Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
Nurul Firmansyah, SH. 1
Pengantar
garis keturunan) maupun teritorial (kesamaan tempat Pemerintah telah
tinggal). Keberadaan dua subyek hak atas tanah menerbitkan Peraturan
komunal dalam Peraturan tersebut punya implikasi Menteri Agraria/Kepala Badan
terhadap bentuk ikatan hukum dengan tanah komunal. Pertanahan Nasional Nomor 9
Masyarakat Hukum Adat memiliki ikatan sosial- Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
tradisional (geneologis dan atau teritorial), sementara Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dan Masyarakat
untuk masyarakat tertentu merujuk kepada ikatan dalam Kawasan Tertentu (kemudian disebut Peraturan 3 penguasaan “de facto” atas tanah . Situasi tersebut
MATR/KBPN No. 9/2015). Peraturan yang dikeluarkan berpotensi memunculkan persoalan hukum,yaitu pada 25 Mei 2015 ini semestinya diletakkan dalam
saling tumpang tindih antara masyarakat hukum adat rangka menjawab permasalahan yang dihadapi oleh
dan masyarakat yang berada pada kawasan tertentu masyarakat hukum adat yang selama ini dipaksa untuk
pada objek yang sama.
melepaskan ikatannya dengan hutan, tanah, air dan kekayaan alam yang mereka miliki. Apakah peraturan
Selanjutnya, Peraturan MATR/KBPN No. baru ini mampu menjawab permasalahan yang dihadapi
9/2015 menggunakan kelembagaan ad hoc, yaitu IP4T oleh masyarakat hukum adat terutama dalam kaitannya
yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah (Provinsi dan dengan hak atas sumber daya alamnya, atau sebaliknya,
atau kabupaten/kota) untuk memastikan keberadaan peraturan ini malah menambah masalah baru?
masyarakat hukum adat sebagai subyek hak dengan parameter-parameter yang telah ditentukan dalam
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka 3 Peraturan MATR/KBPN No.9/2015 ini . Hal ini secara konseptual kita harus memperhatikan bagaimana
membuatnya tidak sinkron dengan pengaturan lain Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 tersebut mengatur
mengenai penetapan masyarakat hukum adat yang mengenai subyek hak, ikatan-ikatan hukum yang
menghendaki penetapan dalam bentuk Peraturan berkaitan dengan tanah dan sumber daya alamnya serta
Daerah atau Surat Keputusan Kepala Daerah seperti bagaimana hukum mengatur tentang objek tanah dan
dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU sumber daya alam itu sendiri . Ternyata Peraturan 2
Desa, Perber 4 K/L No. 8/SKB/X/2014 Tentang Tata Cara MATR/KBPN No. 9/2015 tidak saja menempatkan
Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di masyarakat hukum adat sebagai subyek hak komunal
Kawasan Hutan, Permendagri 52/2014 tentang atas tanah, tetapi juga masyarakat pada kawasan
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat tertentu, yaitu masyarakat yang berada di kawasan
Hukum Adat. Ketidaksinkronan aturan ini melahirkan hutan atau perkebunan.
ketidakpastian hukum tentang eksistensi masyarakat hukum adat sebagai subyek hak dan berakibat pada
Sementara itu, Masyarakat Hukum Adat dalam ketidakpastian perlindungan hukum terhadap hak- peraturan ini dijabarkan sebagai masyarakat yang terikat
haknya terutama pada kawasan hutan dan sektor dengan hukum adat, baik secara geneologis (persamaan
sumber daya alam lainnya.
“Jauh Panggang dari Api”: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal
Simplikasi masyarakat hukum adat sebagai
komunal masyarakat hukum adat tersebut, yang
subyek hak dan perkerdilan hak-haknya selanjutnya disampaikan kepada kantor BPN setempat
untuk didaftarkan hak atas tanahnya. Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 mencabut
Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 Penetapan hak komunal atas tanah oleh tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Gubernur dan Bupati/Walikota dalam Peraturan Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permenag No. 5/1999), MATR/KBPN No. 9/2015 tidak dijelaskan secara tertulis namun Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 masih menggunakan Perda atau Surat Keputusan Kepala menggunakan kriteria keberadaan masyarakat hukum Daerah. Namun dalam praktek hukum, penetapan objek
adat sebagaimana Permenag No. 5/1999, dengan tertentu oleh Kepala Daerah melalui Surat Keputusan perbedaan pada prosedur penetapan masyarakat Kepala Daerah. Dalam hal ini, penetapan masyarakat
hukum adat sebagai subyek hak dan penetapan haknya hukum adat dan hak komunal atas tanah dilakukan yang tidak lagi menggunakan penelitian oleh secara bersamaan dalam satu Surat Keputusan Kepala Pemerintah Daerah, namun melalui lembaga Daerah. Hal ini perlu dilihat dalam kerangka melakukan kepanitiaan ad hoc, yaitu Tim IP4T. sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan
lain yang mengatur hal serupa.
