Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Jambi: Refleksi dan Pembelajaran Terhadap Hak Komunal
Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Jambi: Refleksi dan Pembelajaran Terhadap Hak Komunal
Gamma Galudra 1
hutan di tahun 1970an oleh pemegang ijin hutan. Seiring dengan waktu, konsesi
perkebunan kelapa sawit dimulai di tahun
Pengantar
1980an yang juga disertai oleh membanjirnya tenaga kerja dari daerah lain Hak komunal yang digagas oleh
bagi konsesi ini melalui skema transmigrasi. Peraturan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Sejarah panjang dan berbagai pihak yang hadir di Kepala Badan Pertanahan Nasional BPN No. 9 Tahun
daerah Tanjabar menciptakan suatu interaksi sosial yang 2015 (Peraturan MATR/KBPN nomor 9 Tahun 2015)
mengubah pranata dan aturan lokal berkenaan sistem merupakan inisiatif untuk memberikan kepastian
penguasaan tanah.
prosedur bagi pengakuan hak kepemilikan masyarakat adat atas wilayah kelolanya. Hak komunal atas tanah
Pranata dan aturan sistem penguasaan
dirumuskan sebagai 'hak milik bersama atas tanah suatu masyarakat hukum adat'. Kepastian prosedur ini
tanah di hutan gambut Tanjabar: peranan
setidaknya memberikan kepastian hukum bagi tanah-
migran dan perubahan yang berlaku
tanah yang dikuasai masyarakat adat sekaligus meminimalisir konflik antara pemerintah, pemegang
Penduduk lokal di Tanjabar adalah suku melayu konsesi dan masyarakat adat.
yang umumnya adalah nelayan dan peladang berpindah. Pada mulanya, sistem penguasaan tanah di Tanjabar
Namun, terdapat asumsi dan keraguan yang hanya memuat empat karakteristik umum yaitu: perlu dipahami sebelum peraturan ini diberlakukan di seluruh penjuru Indonesia. Asumsi dan keraguan ini
1. Tanah dikuasai oleh komunitas (desa), bukan adalah hak komunal ini dibentuk berdasarkan 'mitos'
individu.
bahwa sistem penguasaan tanah bersifat statis, tidak
2. Terbagi atas hak penguasaan tanah dan berubah-rubah dimana subjek hak dan bentuk
pepohonan sebagai sistem penguasaan tanah pengaturan tanah adat yang jelas. Di Indonesia, kondisi
informal
'ideal' ini sulit diterapkan mengingat banyak pihak yang
3. Penguasaan tanah memiliki dimensi sakral yang terlibat, khususnya migran, dalam pengaturan sumber
merupakan bagian produksi dan reproduksi daya alam dan hubungan banyak pihak ini tanpa sengaja
kelompok sosial.
mengubah sistem penguasaan tanah. Dalam hal ini, ia
4. Tanah tidak bisa diperjualbelikan. pun mengubah subjek hak dan bentuk pengaturan adat.
Pesirah, sebagai pimpinan desa, memiliki Untuk itu, tulisan ini mencoba menjabarkan
otoritas penuh untuk menetapkan areal mana yang layak kondisi penguasaan tanah di lokasi hutan gambut di
dibuka bagi masyarakat desa bagi lahan pertanian. Pada Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), Jambi. Tanjabar
saat migran dari Sumatera Barat tiba di pertengahan menjadi lokasi yang menarik mengingat sejarah panjang
tahun 1800an, karakteristik ini tidak berubah dimana migrasi sejak tahun 1920an dan sejarah eksploitasi
para migran ini pun mendapatkan hak dan kewajiban
1 Peneliti the Consultative Group for International Agricultural Research/CGIAR
Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Jambi: yang sama dengan penduduk lokal. Namun, pembukaan
tanaman ini cukup tersebar lebih luas di seluruh Jambi hutan ini hanya terjadi di kawasan hutan non-gambut,
hingga di penghujung tahun 1960an. Sistem peladangan dan kondisi ini berubah ketika gelombang migran dari
berpindah berangsur-angsur berubah menjadi suku Banjar ini tiba di daerah Tanjabar di tahun 1920an.
pertanian menetap dengan karet sebagai komoditas Suku Banjar memiliki kemampuan dan teknologi untuk
unggulan. Tanaman karet ini menyebabkan munculnya membuat drainase di hutan gambut. Pesirah
hak kepemilikan tanah yang bersifat individual. memberikan wilayah hutan gambut kepada warga suku Banjar namun dengan syarat setiap wilayah yang dibuka,
Pada tahun 1980an, pemerintah Indonesia separuh wilayah tersebut diserahkan kepada pesirah
berupaya membuka dan mengkonversi hutan menjadi untuk kemudian dibagikan kepada penduduk lokal. Suku
p e r ke b u n a n ke l a p a s a w i t . P e r ke b u n a n i n i Banjar kemudian memperkenalkan sistem parit dan
mendatangkan tenaga kerja dari Jawa yang dilakukan handil di wilayah baru mereka. Kehadiran migran dari
melalui skema transmigrasi. Pembukaan wilayah untuk suku Banjar jelas mengubah bentuk penguasaan tanah
usaha perkebunan kelapa sawit mengundang kehadiran di Tanjabar. Pertama, ia membuka wilayah hutan gambut
suku Bugis di Riau untuk ikut menjadi tenaga kerja di dimana hutan gambut dianggap sebagai wilayah yang
konsesi tersebut. Usaha kelapa sawit sangat menjanjikan tidak bertuan. Kedua, suku Banjar memperkenal kan hak
sehingga mengundang kebutuhan para migran untuk handil dan parit sebagai hak akses terhadap drainase di
memperluas kebun kelapa sawit mereka. Komoditas wilayah hutan gambut. Ketiga, suku lokal menemukan
kelapa sawit juga mengundang penduduk lokal untuk cara baru untuk melakukan transaksi pemindahan hak
turut serta menanam di tanah penguasaan mereka. atas tanah melalui skema 'bagi tanah'.
