Mempromosikan dan Hak dan Komunal

Resensi Buku

REFORMA AGRARIA DALAM KONSTITUSI

Salah satu persoalan mendasar mengenai masalah merupakan politik hukum dari UUPA yang menghendaki pertanahan di Indonesia adalah mengenai lemahnya

unifikasi hukum, sehingga diharapkan kelak hak ulayat akan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan

habis. Namun realitas menunjukkan lain, bahwa keberadaaan hak masyarakat adat atas tanah. Permasalahan hak

hak ulayat ditopang oleh tuntutan masyarakat adat akan masyarakat adat atas tanah telah dibahas oleh pendahulu

keadilan agraria. Hak ulayat bukanlah sesuatu yang dibiarkan penyusun UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

habis, tetapi sesuatu yang dipertahankan dan hendak direbut Pokok-pokok Agraria (UUPA). Kala itu, penyusun UUPA

kembali oleh masyarakat adat.

menggantikan konsepsi domein verklaring yang diterapkan oleh penguasa kolonial Belanda dengan konsepsi Hak

Lebih lanjut Noer Fauzi melihat bahwa Permen Hak Menguasai Negara yang diambil dari konsepsi hak ulayat pada

Komunal tidak akan mudah dijalankan tanpa adanya UU masyarakat hukum adat. Keberadaan hak ulayat pun diakui di

tentang Masyarakat Adat yang memberikan kejelasan dalam UUPA (Pasal 2 ayat 4 dan Pasal 3) dan disadari pula

mengenai masyarakat adat sebagai penyandang hak. Selain bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat (Pasal

itu, Noer Fauzi menyoal ketentuan di dalam Permen yang 5).

menghendaki dikeluarkannya hak komunal dari kawasan hutan. Hal senada juga disampaikan oleh Erasmus Cahyadi

Pengaturan di dalam UUPA belumlah memadai. yang memberikan catatan terhadap Permen Hak Komunal Atas Dibutuhkan peraturan yang operasional. Pengaturan yang

Tanah. Menurut Erasmus, Permen Hak Komunal haruslah operasional baru dibuat pada tahun 1999 melalui Peraturan

diposisikan dalam konteks kebijakan pengakuan terhadap Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5

masyarakat adat paska Putusan MK 35. Meskipun Permen Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak

memiliki kelebihan dalam hal prosedur penetapan hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini tidak

masyarakat adat atas tanah, namun secara konseptual terimplementasikan secara baik dan merata di setiap daerah,

terdapat banyak masalah yang membuat Permen Hak salah satunya karena proses pengakuan hukum terhadap hak

Komunal akan gagal bila diposisikan sebagai pelaksanaan ulayat masyarakat adat yang rumit harus melalui penelitian

Putusan MK 35.

dan penetapan dalam bentuk Peraturan Daerah. Kemudian Menteri Agraria/Kepala BPN mengganti peraturan tersebut

Nurul Firmansyah dalam artikelnya yang berjudul dengan Peraturan No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara

“Jauh Panggang dari Api: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

sebagai subjek Hak Komunal” menilai bahwa Permen Hak dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu.

Komunal memiliki sejumlah kekeliruan dan memperkuat kritik yang telah dimulai oleh Prof. Maria Sumardjono. Akibatnya

Peraturan Menteri Agraria yang baru ini mendapat Permen akan menjauhkan masyarakat adat dari akses kepada tanggapan dari berbagai kalangan. Digest edisi ini membahas

pengakuan hukum dan akan berdampak pada konflik hadirnya Peraturan Menteri Agraria tentang Hak Komunal Atas

horizontal di dalam masyarakat.

Tanah tersebut. Tulisan yang ditampilkan di dalam Digest ini merupakan tulisan/makalah dari peserta Diskusi Terfokus Quo

Setelah empat artikel pendahuluan yang membahas Vadis Hak Komunal Atas Tanah yang diselenggarakan Epistema

Permen Hak Komunal Atas Tanah dari sisi konseptual dan legal, Institute pada 20 Agustus 2015. Tulisan pertama merupakan

kemudian akan ditampilkan enam artikel yang beranjak dari artikel Prof. Maria Sumardjono (guru besar hukum agraria dari

konteks lapangan. Pengalaman lapangan ini dimulai dengan Universitas Gadjah Mada) yang telah diterbitkan di Kompas

Tengger, lokasi dimana diklaim oleh Menteri Agraria dan Tata pada 6 Juli 2015 dengan judul “Ihwal Hak Komunal atas Tanah.”

Ruang sebagai percontohan pemberian sertipikat hak komunal Tulisan ini mengkritik Permen Hak Komunal Atas Tanah karena

atas tanah. Dari artikel Purnawan D. Negara (Dosen Fakultas merancukan antara hak ulayat dengan hak komunal. Menurut

Hukum Universitas Widyagama Malang) yang melakukan Maria Sumardjono, dengan merujuk kepada definisi di dalam

penelitian terhadap Masyarakat Tengger, ternyata diketahui Permen, hak komunal merupakan hak milik bersama atas

bahwa yang diberikan bukanlah sertipikat komunal, melainkan tanah, sementara hak ulayat bukan merupakan hak atas tanah,

sertipikat individual dari program nasional (Prona) dimana di melainkan kewenangan yang dipunyai oleh masyarakat hukum

dalam sertipikat itu selain ditandatangani dan distempel oleh adat yang berdimensi publik dan perdata. Tanpa landasan

Kantor Pertanahan juga dilengkapi dengan tandatangan dan filosofis, yuridis dan sosiologis yang kuat, Maria Sumardjono

stempel desa.

menyangsikan Permen akan memberikan manfaat bagi pengakuan hak masyarakat adat atas tanah.