T i m I P 4 T d i b e n t u k o l e h Pe m e r i n t a h Kabupaten/kota dan atau Provinsi yang terdiri dari unsur
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka dapat BPN, Dinas Kehutanan, Akademisi, LSM dan Perwakilan
dibandingkan dengan kerangka hukum untuk penetapan Masyarakat Hukum Adat bersangkutan. IP4T bertugas subyek masyarakat hukum adat dan desa adat yang untuk melaksanakan identifikasi, verifikasi dan sudah dalam dalam peraturan perundang-undangan pemeriksaan lapangan yang bertujuan untuk
sebagaimana dalam tabel 1.
menghasilkan laporan tentang keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek hak, data fisik dan yuridis
Dari tabel 1 terlihat bahwa objek hak penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat, masyarakat hukum adat adalah wilayah adat, baik itu termasuk batas-batas wilayahnya. Selanjutnya, wilayah adat yang berada di kawasan hutan (hutan adat), Bupati/Walikota dan atau Gubernur menetapkan hak
Tabel 1. Penetapan Subjek Hukum Masyarakat Hukum Adat dan Desa Adat
Kelembagaan
Bentuk Aturan Daerah
No
Ruang Lingkup
Masyarakat Hukum
Penetapan Masyarakat
Dasar Hukum
Pengaturan
Adat
hukum Adat
1 Masyarakat Hukum
Perda Provinsi, Perda
1. Penetapan tidak
1. Undang-Undang
Adat
kabupaten/kota, surat
dibatasi batas wilayah
Kehutanan
keputusan
kabupaten/kota dan
2. Permenhut 32/2015
bupati/walikota, surat
kawasan hutan namun
tentang hutan hak
keputusan bersama
merujuk pada wilayah
3. Permendagri 52/2014
bupati/walikota
adat
4. Peraturan perundang-
2. Punya hak terhadap
undangan sektor
tanah dan hutan
sumber daya alam
3. Penguasaan berdimensi publik dan privat adat
2 Desa Adat
Perda Provinsi dan
1. Terintegrasi dengan
1. UU Desa
Perda Kabupaten / kota
sistem pemerintahan 2. Merujuk pada wilayah adat 3. Punya kewenangan pemerintahan dan hak asal usul termasuk hak tanah, hutan dan sumber daya alam 4. Kelembagaan hybrid : modern-adat 5. Lebih cenderung pada penguasaan berdimensi publik adat
“Jauh Panggang dari Api”: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal diluar kawasan hutan (tanah ulayat) dan sumber-
berada di kawasan hutan yang mempersyaratkan sumber daya alam lainnya yang berada diatas wilayah
penetapan masyarakat hukum adat sebagai subyek hak adat. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup hak dan
terlebih dahulu.
kewenangannya, yaitu berhubungan dengan jenis-jenis haknya yang diatur.
Pertama, secara normatif an sich, penetapan hak ulayat tidak lagi ada untuk masyarakat hukum adat Dalam wilayah adat, hak tidak hanya ada satu
sejak dicabutnya Permenag No. 5/1999. Namun dalam jenis, namun seperangkat hak (Bundle of Rights) yang
konteks desa adat, hak ulayat melebur dalam aset desa dimiliki oleh subyek-subyek hak yang berbeda, namun
adat, sehingga penetapan desa adat merupakan bagian terhubung dalam ikatan persekutuan hukum
dari penetapan hak asal usul dan kewenangan desa adat masyarakat hukum adat. Hak atas wilayah adat
atas atas wilayah adat yang berdimensi publik. Namun melingkupi hak yang berdimensi publik dan berdimensi
ketidakpastian hukum muncul pada masyarakat hukum privat. Hak publik adat adalah hak yang mirip dengan hak
adat non desa adat yang tidak lagi memiliki rujukan menguasai Negara. Hak publik adat melingkupi hak
hukum ketika Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 untuk menentukan hubungan hukum antara
mencabut Permenag no. 5/1999.
