Kendala Yang Dihadapi LOS

F. Kendala Yang Dihadapi LOS

Meskipun LOS didesain sebagai Ombudsman eksekutif, pada hakekatnya LOS dapat disebut juga sebagai satu badan yang bersifat ajudikatif yang bermanfaat bagi perlindungan konsumen. Sebagaimana dikatakan Iain Ramsay bahwa:

” adjudication has often been a central institution in reforms intended to provide consumer protection, and the adjudicative process is an important model for administrative decision-making”.

62 LOS hendaknya tidak menjadi lembaga yang elitis dan hanya melayani kelas menengah. Maka sosialisasi keberadaan LOS dengan segala tugas, peran dan fungsinya,

harus terus dijalankan dan menjangkau semua kelompok di masyarakat, terutama mereka yang jauh dari layanan bantuan hukum.

63 Institutional Reform: dalam hal ini reformasi kelembagaan membutuhkan respon atas tuntutan masyarakat. Strategi nasional akan menolong untuk mendukung saluran

tuntutan publik demi keadilan yang merespon kebutuhan semua warga negara Indonesia, termasuk kelembagaan peradilan formal dan informal. Justice & Poverty: dalam hal ini peningkatan akses keadilan akan melengkapi upaya pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan memberdayakan masyarakat. Justice & Security: hal ini menyangkut peningkatan efektivitas dari dan kepercayaan dalam sistem peradilan dapat mengurangi konflik dan memperbaiki jaminan keselamatan manusia. Dapat diakses di www. siteresources.worldbank.org/INTJUSFORPOOR/Resources/A2JFrameworkEnglish.pdf

Lebih lanjut Ramsay menulis bahwa: ” the problems of monitoring compliance are

particularly acute in relation to decisions with a major redistributive effect between different social groups since the groups who lose out will strongly resist and will attempt to undercut the impact of the decision. Further limitations of adjudication relate to the political authority of adjudicators to make decisions with broad distributive effects.” 64

Meskipun LOS membawa dalam dirinya karakter Ombudsman yang independen dan imparsial, namun LOS “tidak terhindarkan” sebagai Ombudsman eksekutif. Dalam hal ini, anggota LOS menghadapi tantangan besar untuk selalu memegang teguh prinsip-prinsip Ombudsman dan terbebas dari pengaruh atau intervensi pemerintah. Kenyataannya secara administratif, beaya operasional LOS tergantung pada dukungan APBD. Bahkan pernah terjadi karena adanya keterlambatan pengesahan APBD, LOS terlambat memperoleh dana operasional selama beberapa bulan, yang tentu saja berdampak pada pelayanan yang diberikan. Ini berarti bahwa dinamika dan kinerja LOS dapat terganggu oleh proses pengambilan keputusan pemerintah daerah.

Oleh karena itu beberapa pihak termasuk DPRD diminta untuk meningkatkan landasan hukum LOS dari Peraturan Gubernur menjadi Peraturan Daerah (Perda) agar menjadi lebih kuat. Dengan demikian LOS dapat menjadi Ombudsman parlemen dan kewenangannya dapat diperluas. Dengan sendirinya, dukungan sumber daya juga akan lebih terjamin.

64 Lihat: Iain Ramsay, Consumer Protection – Text and Materials, London: Weidenfeld And Nicolson, 1989.

Hambatan lain yang dihadapi LOS adalah: pertama, kewenangan LOS yang terbatas yurisdiksinya, yakni tidak dapat menjangkau pelaku usaha di luar DIY. Kewenangan yang ada saat ini terbatas hanya di wilayah propinsi DIY. Padahal banyak aktivitas usaha di daerah dikelola kantor cabang yang tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan, sementara kantor pusatnya ada di luar propinsi DIY. Manakala LOS merekomendasikan sesuatu pada kantor pusat (yang ada di luar DIY), tidak ada jaminan rekomendasi akan ditindaklanjuti, melainkan tergantung pada itikad baik pihak yang bersangkutan.

Kedua, istilah Ombudsman sendiri masih menjadi persoalan mendasar untuk sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia dalam memahami makna dan arti pentingnya. Banyak pelaku bisnis, bahkan pegawai pemerintah, masih belum terinformasi dengan baik terkait keberadaan LOS; bahkan beberapa di antaranya masih melihat LOS sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ini berarti bahwa keberadaan LOS harus terus disosialisasikan secara intensif ke masyarakat.

Ketiga, LOS sering menghadapi kesulitan dalam memutuskan apakah pelaku bisnis harus bertanggung jawab ataukah tidak. Adalah fakta bahwa penggunaan teknologi dan keberadaan pasar yang terintegrasi dapat membingungkan dalam menentukan siapa yang harus bertanggung jawab manakala aktivitas bisnis merugikan kepentingan konsumen. Mengenai hal ini John Goldring berpendapat bahwa: 65

“Today, it is rare for physical goods (except, possibly, unprocessed foods) to have been produced entirely

65 Lihat: John Goldring, “Consumer Protection, Globalization and Democracy”, 6 Cardozo J. Int’l & Comp. L. 1, (1998), hlm. 4 65 Lihat: John Goldring, “Consumer Protection, Globalization and Democracy”, 6 Cardozo J. Int’l & Comp. L. 1, (1998), hlm. 4

and communications that make use of facilities in many nations, but themselves have no physical location.”

Dan keempat, beberapa pelaku usaha dan perusahaan masih melihat LOS sebagai ancaman mereka. Sebagian dari mereka bahkan cenderung menjaga jarak, resisten, dan bersikap defensif dengan LOS. Mereka masih ragu dengan independensi yang ada pada LOS. Lebih jauh mereka berpandangan bahwa problem yang terjadi atau muncul adalah urusan mereka dengan konsumen dan karenanya menolak campur tangan LOS.

Dari hambatan-hambatan yang dihadapi LOS tersebut menunjukkan bahwa peningkatan akses keadilan konsumen melalui kelembagaan Ombudsman Swasta masih harus diperjuangkan dan dikembangkan. Akseptasi LOS sebagai lembaga independen (baik oleh instansi pemerintah maupun dunia usaha), masih membutuhkan waktu untuk terus diuji dan dibuktikan melalui pelayanan dan implementasi tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Pengembangan kelembagaan Ombudsman di daerah haruslah terus dilakukan.

Pengembangan kelembagaan Ombudsman ini makin “menjanjikan” dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 23 Agustus 2011 yang mengabulkan permohonan judicial review, khususnya atas ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan (2) UU No.

37 Tahun 2008 yang melarang penggunaan istilah Ombudsman selain ORI; artinya Ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh ORI.

Putusan ini dirasa tepat dan sejalan dengan jiwa otonomi daerah dan sesuai dengan kebutuhan akan peningkatan akses keadilan di setiap daerah. Putusan MK ini sekaligus dapat dijadikan Putusan ini dirasa tepat dan sejalan dengan jiwa otonomi daerah dan sesuai dengan kebutuhan akan peningkatan akses keadilan di setiap daerah. Putusan MK ini sekaligus dapat dijadikan

Kelak jika diperlukan, Asosiasi Ombudsman Nasional pun mesti dibentuk guna mengembangkan dan mengawal prinsip- prinsip ombudsmanship. Sudah barang tentu guna merealisasikan hal tersebut, amandemen UU No. 37 Tahun 2008 adalah “pekerjaan rumah” berikutnya.