Selain itu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas, maka Permen Hak Komunal diletakkan dalam situasi Sementara itu, Noer Fauzi dalam artikel yang

sosial di daerah lain. Pada intinya hendak melihat bagaimana berjudul “Masyarakat Hukum Adat dan Hak Komunal Atas

potensi manfaat dan dampak pelaksanaan Permen Hak Tanah” memulainya dengan kritik terhadap pandangan yang

Komunal Atas Tanah dalam berbagai model penguasaan tanah selama ini memposisikan hak ulayat atau bernama lain, akan

yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lain, antara hilang “dengan sendirinya” seiring perkembangan zaman,

lain Papua, Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi Tengah, Jambi, dan terutama karena menguatnya hak-hak individual atas tanah

Sidoarjo (Jawa Timur).

dari para anggota MHA. Pandangan demikian sebenarnya

Sekapur Sirih Yusak Elisa Reba, Dosen Fakultas Hukum Universitas

Andreas Lagimpu, pemerhati budaya dan adat Cendrawasih di dalam artikelnya mengupas mengenai

Kulawi, Sulawesi Tengah dalam artikelnya mengulas mengenai keberadaan UU Otsus dan Perdasus Hak Ulayat di Provinsi

berbagai model penguasaan tanah pada masyarakat Kulawi di Papua. Dari kedua regulasi itu menunjukkan bahwa pengakuan

Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang menjaga nilai-nilai dan tanah ulayat di Papua bukan terletak pada aturan hukumnya

pranata dalam pemanfaatan tanah dan relasi sosial dalam melainkan konsistensi, ketaatan dan komitmen dari

wujud prinsip Hintuvu dan Katuvua. Baginya yang diperlukan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam

dari pemerintah bukan lagi political will dan regulasi, memberi perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat

melainkan political action yang membutuhkan keberanian adat. Senada dengan itu pula, keberadaan Permen ini bukan

mengambil resiko untuk memulihkan hak-hak rakyat. sesuatu yang urgen dan menjadi kebutuhan yang diperlukan dalam menata dan memperkuat hak-hak masyarakat adat atas

Artikel terakhir ditulis oleh Anas Natshi Luthfi dan tanah. Menurut Yusak, kehadiran Permen ini akan berpotensi

Moh. Shohibuddin yang berjudul “Mempromosikan Hak memperkuat kecurigaan masyarakat adat Papua akan

Komunal”. Tulisan ini tidak dibahas di dalam Diskusi Terfokus intervensi negara dan upaya-upaya untuk melakukan

yang dilakukan pada 20 Agustus 2015, namun tulisan ini sangat pencaplokan atas hak-hak masyarakat adat termasuk hak atas

penting untuk memberikan warna terhadap pembahasan tanah.

mengenai Permen Hak Komunal Atas Tanah. Luthfi mengajak untuk tidak terjebak dalam dikotomi masyarakat adat dan

Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Universitas bukan masyarakat adat karena ada pula pandangan yang Syah Kuala Aceh meletakkan Permen Hak Komunal dalam

menyatakan bahwa konstruksi masyarakat hukum adat konteks Aceh. Di Aceh, kesatuan masyarakat hukum adat

merupakan bentukan Kolonial Belanda untuk memudahkan merupakan Mukim yang bukan saja menjadi unit

kontrol terhadap desa. Sehingga, cakupan pengaturan hak pemerintahan secara tradisional namun juga merupakan

komunal juga dapat diberlakukan bukan kepada masyarakat subjek bagi hak ulayat baik terhadap tanah, wilayah, hutan,

adat. Selain itu, penetapan hak komunal harus dilakukan untuk dan juga laut. Dengan rumusan pengaturan di dalam Permen

mewujudkan pemerataan akses terhadap tanah serta Hak Komunal yang menentukan hak komunal sebagai hak

meletakan tanah sebagai kepunyaan bersama yang penting miliki bersama akan sulit diterapkan untuk konteks mukim di

bagi pemenuhan kebutuhan, sosial, ekonomi, dan ekologi bagi Aceh.

masyarakat. Dengan kata lain, tanah komunal harus dilihat dari sisinya sebagai the commons, yang melampaui persoalan

Dr. Kurnia Warman, Dosen Fakultas Hukum

status legalnya.

Universitas Andalas menuliskan artikel berjudul “Pendaftaran Tanah Milik Kaum Sebagai Tanah Milik Bersama di Sumatra

Sebelas artikel di dalam Digest kali ini menampilkan Barat” menuliskan pengalaman pendaftaran tanah kaum yang

suatu perdebatan mengenai konstruksi Hak Komunal yang sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum PP No. 24

diperkenalkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang. Sebagian Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Jadi, tanpa kehadiran

besar kritik yang diajukan terhadap Hak Komunal namun pada Permen Hak Komunal Atas Tanah pun, pendaftaran tanah

sisi lain perlu pula melihat dimensi positif yang dapat diberikan kaum tetap bisa dilakukan. Namun disadari juga bahwa

oleh Permen Hak Komunal untuk mengatasi rumitnya kerangka instrumen pendaftaran tanah saat ini belum mampu

hukum yang tersedia selama ini untuk pengakuan hak mengakomodasi keberagaman sistem tenurial masyarakat

masyarakat atas tanah. Tulisan di dalam Digest ini mengundang hukum adat. Pendaftaran tanah milik bersama dijalankan

diskusi yang lebih mendalam untuk kemudian dapat terhadap tanah kaum, tetapi belum dilakukan terhadap tanah

berkontribusi pada upaya menyempurnakan peraturan suku dan tanah Nagari.

perundang-undangan yang sesuai dengan kebutuhan untuk mewujudkan pemerataan hak dan akses terhadap tanah.

Sementara itu Gamma Galudra berdasarkan hasil penelitiannya pada masyarakat di Tanjung Jabung Barat,

Selain artikel tersebut, di dalam Digest kali ini , seperti Provinsi Jambi menunjukan bahwa konsepsi mengenai Hak

biasanya, juga dilengkapi dengan Resensi Buku yang ditulis Komunal Atas Tanah di dalam masyarakat bukanlah konsepsi

oleh Malik terhadap buku Yance Arizona, Konstitusionalisme yang statis, melainkan sangat dinamis bergantung dari

Agraria. Digest ini diterbitkan atas dukungan dari Ford interaksi antara masyarakat dengan pendatang. Hal itu sangat

Foundation. Mengakhiri sekapur sirih ini, dewan redaksi dipengaruhi dengan keberadaan Pesirah sebagai pimpinan

mengucapkan terimakasih atas kerja keras semua staf desa dan kepentingan sosial ekonomi terhadap tanah.

Epistema yang telah mengorganisir Diskusi Terfokus mengenai Menurut Gamma, Permen Hak Komunal akan sulit diterapkan

Hak Komunal yang tulisan tersebut kemudian diterbitkan bila mengategorisasikan masyarakat adat dan non adat dalam

dalam edisi khusus ini. Kepada Malik, Luluk Uliyah, dan Andi konteks Tanjung Jabung Barat karena diantara dua kategori itu

Sandhi yang bekerja keras membantu penerbitan Digest ini . sudah membaur satu sama lain, bahkan masyarakat kemudian membangun identitas baru seperti 'Melayu Jambi' di Tanjabar.