anggota/klan dalam masyarakat hukum adat atau di luar masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, hak
Hal itu juga membuat pengaturan mengenai untuk mengatur peruntukan ruang, dan hak-hak untuk
ulayat nagari yang ada dalam Perda Tanah Ulayat di mengalokasikan lahan dan ruang untuk kepentingan
Sumatera Barat mengalami ketidakpastian hukum. Oleh publik masyarakat hukum adat, misalnya penentuan
karena itu, yang paling memungkinkan adalah merubah hutan larangan.
status nagari sebagai desa adat yang memasukkan ulayat nagari sebagai aset nagari desa adat atau mengubah
Dalam konteks ini, subyek hak publik adat penguasaan ulayat nagari menjadi hak komunal dengan adalah persekutuan masyarakat hukum adat dan atau
membagi-bagikannya kepada suku-suku dan atau kaum- desa adat yang dapat berupa nagari, negeri, kasepuhan
kaum yang ada di nagari.
dan lain-lain. Sedangkan hak privat adat adalah hak anggota dan atau klan (keluarga besar) yang merupakan
Kedua, Prosedur penetapan masyarakat hukum bagian dari persekutuan masyarakat hukum adat yang
adat sebagai subyek hak, baik itu dalam bentuk desa lebih luas. Anggota/Klan masyarakat hukum adat ini
adat maupun masyarakat hukum adat melalui Peraturan mempunyai hak untuk memanfaatkan tanah dan
Daerah dan atau Surat Keputusan Kepala Daerah sumber daya alamnya untuk kepentingan individu,
menggunakan mekanisme yang beragam. Aturan keluarga inti dan keluarga besarnya (Klan)-nya yang
p e ra l i h a n Pe rat u ra n M AT R / K B P N N o . 9 / 2 0 1 5 berada di tanah milik adat. Model paling jelas dalam
mengakomodasi keberagaman mekanisme penetapan konteks hak privat adat ini adalah tanah ulayat kaum di
tersebut, dengan memastikan penetapan masyarakat Minangkabau.
hukum adat dan hak-haknya yang sudah ada maupun yang sedang berproses diakui, sehingga hak-hak
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 tidak masyarakat adat tersebut dapat ditetapkan sebagai hak merujuk konsep hak ulayat seperti yang disebutkan oleh
komunal.
Maria SW Soemardjono dalam artikelnya di harian Kompas. Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 ini cocok
Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 juga merujuk pada penetapan hak adat yang berdimensi
berpotensi melahirkan konflik horizontal antar privat seperti tanah ulayat kaum di Minangkabau,
masyarakat hukum adat dengan non masyarakat hukum namun tidak untuk hak ulayat yang berdimensi publik.
adat yang mempunyai penguasaan pada objek yang Dengan kata lain, Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015
sama di atas wilayah adat. Situasi ini mengkhawatirkan diartikan sebagai upaya mengkerdilkan hak ulayat
pada wilayah-wilayah adat yang dikuasai oleh kelompok- sebatas hak komunal yang berdimensi privat belaka.
kelompok masyarakat yang sedang berkonflik dengan masyarakat hukum adat.
Persoalan hukum lainnya muncul dengan pemberlakukan Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015 ini:
Selain itu, Permenag no. 9/2015 ini meng- Pertama, bagaimana dengan status hak ulayat
abaikan proses sosial yang telah dibangun selama ini, (berdimensi publik) sejak Permenag No. 5/1999 dicabut
yaitu berupa rekognisi masyarakat hukum adat terhadap oleh Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015?; Kedua,
non masyarakat hukum adat yang telah menguasai bagaimana dengan hak privat adat dan hak ulayat yang
wilayah adat tertentu sebagai upaya penyelesaian
“Jauh Panggang dari Api”: Menyoal Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subyek Hak Komunal konflik. Misalnya rekognisi nagari-nagari di beberapa
komunal. Penyamaan tersebut menyederhanakan kabupaten di Sumatera Barat terhadap warga
konsep hak komunal secara khusus dan hak ulayat secara transmigran melalui pengakuan kelompok masyarakat
umum, sebatas pada penguasaan efektif atas wilayah. ini sebagai “anak kemenakan” atau dianggap sebagai
Ikatan-ikatan atas tanah dan sumber daya alam oleh bagian dari anggota masyarakat hukum adat, potensial
masyarakat hukum adat yang berbasis tradisi, dan goyah dengan dimungkinkannya penetapan hak
proses sosial penyelesaian konflik antar masyarakat komunal pada kelompok-kelompok masyarakat
melalui proses rekognisi sebagai bagian dari asimilasi tersebut.
sosial seolah-olah di luar optik Peraturan MATR/KBPN No. 9/2015.
