Kendala Keterwakilan Perempuan
IV. Kendala Keterwakilan Perempuan
Dalam menjalankan partisipasi politiknya, perempuan memiliki beberapa kendala baik telah mengakar dalam kehidupan bermasyarakat selama ini maupun karena faktor yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri atau oleh institusi politik. Ada beberapa faktor yang menghambat peran serta kaum perempuan tersebut yaitu (Ani Soetjipto, 2003:9-11):
1) Kendala Sistem Politik Intenational IDEA dalam penelitian yang dilakukan lembaga ini di beberapa negara melihat ada 5 (lima) hambatan pokok sistem politik yang selama ini membatasi partisipasi politik perempuan, hambatan tersebut antara lain (MB. Wijaksana, 2004:28-29):
a. Kelaziman model maskulin mengenai kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan. Laki-laki mendominasi politik, laki-laki memformulasi aturan permainan politik, laki-laki menentukan standar untuk evaluasi. Kehidupan a. Kelaziman model maskulin mengenai kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan. Laki-laki mendominasi politik, laki-laki memformulasi aturan permainan politik, laki-laki menentukan standar untuk evaluasi. Kehidupan
b. Kurangnya dukungan partai, lemahnya dana kampanye untuk kader politik perempuan, terbatasnya akses untuk berjaringan dan standar ganda bagi perempuan. Meskipun perempuan berperan sangat menonjol dalam penggalangan suara akan tetapi jumlah perempuan yang terlibat dalam keputusan penting partai sangatlah kecil. Parpol juga sangat pelit dalam membagikan sumber- sumber daya untuk kepentingan kampanye kandidat perempuan. Proses seleksi juga sangat bias dengan “karakteristik laki-laki”. Berbagai atribut yang biasanya dimiliki laki-laki dipersyaratkan untuk dimiliki oleh kandidat-kandidat perempuan.
c. Lemahnya kerjasama dengan organisasi perempuan.
d. Tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang memadai, baik bagi pemimpin perempuan umumnya maupun bagi kader-kader muda perempuan pada khususnya.
e. Hakikat sistem pemilihan, apakah itu menguntungkan bagi perempuan maupun sebaliknya.
2) Kendala Sosial Budaya Permasalahan tentang perempuan selama ini adalah dominasi budaya patriarki. Budaya patriarki adalah tatanan nilai yang dianut dan dipegang teguh masyarakat yang menempatkan relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan secara timpang.
Pola relasi kekuasaan yang selama ini berlangsung menunjukkan kekuatan atau superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan, hal inilah yang menjadikan laki-laki pusat kekuasaan baik dalam wilayah domestik rumah tangga (private sphere) maupun wilayah publik (public sphere) seperti dalam pemerintahan.
Budaya patriarki inilah yang selanjutnya melahirkan kesenjangan, ketidakadilan atau disparitas gender, yang menempatkan perempuan selalu berada di bawah kedudukan laki-laki, termarginalkan dan mengalami tindakan kekerasan serta dianggap tidak memadai untuk berkecimpung dalam wilayah politik. Persoalan seperti ini, tidak jarang ditemui ketika perempuan yang akan masuk dalam dunia politik, mereka terpaksa harus menggunakan identitas “laki-laki” agar keberadaannya diakui. Contoh yang dapat dilihat adalah perempuan menggunakan nama ayah, suami ataupun saudara laki-laki di belakang namanya yang merupakan orang-orang yang telah diakui oleh publik sebagai seorang politisi, seperti Megawati misalnya yang menggunakan nama ayahnya Soekarno di belakang namanya.
3)Kendala Psikologis Kurangnya peran serta perempuan di dalam lembaga-lembaga
politik, secara tidak langsung berhubungan dengan faktor-faktor ideologis dan psikologis yang fundamental. Bahkan perempuan yang aktif dalam lembaga politik pun enggan memegang peran sebagai pimpinan karena mereka memandang parpol sebagai arena yang dikuasai laki-laki. Sidang-sidang partai yang sarat konflik dan sesekali diwarnai kekerasan fisik serta pergulatan tanpa henti untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan merupakan beberapa hal yang menciutkan nyali mereka. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari politik kotor seperti itu.
Di samping itu, sifat dasar perempuan yang penuh kasih sayang dan mementingkan perasaan daripada emosional serta lebih mementingkan pola hubungan dengan orang lain, membuat perempuan sering merasa khawatir jika Ia dituduh egois bila sedang menggunakan kekuasaannya. Seringnya, perempuan menghindar dari penggunaan kekuasaan karena Ia takut itu akan merusak hubungannya dengan orang-orang terdekat. Hal ini membuat posisi perempuan menjadi dilematis.
4) Kendala Sosial Ekonomi Krisis ekonomi yang melanda Indonesia semenjak pertengahan 1997 lalu, ternyata telah memberikan pengaruh besar bagi perempuan di mana semakin meningkatnya angka kemiskinan perempuan.
Ini mengakibatkan semakin menurunnya keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik karena kondisi sosial ekonomis sangat menentukan dalam proses rekruitmen perempuan.
Faktor-faktor sosial ekonomi yang menghambat partisipasi politik perempuan saat ini adalah (MB. Wijaksana, 2004:34):
a. Kemiskinan dan pengangguran.
b. Lemahnya sumber-sumber keuangan yang memadai.
c. Buta huruf dan rendahnya akses perempuan pada pendidikan.
d. Beban ganda antar tugas-tugas rumah tangga dan kewajiban profesional.
Mengenai hambatan terpilinya caleg perempuan ini dapat dilihat dalam skema berikut:
Skema 2 Hambatan Potensial Caleg Perempuan
Sumber: Sri Budi Eko Wardani dkk, “Aktualisasi Keterwakilan Perempuan dalam Politik Hasil Pemilu 2004”, makalah yang disampaikan di The Habibie Center pada Desember 2004.