Ihwal Hak Komunal atas Tanah

Maria SW Sumardjono 1

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Beberapa pertanyaan mendasar dapat Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9

diajukan dalam permen ini. Pertama, apakah HK ini Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal

sama atau dipersamakan dengan hak ulayat MHA atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat

sebagaimana pengertian teknis yuridis yang dikenal yang Berada dalam Kawasan Tertentu terbit 12 Mei

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku? 2015.

Kedua, di mana tempat HK dalam sistem hukum pertanahan nasional sesuai Penjelasan Umum II (2) UU

Setiap kebijakan/peraturan perundang- Pokok Agraria (UUPA)? Ketiga, karena pengertian HK undangan yang dimaksudkan untuk memperkuat hak-

dalam Pasal 1 Angka 1 permen terdiri atas dua hak masyarakat tentu harus didukung. Meski

kelompok subyek, yakni MHA dan non-MHA, demikian, agar peraturan ini dapat dilaksanakan secara

bagaimana dengan cara terjadinya HK masing-masing? efektif, beberapa hal memerlukan klarifikasi.

Keempat, karena dengan berlakunya permen ini Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Peraturan menteri (permen) ini terbit untuk Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang memenuhi tersedianya suatu pedoman sebagai

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Dalam

Masyarakat Hukum Adat telah dicabut, bagaimana Negeri RI, Menteri Kehutanan RI, Menteri Pekerjaan

dengan eksistensi hak ulayat sebagaimana diatur Umum RI, dan Kepala Badan Pertanahan RI Nomor 79

dalam UUPA dan berbagai peraturan perundang- Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian

undangan yang berlaku?

Penguasaan Tanah yang Berada dalam Kawasan Hutan, khususnya untuk tanah-tanah masyarakat hukum adat atau MHA (lihat tulisan Myrna Safitri, ”Mencari

Hak komunal dan hak ulayat

Perusak Hutan”, Kompas, 10/3/2015). Permen tentang Hak Komunal (HK) ini tampaknya lebih menonjolkan

Tampaknya permen menyamakan hak sisi proseduralnya ketimbang konsepsi dasar terkait

komunal dengan hak ulayat. Dalam pembicaraan dengan subyek yang diatur.

sehari-hari, menggunakan istilah ”hak komunal”, ”tanah milik bersama”, ”hak ulayat” barangkali lebih

Ketika berbicara tentang ”hak”, ada empat ”bebas” karena tak ada implikasi hukumnya. Namun, unsur yang harus dipenuhi, yakni subyek, obyek,

ketika istilah itu dirumuskan dalam peraturan hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan

perundang-undangan harus jelas konsepsinya karena kewajiban, dan perlindungan hukumnya. Unsur subyek

ada implikasi hukumnya. Penyamaan itu antara lain menempati kedudukan terpenting. Ketidakjelasan

tampak dalam konsiderans huruf b ”bahwa hukum tentang subyek akan berimbas pada ketidakjelasan

tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak tiga unsur lainnya.

komunal dan yang serupa itu dari MHA, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksud

1 Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Ikhwal Hak Kmunal Atas Tanah

dalam Pasal 3 UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan tanah hak yang dipunyai orang perorangan atau badan Dasar Pokok-pokok Agraria.”

hukum yang kewenangannya beraspek perdata; dan (3) tanah ulayat MHA yang kewenangannya beraspek

Sebagaimana diketahui Pasal 3 UUPA tak

publik dan perdata.

menyebutkan tentang HK, tetapi merumuskan tentang hak ulayat. Demikian juga dari rumusan Pasal 17

Bagaimana dengan hak komunal MHA atas permen yang berbunyi sebagai berikut: ”MHA dan hak

tanah yang dimaksud oleh permen? Terhadap HK yang atas tanahnya yang sudah ada dan telah ditetapkan

subyek hukumnya adalah MHA, jelas tak dapat sebelum permen ini berlaku tetap sah dan dapat

dimasukkan dalam kategori hak ulayat karena HK diberikan hak komunal atas tanahnya”, dapat

hanya berdimensi perdata. Apakah hak komunal MHA disimpulkan bahwa yang dimaksudkan hak MHA yang

sebagai hak atas tanah dapat dikategorikan sebagai sudah ada itu sejatinya adalah hak ulayat sebagaimana

hak atas tanah menurut UUPA dengan segala isi diatur dalam berbagai peraturan daerah, yang oleh

kewenangannya: mengalihkan, mewariskan, permen disamakan atau bahkan diganti dengan HK.

menjadikan hak atas tanah sebagai jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan? Tampaknya hal ini

Merancukan HK dengan hak ulayat dalam juga bukan karakteristik HK karena Pasal 14 Permen permen itu hakikatnya adalah membangun fiksi

menyebutkan bahwa hak komunal MHA yang telah hukum, karena hak ulayat dan HK itu punya

bersertipikat dapat dikerjasamakan dengan pihak karakteristik berbeda, tetapi oleh permen dianggap

ketiga.

sama. Hak ulayat itu berdimensi publik sekaligus perdata. Dimensi publiknya tampak dalam

Barangkali jika hak komunal MHA di- kewenangan MHA untuk mengatur (1) tanah/wilayah

sandingkan dengan hak ulayat MHA dapat dicermati sebagai ruang hidupnya terkait pemanfaatannya

konsepsi tentang ulayat nagari dan ulayat kaum di termasuk pemeliharaannya; (2) hubungan hukum

Minangkabau. Ulayat nagari adalah hak ulayat yang antara MHA dan tanahnya; dan (3) perbuatan hukum

secara teknis yuridis dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. terkait dengan tanah MHA. Dimensi perdata hak ulayat

Nagari terdiri dari kelompok masyarakat yang tampak dalam manifestasi hak ulayat sebagai

mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, kepunyaan bersama. Hak ulayat itu bukan hak atas

mempunyai pemerintahan sendiri dan harta kekayaan tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 4 jo.

sendiri, lengkap dengan pengaturannya. Adapun pasal 16 UUPA. Sebaliknya, HK atas tanah itu dimaknai

ulayat kaum tak termasuk kategori tanah ulayat secara sebagai hak atas tanah (Pasal 1 Angka 10 Permen).

teknis yuridis, tetapi merupakan tanah milik adat yang bersifat komunal atau tanah milik kaum. Kaum adalah

