam lorong, lepas dari pandangan Langdon.

"'Lihat ini," bisiknya, seraya menyerahkan BlackBerry kepada Anderson.

Anderson mengambil alat itu dan menyipitkan mata memandang layarnya yang berpendar terang. Layamya menyajikan gambar hitam-putih - gambar sinar-X tas Langdon yang tadi diminta Anderson untuk dikirimkan ke BlackBerry Sato. Seperti dalam semua gambar sinar-X, benda-benda terpadat tampak berwarna putih paling cemerlang. Di dalam tas Langdon, kecemerlangan sebuah benda mengalahkan semua benda lainnya. Benda itu, yang jelas sangat padat, berkilau seperti permata menakjubkan di antara berbagai benda lainnya yang berwarna lebih suram. Bentuknya tidak mungkin keliru.

Dia membawa-bawa benda itu sepanjang malam? Anderson memandang Sato dengan terkejut. "Mengapa Langdon tidak menceritakannya?"

"Pertanyaan yang sangat bagus," bisik Sato. "Bentuknya ... itu tidak mungkin kebetulan."

"Ya," ujar Sato. Kini nada suaranya berang. "Menurutku tidak."

Suara gemeresik samar-samar di koridor menarik perhatian Anderson. Dengan terkejut, dia mengarahkan senter ke lorong yang gelap. Cahaya lemah senter hanya memperlihatkan koridor kosong yang didereti pintu terbuka.

"Halo?" panggil Anderson. "Ada orang di sana?" Hening. Sato memandangnya aneh, tampaknya dia tidak mendengar

apa-apa. Anderson mendengarkan beberapa saat lagi, lalu

menggelengkan kepala. Aku harus keluar dari sini.

Sendirian di dalam bilik dengan cahaya lilin, Langdon menelusurkan jari-jari tangannya pada pinggiran-pinggiran tajam ukiran piramida itu. Dia penasaran ingin tahu apa yang dikatakan oleh piramida itu, tapi tidak ingin mengganggu privasi Peter Solomon lebih jauh lagi daripada yang sudah mereka lakukan. Lagi pula, mengapa orang gila itu peduli pada piramida kecil ini?

"Kami mendapat masalah, Profesor," suara Sato terdengar lantang di belakang Langdon. "Aku baru saja menerima sepotong informasi baru, dan aku sudah muak dengan segala kebohonganmu."

Langdon berbalik dan melihat Direktur OS itu bergegas mendekat dengan BlackBerry di tangan dan mata menyala- nyala berang. Dengan terkejut, Langdon memandang Anderson, meminta bantuan, tapi kepala keamanan itu kini berdiri menjaga pintu dengan raut wajah tidak simpatik. Sato tiba di hadapan Langdon dan menyorongkan BlackBerry-nya Langdon berbalik dan melihat Direktur OS itu bergegas mendekat dengan BlackBerry di tangan dan mata menyala- nyala berang. Dengan terkejut, Langdon memandang Anderson, meminta bantuan, tapi kepala keamanan itu kini berdiri menjaga pintu dengan raut wajah tidak simpatik. Sato tiba di hadapan Langdon dan menyorongkan BlackBerry-nya

merupakan foto hitam-putih terbalik seperti negatif film pucat. Foto itu tampak menunjukkan berbagai benda yang salah satunya bersinar sangat terang. Walaupun miring dan tidak berada di tengah, benda paling cemerlang itu jelas berbentuk piramida lancip kecil.

Piramida mungil? Langdon memandang Sato. "'Apa ini?' Pertanyaan itu tampaknya hanya membuat Sato semakin

berang. "Kau berpura-pura tidak tahu?"

Kesabaran Langdon habis. "Aku tidak berpura-pura! Aku belum pernah melihat benda ini dalam hidupku!"

"Omong kosong!" bentak Sato. Suaranya mengiris tajam di ruang bawah tanah yang berbau lembap. "Kau membawa- bawanya di dalam tasmu sepanjang malam!"

"Aku-" Langdon terdiam di tengah kalimat. Matanya bergerak perlahan-lahan menuju tas yang tersandang di bahunya. Lalu dia memandang BlackBerry itu lagi. Astaga... bungkusan itu. Dia memandang gambar itu dengan lebih cermat. Kini dia melihatnya. Sebuah kubus pucat yang menyelubungi piramida. Dengan terpana, Langdon menyadari bahwa dia sedang memandang gambar sinar-X tasnya... dan juga bungkusan misterius Peter yang berbentuk kubus. Kubus itu sesungguhnya kotak berongga... berisikan sebuah piramida kecil.

Langdon membuka mulut untuk bicara, tapi kata-kata tak mau keluar. Dia merasa sesak napas ketika kesadaran baru menerpa.