Penutup
P e r a t u r a n M AT R / K B P N N o . 9 / 2 0 1 5
Daftar Pustaka
menyederhanakan persoalan hak-hak masyarakat Andiko Sutan Mancayo dan Nurul Firmansyah.2014, hukum adat sebatas pada hak komunal. Permenag ini
Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah untuk menyingkirkan (eksklusi) realitas keberagaman tentang
Pengakuan Masyarakat Adat : Kiat-Kiat Praktis jenis dan karakter hak-hak masyarakat hukum adat atas
untuk Pendamping Hukum Rakyat (PHR), tanah dan sumber daya alamnya sebagai suatu
Masyarakat Sipil (Pelaku Advokasi) dan Pemimpin perangkat hak yang kompleks (Bundle of Rights), dan
Masyarakat Adat, Jakarta : HuMa menyederhanakan masyarakat hukum adat sebagai
Firmansyah, Nurul dan Yance Arizona.2008, subyek hak artifisial yang utuh dan tidak terbagi-bagi
Pemanfaatan Tanpa Jaminan Perlindungan: Kajian dalam unit-unit sosial yang lebih kecil, akibatnya;
atas Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No. Peraturan MATR/KBPN No.9/2015 ini menjadi pelebar
6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan jurang (gap) antara hak-hak masyarakat hukum adat
Pemanfaatannya, Jakarta: HuMa & Qbar dengan hukum. Alih-alih melindungi hak masyarakat
Harsono, Budi. 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah hukum adat, ternyata Peraturan MATR/KBPN No.9/2015
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi ini malah menyingkirkan hak-hak masyarakat hukum
dan Pelaksanaannya, Jilid I, Edisi Revisi, Jakarta: adat dan bahkan potensial melahirkan konflik sosial yang
Djambatan.
lebih luas dan kronis. Maria SW Soemardjono. 2015. Ihwal Hak Komunal Atas Tanah. dalam Opini Harian Kompas, tanggal 6 Juli
Sepatutnya, Peraturan MATR/KBPN No.
9/2015ini dikaji ulang sebagai aturan penetapan hak Rachman, Noer Fauzi dkk.2012. Kajian Kritis Tentang masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya
Permenag 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian alam, terutama terkait dengan; Pertama, tidak adanya
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pengakuan terhadap keberagaman jenis dan karakter
Jakarta: Epistema Institute.
hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alam. Kedua, penyamaan masyarakat hukum adat dan non masyarakat hukum adat sebagai subjek hak
1 Praktisi Hukum dan Penggiat Perkumpulan HuMa Indonesia 2 Maria SW. Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria FH UGM pada harian Kompas, tanggal 6 Juli 2015 menulis artikel yang berjudul “Ihwal Hak Komunal atas Tanah.” Beliau menyebutkan dengan baik bagaimana pemahaman atas hak sebagai berikut ;“ …. Ketika berbicara tentang ”hak”, ada empat unsur yang harus dipenuhi, yakni subyek, obyek, hubungan hukum yang mengikat pihak lain dengan kewajiban, dan perlindungan hukumnya. Unsur subyek menempati kedudukan terpenting. Ketidakjelasan tentang subjek akan berimbas pada ketidakjelasan tiga unsur lainnya…”Pemahaman empat unsur hak tersebut penting untuk menjelaskan konstruksi hukum masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya alamnya, terutama kejelasan tentang masyarakat hukum adat sebagai subjek hak. 3 Indikator penguasaan de facto oleh masyarakat yang berada di kawasan hutan atau perkebunan dalam Permenag 9/2015 ini dapat dilihat dari persyaratan kelompok masyarakat pada kawasan tertentu (Pasal 3 ayat 2), yaitu : (1) Menguasai secara fisik selama 10 tahun, (2) Memungut hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, (3) Sumber daya alam yang dikuasai sebagai sumber kehidupan dan mata pencaharian masyarakat tersebut, (4) Adanya kegiatan sosial dan ekonomi yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. 4 Paramater yang ditentukan Permenag no. 9/2015 adalah prasyarat masyarakat hukum adat yang bisa mendapatkan hak komunal (3 ayat 1), yaitu : (1) Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban, (2) Ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya, (3) Ada wilayah hukum adatnya yang jelas, (4) Ada pranata dan perangkat hukum, yang masih ditaati.