Lebih lanjut, karena HK itu dikategorikan suatu kelompok (persekutuan) yang memiliki satu sebagai hak atas tanah, maka terhadap HK dapat

bidang atau beberapa bidang tanah secara komunal diterbitkan sertipikatnya (Pasal 13 Ayat (3) Permen).

dan turun-temurun di bawah pimpinan mamak kepala Sebaliknya, karena hak ulayat itu bukan hak atas tanah,

waris (Kurnia Warman, Ganggam Bauntuak Menjadi maka keberadaan hak ulayat itu dinyatakan dalam peta

Hak Milik, Andalas University Press, 2006). Barangkali dasar pendaftaran tanah dan apabila batas-batasnya

yang dimaksudkan hak komunal MHA atas tanah dapat ditentukan menurut tata cara pendaftaran

dalam permen ini adalah yang sesuai dengan tanah, batas tersebut digambarkan pada peta dasar

karakteristik tanah kaum itu.

pendaftaran tanah dan dicatat dalam daftar tanah; di atas tanah ulayat itu tidak diterbitkan sertipikat.

Isu ketiga, HK itu didefinisikan sebagai ”hak Dengan dicabutnya Peraturan Menteri Negara

milik bersama atas tanah suatu MHA atau hak milik Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5

bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat Tahun 1999 perihal pendaftaran hak ulayat ini menjadi

yang berada dalam kawasan hutan atau perkebunan” tidak jelas nasibnya!

(Pasal 1 Angka 1 Permen). Suatu definisi dimaksudkan untuk memberikan pengertian tentang suatu hal yang

Isu kedua, kedudukan hak komunal MHA akan digunakan secara berulang dalam rumusan pasal dalam sistem hukum tanah nasional. Mengacu

peraturan perundang-undangan itu. Definisi haruslah Penjelasan Umum II (2) UUPA, dalam hubungan antara

tegas sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Dengan negara dan tanah terdapat tiga entitas tanah: (1) tanah

demikian, definisi tentang HK itu tidak lazim karena negara yang kewenangannya beraspek publik; (2)

m e nya t u ka n d u a ke l o m p o k ya n g b e r b e d a

Ikhwal Hak Kmunal Atas Tanah karakteristiknya dalam satu definisi.

karena telah digantikan dengan HK? Patut dicatat bahwa dalam rangka pelaksanaan Perber Nomor 79

Sesuai dengan permen, HK itu terdiri atas dua Tahun 2014 Kementerian Dalam Negeri telah kelompok subyek, yakni hak milik bersama atas tanah

menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang subyeknya MHA dan hak milik bersama atas

(Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang tanah yang subyeknya masyarakat non-MHA. Bahwa

Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA. Ketika dua kelompok itu berbeda dapat dicermati pada Pasal

mengatur tentang substansi yang sama, bagaimana

3 Ayat (1) dan (2) Permen, masing-masing terkait harmonisasi antara permen dan permendagri? persyaratan MHA dan persyaratan masyarakat non- MHA.

Perlu sikap tegas

Walaupun keberadaan dua subyek hak itu ditetapkan oleh bupati/wali kota atau gubernur, perlu

Penguatan hak masyarakat, termasuk MHA ditegaskan bahwa terhadap MHA, penetapan itu harus

atas tanah yang merupakan ruang hidupnya, dimaknai sebagai pengukuhan terhadap keberadaan

merupakan keniscayaan. Dalam upaya mewujudkan MHA yang bersifat deklaratif sebagaimana ditegaskan

hal itu perlu ketegasan sikap pemerintah terhadap dalam Putusan MK No 85/PUU-XII/2013 terhadap UU

pengakuan dan perlindungan hak MHA atas tanahnya. No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan bahwa

Permen ini menimbulkan kerancuan antara hak ulayat HK itu sejatinya berada di atas tanah bersama milik

dan hak komunal. Di satu pihak pengaturan tentang HK (adat)nya sendiri (lihat Putusan MK No 35/PUU-

menimbulkan ketidakpastian hukum, di pihak lain X/2012 terhadap UU No 41 Tahun 1999 tentang

terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan tentang Kehutanan). Sebaliknya, terhadap keberadaan

hak ulayat dengan dicabutnya Peraturan Menteri masyarakat non-MHA, penetapan pejabat itu bersifat

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional konstitutif dan pemberian HK-nya dilakukan di atas

Nomor 5 Tahun 1999.

tanah negara yang telah dilepaskan dari kawasan hutan atau perkebunan.

Saat ini masih diperlukan pengaturan tentang hak ulayat MHA dengan mengakomodasi putusan MK

Keempat, masalah pencabutan Peraturan yang relevan serta harmonisasinya dengan peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

perundang-undangan lain. Memperkenalkan entitas Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Karena terdapat

baru (HK) dalam peraturan perundang-undangan itu kerancuan antara hak ulayat dan HK, patut

sah-sah saja sepanjang landasan filosofis, yuridis, dan dipersoalkan dampak pencabutan Peraturan Menteri

sosiologisnya kuat. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

di samping tidak ada jaminan kepastian hukum, Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 17 Permen dapat dimaknai

peraturan itu menjadi tidak bermanfaat. sebagai pemberian kesempatan kepada MHA dan hak

ulayatnya yang diakui dan dikukuhkan keberadaannya Artikel ini telah diterbitkan di Harian Kompas, 6 Juli (umumnya melalui perda) untuk diberikan HK atas

2015

tanahnya. Bagaimana hak ulayat yang secara teknis

yuridis diatur dalam berbagai perda itu yang sama sekali berbeda karakteristiknya dengan HK dapat diberikan HK? Dengan dicabutnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, lalu bagaimana dengan penjabaran pengaturan tentang hak ulayat dalam Pasal 3 UUPA di bidang pertanahan? Apakah dengan terbitnya permen itu hak ulayat sudah tak perlu diatur

negara dan/atau tanah negara, lalu pemerintah memasukkan sebagian atau seluruh wilayah adat itu ke dalam lisensi-lisensi yang diberikan untuk perusahaan perkebunan, pertambangan, kehutanan dan lainnya, atau menjadi bagian dari Taman Nasional untuk keperluan konservasi sumber daya alam, atau proyek-proyek infrastruktur raksasa tertentu. Di kampung- kampung, operasi perubahan hubungan kepemilikan dan perubahan tata guna tanah yang dijalankan oleh pemegang lisensi itu berlangsung secara paksa dan berakibat sangat fatal, termasuk menyempitnya ruang hidup, hilangnya sebagian akses masyarakat atas tanah dan sumber daya alamnya, dan fungsi-fungsi faal dari alam gagal menyediakan layanan ekologis sebagaimana diperlukan.