Namun, keterbatasan modal dan pengetahuan menghambat keinginan mereka.
Di Tanjabar, tidak hanya berlaku perubahan bentuk penguasaan tanah, namun juga bentuk
Interaksi diantara penduduk lokal dan para pengelolaan tanah. Di kurun waktu 1920an, kolonial
migran dari Jawa dan Bugis kemudian memperkenalkan Belanda memperkenalkan tanaman karet di Jambi dan
skema baru. Dengan berbasis skema 'bagi-tanah' yang
Kelompok
Aktor yg
Migran
terlibat
Karakterisitik hukum adat
Kerangka tenurial
Alasan perubahan
· Kepemilikan komunal,
melalui kewenangan pesirah
· Terkelompok dalam hak milik atas tanah dan
pepohonan · Bagian dari produksi dan reproduksi
kelompok sosial · Tanah tidak dapat diperjualbelikan
Minangkabau
Pesirah
‘sistem pemberian’ kepada
(1800-1900)
untuk
hutan terlantar
tanah berhutan
Banjar (1920)
Pesirah
‘sistem pemberian’ kepada
Parit (hak untuk
· Untuk
untuk
hutan terlantar
membuka dan pengairan
membuka dan
tanah
hutan gambut)
pengairan hutan
gambut · Perluasan wilayah adat Pengenalan
berhutan
Mengatur penanaman
· Privatisasi tanah
tanaman karet
intensifikasi ke hak tanah privat
Bugis dan Jawa
Akses teknologi dan (1980s)
Mawah (bagi tanah)
modal (kelapa sawit)
Peran Migrasi dalam Perubahan Sistem Penguasaan dan Pengelolaan Tanah di Jambi: sempat diperkenalkan kepada suku Banjar, masyarakat
Refleksi terhadap Peraturan MATR/KBPN
lokal dan pendatang Jawa dan Bugis sepakat
No. 9 Tahun 2015
menggunakan skema ini dengan persyaratan yang Ditinjau penjabaran di atas, ada kekhawatiran
berbeda. Para pendatang diminta untuk menanam berkenaan dengan Permen ini. Peraturan ini mengatur kelapa sawit hingga usia siap panen (sekitar 4-6 tahun) di bahwa permohonan untuk hak komunal ini dapat kawasan hutan dan kemudian membagi tanah tersebut, diajukan oleh Kepala Adat dengan syarat: riwayat separuh untuk pendatang dan separuh lainnya bagi masyarakat hukum adat dan tanahnya, kartu identitas penduduk lokal. Kondisi ini memudahkan penduduk pemohon dan surat keterangan dari desa. Proses lokal untuk akses kepada permodalan dan keterampilan verifikasi dilakukan oleh tim IP4T (Inventarisasi
d a l a m m e n a n a m ke l a p a s a w i t . D i a g r a m 1 Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan
mengilustrasikan proses perubahan sistem penguasaan Tanah) dengan mengidentifikasi pemohon, riwayat tanah di Tanjabar beserta peran migran di dalam proses tanah, jenis penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tersebut. Untuk memperkuat kesolidan atas tanah, mengidentifikasi dan menginventarisasi batas ketermajemukan antar suku yang berbeda di Tanjabar, tanah, melakukan pemeriksanaan lapangan, analisa masyarakat ini mendeklarasikan sebagai masyarakat data yuridis dan data fisik bidang tanah. adat 'Melayu Jambi' yang terdiri dari suku melayu, bugis,
banjar dan jawa. Proses melayunisasi ini berakar dari Kondisi ini jelas menyulitkan mengingat
hubungan mutualisme diantara para suku dan kondisi ini kelompok adat di beberapa daerah bersifat heterogen, dapat ditunjukan pada proses sejarah evolusi sistem terdiri dari beragam etnik. Kategorisasi adat dan non- penguasaan tanah yang bersifat 'cair' dengan adat sebagai tolok ukur dalam identitas jelas sulit mengakomodisasi hubungan sosial dan kepentingan diterapkan di kasus Tanjabar ini. Tidak menutup antar suku, modernisasi dan pembangunan. kemungkinan konflik sosial antar suku mudah terjadi jika
tim verifikasi tidak hati-hati memahami proses integrasi antar suku yang berbeda dalam satu kesatuan identitas seperti 'Melayu Jambi' di Tanjabar.