Sederhana. Murni. Mengguncang.

Astaga. Dia kembali memandang piramida batu terpotong di atas meja. Puncaknya datar - area persegi empat kecil - ruang

kosong yang secara simbolis menunggu potongan terakhirnya

Potongan yang akan mengubahnya dari Piramida yang Belum selesai menjadi Piramida Sejati.

Kini Langdon menyadari bahwa piramida mungil yang dibawanya bukanlah sebuah piramida.

I tu batu-puncak. Seketika dia tahu mengapa hanya dirinya yang bisa mengungkapkan misteri piramida ini.

Aku memegang potongan terakhirnya. Dan ini memang... sebuah jimat - talisman. Ketika Peter bilang bungkusan itu berisi jimat, Langdon

tertawa. Kini ia menyadari kebenaran ucapan temannya. Batu- puncak mungil ini memang jimat, tapi bukan jenis yang ajaib... ini jenis yang jauh lebih kuno. Jauh sebelum talisman – jimat punya konotasi-konotasi ajaib, kata itu punya arti lain, yaitu "penyelesaian”. Dari kata Yunani telesma, artinya "selesai", talisman adalah benda atau gagasan apa pun yang melengkapi benda atau gagasan lain dan membuatnya utuh. Elemen penyelesaian. Jika bicara secara simbolis, batu-puncak adalah talisman tertinggi, mengubah Piramida yang Belum Selesai

menjadi sebuah simbol kesempurnaan yang lengkap. Kini Langdon merasakan adanya sebuah kaitan ganjil yang

memaksanya menerima sebuah kenyataan yang sangat aneh: dengan mengecualikan ukurannya, piramida batu di Bilik Perenungan Peter tampaknya berubah, sedikit demi sedikit, menjadi sesuatu yang samar-samar menyerupai Piramida Mason dalam legenda.

Dari kecemerlangan yang diperlihatkan batu-puncak itu dalam sinar-X, Langdon curiga benda itu terbuat dari logam... logam yang sangat padat. Langdon sama sekali tidak tahu apakah itu emas padat atau bukan, dan dia tidak ingin membiarkan pikirannya menipunya. Piramida ini terlalu kecil. Kodenya terlalu mudah dibaca. Dan demi Tuhan, itu, kan, hanya mitos!

Sato mengamati Langdon. "Sebagai lelaki cerdas, Profesor, kau telah membuat pilihan-pilihan tolol malam ini. Berbohong kepada Direktur intelijen? Sengaja menghalangi penyelidikan CI A?"

"Bisa kujelaskan, jika kau mau mendengarkan." "Kau akan menjelaskannya di markas CI A. Saat ini aku

menahanmu.” Tubuh Langdon mengejang. "Kau tidak mungkin serius." “Sangat serius. Aku sudah menjelaskan sejelas-jelasnya

padamu bahwa yang dipertaruhkan malam ini sangat tinggi, dan kau memilih untuk tidak bekerja sama. Sangat kusarankan agar kau mulai memikirkan cara menjelaskan inskripsi pada piramida. Karena, ketika kita tiba di CI A...." Dia mengangkat BlackBerry-nya dan memotret dari dekat ukiran pada piramida batu itu, “para analisku akan sudah memulainya."

Langdon membuka mulut untuk memprotes, tapi Sato berpaling kepada Anderson di pintu. "Chief," panggilnya, “masukkan piramida batu itu ke dalam tas Langdon dan bawa tasnya, Aku akan menangani penahanan Mr. Langdon. Berikan senjatamu!” Wajah Anderson tanpa ekspresi ketika dia melangkah ke dalam bilik sambil membuka sarung pistol yang tersandang di bahunya. Dia menyerahkan pistolnya kepada Sato, yang langsung mengarahkannya kepada Langdon.

I ni tidak mungkin terjadi.

Langdon menyaksikan seakan dalam mimpi.

Kini Anderson menghampiri Langdon dan melepaskan tas di bahunya, membawanya ke meja, dan meletakkannya di atas kursi. Dia menarik ritsleting tas, membukanya, lalu mengangkat piramida-batu berat itu dari meja dan memasukkannya ke dalam tas, bersama-sama dengan buku catatan Langdon dan bungkusan mungil itu. Mendadak terdengar suara gemeresik gerakan di lorong. Siluet gelap seorang lelaki muncul di ambang pintu, bergegas memasuki bilik dan dengan cepat berada dibelakang Anderson. Kepala keamanan itu tidak melihatnya masuk. Orang asing itu langsung merendahkan bahu dan menabrak punggung Anderson. Kepala keamanan meluncur ke depan, kepalanya membentur pinggiran ceruk batu. Dia jatuh dengan keras, terkulai di atas meja, menyebabkan tulang-tulang dan artefak- artefak di atasnya berhamburan. Jam-pasir pecah berantakan di lantai. Lilin terguling ke lantai, masih menyala.

