Konsep HAM dan Dasar Hukum Hak Politik Perempuan

II. Konsep HAM dan Dasar Hukum Hak Politik Perempuan

Dokumen hak asasi manusia abad 20 yang terkenal adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 1948. DUHAM menyatakan berbagai hak yang tidak boleh dicabut/dibatalkan dan tidak boleh dilanggar. Hak-hak tersebut berkaitan dengan lima bidang, yaitu: sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini menjadi dasar yang mewajibkan masyarakat internasional untuk memenuhi kewajiban tersebut. Contoh-contoh hak yang dijabarkan dalam DUHAM adalah hak untuk hidup, non-diskriminasi, perumahan dan tempat berteduh, perawatan kesehatan, pekerjaan, pendidikan dan standar hidup yang layak.

Prinsip-prinsip DUHAM sudah diundangkan dalam dua traktat utama HAM yaitu: Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (the International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (the International Covenant on Economic Social and Cultural Rights). Walaupun kedua traktat tersebut mengelompokkan hak asasi ke dalam bidang yang berbeda, semuanya merupakan suatu kesatuan hukum HAM yang bersifat tidak dapat dicabut/dibatalkan, universal, saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisah-pisahkan serta tergantung satu sama lain (Madhu Mehra dan Amita Punj, 2004:11). Kedua traktat tersebut bermuara pada persamaan hak laki-laki dan perempuan dengan melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

Di samping dua traktat utama tersebut di atas, ada beberapa instrument yang memberikan tekanan khusus pada prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam konteks kelompok-kelompok perempuan tertentu atau suatu keadaan tertentu dimana perempuan sangat Di samping dua traktat utama tersebut di atas, ada beberapa instrument yang memberikan tekanan khusus pada prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam konteks kelompok-kelompok perempuan tertentu atau suatu keadaan tertentu dimana perempuan sangat

Perlindungan atas hak-hak perempuan tanpa diskriminasi kemudian mengeluarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini bertujuan mengembalikan hak-hak perempuan termasuk hak politik perempuan.

Persamaan hak dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, termasuk hak politik perempuan di Indonesia khususnya telah dijamin dalam beberapa landasan hukum sebagai berikut (Titi Sumbung, 2006:11-12):

a. Undang-undang Dasar 1945, Pasal 27 (1): bersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, Pasal 28 I (2): bebas dari perlakuan diskriminatif.

b. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM PBB),

10 Desember 1948.

c. Konvensi PBB tentang Hak Politik Perempuan (1952), diratifikasi UU No. 68 Tahun 1958.

d. Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD, 1965) diratifikasi UU No. 29 Tahun 1999.

e. UU HAM No. 39 Tahun 1999, khususnya pasal 43 dan pasal 45-51 tentang Hak Wanita, termasuk hak pilih, dipilih, diangkat dalam jabatan umum dan mendapat perlindungan khusus dalam pekerjaan.

f. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, 16 Desember 1966) diratifikasi 39 tahun f. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR, 16 Desember 1966) diratifikasi 39 tahun

g. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR,1976) diratifikasi UU No. 11 Tahun 205.

h. Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW, 18 Desember 1979) diratifikasi setelah 22 tahun dalam UU No. 7 Tahun 1984. Khususnya pada pasal 7 dan 8 tentang hak pilij dan dipilih, hak berserikat dan berorganisasi, serta hak mewakili negara dalam forum internasional.

Sedangkan landasan hukum yang khusus berkaitan dengan Tindakan Khusus Sementara (TKS) dan penerapan sistem quota minimum 30% perempuan adalah sebagai berikut (Titi Sumbung, 2006:12):

a. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H (1) tentang hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan khusus dan mendapat manfaat dari pembangunan.

b. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW sebagai hukum nasional atau dikenal dengan Konvensi Perempuan, Pasal 4 (1) yang menyatakan bahwa tindakan khusus itu bukan diskriminasi.

c. Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 tentang “Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002”, Bagian 10. Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak, c. Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 tentang “Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002”, Bagian 10. Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak,

d. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum pasal

65 ayat 1 yang masih “setengah hati” dan tidak efektif dalam meningkatkan keterwakilan perempuan, masih menggunakan kata “dapat”, “dengan memperhatikan” dan tanpa sanksi.

Dari uraian di atas, jelas bahwa legislatif dan eksekutif sudah banyak membuat peraturan-perundangan yang menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, termasuk hak politik perempuan. Namun mengenai tindakan atau perlakuan khusus untuk mengejar ketertinggalan perempuan masih belum optimal, sehingga tidak membawa banyak perubahan dalam menegakkan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki sebagai hak asasi manusia yang mendasar.