Uraian dari Sri Palupi “Pandanglah Kami” dalam Kompas 3 Juli 2015 telah secara ilustratif menunjukkan bahwa pemerintah diingatkan untuk mengambil langkah-langkah yang secara langsung dapat melindungi rakyat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan MHA. Keselamatan mereka terancam, layanan ekologi yang diterima rakyat dari alam rusak, produktivitasnya menurun, dan kesejahteraannya merosot. Semua diakibatkan kekeliruan kebijakan pemerintah mengelola sumber daya alam.

Pengantar

Masalah ketidakpastian hak masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya dalam hukum agraria Indonesia belum menemukan solusinya, baik pada tataran kebijakan hingga instrumen pemerintahan. Suatu jenis penguasaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) atas keseluruhan wilayah adat, yang disebut sebagai “hak ulayat” dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 Pasal 3, dikategorikan bukanlah sebagai suatu hak atas tanah yang dapat diadministrasikan melalui pendaftaran tanah. Pemerintah tidak menyediakan suatu layanan yang dapat memberikan tanda kepemilikan tertentu, dan tidak memiliki peta resmi yang merupakan rujukan pengetahuan dimana saja keberadaan dari wilayah-wilayah adat itu di seantero Nusantara.

Sering dianggap bahwa penguasaan MHA atas wilayah adatnya, yang disebut “hak ulayat” atau bernama lain, akan hilang “dengan sendirinya” seiring perkembangan zaman, terutama karena menguatnya hak-hak individual atas tanah dari para anggota MHA. Sesungguhnya yang banyak memporak-porandakan wilayah adat adalah negara-isasi, yakni wilayah adat, atau bagian dari padanya, dianggap sebagai hutan

Masyarakat Hukum Adat dan Hak Komunal atas Tanah

Peneliti Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa

Noer Fauzi Rachman, PhD 1

Masyarakat Hukum Adat, dan Hak Komunal Atas Tanah

Putusan MK 35/2012 dan sesudahnya

Republik Indonesia Joko Widodo secara langsung dalam pertemuan mereka di Istana 25 Juni 2015 lalu agar pemerintah mengakhiri praktek-praktek

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara kriminalisasi atas mereka yang memperjuangkan nomor 35/PUU-X/2012 (selanjutnya disebut Putusan tanah/wilayah adat milik mereka sendiri. Pada MK 35) mengubah sejumlah pasal dalam UU no p o ko k nya m e re ka te l a h d i t u d u h / d i s a n g ka / 41/1999 tentang Kehutanan, yang utamanya didakwa/ditetapkan sebagai pencuri atau perusak hak menyatakan bahwa wilayah adat adalah miliknya milik pihak lain. Setelah Putusan MK 35 menjadi terang

Masyarakat Hukum Adat (MHA). Dengan pendirian benderang: Sesung guhnya, mereka sedang demikian itu, hutan adat tidak lagi masuk dalam mempertahankan hak milik mereka sendiri dengan

kategori “Hutan Negara”, melainkan masuk ke dalam cara mereka sendiri dari gangguan pihak yang kategori “Hutan Hak”. Berbeda dengan “Hutan merampas/mencuri tanah dan sumber daya alam dari Negara” yang status hak atas tanah di mana hutan itu

wilayah milik mereka.

berdiri adalah “Tanah Negara”, maka “Hutan Hak” merupakan hutan yang berdiri di atas hak atas tanah yang statusnya adalah “Hak Milik”, baik berupa hak

Pendaftaran tanah hak komunal

milik perorangan dan hak milik bersama dari MHA .

Di tengah ketiadaan prosedur resmi Andil dari Putusan MK 35 itu adalah koreksi

pengakuan hak kepemilikan masyarakat adat atas dan sekaligus merupakan tonggak baru dalam politik

wilayah adatnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang agraria kehutanan. Gaung Putusan MK 35 itu

mengeluarkan suatu terobosan baru, yakni Peraturan menggema di kampung-kampung, dan menggerakkan

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan pimpinan MHA membuat plang-plang penanda klaim

Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 9 Tahun 2015 kepemilikan atas Wilayah Adatnya. Plang-plang itu

(selanjutnya disebut Peraturan MATR/KBPN Nomor merupakan klaim tandingan (counter claim) yang

9/2015) yang mengatur tata cara penetapan hak dibuat sendiri oleh mereka untuk menandingi klaim

komunal atas tanah untuk masyarakat hukum adat, kepemilikan dari pemerintah atau pihak pemegang

dan untuk masyarakat yang berada dalam kawasan lisensi dari pemerintah. Pada sejumlah kasus, klaim itu

kehutanan, perkebunan dan lainnya. Peraturan ini bertumbukan pula dengan klaim masyarakat

m e n g h a p u s ka n Pe ra t u ra n M e n t e r i N e ga ra pendatang/migran yang menikmati tanah itu karena

Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang program pemerintah seperti transmigrasi, maupun

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat mobilitas tenaga kerja secara terorganisir oleh

Masyarakat Hukum Adat.

perusahaan maupun secara sukarela. Tumbukan klaim-klaim ini merupakan bagian dari perjalanan

MHA yang dirumuskan oleh peraturan baru ini konflik agraria yang kronis. Dari ratusan kasus konflik

adalah suatu kelompok masyarakat yang secara fisik agraria itu, Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) mendata

menguasai tanah, sumber daya alam, dan wilayah adat hingga lebih dari 200 kasus korban kriminalisasi

mereka secara terus-menerus, bercirikan paguyuban terhadap warga dan pemimpin masyarakat adat yang

yang memiliki kelembagaan perangkat penguasa memperjuangkan wilayah adat mereka dan mendapat

adatnya, wilayah hukum adat yang jelas, dengan pelakuan sebagai kriminal, baik sekarang dalam

pranata dan perangkat hukum adatnya masih ditaati statusnya sebagai narapidana, terdakwa, tersangka,

oleh masyarakatnya.

maupun dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Banyak lagi yang sudah keluar dari jeruji penjara dan berstatus

BPN memperkenalkan suatu jenis hak yang eks-narapidana.

baru, yakni Hak Komunal atas Tanah, yang dirumuskan sebagai “hak milik bersama atas tanah suatu MHA”.