Sato terhuyung-huyung di antara kekacauan itu, mengangkat pistol, tapi orang asing itu meraih sebuah tulang paha, mengayunkannya, menghantam bahu Sato. Perempuan itu berteriak kesakitan.

Sato jatuh telengkang, menjatuhkan senjatanya. Pendatang baru tadi menendang pistol untuk menyingkirkannya, lalu berputar menghadap Langdon. Lelaki itu bertubuh tinggi ramping, seorang lelaki Afrika-Amerika elegan yang belum pemah dilihat Langdon.

"Ambil piramidanya!" perintah lelaki itu. "I kuti aku!"

BAB 42

Jelas lelaki Afrika-Amerika yang menuntun Langdon melewati labirin ruang bawah tanah Capitol adalah seseorang yang berkuasa. Selain mengetahui jalan melewati semua koridor samping dan ruang belakang, orang asing elegan itu membawa serangkaian kunci yang tampaknya bisa membuka semua pintu yang menghalangi jalan mereka.

Langdon mengikuti, cepat-cepat berlari menaiki tangga yang tak dikenalnya. Ketika mereka naik, dia merasakan tas kulit mengiris tajam bahunya. Piramida itu begitu berat, sehingga Langdon khawatir tali tasnya akan putus.

Kejadian beberapa menit yang lalu bertentangan dengan semua logika, dan kini Langdon mendapati dirinya bergerak hanya berdasarkan naluri. Perasaannya mengatakan agar dia memercayai orang asing ini. Selain menyelamatkan Langdon dari penahanan Sato, lelaki itu juga melakukan tindakan berbahaya untak melindungi piramida misterius Peter Solomon. Apa pun arti piramida itu. Walaupun motivasinya masih misterius, Langdon sudah melirik kileu emas di tangan lelaki itu yang menjelaskan segalanya - cincin Mason - phoenix berkepala-dua dan angka 33. Peter Solomon dan lelaki ini lebih dari sekadar teman terpercaya. Mereka saudara Mason derajat tertinggi.

Langdon mengikutinya ke puncak tangga, memasuki koridor lain, lalu melewati pintu tanpa-tanda menuju lorong fungsional. Mereka lari melewati kotak-kotak persediaan barang dan kantong-kantong sampah, lalu mendadak berbelok melewati sebuah pintu untuk petugas, memasuki dunia yang benar-benar tak terduga - semacam gedung bioskop. Lelaki yang lebih tua daripada Langdon itu menuntun jalan Langdon mengikutinya ke puncak tangga, memasuki koridor lain, lalu melewati pintu tanpa-tanda menuju lorong fungsional. Mereka lari melewati kotak-kotak persediaan barang dan kantong-kantong sampah, lalu mendadak berbelok melewati sebuah pintu untuk petugas, memasuki dunia yang benar-benar tak terduga - semacam gedung bioskop. Lelaki yang lebih tua daripada Langdon itu menuntun jalan

Kini Langdon menyadari bahwa mereka berada di dalam visitor center, tempat yang dimasukinya tadi malam.

Sayangnya, ada seorang petugas polisi Capitol di sana. Setelah berhadap-hadapan, ketiganya berhenti, saling

berpandangan satu sama lain. Langdon mengenali petugas Hispanik muda dari pos pemeriksaan sinar-X tadi malam itu.

"Officer Nunez,"' sapa lelaki Afrika-Amerika itu. "Jangan ucapkan sepatah kata pun. I kuti aku."

Petugas itu tampak tidak nyaman, tapi mematuhi tanpa bertanya-tanya.

Siapa lelaki ini? Ketiganya bergegas menuju pojok tenggara visitor center.

Di sana mereka mencapai sebuah foyer kecil dengan serangkaian pintu tebal yang dihalangi kerucut-kerucut oranye. Pintu-pintu itu disegel dengan pita perekat, tampaknya untuk menjaga agar debu - yang berasal dari apa pun yang terjadi di balik pintu - tidak keluar ke visitor center. Lelaki itu menjulurkan tangan ke atas dan mengelupas pita dari pintu. Lalu dia memilah-milah kunci seraya bicara kepada penjaga itu. "Teman kita, Chief Anderson, berada di sub-ruang bawah tanah. Mungkin dia terluka. Kau perlu memeriksanya."