Setelah Putusan MK 35 keluar, seharusnya Dengan memperkenalkan “Hak Komunal” sebagai status mereka diamnesti, diabolisi, dan direhabilitasi,

suatu hak milik bersama yang dipunyai oleh suatu dan diberi kompensasi, bergantung pada tipologi

MHA, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN telah status perkaranya. Karena pemerintah nasional belum

membuat terobosan hukum, tanpa membuat membuatkan kebijakan yang secara afirmatif, maka

amandemen atas PP Nomor 24/1997 tentang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan

Pendaftaran Tanah.

rombongan pendukungnya meminta kepada Presiden

Kemanjuran dan Keterbatasan

Pertimbangan utama dari dihadirkannya peraturan itu adalah bahwa sebagian rakyat telah menguasai tanah dalam jangka waktu yang cukup lama dan membangun tempat hidup dan mencari penghidupan, sehingga perlu diberikan perlindungan hukum oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini telah mendapat tinjauan kritis dari Maria Sumarjono dalam “Ihwal Hak Komunal atas Tanah”, Kompas 6 Juli 2015.

Perlu disadari bahwa tidak semua urusan hak MHA atas Wilayah Adat bisa diselesaikan dengan Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini. Penulis yakin dengan tersedia pilihan ini, sepanjang belum ada Undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai Hak-hak Masyarakat Hukum Adat, maka siapapun yang mencoba tata cara ini sesegera dan secermat mungkin kita pelajari pelaksanaannya, kemajuran dan keterbatasannya menyelesaikan masalah ketidakpastian penguasaan tanah MHA.

Peraturan ini mengatur bahwa manakala Tim IP4T menemukan lokasi dari tanah yang diinventarisasi itu berada dalam Kawasan Hutan, maka rekomendasi dari Tim IP4T adalah menyerahkan hasil analisisnya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), c.q. Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, “untuk dilepaskan dari kawasan hutan.” Penulis berpendapat bahwa terdapat pilihan lain bahwa dengan penetapan status kepemilikan bersama atas tanah adat sebagai Hak Komunal tidak berarti wilayah adat itu niscaya dikeluarkan dari Kawasan Hutan, melainkan dikukuhkan oleh Kementerian LHK sebagai Hutan Hak berdasarkan Hak Komunal, dan tetap berada dalam Kawasan Hutan. Kawasan Hutan dapat berupa Hutan Negara (yang berdiri di atas tanah Negara), dan Hutan Hak (yang terdiri dari Hutan Pribadi yang berdiri di atas tanah milik pribadi, dan Hutan Adat yang berdiri di atas hak kepemilikan bersama atas wilayah adat).

Agenda Kebijakan

Kita dapat membedakan antara wacana “hak- hak bawaan” yang bermuara ke agenda “pengakuan hak” dengan “hak-hak berian” yang berujung pada agenda “pemberian hak”. Peraturan ini membedakan

Proses pemberian Hak Komunal ini dilakukan oleh suatu tim IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) yang dibentuk oleh Bupati/Walikota atau Gubernur untuk menentukan keberadaan MHA beserta tanahnya. Bupati/Walikota lah membentuk Tim IP4T apabila lokasi tanah adat itu berada di dalam wilayah administrasi Kabupaten/Kota.Apabila tanah adat itu berada di setidaknya dua wilayah Kabupaten/Kota, maka Gubernur lah yang membentuk tim IP4T itu. Peraturan MATR/KBPN Nomor 9/2015 ini memberi pedoman siapa-siapa saja yang menjadi anggota Tim IP4T itu.

Permohonan dapat diajukan oleh Kepala Adat yang bersangkutan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur, dengan diperlengkapi syarat: riwayat masyarakat hukum adat dan tanahnya, kartu identitas pemohon, dan surat keterangan dari desa atau desa- desa. Tim IP4T memproses permohonan tersebut, melakukan identifikasi dan verifikasi pemohon, riwayat tanah, jenis penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah, mengidentifikasi dan menginventarisasi batas tanah, melakukan pemeriksanaan lapangan, analisa data yuridis dan data fisik bidang tanah, dan menyampaikan laporan hasil kerja Tim IP4T kepada yang membentuknya. Apabila posisi tanah adalah sedang dipersengketakan, maka Tim IP4T ini memiliki kewenangan pula untuk melakukan musyawarah dengan para pihak yang bersengketa itu, meski tidak dijelaskan bagaimana penyelesaian sengketa itu dilakukan. Hal ini penting sekali sehubungan dengan banyaknya bidang tanah yang berada di wilayah Masyarakat Hukum Adat sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah, atau sudah “dibebaskan” untuk keperluan instansi pemerintah pemerintah, badan hukum atau perseorangan.

Sebagai yang membentuk Tim IP4T, Bupati/ Walikota atau Gubernur lah yang menindaklanjuti laporan yang diterimanya dengan membuat penetapan Hak Komunal atas nama MHA dan menyampaikan penetapan itu ke Kantor Wilayah BPN, atau Kantor Pertanahan setempat untuk kemudian dilakukan proses pendaftaran hak atas tanah. Sertifikat hak komunal akan dikeluarkan sebagai tanda kepemilikan dari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.

Masyarakat Hukum Adat, dan Hak Komunal Atas Tanah

Masyarakat Hukum Adat, dan Hak Komunal Atas Tanah

“pengakuan hak” yang diberlakukan atas keberadaan Sesungguhnya ini adalah masalah perjuangan subjek MHA, sedangkan “pemberian hak” adalah

tanah air sebagaimana saya tulis di “Masyarakat Adat penetapan Pemerintah memberikan suatu hak atas

dan Perjuangan Tanah Airnya”, Kompas 11 Juni 2012. “Tanah Negara”. Dengan merujuk pada pembedaan

Masalah pengakuan dan perlindungan Hak-hak MHA ini, UUPA sebenarnya menyediakan pertemuan

mesti diurus secara serius dan diwujudkan dalam keduanya, yakni bagaimana kewenangan yang

perundang-undangan tersendiri. Presiden perlu dipegang oleh Pemerintah, yakni Hak Menguasai dari

membentuk suatu Satuan Tugas Pengakuan dan Negara (HMN), dapat dikuasakan kepada MHA (pasal 2

Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang ayat 4 UUPA). Hingga kini belum ada contoh dan tata

bersifat ad hoc agar berbagai aspek perubahan cara bagaimana hal itu diwujudkan. Kalau hal ini

perundang-undangan, praktek pemerintah hingga terjadi, berarti pemerintah memberi jaminan akan

perlindungan langsung pada korban dapat dijalankan keberadaan Hak Ulayat, dan dalam konteks lebih luas,

secara terfokus dan dari waktu ke waktu terjamin hal itu menjamin keberlangsungan hidup dari hukum-

kemajuan. Mari kita dukung Menteri Lingkungan hukum adat yang beragam di Nusantara. Keperluan

Hidup dan Kehutanan (MLHK), DR. Siti Nurbaya, yang mengadakan pengaturan mengenai pemberian kuasa

telah diminta Presiden untuk memimpin proses HMN kepada MHA ini semakin penting, karena

pembentukannya.

Pe ra t u ra n M AT R / K B P N N o m o r 9 / 2 0 1 5 i n i menghapuskan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Beberapa Catatan

Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015

Erasmus Cahyadi, SH. 1

Pengantar

Lebih lanjut, Putusan MK 35 juga menjadi dasar bagi pemulihan hak masyarakat adat yang selama ini mengalami tekanan dari pihak luar yang membuat

25 Mei 2015, Pemerintah mengundangkan mereka tidak bisa memperoleh manfaat secara Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala maksimal dari wilayah, tanah dan sumber daya yang

Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 2015

dimilikinya.

tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada

Lima hal penting dari Putusan MK 35 tersebut dalam Kawasan Tertentu (selanjutnya disebut adalah: Pertama, pernyataan Mahkamah Konstitusi Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015), dan sekaligus bahwa UU Kehutanan yang selama ini memasukan menghapus Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat adat dan merupakan pelanggaran Masyarakat Hukum Adat. Sebelum melihat lebih dalam konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengenai isi dari Permen tersebut, perlu menyebutkan: “Oleh karena itu, menempatkan hutan diketengahkan perkembangan hukum dan kebijakan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan apa yang telah ada sebelumnya agar mudah bagi kita pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum menilai apakah Permen ini memperkuatnya melalui adat” (Putusan MK 35/PUU-X/2012. hal. 173-4). terobosan-terobosan baru atau malah sebaliknya

malah menimbulkan kerumitan baru dalam upaya Kedua, Hutan adat dikeluarkan posisinya dari percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat hutan negara kemudian dimasukan ke dalam kategori

adat dan hak atas wilayah adat sebagaimana dapat hutan hak. Di dalam Putusan MK 35 secara tegas dibaca di dalam 6 (enam) poin masyarakat adat di disebutkan dengan cetak tebal bahwa “hutan adat dalam Nawacita.

bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, kategori hutan hak di dalamnya haruslah

Dalam konteks itulah, tulisan singkat ini akan dimasukkan hutan adat . Lebih lanjut di dalam 2 mengulas perkembangan hukum terutama pada

putusan MK itu disebutkan bahwa posisi hutan adat tingkat nasional paska Putusan MK 35/2012 yang merupakan bagian dari tanah ulayat masyarakat dibacakan pada 16 Mei 2013 silam untuk kemudian

hukum adat.

dihubungkan dengan Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015.

Ketiga, pemegang hak atas tanah adalah pemegang hak atas hutan. Dalam putusannya MK

Hal-hal pokok yang terkandung di dalam

menyampaikan bahwa ada tiga subjek hukum yang

Putusan MK 35/2012

diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat Putusan MK 35 menandai babak baru

hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di pengakuan negara terhadap masyarakat adat di

atasnya terdapat hutan.

Indonesia. Putusan tersebut mengakui masyarakat adat sebagai “penyandang hak” atau subjek hukum

Ke e m p at , m e nya n g ku t ke we n a n ga n . atas wilayah adatnya. Dengan itu hendak dikatakan

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa wewenang bahwa Putusan MK 35 itu adalah suatu putusan yang

negara atas hutan adat dibatasi sejauh mana isi menjadi dasar bagi suatu penataan kembali

wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang selama

adat (yang disebut pula hutan marga, hutan ini berbasis kepada negara dan kepentingan swasta.

pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam

Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015 cakupan hak ulayat karena berada dalam satu

sektoral tetapi juga tidak saling mendukung. Lebih kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat

lanjut, kebijakan paska putusan MK malah hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri

meningkatkan tindakan represi terhadap masyarakat (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de 4 adat meskipun UU P3H merumuskan ketentuan

volksfeer) dan mempunyai suatu badan pengurusan pengecualian terhadap praktik pengelolaan tradisional pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan

masyarakat adat sebagai tindak pidana. Hal lain dari wilayahnya.

kebijakan-kebijakan yang lahir paska Putusan MK 35 adalah adanya suatu situasi umum dimana pemerintah

Kelima, adanya penegasan bahwa masyarakat tampak tidak memiliki agenda untuk merumuskan adat merupakan penyandang hak. Mahkamah

satu kebijakan dasar yang menjadi pegangan dalam Konstitusi menegaskan bahwa masyarakat adat

penyusunan serangkaian kebijakan setelahnya yang merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan

lebih administratif. Sebagai contoh, ketidakjelasan kewajiban.

pengakuan wilayah adat mengakibatkan hal-hal baik dari ratifikasi Protokol Nagoya tidak dapat dinikmati

Perkembangan Kebijakan Paska MK 35 3

oleh masyarakat adat.

Ada banyak kebijakan di tingkat nasional setelah Putusan MK 35 sebagaimana tampak di dalam

Hal-hal pokok dalam Peraturan

tabel 1.

MATR/KBPN No. 9/2015

Di dalam teks, Permen mengandung beberapa Berbagai respons kebijakan tersebut

dasar pertimbangan, antara lain adalah: Permen menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki dimaksudkan sebagai bagian dari upaya pelaksanaan kesepahaman umum mengenai Putusan MK 35, reformasi hukum di bidang agraria dan pengelolaan sehingga respons yang dikeluarkan tampak tidak saja sumber daya alam sebagaimana telah diamanatkan

Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015 oleh TAP MPR IX/2001 silam. Selain itu, juga

bersesuaian dengan Putusan MK 35/2012 yang menegaskan pengakuan terhadap hak komunal atas

meletakkan hak masyarakat adat atas wilayah adat tanah sebagai HAK MILIK suatu masyarakat hukum

sebagai hak bawaan, yaitu hak yang tidak bersumber adat. Hal lain adalah, ingin menegaskan bahwa tanah

dari adanya negara, yang karenanya negara hanya adalah untuk rakyat termasuk masyarakat adat dan

perlu "mengakui" sejarah kepemilikan masyarakat dan hukum harus melindungi kepemilikan rakyat atas

adat atas wilayah adat dan mencatatkannya di dalam tanah.

administrasi pertanahan.