"Baik,. Pak." Nunez tampak bingung sekaligus khawatir. "Yang terpenting, kau tidak melihat kami" Lelaki itu

menernukan sebuah kunci, melepaskannya dari rangkaian, dan menggunakannya untuk membuka gembok besar dan berat. Dia membuka pintu besi itu dan melemparkan kuncinya kepada penjaga. "Kuncilah pintu ini setelah kami masuk.

Rekatkan kembali pitanya sebisa mungkin. Kantongi kunci itu dan jangan mengucapkan sepatah kata pun. Kepada siapa saja. Termasuk kepala keamanan. Apakah sudah jelas, Officer Nunez?"

Penjaga itu melirik kunci, seakan dia baru saja dipercaya menjaga sebuah batu permata berharga. "Ya, Pak."

Lelaki itu bergegas memasuki pintu, dan Langdon mengikutinya. Penjaga mengunci gembok berat itu di belakang mereka, dan Langdon bisa mendengarnya merekatkan kembali pita perekat.

"Profesor Langdon," ujar lelaki itu, ketika mereka melangkah cepat melewati koridor yang tampak modern dan jelas masih dalam tahap pembangunan. "Namaku Warren Bellamy. Peter Solomon sahabat baikku."

Langdon melirik lelaki elegan itu dengan terkejut. Kau Warren Bellamy? Langdon belum pernah berjumpa dengan Arsitek Capitol, tapi jelas dia mengenal nama lelaki itu.

"Peter sangat memujimu," ujar Bellamy, "dan maaf kita harus berjumpa dalam kondisi mengerikan ini."

"Peter dalam masalah besar. Tangannya…” "Aku tahu." Bellamy kedengaran sedih. "Aku khawatir ini

belum setengah dari apa yang terjadi." Mereka mencapai ujung bagian koridor yang terang,

lorongnya mendadak berbelok ke kiri. Di sepanjang koridor selanjutnya, ke mana pun arahnya, keadaannya gelap gulita.

"Tunggu," ujar Bellamy, lalu dia menghilang ke dalam ruang listrik di dekat situ. Belitan kabel-kabel listrik oranye tebal memanjang keluar, memasuki kegelapan koridor. Langdon menunggu sementara Bellamy masuk. Arsitek itu agaknya "Tunggu," ujar Bellamy, lalu dia menghilang ke dalam ruang listrik di dekat situ. Belitan kabel-kabel listrik oranye tebal memanjang keluar, memasuki kegelapan koridor. Langdon menunggu sementara Bellamy masuk. Arsitek itu agaknya

Langdon hanya bisa menatap. Washington, DC - seperti Roma - adalah kota yang dipenuhi

lorong rahasia dan terowongan bawah tanah. Kini lorong di hadapan mereka mengingatkan Langdon pada terowongan pasetta yang menghubungkan Vatican dengan Castel Sant'Angelo. Panjang. Gelap. Sempit. Akan tetapi, tidak seperti passetto kuno, lorong ini modern dan belum selesai. Lorong ini berupa zona konstruksi ramping yang begitu panjang, sehingga tampak menyempit tak terlihat di ujung yang jauh. Satu-satunya penerangan hanyalah

serangkaian bola lampu konstruksi yang sesekali muncul dan hanya semakin menegaskan panjang terowongan yang seolah tak berujung.

Bellamy sudah mulai menyusuri lorong itu. "I kuti aku. Hati- hati melangkah."

Langdon merasakan dirinya mengikuti di belakang Bellamy seraya bertanya-tanya kemana gerangan terowongan ini menuju.

Tepat pada saaf itu, Mal'akh melangkah keluar dari Bangsal

3 dan melenggang cepat menyusuri koridor utama SMSC yang sepi menuju Bangsal 5. Dia menggenggam kartu-kunci Trish dan berbisik pelan, "Nol-delapan-nol-empat."

Sesuatu yang lain juga berpusar dalam benaknya. Mal'akh baru saja menerima pesan penting dari Gedung Capitol. Kontakku menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak terduga. Walaupun demikian, berita itu tetap membangkitkan semangatnya: Robert Langdon kini memiliki piramida sekaligus batu-puncaknya. Walaupun kejadiannnya tidak terduga, Sesuatu yang lain juga berpusar dalam benaknya. Mal'akh baru saja menerima pesan penting dari Gedung Capitol. Kontakku menghadapi kesulitan-kesulitan yang tak terduga. Walaupun demikian, berita itu tetap membangkitkan semangatnya: Robert Langdon kini memiliki piramida sekaligus batu-puncaknya. Walaupun kejadiannnya tidak terduga,

Rasanya seakan takdir itu sendiri yang menuntun kejadian- kejadian malam ini, dan memastikan kemenangan Mal'akh.