Permen ini dapat dipandang sebagai terbosan Kedua, Permen merefleksikan pemahaman hukum penting yang mempermudah masyarakat adat

pemerintah terhadap kawasan hutan yang tidak untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah dan

berubah, yang masih menyamakan begitu saja wilayah adatnya terutama karena Permen tidak

"kawasan hutan" sebagai "hutan negara". Cara menyerahkan pengakuan terhadap tanah dan wilayah

pandang ini setidaknya terbaca dari ketentuan Pasal 10 adat ke dalam suatu proses yang sangat politis melalui

Permen ATR yang yang menyatakan bahwa "dalam hal pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten/Kota. 5 hasil analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9

Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum Peraturan diketahui tanah yang dimohon berada di dalam MATR/KBPN No. 9/2015 telah ada beberapa kebijakan

kawasan hutan, tim IP4T menyerahkan hasil analisis yang mengatur tentang masyarakat adat termasuk hak

kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan atas tanah dan wilayah adatnya. Beberapa di antaranya

pemerintahan di bidang kehutanan cq. Dirjen yang adalah Permenag No. 5/1999, UU No.41/1999 tentang

mempunyai tugas di bidang planologi kehutanan, Kehutanan. Setidaknya keduanya mengharuskan 6 untuk dilepaskan dari kawasan hutan" .

adanya Peraturan Daerah. Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 menawarkan sesuatu yang lebih mudah

Pada level operasional, Permen juga potensial dengan mengatur mekanisme yang lebih administratif

bermasalah jika dipaksakan berlakunya. Beberapa hal melalui pembentukan Tim IP4T. Di samping itu, juga

dapat dikemukakan di sini. Pertama, Permen tidak menawarkan suatu proses yang lebih partisipatif

keluar dari rezim pengakuan bersyarat terhadap dengan melibatkan tokoh-tokoh adat dan lembaga-

keberadaan masyarakat adat. Bahkan pengakuan lembaga swadaya masyarakat untuk masuk ke dalam

keberadaan masyarakat adat ditandai dengan Tim IP4T.

pemenuhan semua kriteria keberadaan masyarakat adat (pemenuhan secara kumulatif semua kriteria

Permasalahan dalam Teks yang Potensial keberadaan masyarakat adat). Menjadi Masalah dalam Penerapan

Kedua, Permen memang memungkinkan Meskipun Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015

terjadinya suatu proses penyelesaian sengketa yang tampak mempermudah proses pengakuan hak

akan dilakukan oleh tim IP4T. Tetapi bagaimana masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya,

sengketa itu diselesaikan tidak dijelaskan oleh Permen tetapi jika kita mengamini bahwa seyogyanya Putusan

ini selain daripada dilakukan secara musyawarah MK 35 menjadi pegangan pemerintah dalam membuat

dengan para pihak. Di samping itu, penyelesaian kebijakan terkait masyarakat adat dan wilayah

sengketa apapun yang dipilih tidaklah fundamental. Ini adatnya, maka akan segera terlihat bahwa Peraturan

disebabkan karena permen ini mengatur bahwa hak MATR/KBPN No. 9/2015 ini mengandung beberapa

apapun (jadi termasuk hak guna usaha, dan hak persoalan pelik yang karenanya potensial bermasalah

lainnya) yang sudah dimiliki oleh pihak lain di atas jika dipaksakan untuk dilaksanakan.

tanah komunal itu tetap sah. Artinya penyelesaian konflik dalam konteks situasi demikian tidak akan

Pada level konsep, Peraturan MATR/KBPN No. berakhir pada batalnya suatu hak atas tanah yang telah 9/2015 mengandung beberapa masalah, antara lain:

dimiliki oleh pihak lain semisal perusahaan Pertama, Permen menggunakan cara pandang lama

perkebunan atau perusahaan HPH di atas tanah yang menempatkan negara sebagai satu-satunya

komunal itu.

entitas yang memegang kendali mutlak pada tanah dan sumber daya alam, termasuk wilayah-wilayah adat

Ketiga, Permen potensial memicu konflik dan karenanya negaralah yang "memberikan" hak

horisontal antara masyarakat adat dengan kelompok kepada masyarakat adat termasuk hak atas wilayah

masyarakat lain. Dalam sebuah diskusi terkait Permen, adat. Menurut hemat saya, cara pandang ini tidak

menunjukkan bahwa yang menguasai wilayah-wilayah

Beberapa Catatan Atas Peraturan MATR/KBPN Nomor 9 Tahun 2015 adat bukan hanya entitas negara atau bisnis tetapi juga

Penutup

kelompok-kelompok masyarakat. Pemerintah akan terus menerus ditagih untuk

Jika kita mengacu pada pendapat MK melalui mempercepat pengakuan masyarakat adat dan haknya Putusan MK 35/2012 yang menyatakan bahwa dengan

termasuk atas wilayah adat, terutama setelah Joko menempatkan hutan (wilayah) adat ke dalam hutan

Widodo-Jusuf Kalla berkomitmen salah satunya untuk negara maka selama ini negara telah melakukan

itu. Jika Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 ini adalah pengabaian, maka Permen ini seharusnya disusun

salah satu wujud dari pelaksanaan komitmen itu, dalam kerangka tidak saja pengakuan hak masyarakat

tampaknya pemerintah perlu segera merevisinya adat atas wilayah adatnya tetapi juga melakukan

sebelum dilaksanakan.

pemulihan hak masyarakat adat tersebut. Melalui kesadaran untuk memulihkan hak masyarakat adat

Harus diakui bahwa Peraturan MATR/KBPN atas wilayah adatnya, maka Permen mestinya

No. 9/2015 memang berisi hal-hal yang sangat baik mengikuti pengaturan UU Desa terkait dengan

dalam konteks memecah kebuntuan dan kelambanan penggunaan-penggunaan kriteria keberadaan

hukum selama ini dalam merespons tuntutan masyarakat adat yang memandang keberadaan

masyarakat adat. Namun demikian, peraturan ini masyarakat adat tidak harus pemenuhan secara